Jumat, 29 April 2011

THE STRADS (EPISODE TERAKHIR)

KETINGGIAN 25 RIBU KAKI

KAWASAN UDARA HAZRABIAH

HAZRABIAH

Lima menit lagi, pesawat Airbus A400 yang mengangkut Kolonel Pierez dan dua ratus prajuritnya akan terus melakukan manuver sekrup—menuruni ketinggian terbang cepat dengan gaya berputar ke bawah layaknya sekrup—untuk menghindari tembakan artileri pertahanan udara Laskar Sultan yang pro terhadap sultan terdahulu.

Kolonel Pierez memandangi seorang prajurit Fallschirmjaeger yang sedang sibuk mengotak-atik senapan serbu HK416-nya dengan wajah gelisah.

“Membenarkan posisi, kopral?” tanya Kolonel Pierez.

Si kopral itu mengangguk malu-malu, “Siap, Kolonel!” jawabnya, “Hanya agar memastikan kalau senapan saya tidak akan mengenai dagu ketika mendarat nanti.”

Kolonel Pierez teringat salahsatu anakbuahnya—seorang berpangkat sersan, karena lalai membenarkan posisi senapannya, ketika ia mendarat dengan keras, popor senapan HK 416 menghajar dagunya hingga nyaris belah.

“Perilaku yang bagus, kopral—pertahankan!” puji Kolonel Pierez.

Lampu merah menyala—tandanya mereka sudah harus berdiri dan bersiap untuk terjun, lima orang loadmaster—empat orang loadmaster dan dipimpin oleh satu orang loadmaster kepala—langsung bergegas menuju posisi masing-masing—di pintu kabin belakang kiri dan kanan.

“Pasang pengait masing-masing ke atas palang!” komando seorang loadmaster kepala dengan isyarat tangan mengait.

Semua prajurit Fallschirmjaeger langsung memasang pengait parasut statis—yang akan terbuka otomatis ketika kait terasa berat—di palang yang berada persis di atas kepala mereka masing-masing.

“Periksa kembali perlengkapan!” komando sang loadmaster kepala.

Kolonel Pierez bisa melihat kelap-kelip lampu navigasi empat pesawat A400 yang mengangkut anakbuah lainnya di luar sana dengan manuver yang sama, ketika ia mengalihkan pandangannya ke bawah, ia juga bisa melihat kelap-kelip lampu kompleks kilang penyulingan minyak Bani Jabir—kilang yang ditugaskan kepada Fallschirmjaeger untuk segera diduduki.

Lampu hijau menyala!

“Siap, Kolonel?!” tanya seorang loadmaster kepada Kolonel Pierez yang bersedia menjadi orang pertama yang akan terjun.

“Fallschirmjaeger selalu siap!!” jawab Kolonel Pierez lantang sembari berjalan cepat dan meloncat dari bibir pintu kabin kanan.

Sejenak ia tersentak, hanya butuh dua detik, ia merasakan daya tarik ke belakang seiring dengan parasutnya yang mulai mengembang sempurna, ia bisa melihat rangkaian cahaya hijau berintensitas rendah menghiasi langit gelap—itu adalah para prajurit Fallschirmjaeger yang sedang mengambang di udara.

Beberapa lama kemudian, terlihat kilatan-kilatan kecil dari kilang disertai dengan suara letusan dan rentetan senapan—kelihatannya para Laskar Sultan yang pro-sultan terdahulu baru menyadari kalau mereka sedang kedatangan tamu bersenjata lengkap dalam jumlah banyak.

Makin lama tembakan dari Laskar Sultan makin banyak dan makin gencar, mencoba untuk bisa menghabisi para prajurit para yang terombang-ambing tak berdaya di udara sebelum berhasil menjejakkan kaki mereka di darat.

Kolonel Pierez mencoba menggerakkan parasutnya ke samping kanan, berusaha menghindari tembakan musuh yang mengarahnya, di tengah-tengah riuhnya suara baku tembak, ia bisa mendengar suara jeritan prajuritnya yang akan jatuh menghujam bumi karena parasutnya koyak terkena tembakan musuh.

Ayo! Cepat sampai!—desaknya dalam hati.

=== THE STRADS : EPISODE TERAKHIR, DIMULAI ===

Akhirnya kedua kakinya berhasil menginjak bumi, ia langsung bergegas melepas parasutnya dan meraih senapan HK 416 yang membentang di dadanya, sembari tetap merendahkan posisi badannya ia menembaki enam Laskar Sultan yang sedang mencegat beberapa Fallschirmjaeger.

Satu magasen sudah cukup membuat satu orang Laskar Sultan tewas dan sisanya lari kocar-kacir ke dalam kompleks kilang sembari melepaskan tembakan buta.

Para Laskar Sultan yang menjaga posisi di luar kompleks kilang berangsur-angsur mulai mundur dan berkumpul di dalam kilang, seiring dengan pasukan Fallschirmjaeger yang mendarat makin banyak.

Beberapa prajurit Fallschirmjaeger langsung berkumpul di dekat Kolonel Pierez yang sedang mengisi kembali amunisi senapannya.

“Senang bisa bertemu dengan anda kembali, Kolonel!” sapa seorang Fallschirmjaeger berpangkat letnan.

“Aku juga, letnan!” balas Kolonel Pierez, “Di sini Pierez! Seluruh komandan kompi yang sudah berada di Titik Pendaratan masing-masing, harap segera melapor!”

“—Di sini komandan Kompi A, sebagian besar sudah berkumpul!—“ balas komandan Kompi A.

“—Di sini Sersan Gieren, komandan Kompi B gugur, tapi sebagian besar sudah berkumpul!—“ lapor seorang sersan dari Kompi B bernama Sersan Gieren.

“Semoga ia dan yang lainnya diterima di sisi-Nya! Sersan Gieren, sekarang kau adalah komandan Kompi B untuk sementara ini!” tunjuk Kolonel Pierez, “Kompi C dan Kompi D, kalian belum melapor!”

“—Di sini Kompi C! Maaf, Pak! Kami semua barusan sedang sibuk mengurusi perlawanan musuh yang lumayan sengit!—“ jawab komandan Kompi C.

“—Di sini Kompi D! Semua anggota sudah berkumpul!—“

“Bagus! Kalau begitu, kita mulai rencana kedua—membersihkan dan menguasai seluruh kilang ini secepatnya! Aku peringatkan—berhati-hatilah dalam menembak! Karena tempat ini banyak sekali pipa-pipa bahan bakar yang mudah meledak! Baiklah. Rencana kedua—Dimulai!”

*****

Akhirnya, setelah hampir empat jam baku-tembak dengan Laskar Kesultanan pro-sultan terdahulu, akhirnya Kilang Minyak Bani Jabir berhasil dikuasai sepenuhnya oleh militer Galbadia.

Komandan Kompi C pun melaporkan situasi terkini kepada Kolonel Pierez yang sedang asyik memandangi ufuk timur yang mulai menyala—sebagai tandanya hari yang baru telah datang.

“Kolonel, semua kompleks Kilang Minyak Bani Jabir telah berhasil kita kuasai.” Lapor Komandan Kompi C.

“Lalu bagaimana dengan kondisi prajurit kita, Kapten?” tanya Kolonel Pierez.

“Lima puluh prajurit luka-luka, unit-unit medis sedang mengusahakan pertolongan pertama sebelum dijemput untuk mendapatkan perawatan medis yang lebih baik lagi, sedangkan sepuluh prajurit gugur, Kolonel.”

“Kumpulkan jasad-jasad mereka di tempat yang pantas.” Instruksi Kolonel Pierez, “Lalu bagaimana dengan lawan-lawan kita?”

“Kita berhasil menangkap tiga puluh orang—semuanya sudah kita lucuti.”

“Perlakukan mereka yang tertangkap, terluka, dan meninggal, seperti layaknya manusia. Jangan menirukan tingkah buruk para personel SS!” wanti-wanti Kolonel Pierez.

“Siap, Kolonel!” jawab Komandan Kompi C.

GEDUNG VALENTINE

JUNON CITY

RUNE-MIDGARD

“Tumben sekali kau memanggilku ke sini.” Ujar Komandan Piccard sembari memandangi seisi ruang kerja Direktur Domenech, pandangannya tertuju pada sebuah bingkai foto, “Ruang kerjamu kelihatannya berubah—tetapi foto ini terus ada di sini.”

Direktur Domenech yang sedang membaca berkas-berkas laporan intelijen menjawab, “Entahlah. Mungkin aku terlalu malas untuk memindahkannya.”

Bingkai dari hiasan kuningan, membungkus sebuah foto kenang-kenangan Grup 419, sama persis dengan foto kenang-kenangan Grup 419-nya Jendral Halberdier.

“Ngomong-ngomong. Ada apa sampai aku dipanggil ke sini?” tanya Komandan Piccard.

“Sekali-kali kami tidak menyampaikannya lewat amplop coklat tak mengapa, kan?” jawab Direktur Domenech.

“Aku tak menyangka kantor sebesar ini bisa-bisanya kehabisan kertas.”

Dirketur Domenech mulai serius, sepasang matanya yang sayu itu mulai dipicingkan, persis orang yang ingin memanah, “Kita baru saja mendapatkan informasi dari salahsatu sumber di Hazrabiah—Ia mendapatkan informasi kalau Imam Wahid masih selamat.”

Komandan Piccard terdiam beberapa saat, “Berita bagus—lalu bagaimana isi informasinya?”

“Sayangnya informasi tersebut tidak bisa disebut bagus. Masih dibilang kategori B2, masih sekedar rumor yang santer terdengar—ada kemungkinan rumor ini benar adanya, tapi keberadaan pastinya kita masih belum bisa menemukannya.”

“Ngomong-ngomong. Informasi B2 apa yang dimaksud?”

“Ia adalah kunci utama di mana keberadaan Putra mahkota.”

“Putra mahkota masih selamat?!”

“Bisa jadi inilah alasan kenapa Imam Wahid—yang bisa kita katakan adalah, maha patih Kesultanan Hazrabiah—masih dibiarkan hidup, dan ada informasi kalau ada konflik yang coba disembunyikan antara Kesultanan Hazrabiah yang sekarang dengan Kekaisaran Galbadia.”

“Alan menginginkan upaya pencarian rahasia terhadap keberadaan putra mahkota. Kita mencoba membuat pemerintah Rune-Midgard tidak tahu menahu tentang rumor Imam Wahid masih hidup—apalagi tentang kunci keberadaan putra mahkota sultan terhadulu yang masih selamat.” Tambah Direktur Domenech.

“Kalian memintaku untuk mengerahkan keempat anak-anak itu untuk melaksanakan tugas ini.”

Direktur Domenech tersenyum singkat sekali, “Persis!”

“Kapan?” tanya Komandan Piccard.

“Setelah membaca laporan perkembangan latihan dasar beregu—dan sekarang masuk latihan pra-tugas satuan tugasmu, aku memutuskan untuk segera mengirimkan mereka ke sana.” Jawab Direktur Domenech.

“Dari dulu aku sudah yakin. Mereka akan cepat menyelesaikan porsi latihan si Nelson—mereka bukan taruna, dari kecil mereka sudah makan asam-garam pertempuran.” Seloroh Komandan Piccard.

“Tolong. Segera persiapkan keempat anak-anak itu sesegera mungkin!” mohon Direktur Domenech dengan nada suara yang menekan.

KETINGGIAN SERIBU KAKI, LIMA KILOMETER DARI DESA JAL-MUK-ALM

KAWASAN PEGUNUNGAN HAZRABIAH BARAT DAYA

KESULTANAN HAZRABIAH

“Sepuluh menit lagi!” umum si loadmaster kepada Regu Satu Kompi A Soldier.

Walau sudah hampir enam bulan berada di Hazrabiah, ini adalah kali pertamanya ia dan prajurit Soldier lainnya ditugaskan pada wilayah Hazrabiah yang masih dikuasai oleh Laskar Kesultanan dan Angkatan Bersenjata Kekaisaran Galbadia, yang artinya—wilayah peperangan tingkat resiko tinggi.

Ia bisa melihat para anakbuahnya bermimik muka tegang juga, sudah bisa ditebak, apa yang ada di benak Kapten McKnight—sama seperti apa yang ada di benak para prajurit Kompi A yang sedang duduk dengan tertib di bangku helikopter hibrid V-22 Osprey.

Dari dalam kabin, Kapten McKnight bisa melihat helikopter osprey kedua, di mana Regu Dua Kompi B terbang besanding bersama helikopter pengantarnya, sekilas ia pun bisa melihat dua buah pesawat A-10 Warthog terbang melintasi iring-iringan penyelamat sandera.

Waktu berjalan terasa lamban, membuatnya mulai hanyut dalam lamunannya.

PANGKALAN FORT-1045

KAWASAN HAZRABIAH BARAT DAYA

KESULTANAN HAZRABIAH

“Selamat sore, Soldier!” sapa Jendral Julius Havik—jendral bintang satu yang merupakan Komandan Soldier pertama.

Jendral Julius Havik pada misi sore ini akan menyampaikan taklimat terakhir kepada dua regu pilihannya yang akan terlibat dalam operasi pembebasan sandera nanti ketika matahari terbenam.

“HOO-AH!!” jawab pasukan gabungan dari Regu Satu Kompi A dan Regu Dua Kompi B.

Jendral Havik mengangguk mantap ketika mendengar jawaban dari keduapuluhdua anakbuahnya itu, “Bagus! Itu yang ingin aku dengar saat ini juga.” Pujinya.

Jendral Havik pun memulai taklimatnya dengan bantuan sebuah papan tulis yang sudah ditempeli foto-foto satelit, foto-foto geografis setempat yang penuh dengan pemukiman penduduk dan berbukit-bukit terjal, dan yang paling penting—foto orang yang harus mereka selamatkan.

“Tugas kalian kali ini adalah—menyelamatkan pengampu agung kesultanan terdahulu, yaitu Imam Wahid!” sembari mengarahkan tongkat komandonya ke sebuah foto seorang pria berumur enampuluh tahunan bersorban putih, kumis dan jenggotnya juga sama putihnya—lengkap dengan berbagai sudut pengambilan gambar.

“Kita baru saja mendapatkan informasi intelijen kalau Imam Wahid disekap di sebuah griya tawang milik salahsatu kerabat sultan yang sekarang dengan penjagaan ketat—kira-kira dua kompi dengan persenjataan cukup lengkap. Posisinya berada di Desa Jal-Muk-Alm.”

