Senin, 14 Maret 2011

THE STRADS (EPISODE TUJUH)

RERUNTUHAN SKY EYE
GURUN HAZRABIAH
PERBATASAN HAZRABIAH - GALBADIA
KESULTANAN HAZRABIAH

“Sial! Darahnya terlalu banyak yang keluar.” ujar Strad yang sedang sibuk memeriksa luka yang ada di perut Rupert, “Hey! Bantu aku merebahkannya.” Pintanya kepada Edward.

Edward pun tanggap, langsung membantu Strad untuk merebahkan tubuh Rupert dengan hati-hati untuk mengurangi tekanan aliran darah, mereka berdua berusaha mengompakkan diri untuk bisa mengurangi rasa sakitnya Rupert yang terus mengaduh-aduh.

Strad mencabut pisau komandonya dan dengan cekatan merobek bagian perut seragam ABU yang makin memerah karena terlalu banyak menyerap darah yang keluar dari perut Rupert.

“Apa yang kau lakukan?!” tanya Edward panik.

“Aku mau memperkosanya—Ya aku akan menolongnya! Jangan suka membuat pertanyaan yang tolol, lah!” jawab Strad sewot sembari menyarungkan kembali pisaunya, “Aku hanya mencoba untuk menghilangkan bagian bajunya yang menghalangiku mendiagnosa lukanya.”

Strad menggigit bibirnya—walau sudah direbahkan, aliran darahnya masih belum dianggap sudah cukup lamban untuk mengalir keluar, ia memutar otaknya, mengingat-ingat lagi referensi soal luka pendarahan yang ia unduh dari Gedung Denzel.

“Bagaimana bisa kau terluka seperti ini?” tanya Strad kepada Rupert.

Rupert menggelengkan kepalanya dengan lemah, “Entahlah—Ketika tersadar keadaanku sudah seperti ini.”

“Lalu ketika kau sedikit bergerak—bagaimana rasanya?”

“Sakit sekali! Seperti ada yang mencabik-cabik di dalam perutku!”

Edward tertegun ketika melihat wajah Strad—wajahnya berubah menjadi makin serius, seperti orang mendapatkan kabar sangat buruk yang tak pernah ia dapatkan.

“Se—sebagaimana parahnya? Apa yang terjadi padaku?” tanya Rupert lemah.

“Parah—Parah sekali, kawan. Kelihatannya ada sesuatu yang tajam berada di dalam perutmu.” Jawab Strad sembari membetulkan kacamatanya. “Sekarang kita hanya bisa untuk berusaha untuk dia tidak terlalu banyak bergerak.”

Sedang mempersiapkan prosedur pertolongan pertama untuk Rupert dengan peralatan P3K pribadi miliknya sendiri, ia membuka isi kantong ukuran sedang yang menggantung di pinggang kiri belakangnya—Kain kassa, perban, kapas alkohol, bubuk hemostat, dan bubuk antiseptik ia keluarkan dari dalam kantong kecil yang terkait di duty belt-nya.

Strad akan membersihkan luka pendarahan itu, dengan mulai mengalirkan air mineral dari ujung selang camelback-nya untuk membersihkan darah di sekitar perutnya, dengan hati-hati ia mengusap-usap darah basah yang menutup kulit perut, dan dengan hati-hati mencoba menyinkirkan darah kotor yang menggumpal tanpa harus membuat Rupert makin kesakitan.

Rupert meringis menahan sakit, sepertinya walau Strad melakukannya dengan sangat hati-hati, pecahan benda tajam yang Strad duga ada di dalam perut Rupert, masih bisa menusuk.

“Aku berharap kau bisa menahannya sedikit saja!” ujar Strad.

Air bercampur darah segar mengalir di atas lantai reruntuhan, pasir-pasir yang menutupi lantai reruntuhan pesawat itu mulai menggumpal ketika mereka menyerap air dan darah yang menempel di permukaannya.

Setelah darah-darah yang menutupi perut Rupert berhasil dibersihkan, Strad bisa melihat pola-pola luka yang dideritanya—bentuknya seperti lubang tertembus peluru berjumlah lima lubang, tapi ketika ia memeriksa bagian punggung Rupert, tidak ada lubang yang sama.

Lalu, Strad membuka bungkus kapas antiseptik dengan cepat, “Ini akan sedikit menyakitkan.” Ujar Strad sembari mengusapkan kapas ke permukaan luka.

Rupert menahan sakitnya jaringan perutnya yang terkoyak, yang sedang bergesekan dengan permukaan kapas antiseptik yang kasar, setelah membersihkan lubang yang pertama, Strad melanjutkan membuka kapas antiseptik berikurnya kepada lubang-lubang luka berikutnya.

=== THE STRADS : EPISODE TUJUH, DIMULAI ===

Rupert mengerang kesakitan ketika ia menggerakkan sedikit tubuhnya.

”Hey, kenapa kau tidak memberikannya morphin? Dia kesakitan!” desak Edward yang tak tega melihat kawannya itu sedang berjuang menahan sakit luka dalamnya.

Strad mendelik tajam ke arah Edward, tatapannya menusuk si sok tahu itu, “Ia tak perlu morphin, kondisinya sudah terlalu lemah untuk diberi morphin!” jawab Strad kesal, “Dan daripada kau diam tak berguna seperti ini, coba cari sesuatu yang berguna!.. Kalau tak salah setiap pesawat ada senjata cadangan untuk beladiri, carilah, karena ada kemungkinan tamu tak diundang akan datang kesini!” tambah Strad tak kalah kesal.

“B—Baik!” jawab Edward, ia pun meninggalkan Strad dan Rupert berdua.

