Selasa, 22 Februari 2011

THE STRADS (EPISODE LIMA)

BRUMMM!!

Bunyi mesin ringkih truk uzur itu menuju pangkalan, semakin lama truk itu semakin menjauhi pandangan Strad yang sedang meringkuk di semak-semak yang ada di pinggiran jalan.

Punggungnya sedikit sakit, setelah ia berhasil sampai di sebrang, ia langsung menjatuhkan dirinya dari gelantungan dan langsung menggulingkan tubuhnya ke samping, menuju hutan terdekat untuk kembali menyusup.

Dengan hati-hati ia masuk ke dalam hutan yang ada di sebrang jalan utama, kali ini ia harus lebih berhati-hati, karena ia berada kawasan ring tengah pangkalan militer—ring tengah tentu lebih ketat dari ring luar, lebih banyak patroli yang kelayapan di ring tengah dan masih banyak lagi tantangan yang akan ia hadapi.

Ia bergegas merayap menuju sebuah hutan kecil yang ada di dekatnya, bergerak menuju posisi menembaknya dengan menembus lebatnya pepohonan dan semak belukar—plus, kondisi geografis yang menanjak-nanjak.

Limapuluh lagi—gumamnya dalam hati sembari merayap kembali diantara semak belukar.

=== THE STRADS : EPISODE LIMA, DIMULAI ===

Sedangkan di Komando, Anne terlihat lelah memandangi posisi Strad yang sedang menyusuri bumi seperti seekor ular di tengah-tengah puluhan tentara Galbadia bersenjata lengkap, sudah hampir seharian ia melototi pergerakan Strad—rasa khawatirnya tak kunjung hilang.

Komandan Piccard datang ke Ruang Komando, dengan cappucino dan roti sobek sebagai sarapannya, “Bagaimana dengan Strad?” tanya Komandan Piccard yang menghampirinya dengan wajah segar-bugar.

“P—Pak!” sapanya gagap, ia buru-buru memasang kacamatanya dan merapikan rambutnya yang kusut, “Menurut citra satelit, ia sudah berada kira-kira limapuluh kilometer lagi dari pangkalan.” Jawab Anne.

Komandan Piccard memandangi layar LCD raksasa yang ada di depannya, tapi ia terlihat tidak terlalu sekhawatir Anne, seperti melihat tayangan berita, namun sang komandan sedikit terkejut ketika melihat mimik wajah Anne yang kusut tak keruan.

“Ya ampun!” gumam Komandan Piccard, “Kau sudah terlalu lelah—segeralah istirahat!” ujar Komandan Piccard.

“Ah, tak apa, Pak!.. Saya ma—masih kuat!” Anne mengelak.

Komandan Piccard memicingkan matanya, “Jangan sok tangguh, Sersan!” hardik sang komandan, “Jangan memaksakan diri sendiri, kelelahan adalah musuh dari konsentrasi, konsentrasi adalah tuntutan utama dalam tugas ini!”

Komandan Piccard langsung mengambil mantel Anne yang berada di gantungan jaket di pojok Ruang Komando, ia langsung menyodorkannya kepada Anne yang masih ragu untuk meninggalkan komandannya sendirian, “Ini.” Serah Komandan Piccard.

“A—Apakah bapak yakin untuk ditinggal sendirian?” tanya Anne ragu.

“Jangan remehkan kemampuanku.” Jawab Komandan Piccard sinis, “Sekarang segera pulang ke rumahmu, tidurlah dengan nyenyak sampai kau bangun, makan, dan segera kembali!” tambah Komandan Piccard.

Anne sembunyi-sembunyi tersenyum bangga kepada Komandan Piccard, walau ia bicara dengan nada ketus dan terlihat kaku—untuk menjaga wibawanya—ia adalah sosok komandan yang begitu memperhatikan anggotanya.

“Permisi, Pak!” pamitnya.

Komandan Piccard mengangguk, ia pun memandangi Anne yang berjalan loyo meninggalkan ruang komando, dan sekarang, Komandan Piccard sendirian di ruang komando, mengawasi pergerakan Strad yang membosankan sambil menikmati sarapannya sendirian.

*****

Sedangkan di Ruang Rapat Istana, para hadirin acara uji kelaikan sedang bersiap-siap untuk menanti acara pengambilan undian untuk mendapatkan giliran memaparkan rencana kerja kedua orang terpilih mengenai rencana mereka ketika diangkat menjadi panglima perang di Kekaisaran Galbadia.

Seorang anggota dari Protokoler Istana yang didaulat menjadi pembawa acara, sudah bersiap-siap di sebuah mimbar kecil yang didirikan di daerah tengah ruang rapat untuk sang pembawa acara.

Sang pembawa acara membungkukkan badannya kepada Kaisar Deling sebagai tanda mohon ijin acara dimulai, sang kaisar pun mengangguk malas sebagai ucapakan—laksanakan sajalah!

“Atas restu dari Yang Mulia Kaisar, kita mulai acara uji kelaikan ini. Masuk ke sesi pertama, yaitu—undian untuk—“

“Biarkan Jendral Manstein lebih dulu untuk memaparkan pandangan dan rencananya!” titah Kaisar Deling membelah susunan acara dan membuat para hadirin tertegun dan saling berpandangan.

*****

“Ada apa ini?” tanya staff Jendral von Lierben yang berpangkat kapten kepada rekannya yang berpangkat mayor—tapi sang mayor hanya bisa menjawab dengan wajah ikut bingung dan mengangkat kedua bahunya.

*****

“Saya harap Jendral von Lierben tidak keberatan?” tanya Kaisar Deling dengan nada sinis.

“Sangat tidak keberatan, Yang Mulia.” Jawab Jendral von Lierben mantap.

“Silahkan, Jendral Manstein.” Ujar Kaisar Deling menyilakan.

Jendral Manstein pun memulai memaparkan rencananya ketika ia menjabat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Kekaisaran Galbadia dengan cepat, namun apa yang ia katakan begitu jelas dan mantap di telinga para pendengarnya, apalagi ditambah dengan bahan-bahan presentasinya yang sudah disiapkan oleh para staff-nya dengan matang.

Jendral von Lierben hanya bisa duduk dan diam di kursinya, memandangi bagaimana Jendral Manstein yang begitu berhasrat untuk menjadi seorang panglima, visinya yang ingin menjadikan militer Kekaisaran Galbadia menjadi pendukung utama rencana dan penjaga kepemimpinan sang kaisar.

Kaisar Deling juga terlihat setuju dan bangga dengan Jendral Manstein, ia seperti menemukan orang yang benar-benar cocok dengan penilaiannya untuk dijadikan rekan hidupnya

*****

“Kenapa Jendral von Lierben terlihat begitu tidak semangat dalam uji kompetensi ini?” tanya seorang bangsawan utama dari provinsi Rodenheim kepada rekannya—bangsawan utama dari provinsi Utterbaan—yang duduk di sampingnya.

“Memangnya kau tidak tahu gosip yang sedang berkembang antara Jendral von Lierben dan Yang Mulia Kaisar?” balas Bangsawan Utama Utterbaan dengan suara berbisik.

Obrolan gosip pun dimulai selama Jendral Manstein berbicara di depan para hadirin yang lain—persis seperti dua orang ibu-ibu yang sedang asyik mempergunjingkan tentang rumah tangga orang yang mereka pergunjingkan.

Sedangkan Bangsawan Utama Julius van Rodenburg—bangsawan utama yang memimpin provinsi Rodenburg, memandangi terus Jendral von Lierben yang terlihat tidak begitu serius memperhatikan rivalnya—Jendral Manstein—dengan tatapan tajam.

*****

“Menarik sekali, Jendral.” Puji Kaisar Deling, “Dan sekarang giliran anda—Jendral von Lierben.”

Jendral von Lierben langsung berdiri dari tempat duduknya dan memandangi keluarga istana yang memandanginya dengan mimik wajah antipati.

Kaisar Deling bisa merasakan cahaya mata Jendral von Lierben yang masih menyala membara, walah kelopak matanya penuh dengan kerutan mata karena umur yang sudah mulai beranjak senja.

“Tiga puluh tahun yang lalu, negara kita jatuh ke tangan pemerintahan boneka Republik Galbadia yang kita tahu, dikendalikan oleh negara-negara pemenang perang, menghukum mati almarhum Yang Mulia Kaisar Damian Deling, menjual martabat bangsa kita dengan melepaskan empat provinsi yang jadi bagian dari Kekaisaran Galbadia.”

“Sepuluh tahun kita mengalami ketidakjelasan hidup. Rakyat hidup dalam kemiskinan dan kelaparan—termasuk kami, saya dan Jendral Manstein, yang hidup sebagai seorang prajurit, sebagai bagian rakyat yang teraniaya, kami pun berharap datangnya masa yang lebih baik.”

“Akhirnya harapan itu datang, ketika kami kenal dan bergabung dalam gerakan restorasi kekaisaran yang dipimpin oleh Yang Mulia Kaisar Deling yang waktu itu masih seorang pangeran yang harus hidup dalam keadaan dikejar-kejar oleh pemerintahan boneka republik.”

“Perjuangan politik, propaganda, dan bersenjata melawan pemerintah republik kami lakukan secara sembunyi-sembunyi—dan tidak kurang rekan-rekan dekat kami harus merelakan nyawa mereka demi masa depan yang lebih baik—kembali membangkitkan Kekaisaran Galbadia.”

“Akhirnya darah dan air mata yang menetes dari tubuh dan kelopak mata kami dan rekan-rekan kami yang sudah mendahului kami semua, menunjukkan hasil—Rakyat Galbadia kembali memiliki harapan dan tak segan untuk menunjukkan keyakinan akan masa depan lebih baik itu—dan akhirnya berujung pada Yang Mulia Kaisar naik tahta, menggantikan almarhum Yang Mulia Kaisar Damian Deling.”

“Yang Mulia Kaisar Vincent Deling adalah negarawan sejati, ia bukanlah tipe seorang politikus kotor yang akan mencampakkan rakyatnya ketika sudah menikmati kekuasaan, dalam waktu hanya dua puluh lima tahun, Yang Mulia Kaisar memimpin bangsa ini untuk berjuang untuk mengembalikan lagi harga diri bangsa kita.”

“Hasilnya?—Seperti yang kita tahu, kekuatan ekonomi dan militer kita kembali bangkit—bahkan lebih besar dari kekuatan militer semenjak kekalahan perang di Perang Estharian Pertama. Dan pada saat kita kembali kuat—saatnya kita merebut kembali yang seharusnya jadi milik kita!”

“Ulmk, Rabavian, Hidenburg, dan puncaknya—Eiderland, berhasil kembali ke pelukan ibu pertiwi, berkat perngorbanan tulus putra-putri kita di garis depan, dan kecemerlangan serta kejeniusan menyusun taktik tempur para perwira-perwira tinggi dalam melawan para penjajah.”

“Dalam benak dan idealisme saya ketika bergabung dengan Yang Mulia Kaisar Deling adalah—mengembalikan kejayaan militer bangsa dan merebut kembali keempat provinsi kita—sehingga, kita bisa hidup dalam kedamaian. Namun ternyata saya terlalu naif ketika Yang Mulia Kaisar Deling memulai kampanye militer menyerang Esthar, Turkjiyan, serta Trabia.”

*****

Semua hadirin tersentak, seperti kepala mereka baru saja dipaku dengan palu godam yang keras, suasana mulai riuh dan memanas, namun Kaisar Deling hanya diam mendengar pidato Jendral von Lierben.

“Sebuah sistem pemerintahan yang kuat adalah tidak adanya perpecahan di antara satu dan yang lainnya—apalagi di saat perang seperti ini, yang membutuhkan pihak-pihak yang satu pandangan satu sama lainnya.”

“Saya memang mendengar adanya isu-isu antara saya dengan Yang Mulia Kaisar ada konflik di antara kita berdua, dan saya nyatakan—memang benar! Dan dengan ini, saya nyatakan, saya—Jendral Mathias von Lierben, mengundurkan diri dari Angkatan Bersenjata Kekaisaran Galbadia!” tutupnya mantap.

Ruang Rapat Istana semakin kacau, para staff Jendral von Lierben pun saling bertanya satu sama lain mengenai kenyelenehan yang dilakukan oleh Jendral von Lierben—tak ada yang menyangka Jendral von Lierben begitu senekat ini.

*****

Kaisar Deling mengangkat tangan kirinya, semua hadirin yang mulai ribut langsung menenangkan diri mereka masing-masing—hanya dalam waktu beberapa detik saja, Ruang Rapat Istana yang rusuh langsung kembali tenang dan lengang.