“Kalian akan diantar dengan menggunakan dua helikopter osprey menuju lokasi persis Imam Wahid berada, pada pendaratan pertama kalian akan dikawal oleh dua buah warthog untuk membuka jalan untuk kalian.”

“Dalam misi ini ada dua tugas. Regu Satu Kompi A akan bertugas membuat garis pertahanan di sekitar griya tawang tersebut. Pertahankan terus nanti! Jangan sampai ada satu orang prajurit musuh pun yang berhasil menembus garis pertahanan kalian!”

“Untuk Regu Dua Kompi B, kalian akan mencari dan menyelamatkan Imam Wahid yang berdasarkan informasi intelijen kita, ia disekap di sebuah penjara bawah tanah, setelah kalian berhasil menemukan sasaran, segera bawa ke dalam helikopter—lindungi dia bahkan dengan taruhan nyawa kalian!”

“Dan ketika sandera berhasil dievakuasi, dua buah warthog akan kembali mengawal kalian sampai pulang. Kalian hanya punya waktu kira-kira dua puluh menit untuk bisa mengevakuasi sandera sebelum gelombang pasukan gabungan Laskar dan Kekaisaran Galbadia akan datang. Ada pertanyaan?”

Kapten McKnight mengacungkan tangannya.

“Silahkan, Kapten!”

“Pak, kenapa kami tidak diberi bantuan tembakan yang lebih besar lagi, padahal wilayah tersebut dekat dengan kawasan yang dikuasai oleh tentara kita?” tanya Kapten McKnight.

“Pertanyaan bagus, Kapten!” puji Jendral Havik, “Masalahnya adalah, pemerintah kita menekankan untuk membuat kita seolah-olah tidak mengetahui keberadaan Imam Wahid, maka dari itu sejak operasi pencarian—hingga penyelamatannya nanti, harus diminimalisir konsentrasi jumlah pasukan yang terlibat. Kerahasiaan adalah kunci utama, mengerti, Kapten?”

“Hoo-ah! Jendral!” jawab Kapten McKnight.

“Imam Wahid adalah kunci kemenangan dalam pertempuran kita di Hazrabiah, dan karena itu, kalian yang ditunjuk oleh ibu pertiwi untuk mengemban tugas luar biasa ini—karena kalian memang prajurit-prajurit yang terlatih! Mengerti?!”

“HOO-AH!” jawab para prajurit Soldier.

“Bagus! Kalau begitu bersiap-siaplah, kalian hanya punya waktu setengah jam sebelum berangkat!” umum Jendral Havik

*****

“Lima menit lagi!” pengumuman si loadmaster menyadarkan dirinya kembali setelah melamun sejenak.

Suara dentuman bom dan letusan artileri anti-pesawat mulai terdengar sayup-sayup.

“Itulah lagu sambutan untuk kita!!” pekik seorang sersan.

“Hoo-ah!!” jawab rekan-rekannya yang mulai terpacu adrenalinnya.

“Soldier! Bersiap untuk beraksi!” umum Kapten McKnight sembari berpegangan pada palang di samping kanannya.

Semua anggotanya langsung serentak berdiri, dan berpegangan erat pada palang baja yang membentang di sepanjang kabin helikopter hibrid itu, beberapa saat kemudian mereka bisa merasakan kalau kendaraan yang mengantar mereka berbelok tajam ke kanan sembari menukik.

Kapten McKnight bisa melihat kepulan asap hitam disertai dengan kobaran api raksasa yang menjilat-jilat ke langit yang mulai semakin gelap, kilatan cahaya peluru penjejak beserta dengan suara dentangan peluru yang menembaki badan helikopter makin terlihat dan terdengar begitu jelas.

*****

“—Osprey-2 berhasil mendarat, kini menurunkan penumpang!—“ lapor pilot Osprey-2, helikopter yang membawa Regu Dua Kompi B.

Pilot Warpig-1—nama sandi untuk pesawat warthog yang terlibat dalam operasi penyelamatan tersebut—bisa melihat belasan orang bersenjata lengkap keluar dari pintu kargo belakang Osprey-2 yang terus memutarkan baling-baling raksasanya tersebut.

“—Warpigs. Di sini Sky Eye-4. Ada dua buah kendaraan lapis baja sedang bergerak menuju lokasi kejadian, lokasi sepuluh kilometer dari arah jam dua belas kalian!—“

“—Di sini Warpig-2. Pak! Ijinkan kami untuk membabat dua kendaraan lapis baja sialan itu!—“ pinta Warpig-2.

“Di sini Warpig-1. Kau bebas menembak!” jawab pilot Warpig-1.

Warpig-2 yang terbang beriringan di sampingnya langsung banting arah dan langsung menyambut iring-iringan kendaraan lapis baja, untuk sekelas infantri, dua kendaraan lapis baja itu benar-benar mimpi buruk, tapi untuk sebuah warthog, dua kendaraan lapis baja itu hanyalah sekedar kudapan malam kanon gatling GAU-8-nya.

“—Osprey-1 berhasil mendarat dengan selamat. Sekarang kami sedang menurunkan rombongan!—“ lapor pilot Osprey-1—nama sandi helikopter yang mengantar Regu Satu Kompi A-nya Kapten McKnight.

*****

“Ayo maju terus!” desak Kapten McKnight kepada anggotanya yang kelihatan agak gentar untuk keluar dari dalam helikopter.

Regu Satu Kompi A mendapatkan tugas untuk membuat garis pertahanan di sekitar lokasi disekapnya Imam Wahid, sedangkan Regu Dua Kompi B bertugas mencari dan mengevakuasi Imam Wahid hingga ke dalam helikopter lagi.

“Di sini Masterchief-1, Regu Dua sudah masuk ke dalam griya tawang. Pertahankan posisi kalian, jangan sampai ada barang seekor pun musuh yang berhasil menembus pertahanan kalian!” umum Kapten McKnight.

Baku tembak antara Grup Satu dengan Laskar Kesultanan mulai terjadi dan semakin terasa gencar dan memanas, pembuktian siapa yang kuat—yang bertahan atau yang menyerang—dibuktikan dengan penuh dengan darah dan nyawa malam ini.

Terdengar bunyi dentuman keras, sebuah pojokan lantai dua mengeluarkan asap bercampur debu, “—Kripp dan Rodd kena!—“ itu yang terdengar dari radio milik Kapten McKnight.

“—Kita kedatangan tamu, satu tank Leopard II, si anak haram ini harus segera dilumpuhkan!—“ lapor seorang anggota Regu Satu.

“Yang berada di dekat posisi mereka berdua, segera evakuasi mereka, apa pun kondisinya! Aku akan menghubungi bantuan udara!” jawab Kapten McKnight sembari mengganti saluran radionya, “Warpigs, di sini Masterchief-1, ada satu buah tank berat mengancam pertahanan kami, butuh bantuan udara segera, ganti!”

“—Di sini Warpig-1, roger, kami akan segera membungkam si sialan itu.—“

Beberapa saat kemudian, terlihat kilatan yang berasal dari semburan jet rudal maverick melesat menuju kubah tembak tank Leopard II milik Laskar Kesultanan, sepermilidetik kemudian, terdengar ledakan keras dari arah tank kelas berat itu.

“Telak sekali, Warpig! Kami berhutang pada kalian!” puji Kapten McKnight.

“—Di sini Warpig, kami sudah kehabisan amunisi, kami harus segera kembali ke pangkalan kami, kalian sendirian di bawah sana—bertahanlah!—“ jawab Warpig-1.

“—Di sini Masterchief-2! Kami berhasil menemukan paket, sekali lagi, kami berhasil menemukan paket!—“ lapor Komandan Kompi B Soldier.

“—Di sini Sky Eye-4, roger, Masterchief-2, segera kembali ke Titik Penjemputan. Osprey-2, bersiap untuk mendarat dan mengangkut paket!—“

“Kalian dengar itu, anak-anak? Bertahanlah, kita akan segera pulang!” ujar Kapten McKnight senang.

*****

Hanya dalam waktu tiga puluh menit, tim penyelamatan Imam Wahid sudah berhasil membawa sang imam, tinggal bergegas pergi meninggalkan desa setempat sebelum bantuan pasukan musuh dalam jumlah yang lebih besar sampai.

Tapi mereka tidak sadar, kalau Pangeran Jahn Kohler—dengan robot tempur rahasianya, Tarantula—sudah mengawasi operasi penyelamatan sandera tersebut tanpa harus khawatir ia diketahui keberadaannya oleh radar lawan.

“Bersenang-senanglah kalian, sebelum giliran bersenang-senangku datang!” desis Pangeran Jahn Kohler dari dalam kokpitnya.

*****

“Mari!” ujar Kapten McKnight kepada seorang anggotanya yang merupakan anggota terakhir yang belum masuk ke dalam helikopter, sembari mengulurkan tangan kanannya.

Anggotanya yang berpangkat prajurit itu langsung menyambut uluran tangan komandan kompinya itu dengan penuh semangat, walau harus berjalan terpincang-pincang karena serpihan granat bersarang di paha kanannya.

Setelah semua Regu Satu berhasil masuk ke dalam helikopter, Osprey-1 langsung memacu kecepatan mesinnya untuk bergegas meninggalkan lokasi kejadian.

“Pak.” Panggil seorang sersan, ia mengulurkan dua buah kalung identitas yang ditutupi darah kering, “Kondisi mereka berdua mengenaskan. Hanya ini yang bisa kami evakuasi dari mereka.” Tambahnya.

Kapten McKnight mengambil kedua kalung identitas itu, ia memejamkan matanya sejenak, “Semoga mereka berdua mendapatkan tempat yang layak di sana.” Gumamnya.

Tiba-tiba terlihat kilatan cahaya lengkap dengan dentuman keras, energi ledakan itu sampai menggoyang Osprey-1.

“Apa yang terjadi?!” tanya seorang prajurit Regu Satu.

“Warpig-3 ditembak jatuh oleh rudal!” jawab si loadmaster Osprey-1.

Kapten McKnight mengganti saluran radionya, ia bisa mendengar kepanikan yang ada di saluran tersebut, mereka mempertanyakan dari mana asal rudal tersebut dengan nada panik.

“—Rudal musuh datang! Mencoba untuk mengelak!—“ teriak Warpig-4 sembari berbelok tajam dan menembakkan chaff bertubi-tubi.

Namun, rudal anti-pesawat itu mengenai sayap kirinya yang langsung koyak terkena ledakan rudal prematur tersebut, Warpig-4 pun berputar-putar tak terkendali, lalu menghujam bumi tanpa ampun.

Beberapa saat kemudian terdengar suara-suara peluru yang menembus badan pesawat, beberapa prajurit Regu Satu menjerit kesakitan—dan ada yang lalu tewas seketika—ketika ratusan peluru tajam menembus tubuh mereka.

Kapten McKnight mengerang kesakitan ketika bahu kanannya terserempet peluru, ia bisa melihat helikopter yang membawanya itu berputar-putar tak terkendali dan akan menabrak sebuah bukit yang berada di bawahnya.

“Y—Yang masih selamat! Berpegangan yang erat!” pekik Kapten McKnight sembari menahan rasa sakitnya.

Ketika mendengar suara tabrakan yang begitu keras, Kapten McKnight kehilangan kesadarannya.

*****

“—Bagaimana dengan Wahid?—“

Kapten McKnight bisa mendengar seseorang berbincang-bincang di tengah kegelapan total.

“—Dia mati.. Cih! Kalau begitu, kita kehilangan kesempatan untuk menemukan putra mahkota!—“

Putra mahkota? Tanya Kapten McKnight dalam kegelapan, ia mencoba membuka kedua matanya, dan hasilnya—kegelapan total itu berangsur-angsur mulai menghilang, diganti dengan penglihatannya yang masih buram, ia bisa melihat beberapa orang berdiri tak jauh darinya.

Ia mencoba menggerakkan tubuhnya sedikit, dan tiba-tiba ia merasakan rasa sakit di bahu kanannya, ia teringat kalau luka itu berasal dari peluru-peluru yang berhasil menembak jatuh helikopter osprey yang membawa dirinya dan Regu Satu.

Ia pun sedikit memalingkan pandangannya, ia bisa melihat para prajuritnya tergeletak tak bernyawa, reruntuhan helikopter osprey terlihat masih terbakar hebat karena bahanbakar yang tersisa terpancing percikan ledakan.

“Setidaknya pihak sekutu gagal memperoleh informasi mengenai keberadaan putra mahkota.” Ujar Pangeran Jahn Kohler.

“Betul juga, kalau begitu kita berada di posisi impas, sama-sama sulit mencari keberadaan putra mahkota.” Ujar Ali—pemimpin Klan Bani Harbi, salahsatu suku dominan yang menjadi pendukung Sultan Salim—Sultan Hazrabiah yang sekarang.

Kapten McKnight bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka perbincangkan, mereka sedang membicarakan tentang putra mahkota, sepertinya yang mereka maksud adalah putra mahkota sultan terdahulu yang digulingkan oleh Sultan Salim.

Sialnya, ia dipergoki oleh seorang laskar, “Dia masih hidup!” lapornya.

Kapten McKnight mencoba menggerakkan tangan kanannya untuk meraih pistol M9F di paha kanannya, namun Pangeran Jahn Kohler bereaksi lebih cepat daripadanya, ia melayangkan bogem mentah hingga Komandan Kompi A tersebut kembali tak sadarkan diri.

*****

Kapten McKnight terjaga dari pingsannya, tapi terjaganya dengan cara yang kasar—ia dibangunkan dengan hentakan keras yang menghantam kepalanya, hasilnya, ia terjaga dengan rasa sakit.

Tapi ketika ia membuka matanya, yang ia lihat hanyalan pandangan bewarna kecoklatan dan bau gandum masih tercium pekat—kelihatannya wajahnya ditutupi dengan karung goni yang dipakai untuk membungkus gandum yang masih segar, tak hanya itu, ia bisa merasakan goncangan keras dan deru suara mesin kendaraan—kedengarannya ia sedang dibawa ke suatu tempat.