*****

Edward menyusuri reruntuhan pesawat yang tersisa, mencari apa yang diminta oleh Strad, selama pencariannya, ia tak bisa mengelak melihat pemandangan mengerikan, ia bisa melihat jasad rekan-rekannya yang sudah tak bernyawa lagi, dari yang masih utuh hingga tinggal bagian-bagian kecil.

Edward Cuma bisa memandangi rekan-rekannya yang naas itu dengan trenyuh—semoga mereka mendapatkan tempat yang layak di sana—doanya dalam hati sambil terus meneruskan perjalanannya.

Akhirnya ia menemukannya—ia menemukan sebuah rak terbuat dari baja yang lolos dari kecelakaan hebat itu, tulisannya—Senjata, Gunakan Hanya Untuk Darurat, ia langsung membongkar isi rak baja yang agak penyok itu, ada empat buah senapan laras panjang M16A2 berjejer di dalamnya dalam keadaan magasen terisi.

Edward bergegas mengambil salahsatu dari empat senapan M16A2 itu, dan tak lupa mencopoti magazen-magazen ketiga senapan yang lain, plus, satu kardus isi sepuluh magasen ia bawa sebagai persediaan amunisi.

*****

Strad kembali melanjutkan prosedur pertolongan pertamanya, ia juga menaburkan bubuk hemostat untuk menghentikan pendarahan yang dialami Rupert, beberapa saat setelah bubuk hemostat itu ditaburkan tepat di luka-luka Rupert, bubuk hemostat yang seperti pasir itu mulai menyerap darah yang keluar dari jaringan tubuh Rupert yang terluka.

Bubuk hemostat benar-benar mukjizat ilmu kedokteran, walau sifatnya hanya sementara, bubuk itu akan terus menyerap darah yang keluar serta menyumbat sumber luka agar tidak keluar lagi, setelah itu, ia menggulung perut Rupert dengan kain perban supaya tidak terkena kotoran maupun debu dari luar.

“Setidaknya kita bisa sedikit bernapas untuk enam jam.” Ujar Strad sembari menyeka dahinya yang berkeringat dan membenarkan kacamatanya.

*****

Strad pun langsung menghubungi Komandan Piccard untuk melaporkan kondisi terkini korban yang selamat, “Strad, disini Komando!“

“—Disini Komando. Bagaimana dengan kondisi yang selamat?—“ tanya Komandan Piccard.

“Korban yang mengalami pendarahan, kelihatannya ada serpihan reruntuhan yang lumayan tajam masuk ke dalam perutnya, aku hanya bisa menangani pendarahannya dengan hemostat—tapi tidak lama, dia membutuhkan bantuan medis yang lebih intensif.” Jawab Strad.

“—Roger, Strad. Lalu bagaimana dengan misimu?—“

“Bagaimana dengan bantuan untuk dua orang korban selamat ini?”

“—Belum ada kabar. Strad, kami harap kau tidak melupakan tugas utamamu!—“

“Heh, jangan sekali-kali meremehkan daya ingatku, Komando!”

“—Baiklah. Waspadalah, nak! Kami akan segera menghubungimu apabila bantuan sudah datang!”

“Roger, Komando. Strad keluar.”

*****

Strad menghela napas panjang, lalu ia bergegas merogoh ransel MOLLE-nya untuk mengambil perangkat kabel USB yang ia bawa dari ruang logistik.

“Bagaimana dengan bantuan itu?” tanya Rupert.

“Belum ada kepastian.” Jawab Strad, “Oh ya! Untuk sementara jangan berbuat konyol sampai bantuan datang—walau entah kapan datangnya—Maaf, ada misi yang harus aku jalankan.” Ujar Strad.

Strad terdiam beberapa saat, “Ada yang lupa!” ujarnya, ia pun mencabut pistol M1911A3-nya dari speed holster, ia membuka pengaman dan pelatuknya dan menyerahkannya kepada Rupert, “Untuk jaga-jaga.”

Rupert yang kelelahan itu mengambil pistol itu dengan hati-hati, walau sudah terlalu lemah, ia masih menyempatkan diri untuk tersenyum dan mengucapkan, “Terima kasih, kawan!”

*****

Edward yang datang membawa senjata yang dipesan oleh Strad hanya tertegun ketika melihat Rupert yang bersandar sendirian ditinggal oleh Strad yang sedang sibuk mengorek-orek reruntuhan kabin pesawat.

“Hey! Bagaimana dengan Rupert?” tanya Edward.

Strad langsung menyembul dari reruntuhan ketika dirinya dipanggil, “Oh, namanya Rupert.” Jawabnya sambil terus mencari apa yang sedang ia cari.

“Lalu, apa yang sedang kau lakukan?”

“Aku sedang mencari—Aha!“ Strad menemukan apa yang ia cari, dengan sekuat tenaga ia membongkar tumpukan lempengan kabin pesawat yang menutup server komputer, “Ini!” tunjuknya.

“Mencari server? Bukankah misimu itu menyelamatkan kami?”

Strad mendelik tajam ke arah Edward, “Apa?! Menyelamatkan kalian?! Jangan kegeeran, deh!” jawabnya ketus.

Server-nya ternyata memang sesuai dengan apa yang dipromosikan, kondisinya sebagian besar masih tergolong utuh—hanya dengan sedikit penyok di bungkusnya yang bewarna chrome, walau sudah tidak mendapatkan tenaga listrik, server tersebut masih tetap menyala karena sistem baterai cadangannya yang bisa meladeni masa hidup sampai satu minggu.

“Seperti yang kau katakan, misiku adalah mencari server ini—bukan mencari korban yang selamat.” Tambah Strad sembari menyolok ujung kabel USB yang berada di belakang server, lalu menyolok ujung kabel USB lainnya ke belakang kepalanya.