“Jendral von Lierben!” panggil Kaisar Deling dengan suara lantang.

Semua hadirin tersentak dengan suara sang kaisar—Jendral von Lierben dalam masalah besar.

“Tak kusangka kau bisa selancang itu kepadaku—Kaisar dari Galbadia!” sang kaisar meradang, “Tapi sampai saat ini, kau tidak pernah mengecewakanku, Jendral!”

Semua hadirin tertegun dengan perkataan Kaisar Deling.

“Gigih, karismatik, cedas, peduli terhadap anak buahnya—dan berani mengatakan apa yang harus ia katakan, walau itu akan membuat Tuhan murka sekalipun! Jarang ada yang berani menyatakan bahwa dirinya bersebrangan denganku.”

“Aku sebenarnya mengharapkan engkau yang menjadi panglimaku! Tapi semenjak aku mendengar kabar kalau kau mulai melawanku, aku mulai kecewa! Aku berharap Jendral Manstein tidak akan mengecewakanku kelak!“

“Jendral von Lierben!” panggil Kaisar Deling.

“Ya, Yang Mulia Kaisar!” jawab Jendral von Lierben.

“Apa masih ada tugas yang harus kau selesaikan?”

“Hanya acara peresmian pangkalan militer kita yang baru di Donna-Fratelaii, Yang Mulia!”

“Selesaikan dan serahkan surat pengunduran dirimu secepatnya.” Titah Kaisar Deling.

“Siap, Yang Mulia!”

“Hasil dari uji kelayakan ini sudah ditentukan—Jendral Carl Manstein, Komandan Wilayah Timur Angkatan Bersenjata Kekaisaran Galbadia, aku angkat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Kekaisaran Galbadia!” umum Kaisar Deling.

*****

Ruang kabin belakang terasa sunyi, Jendral von Lierben hanya asyik memandangi gedung-gedung dan perumahan warga Deling City yang dekat dengan kawasan Reichstaag—penuh dengan gemerlapan lampu, tak terasa, acara uji kelayakan itu berlangsung hingga larut malam.

“J—Jendral. Ijin untuk bicara!” pinta Kapten Albert yang mencoba memecahkan keadaan yang dingin dan canggung.

“Ya, Kapten.” Jendral von Lierben menyilakan.

“Apakah kita bisa mengabdi kepada komandan pengganti anda, Pak?!” tanya Kapten Albert khawatir.

“Kami khawatir posisi Komandan Wilayah Barat berikutnya diisi oleh kaum ekstrimis!” timpal Mayor Mieke.

“Apa butir pertama dari sumpah prajurit?” tanya Jendral von Lierben.

Kapten Albert dan Mayor Mieke tertegun ketika mendengar pertanyaan Jendral von Lierben. “Membela dan melindungi ibu pertiwi yaitu Kekaisaran Galbadia—“ jawab Mayor Mieke. “Dan membela dan melindungi anak ibu pertiwi—yaitu Kaisar Galbadia.” Timpal Kapten Albert.

Jendral von Lierben tersenyum bangga, “Bagus! Kalian masih mengingatnya!” ujarnya, “Kalian adalah orang-orang terbaikku—setialah pada sumpah prajurit kalian.”

“Ijin untuk bicara, Pak.” Pinta Mayor Mieke, “Anu—bagaimana dengan rencana Jendral Manstein yang dipaparkan ketika uji kelayakan tadi?”

Jendral von Lierben mengingat-ingat kembali rencana-rencana ke depan yang sudah disiapkan oleh Jendral Manstein, ketika ia terpilih sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Kekaisaran Galbadia.

“Aku hanya bisa berharap setelah rencana itu selesai, tidak ada lagi peperangan yang berkelanjutan—walau agak mustahil.” Jawab Jendral von Lierben dengan tatapan nanar.

*****

“Siapa yang akan menggantikan posisi Komandan Wilayah Barat?” tanya Kaisar Deling.

“Kalau Yang Mulia berkenan, Jendral Rubentopp akan menjadi pengganti Jendral von Lierben.” Jawab Jendral Manstein.

“Mengisi posisi-posisi vital di militer dengan orang-orang SS—Langkah pintar, Jendral.” Puji Pangeran Jahn Kohler yang satu mobil dengan pamannya dan Jendral Manstein.

“Hanya untuk memastikan tidak akan ada yang menjegal rencana jangka panjang Yang Mulia Kaisar kelak.” Jawab Jendral Manstein. “Lalu—Bagaimana dengan Dewan Jendral?”

Kaisar Deling terdiam sejenak ketika mendengar nama—Dewan Jendral—ditanyakan oleh Jendral Manstein. “Sampai sekarang statusnya masih kategori D-3. Masih belum ada bukti-bukti kecil yang menuju isu tersebut—termasuk isu Jendral von Lierben terlibat dalam gerakan rahasia itu.”

“Mudah-mudahan hanya taktik perang urat syaraf yang dihembuskan Sekutu.” Ujar Jendral Manstein.

HARI KEENAM, PUKUL 1345
GEDUNG MARKAS BESAR KOMANDO WILAYAH BARAT

LOIRE, ESTHAR

“Hati-hati memindahkannya! Itu adalah hadiah terbaik yang pernah saya miliki!” ujar Jendral von Lierben kepada seorang pesuruh kantor yang sedang kerepotan memindahkan lukisan sang jendral dan istrinya sebesar satu setengah meter.

Pengawasannya tak cuma pada lukisannya saja, ia juga mengawasi pesuruh-pesuruh kantor yang sedang memindahkan barang-barang pribadinya ke dalam kardus-kardus kertas yang ada.

Sesaat, ia memandangi sedih isi kantornya yang sudah mulai dikosongkan, dari meja kerjanya yang setia menemani tugasnya selama bertahun-tahun masa bertugasnya sebagai Komandan Wilayah Barat, dari berdirinya kembali Kekaisaran Galbadia sampai mengajukan pengunduran diri kepada sang kaisar.

Mina—sekretaris kantornya datang mengetuk pintu, “Perimisi, Pak. Ada yang mau bertemu dengan anda.” Ujar Mina dengan suara serak-serak basahnya.

Jendral von Lierben mengerutkan dahinya, penasaran siapa yang datang menemuinya. “Suruh dia masuk, Mina.” Jawab Jendral von Lierben kepada sekretarisnya yang berumur setengah baya itu.

Beberapa saat kemudian, ia akhirnya mengetahui siapa yang mau menemuinya, sosok pria berumur sekitar tiga puluh tahunan, berwajah tegas, dengan matanya yang tajam namun menyala-nyala, datang menghadapnya.

“Jendral von Nikole! Tumben sekali sempat ke mari, bukankah ada tugas di Turkjiyan Tenggara?” sambutnya senang.

“Kebetulan, saya sedang ada urusan di Loire, apalagi saya mendengar bapak sedang berada di markas—kebetulan sekali, dan maka saya buru-buru ke sini.”

“Silahkan duduk!”

“Terima kasih, Jendral.” Jawab Jendral Hadrian von Nikole.

*****

Jendral Hadrian von Nikole, ia adalah Komandan Korps Falschirmjager—salahsatu pasukan khusus andalan Angkatan Bersenjata Kekaisaran Galbadia, ia juga bagian dari lingkaran keluarga istana, ibunya adalah kakak sepupu Kaisar Deling, menikah dengan seorang militer bermarga von Nikole—maka dari itu ia membawa marga von Nikole, bukan Deling.

“Bagaimana dengan operasi kontrapemberontak di Turkjiyan Tenggara? Kebetulan aku belum sempat kembali untuk menanyakannya kemarin.” tanya Jendral von Lierben.

“Korps yang anda lahirkan ini tidak pernah mengecewakan ibu pertiwi, Jendral. Tapi—kami sedikit terusik dengan keberadaan SS yang mencoba mengklaim usaha kita.” Jawab Jendral von Nikole.

Jendral von Lierben menghela napasnya sejenak, “Itulah yang membedakan antara politik dan militer.”gumamnya.

“Bagaimana dengan rapat uji kelayakan di Reichstaag?” tanya Jendral von Nikole.

“Jendral Manstein yang terpilih.”

Johaan terhenyak ketika mendengar jawaban dari Jendral von Lierben, “Bagaimana bisa?! Bukankah anda jauh lebih baik dari Jendral Manstein?!” tanya Jendral von Nikole tak percaya.

“Tugasku sudah selesai.” Jawab Jendral von Lierben.

“Maksud bapak?”

“Tugasku hanya merebut kembali kewibawaan negara kita dengan mengembalikan sistem kekaisaran dan merebut kembali empat provinsi Galbadia yang diambil oleh negara-negara pemenang perang, semuanya sudah selesai, dan saatnya aku berhenti.”

“Lalu—bagaimana dengan kampanye aneksasi Esthar waktu itu—Valentine Berdarah?”

Jendral von Lierben berjalan perlahan ke jendela ruang kerjanya, dan memandangi langit di luar sana, “Hal yang aku sesali sampai saat ini, ketika aku tak berani tegas pada tujuanku.” Jawabnya.

“Saya jadi ingat ketika bapak mengeluhkan Kaisar Deling mulai menyerang negara-negara pemenang perang—yang sudah bukan idealisme anda.”

“Tidak cuma negara-negara pemenang perang—tetapi seluruh dunia.” Timpal Jendral von Lierben, ia memandangi kedua tangannya, “Karena keraguanku untuk mengatakan tidak, aku harus merelakan kepergian putri bungsuku—tapi, akhirnya aku sudah bisa mengatakan tidak atas keinginan Yang Mulia Kaisar.”

“Maka dari itu anda menolak dan mengundurkan diri.” Timpal Jendral von Nikole. “Jendral.”

Jendral von Lierben berbalik dan memandang Jendral von Nikole.

“Anda dan saya adalah salahsatu dari orang-orang yang menolak dengan kepemimpinan Kaisar Deling yang mulai keterlaluan.”

“Maksudmu?” tanya Jendral von Lierben.

“Kami membentuk gerakan rahasia untuk mengumpulkan para orang-orang penting yang tidak setuju dengan jalan kepemimpinan kaisar dan menanti saat yang tepat untuk menghentikan sang kaisar bertindak lebih jauh—bergabunglah!”

Jendral von Lierben tertegun mendengar jawaban Jendral von Nikole, tak disangka Jendral von Nikole ternyata merupakan anggota dari kelompok yang diisukan sedang mencoba merongrong kewibawaan istana dari bawah tanah.

Namun Jendral von Lierben hanya tersenyum dan menjawab, “Maaf—aku tidak bisa.” Tolaknya lembut.

“Kenapa, Jendral? Anda sendiri menyatakan kalau tindakan sang kaisar sekarang makin di luar batas!” tanya Jendral von Nikole.

“Saya tidak bisa melukai perasaan Yang Mulia Kaisar lebih banyak lagi. Sudah cukup saya melukainya dengan menyatakan menolak rencana beliau dan mengundurkan diri.” Jawab Jendral von Lierben. “—Apalagi, hampir selama ini saya tidak menghabiskan waktu dengan keluarga di rumah, dan tentunya—sudah mulai sakit-sakitan, saya hanya bakal jadi beban bagi negara kalau terus memaksakan diri.”

“Sayang sekali, Jendral.” Gumam Jendral von Nikole.

“Sekarang sudah saatnya yang muda-muda turun gelanggang—orang-orang tua seperti kami sudah saatnya untuk jadi penonton.”

HARI KEENAM, PUKUL 1500
PANGKALAN MILITER DONNA-FRATELAII
DONNA-FRATELAII
ESTHAR

Sang komandan pangkalan sedang sibuk menginspeksi acara peresmian pangkalan militer yang baru berdiri dan menjalankan fungsinya seminggu yang lalu itu, ini adalah tugas pertamanya setelah mendapatkan surat pengangkatan dirinya menjadi komandan pangkalan militer Galbadia yang terdekat dengan perbatasan Esthar dengan Hazrabiah.

Setelah menyelesaikan enam bulan masa pembangunannya yang menguras banyak sekali dana pertahanan untuk mendirikan pangkalan militer yang ada di Barat Esthar, kini pasukan persekutuan Galbadia dengan Esthar, tak perlu bersusah payah mengirimkan kekuatannya langsung dari Loire—ibukota Esthar—mereka tinggal mengirimkan pasukan dari Donna-Fratelaii untuk mempersingkat waktu.