Ia mendengar seseorang berbicara dengan Bahasa Hazrabiah, entah apa yang mereka bicarakan, karena kosakata yang mereka gunakan belum pernah ia dengar sebelumnya semenjak latihan bahasa dan budaya di pelatihan pra-tugasnya.

Tapi ada sepatah-dua patah kata yang masih ia mengerti, salahsatu kosa kata yang mereka lontarkan adalah—Kamp Kerja Paksa, ia teringat tentang isu Kamp Kerja Paksa, menurut informasi, para prajurit sekutu yang berhasil ditangkap, akan dikirim ke Kamp-Kamp Kerja Paksa terdekat untuk dijadikan buruh kerja paksa untuk membangun infrastruktur militer Kekaisaran Galbadia beserta sekutunya.

“Kelihatannya tamu agung kita sudah bangun ternyata!” ujar suara dengan dialek Hazrabiah lengkap dengan tendangan keras tepat ke pipi kiri McKnight.

“Kebetulan kami sedang membutuhkan tukang cuci kakus di bunker kami!” ujar suara lainnya yang disambut dengan tawa.

Kapten McKnight menggerakkan tubuhnya, yang ada hanya rasa sakit di bahu kanannya dan kedua lengan serta kakinya diikat oleh sesuatu, tapi dari teksturnya, kelihatannya ia sedang diikat dengan menggunakan tali tambang.

Mereka pun melanjutkan obrolan mereka dengan bahasa Hazrabiah, karena mereka merasa kalau Kapten McKnight tidak tahu bahasa yang mereka pakai, Kapten McKnight hanya bisa terdiam tak berdaya, menyimak apa yang diperbincangkan oleh mereka.

Dengar-dengar, Ali dan bangsawan dari Galbadia ribut mengenai orang Rune-Midgard ini?

Ya, bangsawan Galbadia ini menginginkan dia ditembak mati untuk menghilangkan jejak, tapi Ali menginginkan dia menjadi salah satu tawanan perang yang dijadikan pekerja paksa nantinya.

Lalu?

Si bangsawan sinting itu sempat kesal dan tidak segan-segan ingin menembak kepala Ali, tapi Ali meyakinkan si bangsawan itu kalau orang ini akan di kirim di Kamp Kerja Paksa yang tidak akan diketahui keberadaannya.

Dan hasilnya?

Seperti yang kita duga—bangsawan Galbadia yang katanya kerabat dekat Kaisar Galbadia, akhirnya menuruti keinginan Ali, dan mengancam akan memotong leher Ali ketika orang ini lolos.

Ngomong-ngomong soal si bangsawan itu, apa benar ia melakukan penyisiran pemberontak dengan membantai dan membakar seluruh isi desa yang ia sisiri dengan mesin aneh itu?

Ini jadi rahasia umum, bangsawan Galbadia itu mengendarai kendaraan tempur berbentuk seperti laba-laba, aku dengar dari tentara SS-nya, kalau benda yang mereka sebut dengan nama robot itu adalah prototipe mesin tempur Galbadia menjadi pemimpin dunia.

Heh, orang-orang SS itu lebih layak jadi juru kampanye ketimbang tentara!

Tak kusangka, kendaraan perang bernama robot itu berhasil membabat habis seluruh rombongan pasukan sekutu yang mencoba mengambil Imam Wahid tanpa diketahui oleh radar sekutu.

Aku harap Sultan Hamid tahu dengan siapa ia berhadapan.

Robot—itu yang membuat Kapten McKnight memicingkan matanya, nama asing yang katanya yang menjadi biang kerok seluruh prajuritnya dibabat habis oleh mesin perang milik Galbadia yang belum pernah ia dengar sebelumnya—Ini informasi kategori A1!

Tiba-tiba, ia merasakan kalau kendaraan yang membawanya itu mengerem mendadak, ia bisa mendengar dan merasakan kebingungan para penyekapnya itu, ia bisa mendengar kalau si supir menghentikan perjalanannya ketika ada longsoran batu menghalangi jalan.

Beberapa saat kemudian terdengar suara rentetan senjata yang begitu gencar, para penyekapnya itu terlihat panik sembari melepaskan tembakan juga, dari suara tembakan, Kapten McKnight bisa mendengar ada kombinasi suara peluru kaliber 5,56 milimeter dengan kaliber 7,62 milimeter.

Sesaat kemudian baku-tembak sengit itu mulai kembali tenang, ia bisa mendengar suara seseorang naik ke atas bak kendaraan.

“Billy! Billy!”

Kapten McKnight tersentak ketika orang yang naik dan mendekatinya itu memanggil-manggil nama panggilannya, ia pun bisa merasakan kedua tangan si empunya suara tersebut sedang berusaha membuka karung goni yang menutup wajahnya.

“Ya, itu namaku! Lepaskan aku!” mohonnya dengan penuh semangat.

Kapten McKnight terdiam ketika melihat sosok yang menyelamatkan dirinya ketika karung goni yang menutup wajahnya berhasil disingkapkan, seseorang berbrewok hitam lebat dengan kifayeh yang menutupi kepalanya.

Tapi ada yang membuatnya yakin kalau itu adalah prajurit Rune-Midgard, biar persenjataan yang ia pakai adalah FNC—senapan serbu standar Laskar Kesultanan, rompi anti-peluru yang dipakai oleh si penyelamat itu adalah CIRAS—rompi anti-peluru yang menjadi standar militer Rune-Midgard.

Tapi, tapi lagi, ada yang membuatnya ingat pada seseorang ketika ia memperhatikan betul-betul wajah pria brewokan itu, “Ames?” tanya Kapten McKnight ragu.

Pria berbrewok hitam lebat itu menghela napasnya sejenak, “Percuma aku memelihara jenggot ini selama hampir enam bulan.” Selorohnya sambil mengulurkan tangan kanannya.

=== THE STRADS : EPISODE TERAKHIR, SELESAI ===

Jumat, 15 April 2011

THE STRADS (EPISODE SEMBILAN)

“Lima puluh! Lima puluh-satu!” hitung Sersan Pelatih Nelson yang mondar-mandir memperhatikan push-up Tim Strad, “Lamou! Push-up apa-apaan itu?!” semprotnya.

“Si—Siap, Sersan Pelatih, Pak!” jawab Lamou kepayahan.

Tim Strad tidak sembarangan push-up, oleh Sersan Pelatih Nelson—mereka harus melakukan push-up seratus kali dengan membawa beban seberat lima puluh kilogram—dan itu adalah pemanasan dalam menu latihan pagi selama seminggu di Area-49.

“Kalian pasti sudah tahu—bagaimana beratnya pertempuran di lapangan sana. Tapi di Hazrabiah—pertempuran di sana bakal lebih mematikan daripada yang kalian alami!” ceramah Sersan Pelatih Nelson.

“Siap, Sersan Pelatih, Pak!” jawab Tim Strad.

“Oke—seratus!” tutup Sersan Pelatih Nelson. “Selanjutnya—lari pagi!”

Setelah pemanasan, mereka langsung berlari untuk lari pagi—lari kecil dengan beban lima puluh kilogram, dengan rute lari pagi mereka sepuluh kilometer bolak-balik, dengan kata lain—dua puluh kilometer.

*****

“Aku sudah mulai kesal dengan latihan dasar beregu ini!” keluh Oisty.

“Untuk masalah ini—aku akur denganmu, Oisty.” Timpal Ames yang berada di bagian depan barisan lari pagi.

“Saya sarankan, kita tidak boleh terlalu mengeluh—bersabarlah, semua ini pasti akan berakhir, dan kita akan melanjutkannya dengan latihan penyesuaian.” Ujar Lamou.

“Satu bulan.” Ujar Collosus di barisan paling belakang, “Itu batas waktu untuk kita bisa menyelesaikan semua ini.”

“Oh! Satu bulan, yah?” Ames terkejut sembari mencoba mengirit-irit nafasnya, “Setidaknya kita harus bersabar untuk tiga minggu lagi!”

=== THE STRADS : EPISODE SEMBILAN, DIMULAI ===

SEMINGGU YANG LALU..

Setelah ditinggal pergi oleh Komandan Piccard, kini Tim Strad berada di—cengkraman—Sersan Pelatih Nelson, untuk digembleng dalam pelatihan dasar dan penyesuaian pra-tugas selama tiga bulan.

Unit Strad berbaris rapih dalam upacara penyambutan kecil-kecilan di sebuah lapangan upacara yang ada di salahsatu blok Area-49 di sore itu—menanti kedatangan Sersan Pelatih Nelson, bersama dengan gembolan pakaian dan perlengkapan yang harus mereka bawa ketika berlatih nanti.

“Panas juga.” Gumam Lamou sembari menaungi wajahnya dengan tangan kirinya—memandangi matahari yang mulai tergelincir.

Ames pun mulai masam, karena terasa sudah lama Sersan Pelatih Nelson menyuruh mereka berbaris di sini dan menunggunya, “Sudah berapa lama kita di sini?”

Collosus memandangi jam tangan digital-nya, “Sudah dua setengah jam.”

“Ah, sial sekali—“ ujar Ames sambil merogoh kantong celananya, mengambil rokok untuk disesapkan, “Mumpung masih belum datang.” Ujarnya santai.

Tiba-tiba, ketika ia mau menempelkan batang rokok marloboro menthol-nya ke bibir, sekelebat tangan merampas rokoknya dengan cepat—ternyata, yang merampas rokok dari sela-sela jari tangan kanannya itu adalah Sersan Pelatih Nelson.

“Bocah-bocah!” sapa Sersan Pelatih Nelson sembari menginjak-injak rokok Ames, “Ngomong-ngomong—apa yang sudah aku perintahkan?!” suara lantang Sersan Pelatih Nelson itu membuat mereka berempat tersentak kaget.

Sebenarnya aku tidak suka dengan standar protokoler, tapi apa boleh buat—Aku ucapkan lagi, selamat datang di Batalion Pendidikan Pusat Pelatihan Pasukan Khusus ke-49, atau sering disebut dengan Area-49!” sambut Sersan Pelatih Nelson.

“Area-49 adalah tempat latihan untuk para prajurit Republik Demokratik Rune-Midgard, baik pria maupun wanita, dalam rangka mengembangkan kemampuan tempur mereka menuju tingkat kemampuan tempur tingkat khusus!”

“Area-49 memiliki berbagai macam fasilitas untuk menyediakan sebuah simulasi mendekati nyata dengan segala macam wilayah yang ada di dunia ini, sudah banyak kesatuan-kesatuan militer dari berbagai macam angkatan digembleng sebelum mereka melaksanakan di sudut-sudut bumi tertentu!”

“Oke cukup untuk sambutan pemandu wisatanya—Seperti yang kalian tahu, komandan kalian menyerahkan semua wewenangnya atas kalian berempat kepada aku—Sersan Pelatih Dwayne Nelson—selama kalian berlatih selama tiga bulan di sini!”

“Sekedar perkenalan—dan memastikan kalian tidak meremehkan aku! Aku sudah lama berdinas di Angkatan Darat dalam tugas-tugas khusus dalam sebuah regu kecil berjumlah sepuluh orang yang waktu itu disebut dengan nama Grup 419.”

Grup 419, grup di mana yang dikatakan oleh Sersan Pelatih Nelson—adalah nama regu di mana dia, Komandan Piccard, dan guru-guru mereka bertugas dalam satu tim yang sama beberapa jam yang lalu.

“Aku tidak bisa menceritakan apa tindak-tanduk kami selama berada di Grup 419, yang pasti, membuat kami yang awalnya berhadapan dan melawan kematian—menjadi mencari dan melawan kematian itu sendiri!”

Sekali lagi—Kalian harus menuruti perintah segala apa yang diperintahkan oleh aku sendiri—Sersan Pelatih Dwayne Nelsonselama tiga bulan di Area-49. Aku tak mau mendengar adanya ketidakpatuhan—apalagi pembangkangan, selama tiga bulan ke depan. Mengerti?!” tanya Sersan Pelatih Nelson.

Siap, Mengerti, Sersan Pelatih, Pak!” jawab Unit Strad serentak.

“Bagus!” Sersan Pelatih Nelson merogoh kantong celana training-nya—ternyata ia membawa susunan jadwal latihan untuk Tim Strad.

“Sebagai penutup, aku harus membacakan jadwal latihan kalian! Jam lima pagi sampai jam dua belas siang latihan olah fisik beregu! Jam dua belas siang sampai setengah satu siang istirahat makan siang! Jam setengah satu siang sampai jam enam sore latihan menembak beregu! Jam enam sore sampai jam tujuh malam istirahat makan malam! Jam tujuh malam sampai jam sepuluh malam kalian latihan olah fisik beregu lagi!”

Lamou tiba-tiba mengangkat tangan kanannya, “Maaf! Ijin untuk bertanya, Pak!”

“Tanya apa?”

“Kenapa tidak ada latihan penyesuaian pra-tugas, Pak?”

“Karena kekompakan kalian masih payah, sehingga dalam waktu satu bulan, kalian harus sudah mulai menunjukkan kalau kalian sudah kompak—lahir dan batin! Dan kami akan membuat kalian seperti itu—mau atau tidak mau sama sekali!” jawab Sersan Pelatih Nelson.

“Beristirahatlah sepuasnya! Karena hari terburuk kalian akan dimulai besok!”

*****

Lamou melemparkan gembolannya di atas field bed miliknya—akhirnya, setelah lama berjemur ria, mereka bisa beristirahat di barak yang telah disiapkan untuk mereka tinggal selama pelatihan tiga bulan ke depan.

“Akhirnya bisa bertemu dengan ranjang!” desis Lamou penuh syukur.

“Itu field bed—bukan ranjang.” Timpal Oisty sambil menaruh gembolannya di bawah field bed miliknya.

“Barusan kau merasakan keberadaannya?” tanya Ames kepada Collosus.

“Tidak. Aura keberadaannya pun tidak aku rasakan.” Jawab Collosus sembari merebahkan tubuhnya di atas field bed—berbantalkan gembolannya.

“Seperti yang kuduga.” Ujarnya sembari menghela napas dan berkacak pinggang, “Sersan Pelatih ini benar-benar bukan orang sembarangan—kita harus berhati-hati.” Ujarnya.

*****

PRIIIIIIIITTTTTT!!!!

Suara peluit yang memekakkan telinga membangunkan Tim Strad yang sedang asyik-asyiknya tertidur lelap.