Edward terhenyak ketika melihat kepala Strad yang disambungkan ke server dengan menggunakan kabel USB—dan matanya yang bewarna jinga tiba-tiba berubah bewarna biru berkilauan.

“Sekedar informasi—atasanku sedang mengusahakan untuk segera menyelamatkan kalian dari sini—tapi itu tergantung seberapa pedulinya atasan kita di Gedung Strife kepada kita.” Tambah Strad.

Ia makin terhenyak ketika layar kecil yang ada di server bereaksi dengan isi kepala Strad—seperti sedang memproses sesuatu.

Strad membalas pandangan aneh Edward dengan tatapan ketus, “Apa?” tanya Strad.

Edward tak menjawab pertanyaan Strad, tapi tiba-tiba Strad membuka kancing kantong salahsatu kantin airnya dan melemparkannya ke Edward—dan Edward langsung menyambutnya dengan sigap.

“Minumlah—wajahmu sudah menunjukkan tanda-tanda dehidrasi, dan berbagilah dengan kawanmu!”

*****

“Sedang apa dia?” tanya Rupert.

“Sudah, jangan banyak bergerak—atau lukamu tambah parah!” jawab Edward khawatir.

“Kau tahu, aku tidak suka berdiam diri—aku benci mati bosan.”

Edward tersenyum trenyuh, setelah dua kali meneguk kantin air pemberian Strad, ia menawarkannya kepada Rupert, Rupert memonyongkan bibirnya supaya air di dalam kantin tersebut tidak tumpah.

“Entahlah—baru pertama kali aku melihat ada orang menyambungkan kepalanya dengan komputer dengan menggunakan kabel USB—dan bereaksi—dan ada di dunia nyata!”

“Oh ya?” Rupert tersenyum ketika mendengar jawaban dari Edward, “Negara kita kelihatannya suka menyembunyikan orang-orang seperti dia.”

“Hey! Berisirahatlah—tidurlah sampai bantuan datang. Aku akan berjaga-jaga di sana!”

“Hati-hati, kawan.”

Edward tersenyum, ia pun meninggalkan Rupert untuk berjaga-jaga di pintu masuk reruntuhan pesawat, ia mengawasi cakrawala Gurun Hazrabiah dengan serius, sambil memegang erat senapan M16A2-nya.

*****

Sedangkan di Ruang Komando, seperti biasa—Komandan Piccard dan Anne memantau situasi dari kamera satelit dan memantau lalu-lintas radio.

“Ada yang mencurigakan?” tanya Komandan Piccard.

Anne menggeleng kepalanya, “Negatif, Pak!” jawab Anne.

Komandan Piccard terdiam sejenak, ia mengerenyitkan dahinya dalam-dalam, “Mencurigakan sekali—dalam insiden sepenting ini tidak ada komunikasi radio yang mencurigakan.” Gumamnya.

“Saya memiliki pemikiran yang sama, Pak!” timpal Anne.

Komandan Piccard memandangi arlojinya, “Mana ini bantuan yang dijanjikan?” tanya Komandan Piccard resah.

“—Komando, disini Arcangel-1 bersama Arcangel-2. Kami bertugas untuk mengevakuasi awak Sky Eye yang selamat!—“ ujar suara dibalik speakerphone ruang komando.

Akhirnya bantuan yang dijanjikan oleh Jendral Halberdier akhirnya menghubungi Ruang Komando, Komandan Piccard langsung menjawab frekuensi radio itu, ” Roger, Archangel-1. Di sini Komando, mudah-mudahan kami tidak menganggu tugas pelatihan kalian!” jawab Komandan Piccard penuh semangat.

”—Negatif, Komando. Kami akan selalu siap bergerak, di mana pun, kapan pun!—“ jawab Archangel-1.

Skadron Medis ke-105, adalah unit medis dan SAR yang terkenal di antara unit-unit medis lainnya di Angkatan Bersenjata, nama Skadron Medis ke-105 ini lebih tersohor dengan sebutan Jumpers.

Jumpers adalah kesatuan yang dikhususkan untuk memberikan pertolongan pertama dan evakuasi di medan perang untuk para pasukan khusus yang membutuhkan keberadaan mereka.

Maka dari itu, mereka selalu terlibat dalam misi SAR tempur maupun evakuasi medis berkategori rahasia, maka dari itu Jendral Halberdier mempercayakan operasi evakuasi rahasia itu kepada kesatuan yang paling bergengsi di tubuh Korps Medis Angkatan Udara.

Jumpers bukanlah sembarang penerbang, Jumpers merekrut kadet-kadetnya dari universitas-universitas dan akademi kedokteran dan perawat terbaik di Rune-Midgard dengan title suma cum laude atau setara dari itu.

Maka dari itu, Jumpers tersohor dengan sebutan lain, yaitu—dokter dan perawat yang bisa bertempur layaknya pasukan khusus lainnya—di kalangan komunitas pasukan khusus.

Dua Jumper terbaik yang dikirim adalah misi ini adalah Letnan Dua Penerbang Medis Vincent Carter alias Archangel-1 dan Sersan Satu Penerbang Medis Alan Clinton alias Archangel-2, Carter adalah lulusan kedokteran terbaik di angkatannya, ia mengambil spesialisasi dokter bedah, sedangkan Clinton adalah lulusan akademi perawat terbaik di angkatannya.

Dengan perlengkapan yang mereka bawa ke perbatasan yang panas nantinya, seragam desert tri-color plus rompi anti-peluru tipe IBA dengan berbagai macam kantong-kantong tambahan bergelantungan di rompinya plus ransel MOLLE yang berisi dengan perlengkapan medis lengkap.