Sang komandan pangkalan begitu teliti memperhatikan dekorasi dan tata letak mimbar pidato yang ada di tengah-tengah lapangan upacara, dimana Jendral von Lierben akan memberikan sambutannya, dua bendera Angkatan Bersenjata Kekaisaran Galbadia dan bendera Kekaisaran Galbadia mengapit gagah mimbar tersebut.

Lalu memperhatikan empat orang prajurit yang sedang sibuk memasang seutas pita panjang dengan renda-renda warna-warni dengan warna-warna dasar bendera militer Galbadia yang dipasang menutupi pintu masuk markas utama pangkalan tersebut, pita berenda-renda itu akan dipotong Jendral von Lierben sebagai tanda pangkalan ini mulai bertugas sebagai mestinya.

Komandan pangkalan juga memantau sersan yang bertugas melatih Kompi G yang didaulat untuk jadi kolone senapan—satuan kecil yang sering turun langsung dalam berbagai selebrasi-selebrasi kemiliteran, menghibur para hadirin yang ada di dalam acara itu dengan memainkan senjata warna-warni mereka secara akrobatik.

Para prajurit Kompi G terlihat sangat serius memutarkan senapan G3 dicat warna-warni mereka ke sana ke mari dengan gesit dan kompak sembari menderapkan kaki-kaki mereka dengan serentak seirama dengan aba-aba yang diperintahkan sang sersan.

*****

Seorang kapten terlihat berlari tergesa-gesa mendekati sang komandan, sambil membawa berkas dari kertas HVS sebanyak sepuluh lembar di tangan kirinya dan kerepotan dan kelelahan di wajahnya.

“Kau lama sekali, Kapten!..” cibir sang komandan pangkalan kepada ajudannya yang tetap memberi hormat kepadanya walau bernapas tersengal-sengal.

”Maaf, Pak. Saya baru saja selesai inspeksi pengamanan pangkalan.” Jawabnya, ”—ini susunan acara yang bapak butuhkan.” sodor sang kapten sambil menyeka keringat di dahinya.

Sang Kolonel membaca kembali susunan protokol acara yang akan dilaksanakan besok—Jendral von Lierben mendarat di pangkalan udara menggunakan pesawat A340-300 milik Skuadron VIP ke-7, Jendral von Lierben diantar ke lapangan upacara dengan menggunakan mobil mercedes-benz khusus tamu VIP, wakil komandannya menjadi komandan upacara sedangkan Jendral von Lierben menjadi inspektur upacara, dan seterusnya, dan seterusnya.

“Oh ya! Soal makan siang. Saya ingin persiapan makan siangnya, hidangan makan siang langsung siap disajikan di prasmanan sebelum sang jendral menggunting pita, jadi ketika acara peresmian selesai, jendral dan yang lainnya bisa langsung menyantap hidangan!” dikte sang Kolonel.

”Baik, Pak!” jawab sang kapten menyanggupi.

”Oh ya! Saya lupa sesuatu, Kapten. Bagaimana dengan pengamanan di sekitar pangkalan?” tanya si Kolonel.

”Sesuai protap untuk pangkalan militer yang berada di wilayah perang, Pak! Semakin dekat dengan Hari-H, patroli diperbanyak, dan sistem keamanan diperketat.” jawab si kapten.

Komandan pangkalan mengangguk puas ketika mendengar jawaban dari si kapten. ”Bagus! Lanjutkan tugasmu.” jawab si Kolonel puas.

Sang komandan pangkalan bisa mendengar bunyi deru empat helikopter Tiger yang baru saja menyelesaikan tugas patroli pengamanannya, dengan hati-hati para pilot membawa helikopter pemburu itu mendekati pangkalannya sembari menurunkan kecepatan dan ketinggian helikopternya.

Si jendral berkacak pinggang memandangi helikopter Tiger yang sedang menjejakkan kaki-kakinya ke helipad dari kejauhan, ”Ngomong-ngomong soal protap.. Bagaimana menurutmu mengenai prosedur pengamanan ini, kapten?” tanya sang komandan kepada kaptennya.

Sang kapten melongo, bingung dengan pertanyaan sang komandan, “Maaf?” tanya sang kapten.

“Y—Ya ini! Apalagi kita sudah menggunakan sistem pengamanan baru itu.” tunjuk sang komandan kepada pos-pos jaga dan beberapa patroli bersenjata yang mengitari luar dan dalam pagar terluar pangkalan yang bisa langsung menghentikan jantung manusia yang terlalu nekat—atau terlalu bodoh—untuk menyentuh sulaman besi sepuluh juta voltnya, dengan seekor anjing penjaga bersama mereka, “Apa menurutmu tidak terlalu berlebihan?”

Si ajudan mengerti dengan pertanyaan komandannya, dengan sistem pelacak gerakan yang baru saja mereka pasang, tak perlu pasukan patroli yang banyak-banyak, apabila ada pergerakan yang mencurigakan, mereka tinggal langsung mengerahkan pasukan garnisun menuju posisi yang dicurigai ada penyusup.

“Dengan alat baru itu, saya rasa ini terlalu berlebihan.” Jawab sang kapten polos.

“Hah!.. Jangankan kalau ada yang mau menyerang Jendral von Lierben nanti, dia keburu mampus ditembak pos jaga jembatan—kalau tidak mampus hanyut dibawa sungai!” potong sang komandan sombong.

Mereka berdua pun tertawa kompak.

HARI KEENAM, PUKUL 2245
LIMA KILOMETER DARI PANGKALAN MILITER DONNA-FRATELAII
DONNA-FRATELAII
REPUBLIK ESTHAR

Hari keenam sedang mendung tebal, tak ada sedikit pun cahaya rembulan maupun bintang yang bersinar menyinari Donna-Fratelaii, benar-benar kelam, sepertinya alam benar-benar resah atas kedatangan Strad yang merayap di bumi seperti seekor ular.

Angin pun bertiup sangat kencang dan dingin, orang-orang akan takut mendengar deru angin yang menembus dedaunan yang seperti suara lolongan dari penghuni dunia lain yang jadi mitos-mitos seram warga setempat untuk membuat orang-orang malas keluar rumah.

Namun berbeda dengan Strad, kondisi seperti inilah yang diinginkan olehnya, ia bisa merayap sesuka hatinya di tengah rerumputan luas tanpa takut cahaya bulan yang membuatnya kesulitan untuk bersembunyi.

Tiupan angin kencang membuat suara gemerisik rayapannya sama seperti bunyi hembusan angin kencang yang menerpa semak belukar dan rerumputan yang ia sebrangi, kondisi cuaca sejelek ini membuat orang-orang urung untuk keluar, termasuk para pasukan yang enggan berpatroli karena dinginnya yang menusuk tulang—kecuali memang terpaksa.

Namun Strad pun berharap, kalau cuaca buruk ini tidak akan terjadi pada Hari-H, angin sekencang ini akan membuatnya sangat kesulitan untuk mengukur sasaran tembaknya nanti, lebih buruknya lagi, pelurunya bakalan melenceng dari ukuran yang diharapkannya, ia memang terlatih untuk bisa menembak dalam keadaan seperti ini—tapi ia berharap cuaca seburuk ini tidak terus berlanjut pada waktunya.

Tubuhnya sudah mulai pegal dan kesakitan, enam hari ia hajar dengan merayap plus minimnya waktu istirahat karena ia harus sampai ke posisi menembak agar bisa menghabiskan waktu sampai besok dengan beristirahat total.

Kaki kirinya juga saban hari terus membetulkan rerumputan dan semak belukar yang tergilas tubuhnya untuk menghilangkan jejaknya, pakaian ghillie-nya yang setia melindungi seluruh tubuhnya itu sudah penuh dengan tumpukan daun-daun busuk dan ranting-ranting mati, ia seperti sebongkah kayu mati yang sedang merayap menuju pangkalan.

*****

Tiba-tiba, terlihat kilatan cahaya yang melesat ke arahnya, spontan Strad berhenti mematung, sembari matanya yang tajam itu memperhatikan kilatan cahaya itu.

Cahaya bewarna oranye itu menari-nari di tengah gelapnya rerumputan luas yang membatasi lembah bersungai yang sudah ia susuri dengan bukit yang membawanya ke posisi menembaknya nanti, lalu, beberapa saat kemudian lima cahaya oranye bermunculan.

Strad yakin, pasukan patroli dengan bermodalkan senter untuk alat bantu penglihatan mereka, sedang bergerak ke arahnya, Strad juga sudah tak punya kesempatan untuk mundur dan mencari persembunyian, senter-senter itu terus menerangi posisinya.

Satu-satunya cara hanyalah terus diam mematung, layaknya sebongkah kayu mati yang juga ada disekitarnya, berharap musuh yang hanya seratus meter darinya itu tak banyak, perlahan-lahan ia mencabut pistol M1911A3 berperedamnya dari balik celana pakaian ghillie -nya untuk alat bela diri apabila nanti ia dipergoki musuh.

Ternyata tak cuma enam senter, lima senter lagi ikut bermunculan, Strad tahu, ia sedang berhadapan dengan sejumlah besar pasukan patroli! Suara mereka pun semakin jelas sayup-sayup terdengar di tengah deru angin malam yang menusuk tulang.

Menit demi menit berjalan, suara-suara tak jelas itu semakin terdengar seperti sebuah obrolan mengenai keluhan mereka di ketentaraan, mengutuk komandan mereka yang menugaskan mereka untuk patroli di cuaca sedingin dan seburuk ini, dan bulan depan seorang dari mereka akan melepas masa lajangnya.

Suara langkah kaki mereka pun semakin terdengar jelas menginjak-injak rerumputan yang ada, cahaya senter pun semakin terang menyinari sekeliling mereka, titik-titik api dari rokok mereka pun terlihat jelas di mata kelinci Strad yang ditutupi make-up kamuflase.

Strad mendengar jelas sesuatu berjalan menghantami rerumputan dengan cepat, Strad terkejut menahan napas ketika melihat sosok hitam panjang yang keluar dari rerumputan itu.

Ular mamba hitam yang terkenal sangat agresif dan beracun itu muncul di hadapannya, Strad bisa melihat mamba hitam besar dan sepanjang satu setengah meter itu juga terkejut melihatnya ada di hadapannya.

Mamba hitam itu mendesis keras, kepalanya yang seperti anak panah itu berdiri tegak, ia mengancam kepada Strad untuk menyingkir dari jalannya, namun Strad hanya diam mematung, memandangi kedua mata mamba hitam itu.

Mamba hitam itu semakin kesal dengan kesombongan Strad, ia semakin serius, mulutnya yang mengatup dan menjulurkan lidah bercabangnya itu mulai terbuka, menunjukkan sepasang taring panjang yang beracun itu.

Strad tidak punya pilihan lain, ia harus tetap diam mematung, berduel dengan mamba hitam itu ketika empat orang prajurit Galbadia dengan bersenjata lengkap sedang berdiri tak jauh di sampingnya, hanya ada dua pilihan—mati dipatuk ular, atau dipergoki patroli musuh bersenjata lengkap.

Aku adalah kayu mati, kayu mati—Dua kalimat itu yang ia terus bacakan dalam hati dan ia pikirkan dalam benaknya, matanya terus memandangi mata mamba hitam yang naik pitam itu, sembari membaca mantranya.

Aku adalah aku yang kau pikirkan—itu yang tertanam selama ia berlatih sebagai seorang sniper.

Ternyata bimbingan dari pelatihnya mulai jadi kenyataan—Mamba hitam itu mulai terhipnotis, ular yang terkenal sangat beracun itu mulai terlihat ragu, dari waspada dan yakin kalau di depannya adalah musuh, mulai diliputi rasa ragu kalau yang ada di hadapannya memang musuh atau bongkahan kayu mati?

Dan akhirnya mamba hitam itu yakin, kalau yang ada di hadapannya itu—hanyalah—kayu mati.

Mamba hitam itu kembali merayap melewati kayu mati yang menghalangi jalannya dengan tenang, patroli musuh pun mulai berjalan meninggalkannya, namun ia tak langsung berjalan meninggalkan mereka, tapi ia dengan sabar menunggu beberapa lama.

Hampir satu jam ia mematung di tengah-tengah rerumputan yang tertiup angin malam, suasana sudah benar-benar sepi, hanya hembusan horor ciptaan alam, ia pun menarik napas lega, menyarungkan kembali pistolnya, dan kembali merayap menuju tujuannya yang sudah berada di depan matanya sembari bernapas lega.

Napas Strad berderu kencang, merayap di bukit seterjal itu memang memakan banyak tenaga, memang, di sekitar bukit terlihat aman—ia tinggal berdiri dan berjalan mendaki santai menuju puncaknya—namun Strad tak mau ambil resiko, ia rela merayapi bukit—yang rasanya seperti panjat tebing—daripada harus membuka usaha penyusupannya selama enam hari itu.