“Bangun! Bangun! Dasar kalian kumpulan prajurit tidak berguna!!” bentak Sersan Pelatih Nelson dengan seragam training-nya.

Ia terus meniupkan peluitnya sampai seluruh Strad benar-benar bangun, Ames dan yang lainnya langsung bergegas bangkit dari tidurnya, merapihkan tempat tidur mereka, dan berdiri tegap di depan lorong barak.

Sersan Pelatih Nelson memperhatikan wajah-wajah anakbuahnya yang masih bermuka bantal dengan tatapan kecewa—kusut, bermata kemerahan, dan masih terkantuk-kantuk dalam berdirinya karena nyawa mereka yang masih asyik terbang kemana-mana.

Bocah-bocah, bersiaplah untuk latihan fisik!” umum Sersan Pelatih Nelson.

Tiba-tiba Ames menguap seperti kuda nil—tepat di wajah Sersan Pelatih Nelson.

“Beraninya kau! Push-up tujuh puluh kali!” suruhnya.

Ames langsung melakukan push-up, sambil menggerutu, “Padahal hari belum pagi.

“Push-up delapan puluh kali, karena kau menggerutu!”

Mimpi terburuk Ames dimulai pagi itu juga, ia melakukan push-up sembari menghitung jumlah push-up-nya.

Namun, pada hitungan ke limapuluh, Ames mulai kehabisan napas. Sersan Pelatih Nelson bisa mendengar Ames mulai kepayahan menghitung.

“Apakah ini yang disebut komandan unit, heh??” tanya Sersan Pelatih Nelson.

Ames tak menjawab pertanyaan sang kolonel, ia tetap terus push-up, “Lima-satu.. Lima-dua... Li—lima-tiga!..”

“Berdiri!”

Ames langsung berdiri, sembari berusaha mengatur napasnya yang sudah sampai di pangkal tenggorokannya, keringat bercucuran.

“Sudah segar, Ames?” tanya Sersan Pelatih Nelson.

“Siap, sudah, Sersan Pelatih, Pak!” jawab Ames.

“Kau yang bernama Oisty!” tunjuk Sersan Pelatih Nelson.

“Siap, Sersan Pelatih, Pak!” jawab Oisty.

“Menurut CV yang diberikan oleh Piccard, katanya, kau adalah yang paling pintar di antara yang lain. Aku ingin menguji kepintaranmu—apa definisi dari kata—pagi?” tanya Sersan Pelatih Nelson.

“Pagi adalah bagian dari waktu yang di mana dengan ciri-ciri dari matahari mulai terbit hingga matahari sudah berada di atas kepala kita, Pak!”

“Ciri-ciri matahari mulai terbit?”

“Langit mulai terlihat hingga matahari mulai keluar dari ufuk timur, Pak!”

Sersan Pelatih Nelson bergegas berjalan menuju jendela barak, ia pun menyingkapkan hordeng yang menutupi jendela barak, “Oisty. Apakah ini disebut dengan pagi?” tanya Sersan Pelatih Nelson sembari menunjuk keluar jendela.

“Ya, itu pagi, Pak!” jawab Oisty.

“Cuaca cerah, bagus untuk lari pagi! Kalian Cuma punya waktu lima menit untuk berganti pakaian training, kita bertemu di lapangan upacara tadi sore!” ujar Kolonel Wilson yang mulai berlalu meninggalkan barak.

“Keparat..” kutuk Ames yang masih berusaha mengatur napas.

*****

“Apa-apaan ini?!.. Kalian benar-benar seperti kumpulan manula!!.. Ayo, lari yang benar!” semprot Sersan Pelatih Nelson yang berlari kecil di samping barisan mereka.

Menu latihan fisik beregu mereka benar-benar khusus—rute lari pagi sepanjang dua puluh kilometer bolak-balik dan dibekalkan dengan harus memanggul ransel prajurit yang diisi tumpukan batu bata beton dengan berat total lima puluh kilogram.

Ames yang kelihatan mulai kewalahan pun jadi sasaran Sersan Pelatih Nelson, “Kelihatannya ketua tim kalian sudah mulai kecapekan!” ujar Sersan Pelatih Nelson, “Apa itu yang disebut dengan ketua?! Baru setengah perjalanan sudah mulai merasa lelah?!”

“T—Tidak, Sersan Pelatih, Pak!” jawab Ames tersengal-sengal.

“Kalau begitu tunjukkan kepada ketiga rekanmu kalau kau pantas jadi seorang ketua tim!” ujar Sersan Pelatih Nelson yang berlari kecil di samping Ames.

Ames mengambil napas, mengubah wajahnya yang kewalahan menjadi wajah yang penuh kesungguhan, tubuhnya yang mulai membungkuk ia paksa tegakkan.

“Matahari sudah mulai di atas kepala kalian masih belum bisa sampai di ujung jalan! Tentara macam apa kalian?! Komandan kalian memang punya selera rendah dalam memilih prajurit dan orang tua angkat kalian bisa-bisa bangun dari kubur mereka dan menyumpahi kalian!”

*****

Collosus jatuh terduduk di tengah lapangan dengan napas tersengal-sengal, sedangkan Lamou tergeletak di atas rerumputan, sembari berusaha mengatur napasnya dan mengelap wajahnya yang merah padam dan penuh keringat itu dengan lengan baju training-nya.

DuDua puluh kilometer dengan bawaan seberat itu!.. Me—mengerikan!” ujar Lamou dengan suara terpatah-patah.

Sudah lama sekali aku tak melakukan lari pagi seperti ini!” keluh Oisty sembari memijat-mijat kedu bahunya yang kaku.

“Setidaknya kita merasakan bagaimana menjadi seorang taruna.” seloroh Ames sembari mengusap wajahnya yang jadi genangan air keringat—ia mencoba menghibur diri, walau ia terlalu lelah untuk tersenyum.

“Ayo, kita harus cepat-cepat mandi, kita cuma punya waktu lima belas menit untuk mandi dan makan siang!” desak Oist yang masih berusaha mati-matian untuk berdiri dengan kedua kakinya yang hancur-lebur.

PRITTT!!

Sersan Pelatih Nelson meniupkan peluit yang menggantung di lehernya—ia menggeleng kepalanya ketika mendapat hasil latihan tembak reaksi beregu masih mengecewakan.

“Tolong! Lain kali, kendalikan arah menembakmu dengan lebih baik lagi!” mohon Lamou yang kecewa dirinya terkena tembakan teman sendiri.

“Maaf.” Jawab Collosus.

Ames menghela napasnya sembari menggelengkan kepalanya, tak ada komentar apa pun dari si pecinta pertempuran jarak dekat tersebut—hanya mencabut magasen M4A1 versi latihan dan menguncinya dengan pengaman.

“Lebih cepat berarti lebih fokus!” semprot Sersan Pelatih Nelson, “Sekali lagi!”

Tim Strads yang kehilangan Lamou karena Collosus kurang mengendalikan arah tembakannya—kembali ke garis awal dan bersiap untuk berlatih kembali, mereka akan terus mengulang setiap latihan yang mereka ikuti, sampai apa yang diinginkan oleh sang pelatih tercapai.

*****

“Haaaaah!~... Benar-benar hari latihan yang berat!..” ujar Lamou sembari menjatuhkan dirinya ke atas field bed miliknya.

“Aku harap—aku bisa keluar dari tempat sialan ini secepatnya!”keluh Oisty sembari memijat-mijat pahanya yang menegang otot-ototnya karena kaget, harus digunakan dalam latihan-latihan berat dalam waktu yang lama dan pemanasan yang singkat.

“Ngomong-ngomong—“ ujar Ames, “Sudah hampir empat hari di tempat ini, tapi kita masih mengenal satu sama lain.”

Mereka saling berpandangan satu sama lain.

“Ngomong-ngomong—Komandan Piccard pernah mengatakan kalau kau adalah orang Hazrabiah—benarkah itu?” tanya Oisty langsung ke pokok pembicaraan.

Collosus terdiam beberapa saat, “Ya.” Setelah ia melepas kaos training ia merebahkan tubuhnya di atas field bed dengan telanjang dada.

Ames terdiam ketika melihat tubuh bagian atas dari Collosus, “Kelihatannya masa lalumu keras sekali.”

“Perang antarsuku.” Timpal Oisty, “Benar, kan?”

“Ya.” Jawab Collosus.

“Luar biasa, Oisty! Anda tahu segala hal!” puji Lamou.

“Yeah! Memang terdengar keren—orang yang tahu segala hal—seperti ensiklopedi berjalan!” jawab Oisty, “Tapi lubang USB di belakang kepalaku benar-benar mengganggu.” Ujarnya santai sembari menunjukkan apa yang ada di balik rambut bagian belakangnya.

“Apakah itu benar-benar lubang USB?” tanya Lamou tak percaya.

“Percaya atau tidak—itu urusanmu! Tapi itu yang menyebabkan aku bisa belajar banyak tentang banyak hal! Tinggal colok dan unduh ke dalam isi kepalaku.” Jawabnya santai.

“Wow, kau seperti—cyborg seperti di film-film aksi.” Gumam Ames.

“Hah! Lihat sepuas kalian—Aku adalah khayalan yang jadi kenyataan!” timpal Oisty bangga.

“Oh ya, soal Hazrabiah—kampung halamanmu. Bagaimana masa lalumu, kawan?” tanya Ames penasaran.

“Kedua orangtuaku tewas ketika salahsatu suku yang bermusuhan dengan suku kami menyerang iring-iringan dagang kami. Dan aku pun dibesarkan oleh para pejuang-pejuang suku kami. Dan aku mengikuti jalan hidup mereka yang membesarkanku—Hidup untuk bertempur. Bertempur untuk hidup.” Jawab Collosus panjang lebar.

“Hazrabiah memang negri kaya raya. Tapi penuh dengan konflik perang antarsuku, dulu mereka menumpahkan darah satu sama lain untuk memperebutkan sumber-sumber mata air. Tapi sekarang—mereka memperebutkan tanah-tanah adat mereka yang disinyalir memiliki kandungan gas atau minyak bumi. Bukan rahasia lagi—hampir konflik antarsuku sengaja disulutkan oleh pihak kesultanan itu sendiri.” Timpal Oisty.

“Bagaimana bisa?! Kenapa seorang pemimpin harus mengadu domba rakyatnya sendiri?” tanya Lamou heran.

“Kau harus belajar lebih banyak lagi tentang kenyataan di lapangan, Lamou.” Ujar Ames.

“Suku-suku pemilik tanah adat terbagi jadi dua. Yang pertama—yang patuh dan kooperatif terhadap pihak sultan, memberikan tanah adat mereka dengan sukarela untuk dieksploitasi. Dan yang kedua—yang membangkang dan memberontak, mereka melawan habis-habisan sultan mempertahankan tanah adat mereka!” tambah Oisty.

“Setiap dua jenis dua suku yang kau sebut, Oisty—masih dibagi jadi dua.” Ujar Collosus.

“Kalau begitu—beritahu kami!” pinta Ames yang mulai tertarik pada Collosus.

“Yang berpihak terhadap pihak sultan—ada yang menyerahkan tanah adat mereka karena memang patuh dan yang kedua—mereka yang menyerahkan tanah adat dengan berbagai syarat.” Jawab Collosus.

“Jabatan, harga yang layak—apalah namanya.” Timpal Oisty.

“Yang melawan sultan—ada yang mempertahankan harta warisan generasi sebelumnya dan untuk generasi selanjutnya dan yang kedua—mereka masih menolak atau malah melunjak dengan tawaran sultan—dua-duanya sama-sama diperangi.” Lanjut Collosus.

“Negaramu benar-benar rumit, terminator.” Ujar Ames sambil menggaruk-garuk kepalanya yang gondrong.

*****

Tiba-tiba kedua kakinya saling mengait satu sama lain, dan total, ia langsung jatuh tersungkur dengan suksesnya, ia mengaduh—tersadar kalau ia terlalu lama melamun selama lari pagi, tapi ada yang mengulurkan tangannya untuk Ames.

Ames memandangi siapa pemilik tangan itu—ternyata tangan Collosus, “Kau melamun.” Ujar Collosus.

Ames pun tersenyum dan langsung menyambut tangan Collosus, “Maaf! Maaf!” sambut Ames enteng.

“Ames! Push up sepuluh kali dan bawa bokong sialanmu kembali ke barisan paling depan!” semprot Sersan Pelatih Nelson.

Dari tempatnya ia terjatuh, ia langsung melakukan push up sepuluh kali dengan cepat, dan bergegas menuju barisan paling depan lagi, Sersan Pelatih Nelson pun berlari mendekati Ames dengan tatapan kesal.

“Ames! Sekali lagi kau terjatuh ketika lari pagi—push up-mu akan ditambah dua kali lipat lagi!” ancam Sersan Pelatih Nelson.

“Siap! Sersan Pelatih, Pak!” jawab Ames mantap.

*****

“—Acungkan jempol apabila kalian sudah siap untuk memulainya!—“ ujar Sersan Pelatih Nelson yang keluar dari dalam speakerphone yang menggantung di dekat Tim Strad.

Ames memandangi ketiga rekannya—mereka sedang bersiap untuk melakukan latihan pertempuran jarak dekat—dan bertekad bisa menyelesaikan latihan penyergapan hari ini lebih cepat dari hari kemarin.

Ames memberi isyarat tangan kepada ketiga rekannya—sudah siap?

Mereka bertiga menganggukkan kepala mereka masing-masing—menggunakan isyarat tangan sebagai wahana komunikasi dalam penyergapan adalah hal yang sangat penting untuk menjaga unsur dadakan.

Ames pun mengacungkan jempolnya ke arah sebuah kamera CCTV—di mana Sersan Pelatih Nelson mengawasi jalannya latihan di ruangan terpisah.

Bell berbunyi panjang—saatnya latihan dimulai!

Oisty langsung berjalan cepat menuju pintu masuk gedung, ia mengarahkan shotgun yang ia bawa ke gagang pintu, satu tembakan sudah cukup untuk membuat pintu itu terbuka sendiri—dan dengan cepat ia melemparkan granat kejut ke dalam ruangan.

Dua detik kemudian terdengar letusan granat kejut—Ames, Lamou, dan Collosus langsung merangsek masuk ke dalam gedung tersebut sembari terus dalam posisi senapan M4A1 versi latihan mereka siap menembak.