Dan tak lupa senapan M4RIS yang menjadi senjata beladiri mereka di lapangan nanti serta tambahan asesoris Aimpoint CCO M68, AN/PEQ-15, plus pelontar granat M203 sebagai senjata berat mereka.

“—Kami akan memberikan taklimat singkat kepada kalian, jadi simak baik-baik. Kami mengirimkan seorang anakbuah kami dengan nama sandi Strad ke lokasi jatuhnya Sky Eye untuk sebuah misi.

Namun, ia melaporkan bahwa ada dua awak pesawat yang selamat di lokasi jatuhnya Sky Eye dalam kondisi terluka, untuk informasi lebih detail mengenai kedua korban selamat tersebut kalian bisa menanyakannya langsung.

Blackhawk dari Laskar Udara yang kalian tumpangi itu akan mengantar ke titik jatuhnya Sky Eye, tugas kalian nanti adalah, kalian memberikan pertolongan medis kepada kedua awak pesawat yang selamat itu, setelah pertolongan medis selesai, segera hubungi kami untuk segera memanggil jemputan. Ada pertanyaan?—“

“Tidak, Pak! Kami rasa sudah jelas sekali!” jawab Clinton.

”—Bagus, usahakan misi evakuasi ini segera dilaksanakan dengan cepat. Mengerti?—“ tanya Komandan Piccard.

”Roger, Komando.” jawab Carter dan Clinton kompak.

”Komando, mohon ijin untuk menghubungi Strad untuk menanyakan kondisi korban selamat!” pinta Carter.

”—Baiklah. Tunggu sebentar—“ jawab Komandan Piccard.

”Roger, Komando.” jawab Carter.

Sekarang mereka berdua hanya bisa menyandarkan punggung dan kepala mereka yang tegap itu ke dinding kabin helikopter, dan memandangi Gurun Hazrabiah yang berada lima ratus kaki dibawah mereka.

“—Strad, kedua bala bantuanmu ingin mengobrol denganmu soal kedua korban!—“ ujar Komandan Piccard.

“—Bala bantuan dari mana? Akhirnya aku tidak perlu lagi pengurus anak.—“ seloroh Strad.

“Strad, di sini Archangel-1 dan rekanku—Archangel-2, kami dari satuan Jumpers yang syukurnya kebetulan sedang ikut bertugas dalam Mid-Haz. Kami butuh informasi mengenai kedua korban selamat itu!” sapa Carter.

“—Oh, yeah, Jumpers! Kapan kalian akan sampai ke sini?—“

“ETA. Dua jam!”

“Lebih cepat lagi—pilot Hazrabiah benar-benar lamban, bisa-bisa kami keburu mati di sini ketika kalian sampai. Baiklah—untuk korban pertama sepertinya hanya luka ringan di kepala, tapi sepertinya butuh pemeriksaan lebih lanjut, mungkin ada kemungkinan mengalami gegar otak ringan. Sedangkan untuk korban kedua ia mengalami pendarahan di sekitar usus halus, menurut diagnosaku ada pecahan benda tajam yang bersarang di perutnya.—“

“Lalu bagaimana kau menanganinya?”

“—Gampang saja! Untuk pertolongan pertama, aku membersihkan daerah sekitar luka, menutupnya dengan hemostat dan kain perban steril, dan selanjutnya—aku hanya bisa berharap korban pendarahan tidak banyak bergerak.—“

Carter terkesan dengan penjelasan Strad, “Well, aku akui, gaya bicaramu benar-benar seperti seorang Jumpers!” puji Carter.

“—Tentu! Karena guruku adalah pendiri Jumpers!—” jawab Strad jumawa.

Carter terhenyak ketika mendengar jawaban Strad, “K—Kolonel Rough?!”

“—Kesalahan terbesar kalian adalah mengangkat kolonel sialan itu menjadi pencetus satuan Jumpers. Bagiku—ia tak lain hanya seorang pencuri!—”

“—Cukup sudah dengan obrolan kalian! Sekarang fokus dengan misi masing-masing! Strad, bagaimana dengan misimu?—“ tanya Komandan Piccard yang sudah mencium perkenalan mereka bertiga mulai menuju perkenalan yang tidak sehat.

“—Sudah berhasil diunggah ke sistem server, waktu menunjukkan enam jam dan menghitung mundur hingga seluruh data yang ada di dalamnya hilang total.—“

“—Strad, ada yang ingin aku bicarakan denganmu—di saluran dua!—“

*****

Saluran dua—saluran radio cadangan yang dipakai untuk pembicaraan empat mata membuatnya tercekat, “Roger, pindah ke saluran dua!” jawab Strad ogah.

“—Strad! Aku berharap kau bisa menjaga sikapmu dengan baik! Mengerti?!—“

Strad menghela napas, “Aku hanya berbicara tentang fakta—!” elaknya.

“—Strad! Kau mengerti?!—“

Strad terdiam beberapa saat, ia mendengus karena rasa terpaksa, “Roger, Komando. Strad selesai!” tutupnya buru-buru.

Emosi Strad mulai memuncak, seiring dengan suhu di sekitar mulai naik ketika waktu bergerak makin siang, tubuhnya yang dilapisi rompi anti-peluru sudah penuh dengan keringat karena panasnya Gurun Hazrabiah.

Strad bisa melihat Edward dan Rupert yang kepanasan, wajah mereka memucat dan mata mereka mulai cekung karena mulai terkena dehidrasi.

“Hey, kawan. Kau punya air lagi?” tanya Edward.

Strad langsung mengorek isi tas ranselnya, ia pun melemparkan kantin air cadangan kepada Edward—dan langsung disambut dengan baik oleh Edward.

“Bagaimana dengan bantuan?” tanya Rupert.