Tapi, usahanya dibalas dengan lebatnya pepohonan dan semak belukar yang ada disekitar puncak bukit dan juga pemandangan luas seluruh pangkalan militer, dari puncak bukit itu, ia bisa melihat seisi kompleks pangkalan militer itu.

Tank-tank Leopard dan berbagai macam panser yang terparkir tak jauh dari lapangan upacara yang sudah sembilanpuluh lima persen rampung, hangar-hangar dan barak-barak prajurit yang berjejer rapi, puluhan prajurit dengan berbagai pangkat lalu-lalang di dalamnya, ia juga bisa melihat para garnisun yang menjaga menara jaga hilir-mudik sembari mengawasi sekitar pangkalan.

Ia pun bisa bernapas lega, ia sudah sampai di sasarannya yang harus ia lewati selama enam hari sesuai dengan batas waktu, ia pun memutuskan untuk beristirahat sejenak—sembari menikmati MRE dan air mineral segar dari camelbak-nya—dan memperhatikan pangkalan militer itu dari balik rerimbunan semak-semak lebat, termasuk lapangan upacara.

Strad juga mencoba mengkonfirmasikan ulang posisinya, ternyata GPS portabel-nya berhasil meyakinkannya kalau Strad berada di posisi menembak.

Dan ada yang membuatnya tertarik, sebuah mimbar warna-warni yang berdiri sendirian di tengah-tengah lapangan upacara—mimbar itu akan jadi saksi bisu di mana Strad menghabisi Jendral von Lierben.

Setelah selesai mengukur ulang posisinya dan arah titik penjemputan, ia tahu kemana ia harus pergi, dengan lari sekencang-kencangnya ke arah kanannya ia berada—terus, ia akan sampai di titik penjemputan yang berjarak satu kilometer dalam waktu sepuluh menit—sudah rahasia umum kalau waktu yang dibutuhkan untuk kabur lebih cepat daripada waktu untuk menyusupnya selama ini.

Ia pun mengeset alaram jam digitalnya ke pukul 0900—jam tangannya bukan sembarang jam tangan digital, alaramnya bisa dipasang dalam mode diam—di mana ketika alaram menyala, jam tangan digitalnya akan bergetar kencang.

Lalu, ia pun memejamkan matanya dalam persembunyiannya, menghabiskan malam untuk mengisi penuh tenaganya yang akan habis untuk berlari kabur dari sarang singa itu, membiarkan kebisingan pangkalan militer dan ributnya seorang prajurit melakukan check sound di mimbar.

HARI KEENAM, PUKUL 0105 WAKTU SETEMPAT
DISTRIK J’ TAIME
LOIRE
REPUBLIK ESTHAR

Jendral von Lierben menaruh rangkaian bunga di atas sebuah bangku taman di Distrik J’taime yang sudah dibangun kembali setelah luluh-lantak dibombardir militer Kekaisaran Galbadia, ia terus meratapi bangku-bangku taman yang sepi itu, mengingat kembali dosanya.

Memerintahkan Angkatan Udara Kekaisaran membombardir kawasan Ibukota Loire tepat pada tanggal 14 Februari yang mengorbankan 50 ribu orang yang sedang merayakan hari kasih sayang dua belas tahun yang lalu, yang kini dikenal dengan nama Valentine Berdarah hanya untuk membalas perbuatan Esthar yang membombardir Deling City pada Perang Estharian Pertama.

Akhirnya, dengan mengorbankan limapuluh ribu jiwa terenggut nyawanya, dan seratus ribu jiwa kehilangan tempat tinggalnya, Galbadia berhasil membuat musuh bebuyutannya menyerah kalah dan rela dipimpin oleh Galbadia.

Distrik J’Taime adalah distrik yang paling menderita atas pembombardiran dadakan itu, karena distrik tersebut adalah pusat hiburan rakyat Esthar dan juga pusat kediaman terpadat warga Loire.

Sedangkan beberapa anggota dari Korps Pengamanan—yang berpakaian dan bermantel hitam-hitam—terus mengawasi sekitar taman dengan mata penuh awas dan tajam, tangan-tangan mereka tak pernah keluar dari mantel mereka sambil terus berkoordinasi satu sama lain dengan handsfree radio mereka, takut ada Resistance—kelompok pemberontak Esthar—yang mengetahui kunjungan rahasia sang jendral.

Mereka harus lebih berhati-hati, karena kunjungan ke Loire adalah kunjungan insidentil, sehingga tidak ada pasukan tambahan untuk mengawal kunjungan Jendral von Lierben, Jendral von Lierben adalah jendral yang paling dibenci oleh orang-orang Esthar, atas kepemimpinannya—banyak korban tak berdosa yang berjatuhan.

Komandan pengawal memandangi jam tangannya, lalu ia berjalan mendekati sang jendral yang sedang mengheningkan cipta di depan sebuah bangku yang hancur terkena bom.

“Jendral, sudah waktunya untuk kita berangkat kembali.” Bisik komandan pengawalnya.

Jendral von Lierben menyelesaikan mengheningkanciptanya, dilanjutkan dengan berdoa sejenak, dan kepalanya mengangguk, kaki tuanya meninggalkan Distrik J’taime untuk kembali melanjutkan perjalanannya ke Donna-Fratelaii dengan kawalan ketat.

“Maafkan saya.” bisiknya sembari berpaling ke arah bangku itu sesaat.

HARI-H, PUKUL 0745
GEDUNG STRIFE
JUNON
REPUBLIK RUNE-MIDGARD

Dua mobil GMC hitam yang mengawal sedan lincoln tipe limousine warna hitamnya Jendral Halberdier berhenti tepat di samping tangga pintu masuk Gedung Strife—istana kepresidenan Rune-Midgard, disusul oleh mobil dinas sang jendral dan beberapa mobil GMC hitam lainnya yang menguntit di belakang, seorang anggota marinir dengan seragam lengkap langsung menghampiri dan membukakan pintu kanan kabin belakang.

Sang Jendral dengan mantel abu-abu gelap langsung menyembul keluar dari dalam mobil dinas panjang dan mewahnya yang diapit oleh mobil-mobil SUV bertampang seram itu dengan perlahan, ia pun mengangguk sejenak ketika sang marinir yang membukakan pintunya memberikan hormat.

Empat marinir yang tergabung dalam satuan dinas penjagaan istana, yang menjaga pintu masuk istana, langsung berdiri tegap dan memberikan hormat senjata kepadanya dengan senapan M14 masing-masing, walau ia dikejar-kejar waktu, Jendral Halberdier masih sempat membalas hormat keempat marinir itu.

Beberapa saat kemudian seorang staff Gedung Strife—dengan pakaian dan jas hitam-hitam—keluar dari dalam pintu masuk gedung untuk menyambut sang jendral, ”Selamat datang, Jendral.” Sambutnya serius.

“Apa semuanya sudah berkumpul?” tanya Jendral Halberdier tanpa basa-basi.

”Hanya presiden yang belum datang, Pak.” jawab staff Gedung Strife itu yang berlari kecil mencoba tetap berada di samping sang jendral yang berjalan terburu-buru ke ruang rapat.

Jendral Halberdier mendapat panggilan langsung dari sang presiden untuk hadir dalam rapat darurat di Gedung Strife, Jendral Halberdier yakin kalau rapat dadakan itu untuk membahas pengangkatan Jendral Manstein sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Kekaisaran Galbadia dan pengumuman perombakan besar-besaran jajaran perwira tinggi markas besar dan lapangan Angkatan Bersenjata Kekaisaran Galbadia.

*****

Dua orang anggota dinas rahasia yang bersenjatakan MP5K dengan sigap membukakan pintu lorong yang mengarah ke Ruang Gainsborough—ruang rapat kepresidenan—dan menyilakan Jendral Halberdier masuk ke dalamnya.

”Terima kasih.” balas sang jendral bintang lima itu.

Sepuluh anggota dinas rahasia yang menjaga sepanjang lorong menuju Gedung Gainsborough langsung berdiri tegap dan menyapa sang jendral yang melintas dengan wajah serius dan dingin di balik kacamata hitam.

Akhirnya sebuah pintu terbuat dari kayu eboni dengan plituran warna keemasan yang berukiran peristiwa “Rapat Kenegaraan Pertama”—peristiwa dimana presiden pertama bersama para pejabat negara pertama Rune-Midgard sedang melakukan rapat kenegaraan pertama mereka di Ruang Gainsborough—dan dua orang dinas rahasia bersenjata menghadangnya, tanpa basa-basi mereka membukakan pintu Ruang Gainsborough untuk jendral bintang lima itu.

Jendral Halberdier bisa melihat para anggota kabinet utama dan pejabat tinggi negara yang diundang sudah berkumpul di ruang rapat Gainsborough, mereka terlihat saling berdiskusi serius sambil menunggu kedatangan sang presiden yang belum kunjung datang.

Mentri Politik dan Keamanan—yang membawahi Departemen Luar dan Dalam Negri, serta Departemen Pertahanan—terlihat sedang berbicara serius dengan Mentri Ekonomi dan Perdagangan—yang membawahi Departemen Keuangan, Perdagangan, Tenaga Kerja, dan Industri, dimata mereka, mereka sepertinya sedang membicarakan hal yang sama—apa yang mereka tonton di berita barusan.

Berbeda dengan Ketua Dewan Parlemen dan Wakil Presiden Rune-Midgard, Ricky James, obrolan antar dua etnis yang berbeda—Ketua Dewan Parlemen merupakan etnis kulit kuning, sedangkan Wakil Presiden James etnis kulit hitam—terlihat lebih santai, mungkin karena posisi mereka yang kurang begitu prestisius.

Namun, ada yang menarik perhatian sang jendral, seorang pria tua dengan wajah sinis dengan kacamatanya yang tebal, terlihat bertopang dagu dengan wajah ditekuk, sedang sibuk memilah-milah berkas-berkas rapat darurat hari ini.

Dia adalah Raymond Domenech, Direktur MCA, belahan jiwa sang jendral dalam segala hal, baik dalam hal pekerjaan maupun soal hobi yang sama, main golf di akhir pekan, Direktur Domenech adalah teman “rumpi” Jendral Halberdier ketika dalam keadaan seperti sekarang—menunggu presiden yang telat datang.

“Selamat sore, Bapak-bapak!” sapa Jendral Halberdier sambil merentangkan kedua tangannya.

Alexa, ajudannya yang manis, membukakan jaket tebalnya yang lumayan lebih berat dan tebal dari biasanya, pangkat jabatan dan berbagai macam penghargaan yang terpasang di seragam hijau kecoklatannya menyembul dari jaket tebalnya yang bewarna hitam legam itu.

“Selamat sore!” balas para bapak-bapak.

“Bagaimana menurut anda-anda semua atas penggantian total yang dilakukan oleh Bapak Panglima yang baru?” tanya Jendral Halberdier dengan bermaksud menyindir Jendral Manstein.

“Yang pastinya, keadaan politik dunia sudah mulai berubah seratus tujuh puluh derajat.” Jawab Mentri Polkam.

“Dan juga ekonomi—tentunya.” Timpal Mentri Perekonomian dan Perdagangan.

“Kuharap ada informasi yang menarik, Direktur Domenech.” Ujar Ketua Dewan Parlemen.

“Saya jamin—sangat menarik! Tapi saya tidak bisa membukanya sebelum presiden memintanya.” Jawab Direktur Domenech.

Badge namanya—yang bertuliskan Jendral Matthew Halberdier // Panglima Angkatan Bersenjata Republik Demokratik Rune-Midgard // NIP-100507080—yang terlihat miring, ia rapihkan kembali.

Alexa langsung menarik kursi untuk sang jendral duduk, dengan tenang sang jendral langsung di kursi yang telah tersedia, Alexa menaruh berkas-berkas taklimat yang akan ia butuhkan dari staff Gedung Strife di rapat nanti di depannya, tangannya bisa merasakan hangatnya kertas taklimat setebal limapuluh halaman yang masih baru dicetak dengan printer laserjet.

Jendral Halberdier bisa melihat kolega-koleganya yang duduk membentuk lingkaran sesuai dengan bentuk meja mereka yang bundar, entah sudah berapa pejabat tinggi dan presiden yang melakukan hal yang sama—duduk di atas meja bundar yang berumur sama dengan umur negara ini.