Ames merangsek ke arah depan, menghabisi dua sasaran tembak dengan enam kali tembakan presisi—dua di dada dan satu di kepala, begitu juga dengan Lamou yang merangsek ke arah kiri dan menghabisi satu sasaran tembak.

Collosus berhasil melumpuhkan musuh statisnya dengan tiga tembakan tepat di kepala untuk bisa menghabisi sasaran musuh yang dengan pengecutnya berlindung di balik papan sasaran bergambar rakyat sipil.

“Kiri aman!” jawab Lamou.

“Kanan aman!” jawab Collosus.

“Semuanya aman!” Ames menimpali.

Bel kedua berbunyi panjang—latihan selesai.

“—Latihan selesai! Sekarang senjata harus dalam dipasang pengaman!—” umum Sersan Pelatih Nelson.

*****

“—Berapa waktu yang kami dapatkan, Sersan Pelatih?—“ tanya Oisty.

“Dua menit! Lebih cepat tiga puluh detik dari latihan sebelumnya!” jawab Sersan Pelatih Nelson sembari memandangi Komandan Piccard yang mengikuti dari ruang terpisah.

“—Wow! Rekor baru telah tercipta lagi!—“ ujar Ames.

“—Usaha yang bagus sekali, kawan-kawan!—“ puji Lamou.

“—Kita perlu tantangan yang lebih sulit lagi!—“ keluh Oisty.

Sersan Pelatih Nelson memandangi Komandan Piccard dengan senyuman simpul.

“Kelihatannya hasil latihan intensifmu benar-benar bekerja dengan baik.” Ujar Komandan Piccard.

“Masih belum.” Jawab Sersan Pelatih Nelson, “Latihan pra-tugas belum mereka ikuti.”

Komandan Piccard menghela napas dan tersenyum kecut kepada rekan seperjuangannya itu.

*****

“Akhirnya, kita punya waktu bersantai sehari penuh!” ujar Lamou penuh syukur.

“Entah bagaimana kalau perkembangan latihan kita tidak berjalan semestinya—mungkin lebih buruk daripada latihan-latihan kita selama ini.” Timpal Oisty.

Akhirnya Sersan Pelatih Nelson memberikan predikat pada perkembangan latihan dasar beregu mereka berempat dengan hasil—cukup memuaskan dan sudah siap untuk menjalani latihan pra-tugas, sehingga pria berkulit hitam itu memberi hadiah kepada Tim Strad untuk libur satu hari penuh.

“Aku ingatkan—latihan sialan ini belum selesai!” potong Ames.

“Ini hanya istirahat sebelum besok kita akan masuk ke dalam latihan pra-tugas.” Ujar Collosus.

“Terima kasih sudah mengingatkannya, Collosus!” jawab Ames.

“Kira-kira, apa yang harus kita lakukan selama satu hari penuh ini? Diam saja di barak benar-benar membosankan!” ujar Oisty.

Perhatian mereka teralih kepada sebuah keramaian di lapangan upacara—mereka bisa melihat Sersan Pelatih Nelson sedang bersama dengan enam orang pelatih lainnya terlihat sedang berbincang-bincang.

Beberapa saat kemudian dari tempat mereka berkumpul, terlihat barisan prajurit dengan jumlah sekitar satu kompi—mereka mendekati keenam pelatih Area-49 itu dengan langkah yang cepat namun tertib dan kompak.

“Ada acara apa, yak?” tanya Lamou.

Ames memperhatikan gembolan-gembolan yang dibawa oleh prajurit-prajurit tersebut, “Kelihatannya Area-49 bakalan ramai.” Jawabnya.

“Seragam ACU.” Ujar Collosus.

“Angkatan Darat, dari seragam dan mimik wajah mereka—kelihatannya anak baru.” Timpal Oisty.

Seragam ACU—seragam loreng digital dengan kombinasi warna campuran gradasi putih dan hitam yang merupakan loreng monopoli Angkatan Darat Republik Demokratik Rune-Midgard, plus dengan sepatu bot dan topi patroli mereka yang bewarna biru dan tersimpul rapih—bahan seragam dan sepatu mereka pun terlihat masih licin tanpa cacat.

“Dari kesatuan mana, yah, kira-kira?” tanya Ames penasaran.

“Entahlah.” Jawab Oisty.

*****

Ini adalah salahsatu hari yang paling penting bagi Kapten Dany Lewis McKnight—Komandan Kompi A Resimen Khusus ke-78 atau yang sering dipanggil SLDR—yang baru saja didirikan oleh Angkatan Darat untuk menjawab kebutuhan pasukan dalam jumlah setingkat kompi berkemampuan tempur di atas rata-rata.

Kapten McKnight adalah komandan kompi A pertama, yang memimpin sembilan puluh prajurit pilihan dari berbagai divisi tempur di Angkatan Darat Republik Demokratik Rune-Midgard yang lolos seleksi penempatan SLDR yang masih berumur beberapa hari.

Aksi pertama mereka adalah di Kampanye Hazrabiah yang sudah berjalan hampir lebih dari seminggu, namun seperti layaknya prajurit yang akan diterjunkan ke medan tempur—mereka harus mengikuti latihan pra-tugas terlebih dahulu sebagai pembekalan dan pemantapan nantinya.

Kapten McKnight memerintahkan setiap komandan regunya yang berpangkat letnan dua untuk merapihkan barisan regu yang dipimpin oleh mereka masing-masing, tak perlu butuh waktu banyak—ketika para komandan regu memberi perintah, mereka langsung kembali menyusun barisan mereka untuk lebih rapih lagi.

Kapten McKnight tersenyum bangga—di dalam hatinya, ia pun bergegas mendekati Komandan Area-49 untuk memberi laporan, sedangkan wakilnya—Letnan Satu Daniel Cox, terus mengapit di sampingnya.

Ia juga tak kalah bangganya menjadi Wakil Komandan Kompi A pertama, sebagai anak dari keluarga militer yang selalu bertugas dana menjabat di posisi-posisi penting dan menentukan—Letnan Satu Cox berhasil meneruskan tradisi keluarganya, walau sempat sedikit kecewa hanya mendapatkan posisi runner-up—setidaknya ia masuk dalam jajaran perwira di kesatuan yang diharapkan sebagai satuan terbaik milik Angkatan Darat tersebut.

Ia memberi hormat kepada sang kolonel, “Lapor! Kompi A Resimen ke-78, semuanya sudah hadir—siap untuk melaksanakan acara penyambutan!” lapornya.

*****

Tim Strads akhirnya memutuskan untuk menghabiskan hari libur sehari mereka dengan menonton upacara penyambutan satuan yang tidak mereka kenali itu.

“Well, kelihatannya mereka memang akan latihan pra-tugas di sini seperti kita.” Ujar Ames yang menyimak upacara tersebut.

“Resimen ke-78, heh? Aku baru tahu ada satuan itu di Angkatan Darat.” Timpal Oisty.

“Kelihatannya kesatuan yang baru didirikan.” Ujar Collosus.

“Lihatlah wajah-wajah mereka—“ tunjuk Lamou, “Masih penuh semangat membara—tidak sabar untuk segera diterjunkan ke medan tempur yang sesungguhnya—Saya berandai-andai.” Wajah Lamou berubah jadi sendu, “Apakah ketika di medan pertempuran yang sebenarnya mereka tetap berwajah seperti itu?”

Ames menghela napas panjang ketika mendengar pertanyaan Lamou, “Hanya waktu yang bisa menjawabnya, Lamou—hanya waktu.” Jawabnya.

*****

Letnan Satu Cox mulai risih dengan keberadaan Tim Strads yang duduk-duduk menonton upacara penyambutan—yang kini sedang berlangsung pidato sambutan Komandan Area-49, ia merasa risih karena keberadaan empat orang berdandanan serampangan itu hadir tanpa diundang.

“Kapten.” bisik Letnan Satu Cox kepada Kapten McKnight.

Kapten McKnight yang sedang serius menyimak sambutan Komandan Area-49, mulai terganggu ketika wakilnya tersebut memanggilnya.

Letnan Cox mulai gelisah ketika dirinya diacuhkan oleh komandannya, “Kapten!” bisiknya dengan suara agak tinggi.

“Letnan, kau tahu kita sedang apa, kan?” jawab Kapten McKnight yang ikut-ikutan risih—tapi bukan risih terhadap keberadaan Tim Strads, tetapi wakilnya yang mengganggu konsentrasinya.

“Ya, Kapten—tapi ada yang ingin aku tunjukkan!”

Berantakanlah konsentrasi Kapten McKnight, ia pun mecuri pandang ke arah wakilnya, “Ada apa, sih?”

“Lihat mereka!” tunjuk Letnan Cox ke arah Tim Strads, “Siapa mereka?! Beraninya dengan dandanan seperti itu berada di lapangan upacara!”

Kapten McKnight memalingkan pandangannya ke Tim Strads—yang sejak tadi tak pernah ia sadari karena sangking seriusnya mengikuti upacara, ia bisa melihat Ames yang juga melihat dirinya—Ames pun memberi hormat ringan kepadanya.

Kapten McKnight hanya mengerutkan dahinya, “Entahlah—biarkan saja!”

*****

Komandan Area-49 mencium ulah yang dilakukan kedua perwira tertinggi di Kompi A tersebut, “Hmm!.. Kelihatannya sambutan saya kurang menarik.” Gumamnya.

Wajah Kapten McKnight dan Letnan Cox mulai terlihat pucat, keringat dingin mulai mengucur—Komandan Area-49 sedang menyindir mereka berdua, tapi mereka berdua tetap diam dan meneruskan sikap istirahat di tempat mereka.

“Kalau begitu kita lanjutkan ke acara selanjutnya, yaitu sambutan dari Pelatih Kepala Area-49, yaitu Sersan Pelatih Nelson!” umum Komandan Area-49, “Silahkan, Sersan Pelatih!” ujar Komandan Area-49 sembari meninggalkan mimbarnya.

Kali ini Sersan Pelatih Nelson tidak memakai pakaian training yang sering dipakai ketika ia melatih kemampuan dasar beregu Tim Strads—kini ia memakai seragam pakaian dinas harian militer bewarna coklat agak krem untuk kemejanya dan coklat tua kehitaman untuk celana bahannya, lengkap dengan pangkat dan tanda jasa di sekujur dadanya.

Sebenarnya aku kurang suka dengan tektek bengek protokoler seperti ini, tapi apa boleh buat—Saya, Sersan Pelatih Dwayne Nelson, Pelatih Kepala disini, mewakili seluruh jajaran tim pelatih yang ada, mengucapkan selamat datang di Batalion Pusat Pelatihan Khusus ke-49, atau yang sering dikenal dengan Area-49!

Area-49 dikenal sebagai kawah candradimukanya seluruh prajurit yang ada di Angkatan Bersenjata Republik Demokratik Rune-Midgard yang melaksanakan latihan pra-tugas.

Dalam dua bulan Kami sudah menyusun kurikulum jadwal latihan pra-tugas untuk kalian selama berada di tempat ini untuk selama dua bulan nanti—latihan penyesuaian lingkungan, latihan bahasa setempat, latihan simulasi pertempuran jarak dekat dan perkotaan yang disesuaikan dengan kondisi gedung setempat dan kondisi geografis setempat.

Katanya kalian adalah orang-orang terpilih di seluruh satuan yang ada di dalam jajaran Angkatan Darat Republik Demokratik Rune-Midgard! Tapi sayangnya kami di sini punya banyak cara untuk bisa membedakan mana yang benar-benar orang-orang terpilih atau orang-orang buangan—kami berharap kalian memang yang ada di pilihan pertama.

Sebagai penutup sambutan singkat ini—selamat datang di pengalaman paling buruk yang akan kalian ingat sampai kalian mati!” tutup Sersan Pelatih Nelson.

*****

Mata Kapten McKnight menyala-nyala ketika mendengar kata penutup dari Sersan Pelatih Nelson, kini saatnya untuk menunjukkan kalau ia memang adalah salahsatu dari yang terbaik dari yang terbaik—itulah alasan kenapa ia ingin masuk menjadi prajurit Angkatan Darat.

Menunjukkan kalau bahwa ia adalah orang terbaik—bagi seorang Letnan Cox, itu adalah ujian yang harus ia jawab dengan nilai sempurna, sebagai menunjukkan bahwa tradisi turun-temurun dari nenek moyangnya itu tetap terus mengalir.

*****

DARR!!

Collosus berhasil melepaskan tembakan tunggal dari senapan M4RIS yang berhasil ia rakit dengan sempurna ke arah papan sasaran tembak.

“Berapa, Sersan?” tanya Ames kepada Sersan Pelatih Johanson sembari menahan napas.

Sersan Pelatih Johanson tersenyum lebar, “ Empat menit satu detik.” Jawab sang pelatih bangga sembari menunjukkan stopwatch-nya.

“Uwoooooooo!!” sorak Unit Strads merayakan kehebatan Collosus.

“Aku hebat, kan?” tanya Collosus datar sembari mengacungkan tanda victory.

“Luar biasa, kawan!! Luar biasa!!” jawab Oist penuh semangat.

****

Collosus melepaskan tembakan penekan bersama Lamou, senapan mesin ringan Mk.48 Mod 0, ia tekan terus picunya dengan jeda dua detik, untuk menekan sasaran musuh yang ada di balik bunker.

“Strad-Lead, monitor!” panggil Lamou.

Beberapa meter dari posisi Collosus dan Lamou, Oist dan Ames sedang melakukan penikungan terhadap posisi musuh yang sedang sibuk berlindung di dalam bunker yang tak jauh dari posisi mereka.

“Disini Strad-Lead, sepuluh meter dari posisi musuh.” Jawab Ames sembari mengawasi sekitarnya dari balik tembok.

Tiba-tiba, dari apartemen sebelah muncul musuh yang mencoba menyergap mereka berdua.

Dengan cepat Oisty langsung menghabisi musuh mereka sebelum sempat menembaki posisi mereka.

*****

Sedangkan di tempat yang terpisah, Sersan Pelatih Nelson sedang mengawasi jalannya latihan tempur perkotaan Tim Strads dari dua belas monitor CCTV yang tersambung dengan kamera CCTV yang tersembunyi di setiap gedung-gedung di mana mereka berlatih.

“Selamat pagi, Sersan!” sapa Sersan Pelatih Johanson—salahsatu pelatih Area-49.