“Mereka mengirim Jumpers untuk mengobati dan mengevakuasi kalian—dua jam lagi.” Jawab Strad. “Buka saja baju kalian, dan jangan sampai badan kalian terpapar langsung sinar matahari, cari tempat yang teduh.” Ujar Strad sembari menggenggam senapan CQB-R-nya yang sudah mulai menjadi panci penggorengan.

*****

Rupert terbangun dari tidurnya, ia bisa melihat Strad sedang beristirahat sembari bersandar di samping pintu masuk reruntuhan kabin, begitu juga dengan Edward—ia tidur sembari memeluk senapan M16A2 temuannya itu layaknya tidur dengan guling.

“Sudah pada tidur semua—“ gumam Rupert.

Tiba-tiba terdengar suara “Tidak juga.” Dari Edward yang tertidur—ia membuka matanya dan kembali bangun.

“Hey! Aku sangka kau sudah tidur.”

“Baru saja mau ketika aku sudah memastikan kalau kau tertidur, ketika kau sudah benar-benar tidur—aku baru menyusul tidur.”

Rupert tersenyum ketika mendengarnya, matanya pun menerawang ke langit Gurun Hazrabiah yang begitu biru muda, “Kita sudah lama tak makan malam bersama.” Ujar Rupert.

Edward tersenyum kecut, “Ya, karena tugas kita semakin ketat selama tiga bulan ini membuat kita tak sempat makan malam bersama lagi.” Timpal Edward.

Edward teringat sesuatu, teringat Alissa, putri semata wayang Rupert.

“Ngomong-ngomong bagaimana kabar Alissa?” tanya Edward.

“Kata mamanya, dia sedang sibuk berlatih bersama teman-teman sekelasnya untuk mempersiapkan acara perpisahan di sekolahnya.” Jawab Rupert.

Walau dalam rasa sakit dan pucat, Rupert masih bisa menyunggingkan senyuman ramahnya yang terkenal di seluruh jajaran Sky Eye.

“Berarti Alissa sekarang mau kelas satu SD, yah?” tanya Edward.

Rupert mengangguk pelan, ia pun menerawang ke langit-langit kabin pesawat, mengingat kembali anak-istrinya di rumah. Ia berharap bisa kembali ke rumah dan bisa ikut hadir dalam acara perpisahan TK-nya.

“Besok lusa acara penutupannya...” ujar Rupert.

“Apa yang akan disuguhkan oleh Alissa dan teman sekelasnya?” tanya Edward.

“Kata mamanya, ia akan memerankan dongeng lebah madu.” Jawab Rupert tak kuasa menahan tawanya.

Edward ikut menerawang bersama Rupert, mengingat-ingat tingkah Alissa yang lucu, genit, dan menggemaskan itu.

“Alissa akan menjadi lebah yang lincah, lucu, dan juga genit!” ujar Edward menerawang.

Rupert tertawa kecil, “Yeah, segenit ibunya ketika ia menyarankan Alissa punya adik.” Timpal Rupert genit.

“Rumahmu akan jadi lebih meriah kalau punya dua anak yang sama lincah dan riangnya.” Seloroh Rupert.

“Aaah!.. Sayang sekali, sudah beberapa bulan ini aku tak sempat menghabiskan waktuku dengan Janice, berdua, kami terus menghabiskan waktu di taman hiburan bertiga. Padahal kami berdua ingin sekali menikmati masa berdua-duaan!” ringis Rupert.

“Tenang saja, ketika pulang, titipkan saja Alissa kepada kami.” Jawab Edward mantap.

“Tidak terima kasih, kalian berdua akan punya bayi, kami tak mau mengganggu kalian.” Tolak Rupert sopan.

“Aaahh!!” erang Rupert ketika ia mencoba menggerakkan tubuhnya sejenak, dari dalam perutnya, ia bisa merasakan rasa sakit yang luar biasa.

“Kenapa?!” tanya Edward panik.

“Sa—sakit sekali, di dalam perutku seperti ada yang menusuk ke dalam isi perutku!” jawab Rupert sembari menahan sakit.

Strad yang sedang beristirahat sejenak, langsung bangun dan menghampiri Rupert yang menahan sakit.

“Sudah kubilang—Jangan banyak bergerak, setidaknya sampai jemputan datang!” tegur Strad kesal.

“Hey, sopan sedikit, kawan—daritadi ia tidak melakukan apa-apa!!” bela Edward yang kesal dengan kelakukan Strad.

“Kalau begitu karena apa?!” tanya Strad yang tak mau mengalah.

“He—Hentikan!” lerai Rupert sembari menahan sakit.

*****

Pertengkaran remeh yang nyaris berujung perkelahian itu akhirnya batal ketika terdengar suara sayup-sayup suara rotor helikopter yang semakin lama semakin terdengar jelas di telinga Strad.

”Su.. Suara helikopter..” gumam Rupert yang juga mulai bangkit dari lemahnya karena mendengar suara helikopter yang mendekat.

“Bantuan kita telah datang!” jawab Edward riang.

Namun Strad tak langsung senang ketika mengetahui ada helikopter mendekati reruntuhan Sky Eye, ia langsung menggenggam erat senapan CQB-R yang dicat kamuflase gurun itu, menunggu jatidiri sang helikopter itu terlihat jelas.

“Jangan senang dulu! Siapa tahu itu adalah musuh—“ cegah Strad, ia pun segera menghubungi Komandan Piccard, “Archangel. Ada helikopter mendekati posisi kami—apakah kalian?”

Helikopter itu makin terlihat dari cakrawala yang bergelombang karena fatamorgana, makin lama mereka makin bisa melihat sosok helikopter Blackhawk bewarna gurun sedang terbang ke arah mereka.