Taklimat rapat hari ini pun berdatangan, setiap pejabat tinggi mendapatkan satu taklimat yang merupakan hasil rangkuman dan analisis dari berbagai informasi baik dari intelijen maupun berbagai media yang dikirim langsung ke Gedung Strife dan disaring kembali oleh para staff Gedung Strife bagian Analisis Khusus.

“Well, sesuai dengan tebakan—kita akan membahas apa yang negara harus lakukan ketika mendengar berita Jendral Manstein menjabat sebagai panglima.” ujar Mentri Politik dan Keamanan.

“Vincent Deling dan Manstein mengambil langkah yang berbahaya.” seloroh Mentri Politik dan Kemanan.

“Sangat berbahaya, Mentri.” Ujar Ketua Parlemen menimpali.

Ruang rapat jadi riuh membicarakan pengangkatan Jendral Manstein, namun keriuhan itu langsung hilang ketika seorang staff kepresidenan datang di tengah-tengah mereka, “Bapak-bapak, Presiden Republik Rune-Midgard telah datang!” umumnya.

Pintu ruang rapat terbuka, para hadirin bisa melihat dua orang dinas rahasia yang membuka pintu itu, disusul oleh Presiden Alan Xavier di belakang mereka yang sedang berbicara dengan ajudannya.

Para hadirin pun langsung berdiri menyambut orang nomer satu di negara terbesar di dunia itu, Jendral Halberdier pun langsung memberi hormat kepada sang boss besar layaknya seorang prajurit kepada atasan tertingginya.

Seorang dinas rahasia langsung menarik kursi presiden dengan sigap namun tenang, Presiden Xavier mengucapkan terima kasih kepada pelindungnya—dan juga tukang pukulnya—itu dan duduk dengan nyaman sambil merapikan jas biru tua.

“Silahkan, Bapak-bapak.” Ujar Presiden Xavier. “Saya rasa anda-anda sudah tahu apa yang akan kita bahas sekarang ini?”

Para hadirin pun langsung duduk sesuai perintah sang presiden dengan tertawa terkekeh-kekeh.

*****

“Baiklah, tanpa banyak basa-basi lagi, rapat ini kita mulai. Direktur Domenech, apa yang ingin anda katakan kepada kami semua?” tunjuk sang presiden.

Direktur Domenech mengangguk siap kepada boss-nya, ia pun berdehem sejenak sebelum memulai sambutannya, “Saya baru saja mendapatkan informasi dari salahsatu agen lapangan kami yang ditugaskan di garis belakang musuh, Jendral von Lierben mengundurkan diri dari persaingan merebut jabatan Panglima Angkatan Bersenjata Kekaisaran Galbadia pertama, entah kenapa ia mengundurkan diri, apa memang sukarela atau terpaksa—tapi yang kami pelajari adalah, militer Galbadia mencoba mengurangi friksi antara kaum professional dengan para maniak—sebutan untuk kelompok ekstrimis yang berlatarbelakang orang-orang paramiliter SS yang mendukung kebijakan politik Kaisar Deling.”

“Seperti yang kita tebak dari watak seorang Jendral Manstein. Walau belum ada upacara resmi sumpah jabatan, ia sudah memulai kebijakan-kebijakan militer untuk mendukung rencana sang kaisar untuk menguasai Benua Estharian dengan mengganti posisi-posisi strategis yang diduduki oleh orang-orang militer professional dengan orang-orang dari Korps SS untuk menghindari gesekan pro-kontra.”

“Kalau aku menjadi seorang tiran, aku akan melakukan hal yang sama—menyingkirkan orang-orang yang berbeda jalan denganku dan menggantinya dengan orang-orang yang sama jalannya denganku.” Timpal Wakil Presiden James.

“Lalu, apa yang harus kita lakukan, Direktur Domenech?” tanya Presiden Xavier.

“Gampang.” Jawab Direktur Domenech, “—Mempersiapkan negara ini terlibat dalam Perang Estharian Kedua.”

Semua hadirin rapat terdiam dan saling berpandangan mata satu sama lain.

“Lalu, bagaimana dengan aktivitas Galbadia sekarang ini?” tanya Mentri Perekonomian dan Perdagangan.

“Belum ada informasi terbaru dari agen lapangan kami—Tapi kami tetap berusaha untuk mendapatkan informasi teraktual secepatnya, dengan kata lain—Kita harus mempersiapkan seluruh kekuatan militer kita dan menunggu informasi selanjutnya.” Jawab Direktur Domenech.

“Bagaimana dengan pasukan kita, Jendral?” tanya Presiden Xavier kepada Jendral Halberdier.

“Dari laporan terbaru yang saya dapat. Kreigsmarine—Angkatan Laut Kekaisaran Galbadia—mulai sedikit bergesekan dengan Armada ke-7 dan ke-6 yang bertugas menjaga wilayah laut kita yang berbatasan langsung dengan Galbadia—dan jumlah kapal perang mereka pun ditambah.” Jawab Jendral Halberdier mantap.

“Lalu dengan kondisi perekonomian kita?” tanya Presiden Xavier lagi.

Mentri Perekonomian dan Perdagangan membuka-buka lagi makalah yang berisi intisari laporan terbaru soal perkembangan ekonomi di Rune-Midgard, “Kami mendapatkan kabar kalau harga minyak mulai naik hingga sepuluh gil—mata uang Rune-Midgard. Harga-harga pun mulai ikut naik seiring dengan berita pengangkatan Jendral Manstein. Batas toleransi neraca anggaran negara kita adalah seratus gil, apabila di atas itu—kita harus membongkar brankas negara!” papar Mentri Perekonomian dan Perdagangan.

“Lalu, bagaimana dengan kondisi politik dalam dan luar negri kita?” tanya Presiden Xavier.

“Duta besar Balamb yang mewakili pihak sekutu terus melakukan pendekatan intensif kepada kita—“

Presiden Xavier mengangguk, “Ia benar-benar ingin membuat kita terlibat dalam perang kali ini.” Potongnya, “Silahkan lanjutkan.”

“Tapi kita masih terhalang oleh Keppres Nomer 77E dan Nota Kesepahaman dengan Kekaisaran Galbadia. Kita tidak bisa terlibat secara langsung kecuali Kekaisaran Galbadia berani menembaki lambang-lambang kedaulatan kita.” Jawab Mentri Politik dan Keamanan.

“Akitivitas tentara Galbadia di sekitar perbatasan Estharian dan Rune-Midgard makin bertambah, saya mengusulkan agar kita segera menyatakan perang kepada Kekaisaran Galbadia sebelum seluruh kekuatan mereka terkonsolidasi.” Potong Jendral Halberdier.

“Terlalu beresiko, Jendral! Kalau bergesek-gesekan dengan tentara Galbadia, itu masih belum cukup untuk kita melegitimasi perang terhadap Galbadia kelak!” tolak Ketua Dewan Parlemen.

“Ngomong-ngomong, Direktur Domenech. Bagaimana dengan isu kumpulan orang-orang penting yang kontra dengan Kaisar Deling?” tanya Presiden Xavier.

Direktur Domenech menggelengkan kepalanya, “Masih sulit untuk menemukan mereka. Mereka benar-benar lihai menyembunyikan jatidiri mereka dengan siapa pun—daripada harus berakhir di tiang gantungan atau lapangan pemancungan.”

Presiden Xavier berpikir sejenak, memikirkan segala laporan yang dikatakan oleh para mentrinya.

“Okay! Kalau begitu, lakukan apa yang harus kalian lakukan—karena keadaan sekarang makin tidak jelas, kita siapkan saja resiko terburuknya, yaitu—berperang dengan Galbadia.” Putus Presiden Xavier.

Semua pejabat tinggi yang ada di Ruang Gainsborough mengangguk mengerti.

“Kalau tidak ada lagi yang harus kita bahas—rapat ini kita tutup!” umum Presiden Xavier. “Oh ya, saya mohon di dalam ruang rapat ini hanya ada saya, Direktur Domenech, dan Jendral Halberdier.” Pinta Presiden Xavier.

Semua hadirin yang ada di Ruang Gainsborough saling berpandangan dengan Direktur Domenech dan Jendral Halberdier—termasuk para staff dan ajudan masing-masing.

“Hmmm! Enak juga jadi orang nomer satu di Rune-Midgard.” Seloroh Wakil Presiden James dengan nada bercanda, candaannya dibalas tawa ringan orang-orang yang ada di sana.

*****

Ketika Ruang Gainsborough hanya berisi Presiden Xavier, Direktur Domenech, dan Jendral Halberdier, sang presiden mulai berani buka mulut—meluncurkan pertanyaan rahasia yang sengaja ia simpan di rapat darurat tadi.

“Bagaimana dengan misi di Donna-Fratelaii?” tanya Presiden Xavier.

“Sedang dalam pelaksanaan, Pak.” Jawab Jendral Halberdier.

“Bagus!—Aku berharap misi ini akan berhasil!—Karena misi ini adalah misi yang paling menentukan, apakah mereka cocok untuk terlibat dalam hal yang lebih dalam dari ini semua.” Ujar Presiden Xavier.

“Aku berharap semua skenario yang kau susun benar-benar terjadi, Raymond!” ujar Jendral Halberdier.

Direktur Domenech tersenyum penuh arti, “Bukan bermaksud sombong. Tapi kalian berdua tahu.” Seloroh Direktur Domenech yang dibalas senyum oleh kedua rekan dekatnya itu.

“Tapi—“ perkataan yang keluar dari bibir Jendral Halberdier menarik perhatian kedua teman seperjuangannya, “Apa harus kita lakukan hal itu? Apa tidak ada jalan lain lagi yang lebih manusiawi?” tanya Jendral Halberdier.

Direktur Domenech tersenyum penuh arti—ia mempertanyakan skenario yang ia susun dengan matang, “Salahkan mereka yang begitu betah bersembunyi. Kadang kita harus memakai umpan kelinci mati untuk membuat rubah keluar dari sarangnya.” Jawab Direktur Domenech santai.

HARI-H, PUKUL 0905
LIMA RATUS METER DARI PANGKALAN MILITER DONNA-FRATELAII
DONNA-FRATELAII
REPUBLIK ESTHAR

Strad bisa melihat para tentara Galbadia yang didaulat untuk terlibat dalam acara peresmian pangkalan sedang sibuk berbaris dengan segala atribut kemiliteran mereka masing-masing—ada yang memakai seragam lapangan, ada yang memakai seragam dinas upacara mereka, lengkap dengan tanda kepangkatan dan penghargaan jasa mereka.

Dua kompi pasukan elit SS dengan seragam dinas mereka yang hitam-hitam namun mewah itu, baris-berbaris dengan penuh kebanggaan, sudah bukan rahasia lagi, kalau tentara partai jauh lebih diperhatikan daripada tentara angkatan bersenjata murni—senjata baru, seragam mewah dan bagus, semuanya ada di SS, ia bisa melihat wajah-wajah iri para pasukan reguler kepada para pasukan berbaret hitam itu dari teropongnya.

Panji tengkorak dan lambang SS terlihat berkibar gagah dan menakutkan di tangan para perwira yang didaulat membawa panji kebanggan itu, mereka benar-benar menimbulkan aura parade kematian yang mengerikan, yang sering mereka tebar di medan perang.

Strad memalingkan pandangannya ke arah para perwira menengah yang sedang berkumpul di tenda biru—para perwira menengah terlihat asyik mengobrol, sang komandan pangkalan tak terlihat di tenda yang berada di belakang podium kehormatan itu, ia sedang berada di bandara pangkalan bersama wakil-wakilnya untuk menyambut kedatangan sang jendral.

Strad memalingkan pandangannya ke arah para tentara yang tak dapat jatah untuk dilibatkan dalam acara, mereka hanya bisa memandangi iri rekan-rekan mereka dari balik pagar pembatas dengan kaos oblong dengan celana flektarn-nya sepuluh meter dari lapangan upacara.

Sedangkan beberapa unit dari berbagai jenis dan varian kendaraan lapis baja dan tank Leopard II ikut memeriahkan acara peresmian, sedangkan di menara-menara pengawas, para petugas jaga terlihat santai mengawasi sekitarnya, bahkan, ia lebih senang untuk menonton acara peresmian ketimbang mengawasi daerah di luar pagar pangkalan.

Ini merupakan kesempatan besar yang harus Strad ambil, karena seluruh kekuatan di pangkalan melemah dan lengah berfokus pada selebrasi acara peresmian pangkalan militer di Donna-Fratelaii.

Beberapa lama kemudian, terdengar sayup-sayup suara deru mesin jet pesawat, ternyata beberapa menit kemudian, pesawat Airbus A340-300 milik Skadron VIP ke-7 AU Kekaisaran Galbadia mulai bersiap menjejakkan roda-roda pendaratnya di atas landasan udara pangkalan militer Donna-Fratelain.