Sersan Pelatih Johanson ikut menonton aksi Tim Strads, hanya dalam beberapa waktu yang tidak lama, Sersan Pelatih Johanson terlihat kagum—dengan manuver dan kekompakan Tim Strad yang sedang berlatih untuk bisa keluar dari kepungan pasukan musuh di perkotaan Hazrabiah.

“Kelihatannya empat orang yang anda latih sudah mulai menunjukkan perkembangan pesat.”

“Aku akui—mereka berempat tinggal dipoles sedikit lagi.” Jawab Sersan Pelatih Nelson.

“Ah, jangan sekeras itu!” keluh Sersan Pelatih Johanson, “Untuk latihan pertama mereka—ini sudah bisa dibilang cukup baik, kok!”

Sersan Pelatih Johanson mulai penasaran, “Ngomong-ngomong. Dari kesatuan mana mereka? Kok, hanya empat orang saja?” tanya Sersan Pelatih Johanson.

“Sayang sekali—Aku tidak memiliki wewenang untuk menjawab pertanyaanmu.” Jawab Sersan Pelatih Nelson.

“Bolehkah aku menebaknya sendiri?” pinta Sersan Pelatih Johanson.

“Terserah.” Jawab Sersan Pelatih Nelson.

“Kalau dengan gaya rambut mereka yang tidak seperti gaya rambut 1-2-1 seperti prajurit pada umumnya—Orang-orang Junon?”

Sersan Pelatih Nelson tak menjawab ia hanya terus memantau perkembangan latihan Tim Strads.

“Kelihatannya benar.” Seloroh Sersan Johanson.

“—Eagle Eye. Di sini Strad-Lead! Kami berempat berhasil sampai di Titik Penjemputan!—“ laporan dari Ames mengalihkan pembicaraan kedua pelatih Area-49 tersebut.

Sersan Pelatih Nelson menyambut panggilan Ames, “Di sini Eagle Eye! Roger! Siapkan garis pertahanan! Jemputan berupa mobil humvee akan datang, kira-kira lima menit lagi!”

“—Di sini Strad-Lead. Roger!—“

*****

“Fiuh! Akhirnya selesai juga.” Ujar Ames lega—sembari melepas pengunci tali dagu helm MICH-nya.

“Panasnya seperti ini, kah? Collosus?” tanya Lamou sembari menyeka dahinya yang penuh dengan keringat sebesar biji semangka.

“Sekitar ini—tapi sebenarnya masih belum cukup panas seperti di Hazrabiah.” Jawab Collosus.

“Be—belum cukup panas?!” Ames terlihat sangat syok ketika mendengar perkataan Collosus.

“Jadi ingat kejadian dulu, panasnya membuatku mulai kesal—“ ujar Oisty, “Tapi setidaknya, akhirnya kita bisa mendapatkan senjata yang seperti kita inginkan!” tambahnya senang—sembari menunjukkan senapan M4RIS versi latihan—tapi sudah diperlengkapi dengan berbagai macam aksesoris.

Ames hanya menghela napas, “Itu hanya senapan latihan seperti yang kita pakai sebelumnya.” Ujar Ames.

“Hey! Sekarang, kan, kita bisa memodifikasinya sesuai dengan apa yang kita inginkan!” balas Oisty yang agak kesal karena sang ketua tim merusak suasana hatinya.

Sersan Pelatih Nelson mendatangi Tim Strads yang sedang menyempatkan diri untuk berleha-leha di lokasi steril—di mana lokasi pintu masuk dan Sersan Pelatih Nelson mengawasi tempat latihan.

“Walau sudah berlatih dasar beregu, kalian masih payah dalam kecepatan menyelesaikan misi!” omel Sersan Pelatih Nelson.

Tim Strads hanya bisa menghela napas sejenak dan bersikap sempurna di depan sang komandan ad-interim mereka.

“Ijin bertanya, pak!” pinta Ames.

“Silahkan!”

“Berapa waktu yang kami dapatkan?” tanya Ames.

“Dua puluh menit tiga puluh sembilan detik! Kalian lebih lamban dari sekawanan veteran manula! Kalian harus bisa menyelesaikannya dalam waktu dua puluh menit!” jawab Sersan Pelatih Nelson kesal.

Beberapa saat kemudian sebuah truk angkut prajurit yang dimiliki oleh Area-49 mendekati area steril, isinya—membawa dua regu Kompi A SLDR yang akan berlatih simulasi pertempuran kota Hazrabiah, persis yang baru saja dilakukan oleh Tim Strads.

“Well!.. Well!.. Well!.. Lihat siapa yang datang.” Ujar Ames.

*****

Kapten McKnight—yang ikut dengan Regu A—bergegas turun lebih dulu dari truk, “Ayo! Turun yang cepat! Tunjukkan kalau kalian memang orang-orang pilihan!” perintah sang komandan kompi.

“Hoo-ah!” jawab seisi Regu A yang langsung mengalir keluar dari bak truk.

Sedangkan di Regu C, Letnan Cox sedang mengomando seluruh anggota Regu C untuk turun dari truk dengan cepat namun tertib.

Dandanan mereka sama semua—Seragam dinas lapangan versi ACU, rompi anti-peluru tipe CIRAS land version lengkap dengan barang-barang yang mereka bawa di rompi masing-masing, helm antipeluru MICH, dan membawa senapan standar Angkatan Darat—M4RIS yang telah dimodifikasi menjadi versi latihan.

Kapten McKnight tercegak pandangan dengan Ames, mereka berdua hanya saling menyapa dengan bahasa tubuh—mengangguk kecil sebagai sapaan antara dua orang prajurit dari kesatuan yang berbeda, yang membedakan hanya—Kapten McKnight mengangguk kaku, sedangkan Ames mengangguk dan tersenyum ringan.

Sersan Pelatih Johanson—yang merupakan instruktur perang kota dan jarak dekat rombongan Kompi A SLDR—langsung menyambut Regu A dan Regu C yang sedang mengatur barisan.

“Soldier!” panggil Kapten McKnight dengan nama panggilan kesatuan SLDR, “Semuanya—istirahat di tempat! Grak!”

Dengan serentak mereka langsung mengambil posisi istirahat di tempat, seperti biasa—Letnan Cox berbaris di samping Kapten McKnight.

Setelah barisan sudah rapih, Sersan Pelatih Johanson langsung menyapa prajurit-prajurit yang akan ia latih hari ini, “Selamat pagi, prajurit!”

Para prajurit Soldier yang sedang beristirahat di tempat, langsung bersikap sempurna, “SELAMAT PAGI, PAK!!” jawab mereka serentak, lalu kembali istirahat di tempat.

“Bagus! Saya suka sekali dengan jawaban kalian!” puji Sersan Pelatih Johanson.

Mereka melakukannya lagi—bersikap sempurna dan menjawab, “TERIMA KASIH, PAK!!” lalu kembali istirahat di tempat.

*****

“Hmm!.. Menarik!” gumam Ames sembari menyalakan pemantik apinya.

“Sekompak apa pun mereka bergerak dan bicara—belum tentu bisa kompak ketika berada di medan tempur yang sebenarnya.” Ujar Oisty dengan nada sedikit mengejek.

Letnan Cox dan beberapa prajurit Soldier yang mendengar komentar Oisty, langsung mendelik tajam ke arah Oisty sejenak, apa maksudmu, brengsek?!—mungkin itu pertanyaan yang tersirat dari balik tatapan wajah sinis para prajurit Soldier.

Lamou pun langsung menyenggol Oisty sebagai tanda kalau si rambut jeruk itu melakukan hal yang tidak pantas.

*****

“Selamat pagi, prajurit!” sapa Sersan Pelatih Dan Halutz.

“Selamat pagi, Pak!” jawab Tim Strads serentak.

“Saya ucapkan selamat datang di kelas bahasa dan budaya! Saya—Sersan Pelatih Dan Halutz, adalah instuktur latihan ini! Kadang ada yang bertanya—untuk apa kelas bahasa dan budaya untuk aksi tembak-menembak kita nanti? Ada yang tahu jawabannya?”

Oisty langsung mengangkat tangan kanannya dengan penuh semangat, kegiatan dalam kelas seperti ini adalah kesukaannya—bukan—kecintaannya, malah.

“Ya!” tunjuk Sersan Pelatih Halutz.

“Seperti yang dikatakan oleh Sun Tzu! Kenalilah musuhmu!Sehingga pelajaran bahasa dan budaya adalah untuk mengenali situasi dan kondisi tempat kita bertugas nantinya. Sehingga—dengan kata lain, sebagai wadah pembekalan untuk mencegah kita kehilangan orientasi di tempat kita bertugas!” jawab Oisty panjang lebar.

“Bagus sekali!” puji Sersan Pelatih Halutz.

Oisty tersenyum bangga ketika mendapat pujian dari sang pelatih bahasa dan kebudayaan tersebut.

“Namamu Oisty, kan?” tebak Sersan Pelatih Halutz.

“Ya, Sersan Pelatih, Pak!” jawab Oisty penuh semangat.

“Hanya sedikit menambahkan—Dengan mengenal bahasa dan kebudayaan setempat, maka kita bisa dikenal oleh masyarakat sekitar, apabila masyarakat sekitar kenal, maka kita bisa mendapatkan simpati dari mereka, simpati mengarahkan kita kepada bantuan.”

“Apabila kita tidak mengenal bahasa dan kebudayaan masyarakat setempat, seperti sebaliknya—mereka cenderung tidak memiliki rasa simpati kepada kita, apabila kita diperparah dengan sikap kita yang tidak pedulian, bisa jadi mereka malah membenci kita, dan berbalik mendukung musuh.”

Sersan Pelatih Halutz memandangi Collosus, “Saya sudah membaca CV-mu. Katanya kamu adalah orang Hazrabiah. Bani mana tepatnya kalau saya boleh tahu?”

“Bani Yazid.” Jawab Collosus.

Sersan Pelatih Halutz mempehatikan wajah Collosus, “Tapi kalau dari ciri-ciri fisikmu—Kamu bukan seperti seorang Bani Yazid pada umumnya.” Nilai Sersan Pelatih Halutz.

“Aku terlahir dan besar di antara Bani Yazid.” Jawab Collosus.

“Maaf, kalau boleh tahu, bagaimana dengan kedua orang tua?”

“Ayahku dibunuh Bani Harbyi dan ibuku meninggal ketika aku baru saja dilahirkan.”

“Turut berduka cita, prajurit.” Ujar Sersan Pelatih Haltuz, “Kalau kau merasa lowong, cobalah untuk mencari tahu siapa dirimu yang sebenarnya.”

Collosus memandangi Sersan Pelatih Halutz dengan curiga. Sersan Pelatih Halutz bisa mencium bahasa tubuh Collosus, tak mau memperpanjang urusan ia langsung kembali ke topik pembicaraan yang sebenarnya.

“Baiklah! Kita mulai saja pelajaran pertama kita!”

*****

Sersan Pelatih Johanson memejam matanya, ia tak tega memandangi korban ketujuh dari Regu A yang terkena sergapan sasaran tembak yang bisa “membalas balik”, tak mau melihat korban bohong-bohongan makin berjatuhan, ia memutuskan untuk memencet bel.

“Sudah hampir tiga perempat dari jumlah pasukan kalian gugur—ini mimpi buruk bagiku! Latihan selesai, istirahatlah selama setengah jam, manfaatkan waktu itu dengan membahas ulang latihan tadi dan berkonsolidasi lagi!” umum Sersan Pelatih Johanson.

*****

Kapten McKnight menghela napas, ia hanya bisa melepas helm MICH-nya dan menggelengkan kepalanya, mereka terbantai ketika formasi terdepan menghadapi pertempuran sengit dengan sasaran-sasaran tembak—yang menembak dan bersembunyi di balik jendela dan tembok rumah.

Pertempuran berubah semakin lama dan menjengkelkan, sehingga beberapa prajurit di bagian sayap mulai ikut membantu untuk merobohkan sasaran-sasaran tembak yang mengesalkan itu, walhasil, muncul beberapa sasaran tembak yang meraih kesempatan emas tersebut dan menembaki prajurit-prajurit Soldier lainnya yang punggungnya tak terlindungi.

Kondisi area steril berubah menjadi dingin dan menegangkan, apalagi kedua perwira Kompi A terlihat sangat kecewa dan kesal.

“Bagaimana bisa kalian tidak melihat dua sasaran di ujung sana?!” tanya Letnan Cox kesal kepada dua orang SLDR berpangkat kopral dan sersan yang sedang bersikap sempurna—bersiap menerima dampratan sang wakil komandan.

“K—Keadaan terlalu cepat, kami kerepotan dengan tiga sasaran yang ada di jendela lantai dua, Pak!” jawab sang sersan.

“Saya sempat memergoki dua sasaran tersebut, tapi kebetulan amunisi saya habis, Pak!” timpal sang kopral.

“Alasan!—“ jawab Letnan Cox kesal.

Kapten McKnight memberi isyarat kepada Letnan Cox untuk menghentikan omelannya.

“Soldier!” panggil Kapten McKnight.

“Hoo-ah!” jawab kedua prajurit Soldier itu.

“Aku memanggil kepada para prajurit yang merasa seorang Soldier!” ujar Kapten McKnight agak meradang.

“Hoo-ah!” seluruh regu menjawab serentak.

“Kegagalan barusan adalah kegagalan bersama! Kita tidak waspada—kita meninggalkan tempat-tempat yang harus kita terus awasi dan terlalu terfokus pada posisi di mana pertempurannya paling sengit! Dan tanpa dinyana—musuh-musuh keluar dan menyerang kita dari titik-titik buta!”

“Kita mulai termakan adrenalin sehingga melupakan salahsatu dasar pertempuran—jangan ada titik buta! Kita harus jaga garis pengawasan masing-masing—apa pun yang terjadi, bahkan langit runtuh sekalipun! Nyawa satu sama lain ada di tangan kita satu dengan yang lainnya! Nyawaku, nyawamu, nyawa kalian semua—Mengerti?”

“Hoo-ah!”

*****

“Anak itu yang bernama McKnight benar-benar menonjol sikap kepemimpinannya.” Ujar Sersan Pelatih Nelson.

“Yeap! Angkatan Darat tidak salah menempatkan seorang komandan kompi dengan watak dan sikap seperti McKnight.” Timpal Sersan Pelatih Johanson.