“—Di sini Archangel-2. Roger, Strad! Itu adalah helikopter yang membawa kami berdua ke posisi kalian.—“

“Hanya untuk memastikan, lambaikan tangan ketika kalian sudah menginjak tanah!”

“—Di sini Archangel-1. Tak masalah!—“

DEP! DEP! DEP! Bunyi deru rotor helikopter Blackhawk yang semakin terdengar berisik di telinga Strad dan mereka yang selamat, debu pasir pun mulai beterbangan dimana-mana ketika Blackhawk milik Laskar Udara Hazrabiah itu membawa dua orang Jumpers.

Strad memakai goggle-nya, ia bisa melihat seutas tali tambang dijatuhkan ke bumi, dan terlihat seorang awak helikopter sedang sibuk dengan dua orang berpakaian layaknya tentara Midgard dengan ransel-ransel besar dan berat di punggung mereka.

Ia seperti melihat dirinya sendiri beberapa jam yang lalu, sedangkan kedua awak pesawat yang selamat melindungi wajah mereka dari semburan debu pasir yang beterbangan karena angin hasil putaran baling-baling Blackhawk yang sangat kencang.

Beberapa saat kemudian, helikopter Blackhawk itu pergi meninggalkan dua orang Jumper yang didaulat untuk membantu Strad yang kerepotan.

*****

Helikopter sudah mengambang dengan mantap, tali tambang pun sudah dijatuhkan, sang pilot Blackhawk memberi jempol kepada Carter dan Clinton—mereka sudah diijinkan untuk meluncur ke darat.

Kedua Jumpers itu langsung memakai goggles dan menutupi mulut dan hidung mereka dengan shemag—seperti yang dilakukan Strad—lalu mereka mengencangkan sambungan harness masing-masing sebelum meluncur.

Clinton duluan yang turun, tanpa ragu ia langsung meluncur ke darat dengan mulus namun cepat, setelah kedua kakinya sudah benar-benar menapak di bumi, ia segera melepas kaitan karabiner dan menjauh dari tali tambang, begitu juga yang dilakukan oleh Carter.

Carter bisa melihat dengan jelas siluet dua orang yang sedang melihat mereka dari balik tumpukan reruntuhan Sky Eye dari balik kaca goggle-nya, Carter menyentuh Clinton dan menunjuk ke arah tempat dimana Strad dan yang lainnya bersembunyi.

Carter melambaikan tangannya, beberapa saat kemudian ada balasan lambaian tangan untuknya.

”Itu mereka, ayo!” panggil Carter sembari menepuk bahu Clinton dan bergerak maju lebih dulu.

*****

“Itu mereka?” tanya Edward.

“Yeah!” jawab Strad yang memandangi kedua Jumpers itu berjalan ke arah mereka berdua.

Edward tersenyum optimis, ia seperti melihat dua orang malaikat penolong datang, ia memalingkan wajahnya dan mengatakan “Bantuan sudah datang!” dengan penuh semangat kepada Rupert.

*****

“Jangan tembak, bantuan datang!” ujar Clinton yang bergegas masuk ke dalam kabin.

”Hey!.. Kenapa helikopter sialan itu tidak menunggu untuk mengangkut kami??” tanya Edward bingung.

”Negatif, kawan. Mereka akan menjemput kita lagi setelah urusan kita selesai.” jawab Clinton.

”Strad?” tanya Carter kepada Strad.

”Yeah, betul.” jawab Strad.

“Yang mana yang mengalami pendarahan?” tanya Carter.

Strad menunjuk ke arah Rupert yang tergeletak dengan perut ditutupi perban yang mulai memerah.

”Sudah berapa lama ia mengalami pendarahan?” tanya Carter dengan nada serius, ia menghampiri Rupert dan menjabat tangannya. ”Tenanglah, kawan. Kami akan menyembuhkanmu.” hibur Carter.

Rupert tersenyum lega ketika melihat kedatangan para Jumpers, itulah ekspresi para prajurit Rune-Midgard yang terluka ketika bertemu dengan para Jumpers, mereka merasa aman dan lega ketika para malaikat perang penyelamat ini datang menolong mereka.

“Syukurlah kalian datang, Jumpers!” sambut Edward lega sembari menepuk-nepuk tubuhnya yang penuh dengan debu pasir.

”Entahlah, kemungkinan lima atau enam jam—kalau hitung-hitunganku benar, ia benar-benar beruntung, jarang ada yang bisa bertahan selama ini dengan luka seperti itu. Kelihatannya serpihan benda tajam yang ada di perutnya mulai menusuk ke dalam.” jawab Strad.

Carter merogoh lightpen yang terselip di antara jejaring rompi IBA-nya, ia melebarkan kelopak mata Rupert dan menyinari matanya dengan lightpen itu.

Carter terlihat resah ketika melihat kondisi Rupert dari kelopak mata dan wajahnya yang memucat.

”Dia mengalami pendarahan serius..” ujar Carter resah.

Carter merogoh bagian dalam kerah seragam Rupert yang kotor oleh bercak-bercak darah,akhirnya ia mendapatkan ia dapatkan—dua buah plat yang dikalungkan di leher Rupert dan prajurit lainnya yang sering disebuh dogtag itu.

VAN DER BEEK, RUPERT
85786543210
AB NEGATIF
KATHOLIK

”AB Negatif.” eja Carter.

“Baiklah, kita lihat dulu—apa benar ada benda tajam di dalam perutnya.” Ujar Clinton sembari mengambil alat foto roentgen portabel di dalam ransel 70 kilogramnya.

CEKREK!

Bunyi jepretan foto roentgen portabel yang dibidikkan tepat ke arah perut Rupert yang mulai mengeluarkan darah, dengan sigap ia menarik film-nya dan menggoyang-goyangkannya di udara agar cepat terlihat hasilnya.