*****

Sang komandan pangkalan semakin gelisah ketika pesawat raksasa bermesin ganda itu mulai berhenti dan membuka pintu kabinnya, beberapa saat kemudian delapan pengawal Jendral von Lierben keluar dari dalam pesawat disusul dua orang pramugari dan pramugara yang berdiri di atas untuk menyambut.

Beberapa saat kemudian, Jendral von Lierben, lengkap dengan atribut militernya, keluar dari dalam pesawat, pramugari dan pramugara itu langsung menyambut sang jendral dengan sopan.

Jendral von Lierben memandangi seluruh pangkalan militer yang luas itu-- Tugas terakhirku sebagai seorang prajurit—gumamnya lirih di dalam hati.

Ia pun menuruni tangga pesawat, dan disambut oleh hormat oleh komandan pangkalan dan wakil-wakilnya, Jendral von Lierben membalasnya dengan hormat juga, ia pun memandangi hal yang tak akan ia lihat lagi—semua prajurit kolone senapan yang bertugas menyambut sang jendral di pangkalan udara, memberikan hormat senjata dengan mantap.

“Selamat datang, Jendral! Sebuah kehormatan bagi kami untuk diresmikan oleh anda!” sambut komandan pangkalan.

”Terima kasih, Kolonel. Hanya menjalankan tugas terakhir sebelum pensiun.” jawab Jendral von Lierben tenang.

Sang komandan pangkalan terhenyak sejenak, “Tugas terakhir, pak?!” tanya dirinya.

Komandan pangkalan langsung menyilakan sang jendral untuk masuk ke dalam sedan Mercedes-Benz S-Class, lengkap dengan kompi pengawalan dengan mobil tempur Dingo yang disiapkan untuk mengantar sang jendral ke lapangan upacara.

*****

Dari teropongnya, ia bisa melihat iring-iringan sang jendral berjalan pelan memasuki lapangan upacara, kabar bagus, sasarannya sedang dalam perjalanan menuju bidikan Strad—Namun kabar buruk pun datang juga, angin kencang tiba-tiba datang mengganggunya.

Strad terlihat sangat resah ketika hembusan kencang menggoyang semak-belukar yang menjadi tempat persembunyiannya—Anginnya terlalu kencang!—gumamnya resah dalam hati, sembari menggigit bibirnya.

Sedangkan di ruang Komando, Komandan Piccard terlihat semakin resah ketika melihat konvoy pengantar si jendral mulai memasuki lapangan upacara lewat citra satelitnya.

Di dalam hatinya, ia terus berharap kalau misi beresiko tinggi itu berjalan dengan sangat mulus tanpa gangguan sedikitpun, walau keadaan bisa saja berbalik 180 derajat ketika Strad mengeksekusi Jendral von Lierben.

“Anne, bagaimana dengan jemputan Strad?” tanya Komandan Piccard gelisah.

“Jemputannya sedang dalam perjalanan sesuai dengan jadwal.” Jawab Anne mantap.

“Posisi?”

“Serigala Putih sudah berada di daerah tenggara Samudra Esthar, sedangkan Gagak Hitam sudah memasuki wilayah udara Dona-Fratelaii, dua-dunya ETA satu jam lagi sampai di Titik Penjemputan—sesuai dengan rencana awal.” Jawab Anne.

Komandan Piccard menghembuskan napas leganya sesaat, dan kembali gelisah, ia tak akan lega sebelum Strad menyelesaikan tugasnya dan berhasil pergi dari tempat itu dengan selamat, “Bagus, terus pantau aktifitas radio musuh.”

*****

“—Komandan Upacara melapor ke Inspektur Upacara—“ umum staff protokoler yang didaulat menjadi MC.

Dengan tegap dan serius, seorang kapten dari kesatuan SS berjalan mantap menuju podium dimana Jendral von Lierben yang menjadi inspektur upacara berdiri gagah diatasnya.

Dengan perlahan-lahan, Strad mengeluarkan SR-25 berpola kamuflase dan berperdam pasif dari balik pelukan tubuhnya yang memakai pakaian ghillie, kedua bipod yang terpasang di rel laras depannya menjejak kokoh di tanah seperti paku bumi, lalu tutup teropong bidiknya pun ia buka dengan hati-hati.

Persilangan garis bidik ia arahkan tepat di kepala sang jendral, instingnya mulai bekerja, benaknya mulai mengkalkulasikan jarak sasaran, ketinggian, dan arah angin beserta kecepatannya layaknya kalkulator biologis.

Setelah mendapatkan rumus baku untuk bisa mendaratkan peluru tajam tepat ke kepala sasaran utamanya, tangan kirinya mulai memutar kedua kenop paralax teropong bidiknya.

Kini kepala sang jendral berada enam milimeter ke kiri dari persilangan garis bidik.

*****

”Hormat senjataa! GRAK!!” pekik komandan upacara.

Semua prajurit yang ikut acara langsung memberikan hormat senjata, diiringi orkestra militer yang berada di sudut belakang barisan upacara—acara pun dimulai, dan konflik batin dan otaknya juga ikut dimulai.

Strad tiba-tiba merasa gelisah, ia mulai ragu untuk menembak Jendral von Lierben dalam keadaan angin kencang, antara ingin cepat-cepat selesai mengeksekusi sasarannya dan sesegera mungkin meninggalkan tempat itu dengan tetap sabar menanti dan meyakini akan datang momentum penting yang akan memberikannya kemudahan menembak.

Namun akhirnya Strad mengambil pilihan kedua dengan sedikit alternatif—ia akan tetap menembak ketika upacara selesai dalam kondisi apa pun, karena kesempatan terakhirnya hanya ada ketika sang jendral nanti meninggalkan mimbarnya.

Ia menutup mata kiri hitamnya dan menajamkan mata kanan kelincinya, ia memfokuskan pikirannya, jari telunjuknya mulai melilit picu senapannya, dari teropong bidiknya, ia bisa melihat Jendral von Lierben menghela napas panjangnya, ia terlihat tak tahan untuk berjemur di teriknya panas matahari siang—tapi mimik wajahnya seperti mencoba memaksakan diri untuk bisa bertahan.

Jempol kanan Strad dengan lembutnya memindahkan kenop pengaman SR-25-nya yang sudah seminggu terkunci ke posisi—SINGLE, kini senapan modifikasinya sudah siap untuk memuntahkan peluru yang ada di dalam ruang tembaknya.

Sejenak ia menanti kesempatan datang sembari mendengar pidato Jendral von Lierben—kondisi dan arah angin kembali berkompromi dengannya.

Kesempatan datang! Ia pun langsung mengubah ukuran bidiknya dengan tepat, dan ia pun sudah mulai menyentuhkan jari telunjuk kanannya ke picu, tekadnya sudah bulat—ia pun mulai menekan picu itu.

Tapi tiba-tiba angin kembali tidak bersahabat, ia pun langsung menahan jari telunjuknya dan mengeluarkannya dari lubang picu, sial! Nyaris saja!—ujar Strad dalam hati sembari mencoba mengatur kembali napasnya yang memburu karena aliran adrenalin.

Strad mulai kembali mengubah lagi ukuran bidiknya seperti ukuran ketika angin berhembus kencang—ia pun kembali membidik kepala Jendral von Lierben, waktu pun semakin tipis seiring kesempatan yang mulai terbuang.

Sedikit lagi, sampai akhir acara—Strad mengambil keputusan bulat dalam hatinya.

Sang komandan upacara mulai mendekati inspektur upacara melaporkan bahwa upacara selesai—tak ada kesempatan lagi untuknya setelah ini—ia langsung mengarahkan jari telunjuk kanannya ke picu senapan SR-25-nya.

“—Upacara selesai, Inspektur Upacara dipersilahkan meninggalkan tempatnya!—“ umum staff protokoler.

Strad mendengar jelas suara staff protokoler yang keluar dari speaker raksasa disekitar lapangan upacara.

Sudah saatnya!

Jendral von Lierben pun membalikkan badannya dan berjalan menuju tenda biru yang teduh, dimana para petinggi berdiri bersiap menyambutnya dan menyilakan dirinya untuk duduk di kursi yang tersedia, dan seorang pesuruh dengan pakaian rapih membawa segelas minuman dingin untuknya.

*****

”Huff. Akhirnya selesai juga.” seloroh komandan pangkalan lega sambil mengusap keringat dinginnya yang bercucuran dengan sapu tangan, tak disangka, persiapan hanya seminggu—dan mempertaruhkan nama baiknya—bisa menyuguhkan acara yang lancar.

*****

Strad menahan napasnya dalam-dalam, sambil terus mengarahkan garis bidik ke kepala sang jendral yang mulai bergerak, Strad tetap mempertahankan napasnya yang masih mengumpul di dalam tubuhnya yang dibalut dengan pakaian ghillie.

Inilah saatnya! Sebelum sasarannya dihalangi oleh para bawahannya yang bersiap menyambut sang jendral!

Satu tekanan kuat ke picu senapannya.

*****

Hentakan kecil di bahu kanannya begitu terasa ketika suara hentakan mesin jahit itu terdengar dari ujung laras berperedam.

*****

Di teropongnya, ia bisa melihat semburan kabut merah muda segar dari topi sang jendral yang terbang ke udara, kepalanya tersentak seperti dihajar oleh palu godam setengah detik kemudian.

Para pejabat pangkalan sontak terkejut melihat Jendral von Lierban terpental dari mimbar dan jatuh tersungkur di depan mereka, seluruh hadirin yang menyaksikan upacara peresmian itu terkaget-kaget melihat kepala sang jendral memuncratkan darah segar dan beberapa bagian otak yang rusak mencuat dari dalam lukanya.

Sasarannya benar-benar dipastikan mati, Strad pun langsung bergegas keluar dari dalam semak-semak, meraih SR-25-nya dan lari menuruni bukit ke arah titik penjemputan sekencang-kencangnya sebelum yang lain menyadari kehadirannya.

*****

Sang komandan pangkalan hanya bisa melongo ketika melihat atasannya tergeletak di depannya, ia bingung, ia panik, ia tak percaya dengan apa yang ia lihat, dengan kedua kakinya yang bergetar ketakutan.

“S—Sniper!! Segera cari!!” teriak seorang mayor sambil bergidik memandangi sang jendral yang sudah tak bernyawa lagi.

Dua detik saja waktunya untuk membuat seluruh Pangkalan Militer Donna-Fratelaii yang belum sempat diresmikan oleh Jendral von Lierben menjadi rusuh seperti sarang tawon ketika diusik musuh.

*****

”Komando, disini Strad, saya berhasil menghabisi sasaran!” lapor Strad sambil terus memacu staminanya untuk bergegas sampai di titik penjemputan.

Strad terus berlari kencang menuruni bukit sembari berusaha melepaskan resleting pakaian ghillie-nya dengan cepat sehingga menyisakan dirinya hanya dengan senapan, rompi, dan ranselnya untuk memperingan pelariannya.

Beberapa saat kemudian, terdengar bunyi sirine tanda bahaya dari Pangkalan Militer tersebut—seisi sarang tawon mengamuk, mereka akan mengejarnya tanpa ampun!

*****

Komandan Piccard cuma bisa melihat puluhan pasukan musuh yang mulai keluar dari pintu pangkalan dari citra satelit, mereka seperti kawanan lebah ngamuk yang beramai-ramai memburu orang yang mengganggu sarangnya.

“Sepertinya ini akan jadi operasi penjemputan yang sulit...” gumam Komandan Piccard sembari memencet tombol radio, “Gagak Hitam, disini Komando!” panggil Komandan Piccard.

*****

Dari jarak seratus mil dari Donna-Fratelaii, helikopter NH-90—yang dulu pernah dibeli oleh militer Rune-Midgard dari Galbadia—bewarna hitam keabu-abuan, langsung menjawab panggilan Komandan Piccard.

”Ya, disini Gagak Hitam, sangat jelas terdengar, Komando.” jawab sang pilot sembari terus menjaga ketinggian helikopter yang sangat minim itu, ia membawa helikopter mahal itu menyusuri kontur daerah Esthar Tenggara yang berbukit-bukit dan berjurang terjal itu.

“—Paket sedang dalam perjalanan menujuTtitik Penjemputan! Kawasan di Titik Penjemputan sangat panas. Hati-hati, kalian beresiko berada dalam kepungan musuh!—” jawab Komandan Piccard khawatir.