“Pantas saja kau tidak keluar dari tenda ini, mendatangi mereka dan memberikan omelan seperti wakilnya itu.” Gumam Sersan Pelatih Nelson.

“Dengan adanya dia, aku merasa pekerjaanku jadi ringan.” Seloroh Sersan Pelatih Johanson enteng.

“Para anggotanya harus menyadari kalau mereka memiliki komandan yang baik. Untung saja ini hanya simulasi, kalau asli—mereka akan menyesal seumur hidup dipimpin oleh wakilnya yang nge-boss itu.” Ujar Sersan Pelatih Nelson.

Sersan Pelatih Johanson tersenyum sinis, “Keluarga Cox semuanya seperti itu, sok nge-boss, aku bingung kenapa orang-orang menjengkelkan seperti keluarga Cox memiliki nasib yang seberuntung ini—walau menjengkelkan? Berkah tujuh turunan, kah??”

“Entahlah—“ jawab Sersan Pelatih Nelson, ia pun memalingkan pandangannya ke sebuah mobil humvee yang membawa Tim Strads baru saja sampai di lokasi latihan pertempuran kota.

*****

“Pak!” sapa Ames sembari memberi hormat dan tersenyum.

Tapi sapaan ramahnya dibalas dengan semprotan, “Kalian datang terlambat! Cepat bersiap untuk latihan! Kalian hanya punya waktu lima menit untuk bersiap-siap di area steril!”

Tim Strads pun langsung bergegas menuju ruang logistik untuk bersiap-siap.

*****

“Apakah anda yakin?” tanya Lamou ragu.

“Yeap!” jawab Ames.

Oisty hanya menghela napas ketika mendengar jawaban dari Ames, “Aku hanya bisa berharap, kalau analisaku berhasil.”

“Aku yakin Sersan Pelatih Nelson melakukan hal itu.” Timpal Collosus yang sedang memasukkan kantong-kantong amunisi—berisi seratus peluru kaliber 5,56 milimeter dalam bentuk sabuk—ke dalam empat kantong amunisi di rompi CIRAS yang sudah dimodifikasi dengan perlengkapan MILES.

“Kalau memang berubah hanya ada satu kata—“ ujar Ames sembari memasukkan amunisi ke dalam ruang tembak senapan CQB-R-nya, “Ikut berubah atau mati!”

CEKREK!

*****

“—Heh! Tak kusangka kalian berani mengganti perlengkapan standar kami!—“ ujar Sersan Pelatih Nelson lewat radio.

“Kau tidak pernah mengatakan kalau kami tidak boleh mengganti senjata dan perlengkapan lainnya, Eagle Eye!” jawab Ames enteng.

“—Kalian punya satu menit untuk bersiap masuk ke dalam lokasi! Seperti biasa—kalian harus bisa selamat dari kepungan musuh yang ada di jalanan di depan kalian, dan sampai di Titik Penjemputan!—“

“Seperti yang kuduga.” Seloroh Oisty.

“Hebat, Oisty!” puji Lamou.

*****

Sersan Pelatih Nelson mencium ada yang mencurigakan dari ucapan Ames—tidak ada ucapannya yang bernada resah maupun tegang, ia sepertinya sudah mempersiapkan komentar dirinya—atau bahkan, mengetahui isi pikirannya.

Namun ia mencoba menampik pikiran itu, “Bersiap!” lalu menyalakan sistem simulasi, “MULAI!”

*****

“Enam sasaran berhasil mereka lumpuhkan, belum ada dari mereka yang tertembak, tinggal empat sasaran yang ada di bunker.” Ujar Sersan Pelatih Johanson yang mendengar sensor sasaran tembak keenam menyala.

*****

Kapten McKnight dan Kompi A pun penasaran dengan kehadiran unit tak bernama itu, mereka menghabiskan waktu istirahat dengan menonton jalannya latihan dari Tim Strads.

“Empat orang berhadapan dengan musuh sebanyak kita—luar biasa!” ujar Letnan Cox sinis dan remeh.

“Jangan memandang remeh mereka, Letnan.” Balas Kapten McKnight, “Diam dan simak latihan mereka baik-baik.”

“Dan berharap mereka tidak tewas di awal latihan.” Timpal Letnan Cox sinis.

*****

Tim Strads pun mulai bergerak maju, dengan formasi berbanjar lurus dengan jarak antarperorangan sekitar lima meter dengan urutan Ames, Oisty, Lamou, dan Collosus yang menjaga bagian belakang.

Tiba-tiba, muncul satu sasaran dari balik tiang listrik, tiga tembakan dari CQB-R Ames berhasil menjatuhkannya, tapi keadaan belum selesai, ketika sasaran pertama jatuh, muncul sasaran kedua dan ketiga dari balik sasaran tembak dan sebuah rumah berlantai dua.

Ames melepaskan tembakan kedua, dan Oisty langsung menyambut sasaran ketiga.

“Seperti yang si rambut jeruk ini bilang! Ayo ganti rute!” komando Ames sembari memasuki sebuah pekarangan rumah—ketiga rekannya pun ikut mengikutinya dari belakang.

*****

“Kurang ajar! Ternyata itu yang mereka maksud!” kutuk Sersan Pelatih Nelson.

“Hey! Apa yang mereka lakukan?” tanya Sersan Pelatih Johanson bingung.

“Mereka tahu kalau sekarang aku mengubah posisi sasaran tembak. Dan mereka mengantisipasinya dengan membuat rute lari yang baru!” Jawab Sersan Pelatih Nelson, tiba-tiba senyuman kuda mengembang dari mulutnya, “Mereka benar-benar bocah-bocah bajingan!”

Cahaya mata Sersan Pelatih Nelson berbeda sekarang, tidak ada perasaan kecewa atau kesal yang tersimpan dari sorot matanya, kali ini sorot mata rasa puas dan bangga.

“Anak-anak didikmu benar-benar luar biasa! Dengan waktu seketat ini, mereka melakukan improvisasi yang luar biasa!” puji Sersan Pelatih Johanson.

Sersan Pelatih Johanson memandangi barisan Kompi A yang sedang menonton Tim Strads, “Mereka semakin tangguh, tetangga mereka saja sudah mulai kegerahan.”

*****

Hanya butuh dua kali tembakan, sasaran tembak itu hanya bisa pasrah dibokong oleh Tim Strad dari belakang, ternyata sasaran tembak itu memiliki kelemahan yang sangat fatal—mereka memiliki kemampuan bertempur berhadap-hadapan layaknya seorang tentara berpengalaman tempur.

Tetapi ketika papan sasaran tembak itu dibokong dari belakang—mereka hanyalah lempengan baja semi tebal yang hanya bisa pasrah ditembaki dari belakang.

*****

“T—Tak kusangka!” ujar Letnan Cox menganga.

Kapten McKnight hanya bisa tersenyum dan menggelengkan kepalanya ketika melihat aksi-aksi pertempuran simulasi tim tak bernama itu yang begitu keluar dari aturan latihan simulasi, ia kembali mengingat-ingat aturan yang diberikan oleh Sersan Pelatih Johanson—lolos dari jalan tersebut dan sampai di Titik Penjemputan.

“Mereka benar-benar luar biasa.” Desis Kapten McKnight.

*****

“Kurasa aku harus mengubah peraturan latihan di Area-49.” Ujar Sersan Pelatih Nelson.

Tim Strads pun tertawa lepas ketika mendengar ucapan Sersan Pelatih Nelson—kecuali Collosus tentunya.

Sersan Pelatih Nelson membaca resume-resume para sersan pelatih lainnya yang melatih Tim Strad selama latihan pra-tugas, “Kelihatannya kalian akan keluar dari tempat ini lebih cepat lagi.” Ujarnya.

“Yeah! Ini yang ingin aku dengar!” sambut Oisty sembari melakukan toss dengan Ames yang tak kalah gembiranya.

“Maaf, kalau saya boleh bertanya—kapan kami akan menyelesaikan latihan ini?” tanya Lamou malu-malu.

“Entahlah. Tapi melihat laporan dari para instruktur lainnya yang mengatakan kalau mereka sudah tidak memiliki materi yang harus mereka ajarkan—secepatnya mungkin!” jawab Sersan Pelatih Nelson, “Tapi bukan berarti kalian mendapatkan legitimasi untuk bersantai-santai di sini! Kalian masih harus melakukan latihan sampai ada kebijaksanaan baru!”

“Siap, Sersan Pelatih, Pak!” jawab Tim Strads serentak dan penuh semangat.

“Kalian punya waktu istirahat selama satu jam sebelum latihan tembak reaksi!” ujar Sersan Pelatih Nelson sembari meninggalkan Tim Strads di area steril.

Tim Strads pun langsung melepaskan segala perlengkapan latihannya masing-masing, ketika Ames sedang merapihkan helm MICH-nya yang sudah ditempeli bola-bola sensor MILES, tiba-tiba terdengar seseorang memanggilnya.

“Yo!” ternyata Kapten McKnight—dan Letnan Cox datang menghampirinya.

“Oh, hai!” balas Ames sembari mengangkat tangan kanannya sebagai tanda menyapa.

“Kau menyapa seorang perwira, prajurit!” tegur Letnan Cox.

“Kata siapa aku prajurit?” balas Ames yang tidak kalah tidak simpatiknya.

“Perkenalkan—Namaku Danny McKnight!” sapa Kapten McKnight, “Dan ini, wakilku—Letnan Cox!” tunjuknya.

“Hoo-ah!” jawab Letnan Cox penuh semangat.

“Oh, senang berkenalan dengan kalian berdua.” Balas Ames.

“Nama anda?” tanya Kapten McKnight.

Ames kelihatan gelisah ketika mendapatkan pertanyaan tersebut, ia hanya bisa menggaruk kepalanya, namun akhirnya ia memutuskannya, “Panggil saja namaku—Ames!”

“Well, Ames—dari kesatuan mana kalian berempat? Dari cara kalian bertempur selama latihan tadi, kelihatannya kalian bukan hanya seorang prajurit yang hanya bisa diam di barak dan bertempur dengan peluru hampa dan MILES.”

“Mungkin kami hanya bisa mengatakan kalau—kami adalah kawan-kawan kalian.” Jawab Ames.

“Gaya bertempur kalian benar-benar hebat! Kami perlu belajar banyak dari kalian!” ujar Kapten McKnight.

Ames tersenyum mendengar pujian dari Kapten McKnight, “Para pelatih di sini lebih jauh berpengalaman daripada kami.”

“Pra-tugas ke Hazrabiah juga? Aku lihat dua kesatuan kita berlatih di tempat yang sama terus.”

“Tentunya! Mana mungkin kita berlatih di tempat yang sama tapi akan bertugas di wilayah yang berbeda.” Jawab Ames.

“Sopanlah sedikit, prajurit!” tegur Letnan Cox.

“Wow, tenanglah sedikit kawan!” ujar Ames sembari menelan ludahnya, “Ngomong-ngomong—dari kesatuan mana kalian?” tanya Ames.

“Kami dari Kompi A Resimen Khusus ke-78 atau kami sering memanggilnya dengan nama Soldier! Kompi kami adalah kompi pertama melakukan pra-tugas, karena kami yang akan bertugas di Hazrabiah untuk pertama kali.”

“Hmmm! Resimen Khusus ke-78. Aku belum pernah mendengar kesatuan itu.” Ujar Ames.

“Asal kau tahu saja, Soldier adalah kumpulan prajurit-prajurit Angkatan Darat Republik Rune-Midgard yang berasal dari macam kesatuan—dan disatukan dalam resimen ini! Kami adalah satuan pasukan khusus pertama di Rune-Midgard!” potong Letnan Cox.

“Oh.” Jawab Ames, “Pantas saja.”

“Whoa!Whoa! Whoa! Kelihatannya ada begitu bersemangat ingin bertemu dengan kami!” seloroh Oisty yang tiba-tiba muncul dari belakang Ames.

Ya ampun, bertambah lagi satu pembuat onar—ujar Ames dalam hati ketika melihat keberadaan Oisty yang dari tadi mencuri dengan pembicaraan antara dirinya dan kedua perwira Kompi A itu—dan tingkah polah Letnan Cox memancingnya untuk ikut.

Ketika keadaan mulai menghangat—bahkan memanas, seorang prajurit Soldier mendatangi mereka, “Kapten! Sersan Pelatih Johanson menginsturksikan kita untuk bersiap untuk latihan kembali!” lapornya.

“Baiklah!” jawab Kapten McKnight, “Sampai jumpa lagi, Ames!”

“Yeap! Semoga latihan kalian sukses!” balasnya.

*****

DOR! DOR! DOR!

“Oke, pasang pengaman dan sarungkan pistolmu.” Ujar Sersan Pelatih Nelson sembari menghampiri sasaran tembak pertama.

Ames mengunci dan menyarungkan pistol M1911A3-nya, ia menghampiri rekan-rekannya yang berada beberapa meter dari area menembak.

Sersan Pelatih Johanson sedang memeriksa rangkaian-rangkaian tembakan yang menembus sasaran-saran tembak yang ditembak oleh Ames, sedangkan anggota Strad yang lainnya, sedang memandangi sang instruktur menanti hasil dari tembak reaksi Ames.

“Tembakan yang bagus, Ames!” puji Lamou.

Ames membuka kacamata pengamannya sembari tersenyum lebar kepada Lamou, walau akhirnya ia memandangi Sersan Pelatih Nelson yang masih sibuk memeriksa sasaran tembaknya dengan harap-harap cemas.

Sedangkan dari kejauhan, Kapten McKnight sedang memperhatikan kemampuan menembak Ames.

“Orang itu hebat juga.” Gumam Kapten McKnight kagum.

Tak ada jawaban dari Letnan Cox yang juga sedang bersiap-siap untuk melakukan latihan tembak reaksi seperti yang Ames lakukan, “Ia masih payah—waktunya masih terpaut terlalu jauh dari rekor menembakku.” Jawabnya.

“Sudah siap, Cox?!” tanya Sersan Pelatih Johanson.

“Akan aku tunjukkan, bagaimana atlit tembak reaksi tercepat beraksi, Sersan!”

Letnan Cox langsung berjalan menuju garis start dengan langkah yang penuh pasti dan tersenyum jumawa ke arah Ames yang kelihatannya sedikit kecewa dengan hasil tembak reaksinya.