Clinton memandangi hasil foto roentgen itu dengan wajah serius, ia memandangi Rupert yang juga memandangi wajahnya dengan lemah.

“Bagaimana?” tanya Carter.

Carter menggelengkan kepalanya, “Parah sekali, ada enam benda tajam—sepertinya pecahan pesawat—yang bersarang di perutnya.” Jawab Carter sembari menunjukkan enam lempengan kecil sebesar uang recehan namun bergerigi tajam di setiap sisinya.

“Tiga pecahan bersarang di sekitar usus halus Rupert, dua pecahan lagi dekat pankreasnya, dan satu lagi mulai mengoyak hatinya. Itu yang membuat Rupert terus mengalami pendarahan dalam, karena setiap ia bergerak, malaikat-malaikat kematian berbentuk kecil itu terus mengoyak-oyak isi perutnya.” Papar Clinton.

“Berapa lama kalian akan membedahnya?” tanya Strad.

“Enam jam, atau lebih—Kita harus segera membawanya ke rumah sakit setelah melakukan prosedur pembedahan.” Jawab Clinton.

Rupert bisa mendengar pembicaraan ketiga pasukan khusus itu, awalnya ia ketakutan mendengar kalau ada enam pecahan badan pesawat bersarang di perutnya, namun ia pun memantapkan dirinya, “Lakukan, kawan. Lakukan!” desak Rupert.

Strad memandangi Clinton dan Carter, “Well? Pasien sudah memintanya!” gumam Strad.

Clinton dan Carter saling berpandangan, mereka pun mengangguk satu sama lain dengan mantap.

Operasi darurat di lapangan pun dimulai.

*****

Prosedur medis pun mulai dijalankan untuk mengeluarkan pecahan-pecahan tersebut dari perut Rupert.

Peralatan bedah steril, kantong darah golongan AB rhesus negatif, antiseptik, alat anestesi, alat bantu pernapasan, perban, kapas, kain kassa, dan berbagai macam alat serta benda yang mendukung pembedahan nanti—sepertinya satu rumah sakit bisa dijejalkan ke dalam ransel seberat tujuhpuluh kilogram itu.

Carter sedang sibuk membersihkan permukaan kulit perut Rupert dengan cairan antiseptik dan kapas steril hingga benar-benar bersih kembali, sedangkan Edward dengan penuh perhatian ia memandangi bagaimana seorang Jumper memberikan pengobatan darurat kepada yang membutuhkan.

“Biarkan mereka berdua melakukan pembedahan tanpa diganggu. Ambil senapanmu, kita berjaga-jaga disini!” ujar Strad.

Rupert terhenyak beberapa saat, lalu kemudian meraih senapan M16A2-nya dan ikut mengawasi sekitar reruntuhan.

Strad memandangi layar server, “Tch!.. Masih empat jam lagi.” Gerutunya.

*****

”Kain Hemostat.” pinta Carter sembari mengulurkan tangannya—yang dilapisi sarung tangan bedah—yang penuh dengan darah segar—kepada Clinton.

Dengan sigap Clinton menyerahkan kain hemostat kepada Carter yang mulai berkeringat itu.

Edward bisa melihat kedua Jumper lulusan fakultas kedokteran dengan kelulusan suma cum laude itu sedang sibuk mengendalikan pendarahan Rupert yang sedang dalam keadaan dibius.

Kantong darah dengan golongan darah AB rhesus negatif, bergelayutan di atas tiang aluminium kecil, mengalirkan darah segar ke tubuh Rupert yang semakin banyak kehilangan darahnya karena pembedahan.

*****

“Aku heran, bagaimana caranya pemerintah bisa merayu dokter-dokter spesialis ini mau ke medan perang..” gumam Strad.

Edward terdiam beberapa saat, “Dokter spesialis? Mereka berdua dokter spesialis?” tanya Edward tak percaya.

Strad mengerutkan dahinya, “Berapa lama kau bertugas di Angkatan Udara?” tanya Strad.

“Lima tahun.” Jawab Edward malu-malu.

Edward bisa mendengar tawa kecil Strad yang satir dan miris itu.

“Pantas saja..” seloroh Strad.

“Lalu, bagaimana denganmu, kawan? Berapa lama kau bertugas?” tanya Edward.

“Bukan urusanmu, kawan!” jawab Strad tidak simpatik.

Edward hanya bisa memandangi kecut Strad yang tidak simpatik itu, sedang berjalan keluar dari dalam reruntuhan pesawat.

Hazrabiah mulai bersahabat, langit mulai teduh seiring waktu mulai berjalan menuju datangnya malam.

PUKUL 1735
PERBATASAN HAZRABIAH—SALIMIAH
GURUN PASIR HAZRABIAH
KESULTANAN HAZRABIAH

Tiga G-Class dengan senapan mesin MG43 yang bertengger di rangka atas kendaraan andalan pasukan SS ini, terus memacu mesinnya hingga kecepatan maksimum supaya mereka cepat sampai ke lokasi jatuhnya Sky Eye.

Para penumpang hanya bisa duduk manis di dalam kabin belakang, memeluk erat senapan G36C mereka, mengobrol dan bercanda, merokok—tak perduli mereka terpontang-panting karena suspensi jip mereka yang kelewat empuk.

Sedangkan sang letnan, terus mempelajari foto-foto sekitar lokasi jatuhnya Sky Eye dari citra foto pesawat intai A320 milik AU Kekaisaran Galbadia.

Ia berpaling kepada sang supir yang sedang sibuk menstabilkan kemudi jip-nya, dengan mata dilindungi goggle dan muka ditutupi keffiyeh hijau kecoklatan.

”Kapan kita sampai, prajurit?” tanya sang letnan.