Sang pilot helikopter NH-90 itu memandangi kopilotnya dan menghela napasnya sejenak, ”Komando, di sini Gagak Hitam. Roger, Komando.” jawab sang pilot.

Sang pilot memandangi enam awak helikopter yang ada di kabin belakangnya dengan persenjataan lengkap dan berpakaian hitam-hitam—terlihat bersiap untuk mengawal Strad dalam keadaan terburuk apapun nantinya.

”Hey, anak-anak! Sepertinya kita harus bersiap-siap untuk mendapatkan sambutan di titik penjemputan nanti!” ujar sang pilot kepada empat awak helikopter yang ada di kabin belakang.

Sang pilot pun langsung mendorong tuas pengatur tenaga ke batas maksimum, helikopternya ia pacu secepat mungkin untuk bergegas menuju titik penjemputan dalam waktu yang begitu sempit.

*****

Komandan Piccard menarik napas panjang, ada satu orang lagi yang harus ia hubungi.

”Anne, hubungi Serigala Putih!..” titah sang komandan.

”Siap, Pak!” jawabnya mantap.

Dengan cepat ia memencet tombol saluran langsung, beberapa saat kemudian, Komando berhasil menyambung pada frekuensi radio kokpit pesawat tempur EA-6B Prowler bersandikan Serigala yang sedang terbang memasuki wilayah Esthar menyusul Gagak Hitam dengan kecepatan penuh.

*****

Serigala Putih adalah pesawat EA-6B Prowler yang lahir untuk pertempuran elektronika, tugas kali ini adalah untuk mengacak frekuensi radar dan komunikasi militer yang ada di kawasan Donna-Fratelaii dengan menggunakan perangkat ECM yang tersembunyi di dalam perutnya, ia pun membawa dua buah bom elektronik yang diapit oleh dua tangki bahanbakar cadangan menggantung di kedua sayapnya yang kokoh.

“—Serigala Putih, disini Komando, apakah kalian mendengar kami dengan jelas?—“ tanya Anne.

“Disini Serigala, sangat jelas dan lancar, Komando.“ jawab pilot Serigala.

“—Paket sedang dalam perjalanan ke Titik Pendaratan, saatnya kalian bekerja!—”

“Roger, Komando. Kami sudah mendapatkan ijin untuk beraksi!“ ujar pilot Serigala sembari memandangi co-pilot-nya yang merangkap sebagai operator ECM sedang mempersiapkan perangkat perang elektronik tercanggihnya.

“Perangkat ECM diaktifkan!“ lapor sang kopilot sembari memencet kelima perangkat pengacak dengan cepat.

“Keren, kawan!” puji sang pilot sembari mengarahkan pesawat Prowler-nya tepat di atas kawasan Pangkalan Militer Donna-Fratelaii.

*****

Para operator radar dan navigasi yang ada di ruang komando Pangkalan Militer Donna-Fratelaii tersentak kaget ketika melihat layar pendeteksi radarnya tiba-tiba menunjukkan hampir lima puluh titik berkodekan pesawat militer dari berbagai negara mengerumuni Donna-Fratelaii.

“Pak, komunikasi kita diacak musuh!” lapor seorang operator komunikasi yang hanya mendapatkan jawaban kresek-kresek dari para pilot helikopter serbu mereka yang sama-sama kelimpungan melihat sistem elektronik mereka mati-hidup.

*****

Ketika Serigala Putih berada di atas sasaran, sang pilot tanpa ragu membuka tutup tombol peluncur yang ada di stik kendalinya, “Sekarang tinggal mencoba mainan baru kita!” ujarnya yang langsung memencet tombol peluncur.

Bom pertama dijatuhkan, dengan kecepatan tinggi, bom elektronik dengan berat setengah ton itu menghantam atap hangar pesawat, dentuman dan ledakan bom eletronik tersebut memang tidak sekeras bom yang biasa digunakan dalam perang.

Namun bukan itu yang diharapkan, tetapi—reaksi gelombang elektromagnetik dengan kekuatan besar yang keluar dari ledakan tersebut, walhasil, lima detik semenjak ledakan, semua perangkat elektronik mati semua yang terkena gelombang tak kasat mata tersebut.

*****

Seluruh ruangan komando gelap-gulita dengan sekejap mata, sistem penerangan, sistem radar dan komunikasi, bahkan sistem listrik darurat yang akan langsung menyala ketika lampu mati—semuanya mati.

*****

“Helikopter sialan! Kalau begini bagaimana aku bisa terbang?!” umpat seorang pilot sembari memukul-mukul kokpitnya yang akhirnya mati sementara.

*****

Strad sedang susah payah berlari menyusuri lebat dan tajamnya hutan dan semak belukar sembari berusaha mengelak dari tembakan-tembakan para pasukan Galbadia yang mengejar-ngejarnya selama sepuluh menit.

Si mata kelinci menghentikan pelariannya sejenak untuk berbalik dan membalas tembakan para pemburunya dengan tembakan-tembakan tunggal, jari telunjuknya terus menekan-nekan tanpa henti seperti mesin sampai amunisi yang ada di magazen SR-25-nya habis.

Untung saja para pemburunya masih manusia, mereka langsung berhenti dan cari tempat berlindung ketika mendengar desingan peluru dari dua ratus meter dari arah depan mereka.

Pemukul peluru SR-25-nya berdetik—magazen habis, Strad pun langsung balik badan dan kembali mengambil langkah sejuta sembari melepaskan magazen kosong, merogoh, dan memasang magazen baru, lalu mengokang senapannya kembali.

“—Strad, di sini Komando!—“ panggil Komandan Piccard.

“Di sini Strad.” Jawab Strad sambil memencet tombol PTT di lehernya dengan suara terengah-engah karena sambil berlari.

“—Kamu hanya punya waktu dua kali tiga puluh menit sampai sekarang! Cepat segera sampai ke Titik Pendaratan!—“

“Roger, Komando!” jawab Strad mantap.

“—Ada yang ingin kami informasikan. Jemputanmu adalah helikopter NH-90 warna hitam keabu-abuan.—“

Strad sejenak tersentak, “NH-90?! Maaf! Itu bukankah helikopter milik militer Galbadia?!”

“—Patuhi saja kalau kamu ingin keluar hidup-hidup!—“

“Roger, Komando!”

Beberapa detik kemudian, terdengar suara deru helikopter yang begitu asing di telinganya yang mendekati titik penjemputannya—mungkin itu helikopter yang dimaksud—namun asingnya suara mesin helikopter yang mendekati titik penjemputan yang tinggal seratus meter di depannya membuatnya tetap waspada.

“—Strad, di sini Gagak Hitam!—“ panggil pilot Gagak Hitam penjemputnya.

“Di sini Strad.” Jawab Strad yang sembari terus memacu larinya sembari berusaha mengelak ranting-ranting dan meloncati akar-akar pepohonan yang seperti ingin menghalangi dan menjegal pelariannya.

“—Kami bisa melihatmu di bawah sana. Sebentar lagi kami akan sampai di titik penjemputan, bersiaplah, kawan!—“

“Roger, Gagak Hitam. Untuk informasi, kondisi di bawah sini terlalu panas! Saya berharap kalian berhati-hati!”

“—Roger, Strad! Kami bisa melihat para penggemarmu yang mengejar di belakang, kami akan membantu mengawal penjemputanmu! Gagak Hitam selesai!—“

“Roger!”

*****

Helikopter NH-90 melayang-layang di atas kepala seorang letnan yang sedang bersembunyi sejenak di balik batang pohon besar, melihat helikopter itu, rasa gentarnya pun menghilang karena dirinya seperti dilindungi.

“Lihat, bantuan udara datang! Jangan takut, ayo maju!” desak seorang komandan kompi yang memburu Strad, “Kamu! Hubungi helikopter itu untuk melakukan manuver antisniper!” suruh sang komandan kepada seorang operator radio.

Para anakbuahnya yang ikut-ikutan cari tempat berlindung langsung berkeluaran dan melanjutkan pengejaran mereka, sedangkan si operator radio terus memanggil helikopter NH-90 itu, namun ia hanya heran dan terus memanggil tanpa rasa curiga.

Akhirnya Gagak Hitam sampai di Titik Penjemputan, sebuah daerah rerumputan berdaun pendek yang berada di tengah-tengah hutan yang kira-kira sepuluh kilometer dari Pangkalan Militer Donna-Fratelaii.

“Strad, kami sudah sampai di Titik Penjemputan!” lapor pilot Gagak Hitam.

“—Roger, Gagak Hitam! Saya akan melemparkan granat asap warna jingga apabila sudah siap untuk dijemput!—“ jawab Strad.

“Roger, Strad!” balasnya.

*****

Strad meraih granat asap yang menggantung di jejaring rompinya, dengan cepat ia mencabut picu pengaman dan melemparnya tepat di tengah-tengah Titik Penerjunan.

Ia pun bertahan di balik akar sembari melepaskan tembakan ke arah para pasukan Galbadia yang mengejarnya dengan tembakan-tembakan tunggal yang akurat—satu orang kena tepat di jantungnya, sisanya langsung kembali berlindung dan akan bergerak kembali ketika Strad mengganti amunisinya.

*****

Sang kopilot bisa melihat kepulan asap bewarna merah muncul tipis-tipis dari dalam lebatnya hutan di sekitar titik penjemputan setelah tiga detik mengeluarkan suara seperti petasan dan berdesis seiring mengeluarkan asap pekat dengan bau yang memuakkan.

“Kawan kita sudah siap!” tunjuk sang kopilot.

“Roger, Strad! Kami bisa melihat asapnya dengan jelas! Bersiaplah untuk dijemput!” jawab pilot Gagak Hitam sembari menurunkan ketinggian helikopternya.

“Kau pegang senapan mesinnya, lindungi kami semua selama penjemputan!” tunjuk komandan regu penjemput kepada salahsatu anakbuahnya, “—jangan menembak sebelum diperintah!”

Dengan sigap prajurit itu langsung bersiap meraih senapan mesin MG43 yang mencuat di pintu kiri helikopter—yang mengarah ke Strad dan para pengejarnya.

*****

Sang komandan bisa melihat Gagak Hitam itu bergegas menjejakkan ketiga ban pendaratnya ke tanah, begitu jelas warna, lambang dan kode registrasi militer helikopter tersebut—helikopter itu adalah helikopter milik bagian transportasi Korps SS.

Merasa sekarang berada di atas angin, para prajurit Galbadia ini langsung keluar dari persembunyiannya dan bergerak mendekati Strad tanpa rasa takut.

“Dia sudah terkepung! Jangan takut! Maju dan serang dia!” pekik komandana kompi yang bersemangat.

*****

Pintu kabin kiri Gagak Hitam terbuka, empat orang prajurit berpakaian hitam-hitam keluar dengan persenjataan standar yang dimiliki oleh prajurit Korps SS.

“Tembak!” perintah sang komandan regu.

Sang operator senapan mesin MG43 itu tanpa ragu memuntahkan isi ruang pemukul peluru kaliber 7,62 x 51 milimeter sepuasnya ke arah para pemburu yang masih merasa orang-orang yang keluar dari dalam Gagak Hitam adalah kawan mereka.

Sedangkan para pasukan Galbadia yang kecele itu harus berhamburan mencari tempat berlindung ketika helikopter “kawan” tiba-tiba menembaki mereka dengan gencar, belasan pasukan Galbadia yang nasibnya sial harus tergeletak berkalang darah diterjang peluru.

*****

“A—Apa yang terjadi?!” tanya seorang prajurit Galbadia yang berlindung kebingungan.

“Padahal itu helikopter kita?!!” timpal seorang rekannya yang sembari berusaha membuat tubuhnya lebih rendah dari lintasan desingan peluru.

*****

Strad langsung mengambil langkah seribu ketika melihat musuh-musuh yang mengejarnya dalam keadaan terpojok, menuju jemputannya yang mulai mendarat sembari terus berusaha membungkukkan badannya.

“Ayo, cepat masuk!” suruh sang komandan regu kepada Strad.

Keempat prajurit berpakaian hitam-hitam itu terus melepaskan tembakan ke arah para pasukan Galbadia untuk mengawal pelarian Strad.

Dari balik tempatnya berlindung, sang letnan hanya bisa diam mematung, sepasang matanya yang tak perduli diterpa angin kencang dari baling-baling helikopter tersebut menguci ke logo SS di badan helikopter angkut Angkatan Bersenjata Kekaisaran Galbadia itu yang bewarna hitam keabu-abuan itu.