“Lihat dan pelajari!” ujar Letnan Cox lantang ke arah Tim Strads.

*****

“Wah! Dia bilang atlit tembak reaksi tercepat??” tanya Lamou heran.

“Ooh! Jadi ini orang yang bernama Daniel Cox itu?” timpal Oisty.

“Kau tahu siapa dia?” tanya Collosus datar.

“Dia adalah pemenang medali emas kategori tembak reaksi individu di tingkat universitas, nasional, dan Angkatan Bersenjata.” Jawab Oisty. “Ternyata orangnya belagak juga—persis dengan ayahnya—Senator DM Cox.”

“DM Cox?” tanya Lamou.

“Apa itu DM? Designated Marksman?” tanya Collosus.

Oisty menepuk jidatnya, “DM itu adalah kependekan dari Dewey Matheus—tapi orang lebih senang menyingkatnya jadi DM!” jawab Oisty agak kesal.

“Dia adalah senator konservatif ekstrim kanan. Ia adalah pemimpin dari para anggota senat yang menginginkan Rune-Midgard terlibat dalam perang.” Jawab Oisty.

“Dan kelihatannya, harapan ayahnya jadi kenyataan.” Ujar Ames sembari memperhatikan Letnan Cox yang sedang dalam posisi bersiap.

“MULAI!” pekik Sersan Pelatih Johanson.

*****

Dengan langkah teratur tapi cepat, Letnan Cox langsung bergerak menuju area pertama, dengan cepat ia mengenali dan membabat total enam sasaran tembak berupa papan baja tipis—dan tidak menembakkan laser inframerah.

Ames tertegun dengan kecepatan tangan Letnan Cox mengganti magasen pistol Beretta M9F-nya, seperti permainan sulap—itu yang bisa dijadikan gambaran bagaimana si peraih medali emas itu seperti mengeluarkan magasen dari telapak tangannya yang kosong.

Area Kedua bukan halangan bagi dirinya—enam sasaran, dua di depan, satu di kiri, satu di kanan, dan dua di belakangnya juga seperti makanan sehari-harinya, tak ada rasa gagap dan panik yang keluar dari bahasa tubuhnya.

Suara bunyi alaram mesin pencatat waktu tembak reaksi berbunyi panjang, sebagai tanda kalau Ames telah menjatuhkan seluruh papan sasaran—dan artinya tentu, latihan kali ini telah selesai.

“Selesai! Pindahkan posisi pistolmu ke posisi aman!” instruksi Sersan Pelatih Johanson.

Letnan Cox dengan secepat kilat melakukan prosedur pengamanan—mengokang pistol andalannya untuk membuang peluru yang sekiranya masih bersarang di dalam ruang tembak, melepas magasen, mengunci dan menyarungkan pistolnya.

Para anggota Kompi A yang menonton atraksi menembak Letnan Cox disambut tepuk-tangan yang meriah.

*****

“Bukan omong kosong! Ia seperti di film-film koboi!” ujar Oisty menganga.

“Aku akui. Aku belum pernah melihat orang dengan kecepatan tangan seperti itu.” Ujar Collosus.

“Aku juga.” Jawab Ames—yang dikenal oleh ketiga rekannya sebagai yang paling jago dalam urusan pertempuran jarak dekat—latihan tembak reaksi hanyalah makanan ringan untuknya.

Ames memandangi Letnan Cox yang memandanginya begitu remeh.

*****

“Hey, Unit Tak Bernama!” sapa Letnan Cox.

Semua anggota Strad terdiam dan memandangi Letnan Cox yang mendatangi tempat mereka bersantai-santi tadi.

Oisty memandanginya dengan tatapan tajam, “Apa yang kau inginkan?”

“Whoa, santai saja, kawan! Aku hanya ingin ke sini dengan maksud baik-baik, kok.” Ujar Letnan Cox dengan nada provokatif.

Apa tidak bisa memanggil kami dengan nada yang lebih sopan lagi?!” Oist semakin kesal, namun Lamou buru-buru menahannya.

“Oisty—cukup.” Ujar Ames, “Kalau begitu, ada apa, ya?” tanya Ames.

“Aku ingin bertanya sesuatu.” Jawab Letnan Cox.

“Tanya apa?” tanya Ames.

“Siapa yang paling jago dalam masalah tembak reaksi?” tanya Letnan Cox.

Ames menjawabnya dengan mengambil sebatang marlobor menthol-nya, menyalakan ujungnya, menghisapnya dalam-dalam, lalu menghembusnya tepat ke arah Letnan Cox, kontan letnan berlaga itu terbatuk-batuk dan memandangi Ames dengan wajah kesal.

“Kira-kira?” tanya Ames sembari tersenyum.

Letnan Cox mengangkat alis kanannya,” Oh ya?!”

Ames tahu maksud pertanyaan Letnan Cox, ia menyindir performa tembak reaksinya tadi.

“Perlu bukti?” tanya Ames, “Ngomong-ngomong. Komandanmu dan instrukturmu mengijinkannya?”

Letnan Cox tersenyum lebar.

“Dan! Kau sudah mulai kelewatan!” wanti-wanit Kapten McKnight.

“Aku mohon ijin, Kapten! Untuk hanya memastikan kalau mereka layak lebih baik dari satuan kita!”

Kapten McKnight terdiam beberapa saat, “Menang atau kalah, kau harus berjanji untuk tidak mengusik mereka lagi!” jawab Kapten McKnight dengan nada mengancam.

“Hoo-ah! Kapten!” jawab Letnan Cox, ia pun memandangi Sersan Pelatih Johanson.

*****

Sersan Pelatih Johanson balik memalingkan pandangannya ke Sersan Pelatih Nelson yang dari tadi begitu menikmati gesekan antara Tim Strads dengan Kompi A.

“Sedikit kompetisi juga bagus.” Ujar Sersan Pelatih Nelson.

Sersan Pelatih Johanson memandangi Letnan Cox dan Ames yang terlihat dari kedua mata mereka—minta untuk segera diijinkan untuk mengadu kemampuan.

“Baiklah! Kita undi dengan koin untuk mengetahui siapa yang lebih dulu menembak!” jawab Sersan Pelatih Johanson.

“Tidak perlu, Pak!” tolak Ames, “Biarkan Letnan Cox yang memulainya lebih dulu.” Tambahnya sembari memandangi Letnan Cox.

Kau terlalu percaya diri, kawan—ujar Letnan Cox dalam hati.

“Bagaimana, Letnan?” tanya Sersan Pelatih Johanson.

“Tak masalah!” jawab Letnan Cox mantap.

“Letnan Cox—persiapkan alat pengaman, pistol, dan lima amunisi!” jawab Sersan Pelatih Johanson.

*****

Letnan Cox sudah berada di garis start area latihan tembak reaksi, ia melakukan pemanasan sembari memandangi dalam-dalam lokasi tembak reaksinya tersebut—menghapal baik-baik di mana saja lokasi sasaran-sasaran plat baja itu berada.

“Sudah siap?” tanya Sersan Pelatih Johanson yang menjadi wasitnya.

Letnan Cox dengan cepat mengambil pistol M9F-nya dari sarung pistolnya dan melakukan kuda-kuda siap menembak—dengan moncong pistol berada di bawah tanah, ia pun mengangguk kepada sang instruktur.

“Bersiap!”

Letnan Cox memusatkan pikirannya pada pisir pistolnya.

“MULAI!!”

Kali ini, Letnan Cox mengerahkan segala kemampuan menembaknya, langkahnya pun lebih cepat, dan gerakannya jauh lebih gesit—plus, tembakannya pun tetap tepat dan bertenaga, Sersan Pelatih Johanson pun ikut dalam kecepatannya yang mengagumkan.

DOR!!

Akan kutunjukkan, bagaimana seorang peraih medali emas tembak reaksi mengeluarkan segala kemampuannya!—pekiknya dalam hati.

DOR!!

Akan kutunjukkan, bagaimana salahsatu dari keluarga Cox menunjukkan superioritasnya hampir sepuluh generasi!

DOR!!

Keluarga Cox!

DOR!!

Keluarga manusia tanpa cacat!!

DOR!!

Sasaran terakhir sudah berhasil dijatuhkan—tandanya giliran Letnan Cox sudah selesai.

“Tiga menit lima puluh detik! Luar biasa—rekor baru!” umum Sersan Pelatih Johanson.

*****

“A—Apa?! Tiga menit lima puluh detik??” Oisty terlihat tak percaya dengan catatan waktu yang dikeluarkan oleh mesin pencatat waktu.

“Kecepatannya.” Ujar Collosus yang ikut terpana dengan aksi Letnan Cox.

“Saya belum pernah melihat orang segesit angin seperti dia.” Ujar Lamou yang tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya itu.

Semua anggota Kompi A bersorak lebih gegap-gempita ketika mendengar rekor tembak reaksi Letnan Cox dipecahkan oleh dirinya sendiri, rasa bangga akan wakil komandan mereka menyeruak keluar tak terkendali.

“Hidup, Letnan Cox!!” peki para anggota Kompi A.

Namun Tim Strads dan Sersan Pelatih Nelson tidak ikut bertepuk tangan—hanya Ames yang bertepuk tangan untuk memuji kemampuan menembak Letnan Cox yang luar biasa.

“Ames!” panggil Sersan Pelatih Nelson.

“Ya, Sersan Pelatih?” jawab Ames santai yang sedang memunguti lima magasen pistol M1911A3-nya.

“Apakah kau benar, anak didik si Blitz sialan itu?” tanya Sersan Pelatih Nelson.

Ames terdiam ketika mendengar pertanyaan dari instrukturnya itu, “Ya—tentu!” jawab Ames mantap.

“Kalau begitu, tunjukkan kepada kami kalau kau memang anak didiknya—bukan Cuma mengaku-ngaku saja.” Tantang Sersan Pelatih Nelson.

“Siap, Sersan Pelatih Nelson!” jawab Ames.

“Kau, siap, prajurit?” tanya Sersan Pelatih Johanson.

Letnan Cox tertegun dan heran ketika melihat cara Ames menyelipkan ketiga magasen pistolnya yang benar-benar jauh dari pakem tembak reaksi pada umumnya—ia menyelipkan kelima magasen pistolnya di antara jari tangan kirinya!

“Dari tadi malahan!” jawab Ames.

“Kalau begitu—bersiap!!”

Ames langsung bersiap dengan kuda-kuda siap menembak.

“MULAI!!”

Tak disangka, ternyata kecepatan Ames tidak jauh berbeda dengan kecepatan bereaksi Letnan Cox tadi—yang ia katakan sudah dikerahkan secara maksimal, namun ada yang jauh berbeda antara Ames dengan Letnan Cox—ia memiliki daya tembak dan kecepatan mengisi amunisi yang jauh lebih cepat dari Letnan Cox!

Di area satu, Letnan Cox menghabisi empat sasaran, sedangkan Ames—di area satu ia sudah berhasil membabat enam sasaran tembak, empat sasaran di area satu, namun dengan teknik menembaknya, ia berhasil membuat pelurunya masih bisa menembus pelat baja dan menghajar pelat di area tiga di balik pelat sasaran tembak itu.

Ditambah dengan ia tinggal memutar tangan kirinya untuk mengisi magasen yang baru, tanpa harus bersusah-payah merogoh kantong amunisi pistol di pinggang, dengan cara mengisi amunisi dan menjatuhkan sasaran tembak yang mengerikan—Ames benar-benar menghemat waktu banyak!

DAR!!

Sasaran tembak terakhir berhasil dijatuhkan, bell berbunyi panjang disertai dengan catatan waktu yang sudah selesai diproses, Letnan Cox dan Sersan Pelatih Johanson tertegun ketika melihat angka yang tercatat di mesin penghitung.

“Tiga menit.” Eja Sersan Pelatih Nelson tak percaya.

Semua anggota Kompi A tak ada yang mengeluarkan suara sedikitpun, Letnan Cox yang mereka andalkan, dan yang mereka yakini kalau dialah penembak reaksi tercepat—hilang seketika ketika melihat catatan waktu yang terekam mesin.

“Bag—Bagaimana bisa dengan cara itu, mesin bisa mencatatnya??!” tanya Letnan Cox yang masih belum bisa menerima kenyataan.

“Hmm, bagaimana aku harus menjawabnya, yah?” gumam Ames sembari menggaruk kepalanya, “Percaya atau tidak—begitulah catatannya.” Jawab Ames enteng.

*****

Tim Strads yang lain langsung menyambut Ames dengan penuh sukacita—dan juga penuh kekaguman, mereka mengungkapkan ketakpercayaan kalau si komandan tim mereka memiliki kemampuan sehebat itu, dan minta maaf karena sudah meremehkan dan pesimis dengan kemampuan Ames.

“Ah! Aku hanya mengeluarkan kemampuanku kalau itu perlu.” Jawab Ames enteng.

“Kau selayaknya menjadi atlit tembak reaksi juga!” desak Oisty.

“Maunya, sih! Tapi kelihatannya kondisi kita tidak memungkinkan untuk itu.” Balas Ames merendah.

*****

Sersan Pelatih Nelson tidak ikut menyambut kemenangan anak didiknya itu, ia hanya duduk dan memperhatikan Letnan Cox yang masih kelihatan masih tidak percaya dan tidak terima dengan apa yang ia lihat barusan.

Prajurit yang terlalu sombong—merasa sebagai orang yang paling cepat dalam kemampuan tembak reaksi, ia melupakan istilah di atas langit masih ada langit, dan naif—ia mengandalkan kemampuan tembak reaksi hanya untuk sebuah medali emas, dasar pemikirannya harus segera ia ubah sebelum terjun ke medan peperangan yang sebenarnya!—ujar Sersan Pelatih Nelson dalam hati.

Ia mengalihkan pandangannya ke Ames.

Berbeda dengan Ames—ia berlatih tembak reaksi untuk membuatnya bisa menghabisi musuhnya dengan cepat dan tepat, untuk bisa tetap hidup, ia tidak akan memperdulikan harus mengikuti aturan-aturan baku dalam olahraga menembak cepat tersebut, yang ada—ia harus bisa menghabisi musuh yang menghadangnya lebih cepat lagi.

Cox salah menantang lawan!

=== THE STRADS : EPISODE SEMBILAN, SELESAI ===