Helikopter SS—sang letnan hanya bisa menjawabnya dalam hati, karena bibirnya terlalu kelu untuk melihat kenyataan yang ada—Strad dikawal oleh empat orang prajurit berpakaian hitam-hitam bersenjata lengkap, menembaki dirinya dan yang lain, ke dalam helikopter SS itu.

*****

Strad jatuh langsung tersungkur ketika akhirnya sampai di kabin helikopter yang menjemputnya karena badannya yang sudah limbung karena terlalu lelah berlari.

Seorang kru helikopter membantunya untuk bangun, “Kau tidak apa-apa, kawan?” tanya seorang prajurit berpakaian hitam-hitam.

Strad hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

“Paket sudah masuk ke dalam helikopter—cepat kembali masuk!” panggil sang komandan regu kepada keempat prajuritnya yang menjaga helikopter di luar.

Keempat pengawal Strad ini langsung bergegas masuk ke dalam kabin helikopter yang sudah mau meninggalkan Titik Penjemputan.

*****

“—Komando. Paket sudah berhasil dijemput!—” lapor pilot Gagak Hitam.

“Bagus! Sekarang tinggal segera bergegas menuju rute pelarian kalian!” jawab Komandan Piccard, “Serigala Putih, saatnya untuk menjatuhkan bom yang kedua kalinya!”

“—Roger, Komando. Bersiap untuk menjatuhkan bom kedua!—“ jawab pilot Serigala Putih.

Dari Ruang Komando, Komandan Piccard dan Anne bisa melihat Serigala Putih kembali menjatuhkan bom elektronik untuk kedua kalinya, lalu langsung melesat kabur ke wilayah sekutu, begitu juga dengan Gagak Hitam.

Komandan Piccard akhirnya bisa menyandarkan punggungnya ke kursi, seluruh beban tugasnya langsung menghilang seiring helaan panjang dirinya.

“Pak, apakah Strad sudah bisa dinyatakan lolos?” tanya Anne.

“Sebenarnya belum—tapi setidaknya ia sudah bisa lolos dari lubang jarum.” Jawab Komandan Piccard.

RUANG PERANG

MARKAS BESAR ANGKATAN BERSENJATA KEKAISARAN GALBADIA
DELING-CITY
KEKAISARAN GALBADIA

Seorang staff markas besar berjalan tergesa-gesa menuju pintu masuk ruang perang—dimana sang panglima yang baru bisa memantau langsung seluruh aktifitas para prajurit di seluruh lokasi-lokasi pertempuran dan posisi-posisi pangkalan perangnya dengan bantuan arus komunikasi yang cepat dan terkini.

Staff markas besar itu menunjukkan kartu pengenalnya di depan dua orang prajurit yang menjaga pintu Ruang Perang, kartu pengenal bewarna merah—berarti staff markas besar itu memiliki ijin untuk masuk ke dalam ruang-ruang vital markas besar, staff markas besar itu pun dipersilahkan masuk.

Ternyata Jendral Manstein sedang memantau pergerakan pasukan Galbadia di kawasan barat daya Esthar yang berdekatan dengan wilayah kedaulatan Kekaisaran Hazrabiah, sekali-kali ia berdiskusi dengan Jendral Rubentopp—si calon Komandan Wilayah Barat yang baru, dan beberapa perwira tinggi pilihan Jendral Manstein—sebagian besar adalah orang-orang dekatnya ketika berada di Korps SS.

Staff markas besar itu langsung mendekati Jendral Manstein dan memberi hormat, “Permisi, Jendral! Ada laporan darurat untuk anda!” lapornya sembari memberikan sebuah amplop coklat.

Jendral Manstein langsung mengambilnya dan membuka amplop tersebut tanpa ragu, ia pun membaca isi berita darurat tersebut, semua perwira tinggi yang mengapitnya saling memandangi satu sama lain, mereka bertanya-tanya dalam hati masing-masing—berita apa?

“Berita apa, Jendral?” tanya Jendral Rubentopp penasaran.

“Jendral von Lierben baru saja dibunuh oleh penembak misterius dan menurut saksi mata penembak tersebut dijemput oleh helikopter NH-90 dengan registrasi Korps SS.” Jawab Jendral Manstein tanpa ragu.

Semuanya terhenyak ketika mendengarnya, semua tatapan mata langsung ditujukan ke Jendral Muller—Komandan Korps SS yang baru—yang terlihat kebingungan dan kesal ketika melihat tatapan vonis kolega-koleganya.

“Muller tidak mungkin melakukan tindakan di luar batas seperti itu.” Bela Jendral Manstein, “Ada yang mencoba menantang kita!” desis Jendral Manstein.

“Dewan Jendral?” tanya Jendral Rubentopp.

“Tidak mungkin, mereka tidak akan mau mengorbankan seorang Mathias von Lierben.”

“Sekutu?”

“Hanya itu kemungkinan terbesarnya.” Jawab Jendral Manstein. “Mereka sedang melakukan taktik propaganda dan adu domba terhadap sesama kita.”

“Lalu apa yang harus kita lakukan, Jendral Manstein?”

“Seorang prajurit harus siap gugur di medan pertempuran, Jendral—Maka kalian harus bersiap untuk mengalami nasib yang sama dengan Jendral von Lierben.” Jawab Jendral Manstein singkat.

Semua perwira tinggi hanya saling berpandangan.

“Masih ada hal penting yang harus kita lakukan—Bagaimana dengan persiapan kita untuk kampanye ke Hazrabiah, Jendral von Hox?” tanya Jendral Manstein.

“Agen-agen kita di Hazrabiah sudah melakukan konsolidasi dengan Pangeran Tariq, tinggal menunggu dia melaksanakan rencana kudeta terhadap sultan yang sekarang.” Jawab Jendral von Hox—Kepala Abwehr, dinas intelijen Kekaisaran Galbadia.

“Lalu bagaimana dengan para pasukan kita yang ada di Dag-Hamarskold?”

“Setelah rencana kedua sudah dilaksanakan, satu divisi lapis baja, dan dua divisi infantri mekanis akan langsung melakukan perjalanan maraton untuk menuju Salimistan.” Jawab Jendral Rubentopp.

“Lebih cepat lebih baik—Hazrabiah harus segera dikuasai oleh Kekaisaran Galbadia untuk membalikkan keadaan!”

TAMAN MAKAM PAHLAWAN WIHELMUS I
DOSTPAMD
KEKAISARAN GALBADIA

Galbadia meratapi kepergian putra terbaiknya, Mathias von Lierben, dengan hujan yang turun rintik-rintik, langit pun mendung, suasana benar-benar hening dan muram, seorang pendeta sedang membacakan firman Tuhan di alkitab, mengiringi peti mati yang sudah dimasukkan ke dalam liang lahat sebelum dikuburkan dengan tanah galian.

Empat kompi pasukan yang mewakili Korps Falschitmjaeger—satuan elit yang dibidani oleh Jendral von Lierben—berbaris rapih dan serasi dengan seragam dinas upacara, mengelilingi liang lahat sang mendiang tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.

Ratusan orang dengan pakaian hitam-hitam dari berbagai kalangan menghadiri acara penguburan, satu pleton kolone senapan dengan seragam lengkap, berdiri tegap menunggu perintah komandannya untuk menembak salvo, sedangkan satu pleton kolone senapan lainnya mengalunkan lagu belasungkawa untuk mengiringi kepergian sang jendral dengan syahdu.

Kolonel Pierez dan beberapa perwira menengah lainnya berdiri mengapit barisan kursi keluarga mendiang, ia meratapi Nyonya von Lierben yang terus menangis meraung-raung, masih tak terima atas kepergian suami tercintanya, sedangkan putri beserta menantunya, dan kerabat lainnya berusaha menenangkan sang nyonya walau juga tak bisa menyembunyikan kesedihan mereka.

Kolonel Josh Pierez, Komandan Resimen A Korps Falschirmjaeger, ia adalah murid kesayangan Jendral von Lierben ketika ia mengajar di Galbadian Gaerden—Akademi Militer milik Galbadia—dan menjadi murid terdekatnya selama sang mendiang hidup.

Walau terpisah oleh berbagai tugas yang berbeda, Kolonel Pierez tetap menyempatkan diri untuk mengunjungi Jendral von Lierben, dari berbicara ringan hingga berbagi pengalaman dan mendiskusikan strategi tempur di lapangan.

Tak disangka, ucapan—hati-hati, prajurit, semoga Tuhan melindungi kalian semua—adalah ucapan selamat tinggal yang terakhir untuknya ketika ia mohon pamit untuk bertugas di Turkjiyan Tenggara untuk meredam pemberontakan di sana.

Padahal ketika ia sedang dalam tugas untuk melapor ke markas besar di Deling City, ia ingin berkunjung sebentar ke kediaman beliau, namun ternyata, kunjungan terakhirnya dengan Jendral von Lierben adalah di upacara pemakaman sang guru.

Kolonel Pierez memandangi heran dua orang perwakilan dari pihak istana dan markas besar, mereka mewakili Kaisar Deling dan Jendral Manstein, ini baru pertama kalinya pemakaman seorang fundamentalis yang membela Kaisar Deling naik tahta kembali—tidak dilayati oleh sang kaisar.

Pikirannya mulai terganggu dan risih ketika mendengar bisik-bisik ibu-ibu yang melayat, mereka menggosipkan kalau ketidakhadiran Kaisar Deling dan Jendral Manstein karena mendiang Jendral von Lierben berani-beraninya menyatakan melawan segala kebijakan sang kaisar.

Yang Mulia Kaisar dan panglima sedang dalam kunjungan ke rumah sakit militer, mengunjungi dan memberi tambahan semangat tempur para prajurit yang terluka di garis depan—itu yang dikatakan oleh perwakilan istana dan diamini oleh perwakilan markas besar.

Setelah doa dipanjatkan, upacara penguburan pun dimulai, Kolonel Pierez langsung bersiap untuk menjadi salahsatu dari tim yang menurunkan peti mati Jendral von Lierben ke liang lahat.

Letusan tembakan-tembakan salvo menggema di langit pagi yang kelam.

*****

Acara penguburan Jendral von Lierben pun selesai, semua hadirin berangsur-angsur meninggalkan makam mendiang yang masih segar tanahnya, namun murid kesayangan sang jendral anumerta yang juga sudah dianggap putra kandungnya sendiri, setia menemani Nyonya von Lierben.

Namun, ijinnya untuk bebas dinas mengikuti pemakaman sang jendral sebentar lagi habis, ia pun mohon pamit kepada Janda von Lierben dan keluarga, tak lupa ia memberikan dukungan moral untuk yang ditinggalkan.

Namun perjalannya terhenti ketika ada dua orang perwira menengah sedang menunggu kedatangannya di samping mobil sedan BMW Series 7 dinasnya dari tadi.

“Ada apa?” tanya Kolonel Pierez agak sedikit bingung.

Mereka berdua langsung memberi hormat kepada Kolonel Pierez.

“Jendral von Nikole ingin bertemu dengan anda, Pak.” Jawab seorang perwira menengah sembari mengalihkan pandangannya ke sebuah mobil mercedes-benz S-Class yang diparkir agak jauh dari lokasi makam Jendral von Lierben.

Kolonel Pierez pun menurut, ia berjalan menuju mobil tersebut dengan dikawal oleh dua orang perwira menengah berpangkat mayor, ketika sampai, salahsatu dari mereka berdua langsung bergegas membukakan pintu belakang untuk Kolonel Pierez.

“Silahkan masuk, beliau ada di dalam.” Tunjuk perwira menengah itu.

Kolonel Pierez pun masuk ke dalam kabin belakang mobil sedan mewah itu, ternyata benar—Jendral von Nikole sedang duduk di hadapannya, sedang menghabiskan waktu menunggu Kolonel Pierez dengan membaca koran terbaru.

Ketika Jendral von Nikole menyingkapkan korannya, Kolonel Pierez langsung memberi hormat kepada atasannya itu.

“Apa kabar, Kolonel?” sapa Jendral von Nikole.

“Selalu dan harus selalu baik, Jendral!” jawab Kolonel Pierez.

Jendral von Nikole menganggung puas, “Tidak salah anda bergabung dalam keluarga Falschirmjaeger.” Pujinya, “Saya berharap semangat tempur anda hilang ketika sang ayahnda gugur dalam tugas.”

“Sekarang saya hanya ingin membanggakan korps kita, Pak!” jawab Kolonel Pierez polos dan mantap.

Wajah teduh sang jendral langsung berubah serius, “Kolonel Pierez, ada yang ingin saya peringatkan, dan apabila anda mengacuhkannya—nasib anda seperti mendiang Jendral von Lierben.”

=== THE STRADS : EPISODE LIMA, SELESAI ===