Sang prajurit yang didaulat menjadi supir jip G-Class terdepan ini memandangi perangkat GPS yang tergantung di dasboard tengah. GPS-nya menunjukkan angka 01:20:45.

”Satu jam duapuluh menit lagi, Letnan!” jawab sang supir.

”Bawa kendaraan ini lebih cepat lagi!” titah sang komandan.

Sang prajurit langsung menginjak dalam-dalam pedal gasnya. Konvoy empat jip SS ini semakin memacu kecepatannya lebih tinggi lagi, membelah luasnya gurun pasir Hazrabiah yang ganas.

*****

Jam tangan digital Strad yang bewarna hijau kecoklatan, mirip warna hijau pakaian dinas lapangan tentara Rune-Midgard itu, menunjukkan angka 18 : 45: 00.

Ia pun memandangi langit Gurun Hazrabiah yang sudah mulai memudar, matahari pun tak kejam lagi menyengat wajah-wajah mereka, sang raja terang itu mulai lelah membuang tenaganya menyinari dunia hampir empatbelas jam, dan saatnya ia kembali tenggelam di ufuk barat untuk beristirahat.

“Tak terasa sudah mulai malam.” gumam Strad sembari memandangi mega yang bersinar merah tua di ufuk barat.

Ia pun berpaling memeriksa proses pemindahan data rahasia itu, ”Hmp! Tiga jam lagi! Mengerikan!” umpat Strad kepada lambatnya proses pemindahan data intai yang memiliki jumlah data hampir 150 terra-byte itu.

Maklum saja, server itu berisi data-data hasil pengintaian berupa foto-foto digital dan rekaman aktivitas dengan kualitas beribu-ribu pixel untuk memberikan keakuratan obyek yang mereka ambil, dan komunikasi-komunikasi yang Sky Eye sadap dengan kualitas suara superjernih.

Untuk memuaskan para pengambil keputusan yang tergantung pada observasi lapangan, maka ganjaran yang mereka dapatkan adalah besarnya data yang luarbiasa besarnya.

Strad kembali duduk menyandar pada server Sky Eye yang hangat karena menyerap panasnya matahari yang menyinarinya.

Ia memandangi kedua Jumpers yang masih sibuk membedah Rupert dengan cepat namun telaten, walau wajah-wajah mereka ditutup oleh masker bedah, tapi ia bisa melihat betapa lelah dan kewalahannya membedah pasien dengan kasus separah ini.

*****

TRANG! Bunyi pecahan kabin pesawat yang jatuh diatas baki almunium, menyusul ketiga pecahan kabin pesawat yang berhasil diambil oleh Carter sebagai pembedahnya.

“Kantong darah sudah mulai habis, segera ganti dengan yang baru.” Ujar Carter.

Dengan sigap Clinton merogoh kantong darah yang baru, mencabut jarum transfusi yang lama dengan jarum yang baru sembari menggantungkan kantong darah yang baru.

“Tinggal dua kantong darah golongan AB minus. Pendarahannya terlalu parah, dia sudah menghabiskan dua kantong.” Ujar Clinton.

“Maka dari itu, kita harus segera mengeluarkan pecahan-pecahan sialan ini.” Jawab Carter yang masih sibuk mengaduk-aduk isi perut Rupert yang masih terbuai dalam mimpi anestesinya.

*****

Edward terlihat lelah menunggu, ia sadarkan tubuhnya ke server pesawat yang hangat, hangatnya rangka-rangka baja kokoh melindungi server pesawat dari hantaman keras yang menyerap panasnya matahari siang, membuatnya merasa nyaman dan damai.

Pandangannya mulai menerawang, mengingat kembali bagaimana ia bisa bertemu dengan Rupert pertama kali.

*****

“Nama?” tanya seorang Sersan Staff dengan wajah malas.

“Kopral Penerbang Edward McKlusky, NIP 809-745-102, siap untuk bertugas, Pak!” jawab Edward lantang.

“Yeah.. Selamat datang di Sky Eye, meja kerjamu ada disana..” tunjuk sang Sersan Staff malas.

Edward memandangi kursi operator kamera, disampingnya ada seseorang tinggi ramping dengan kacamata minusnya sedang sibuk memperhatikan server pesawat yang hampir sepantaran tingginya dan mencatat maintenance-log.

Ia berjalan menuju meja kerja barunya itu sembari berusaha memunggungi sang sersan utama itu.

Tiba-tiba, sang sersan utama berbalik ke arahnya dan memandanginya, Edward salah tingkah, ia pun langsung bersikap sempurna.

“Kopral Penerbang Edward McKlusky, NIP 809-745-102, siap untuk bertugas, Pak!” jawab Edward lantang.

Sersan Utama itu tersenyum ramah kepadanya, “Panggil saja Rupert, selamat datang di Sky Eye.” Jawab Sersan Utama Rupert van Der Beek ramah.

“Te—terima kasih, Pak!.. Eh, Rupert!” jawab Edward salah tingkah.

*****

Tahun berganti tahun, semakin dekat persahabatannya antara Edward dan Rupert, Edward pun sudah semakin mengenal Rupert dan keluarga kecilnya yang bahagia, dan Janice lah—istri Rupert—yang menjodohkannya dan istrinya sekarang ketika Edward mengeluh kepada Rupert karena seret jodoh.

Edward masih ingat betapa hangatnya suasana rumah Rupert, biarpun kecil dan sederhana, tapi begitu hangat dan nyaman.

Ia dan istrinya bisa melihat betapa akurnya pasangan Edward dan Janice, istrinya. Istri Edward begitu senang sekali ketika berkenalan dengan mereka berdua, termasuk Alissa, permata hati Rupert dan Janice yang sudah ia dan istrinya anggap keponakan sendiri.

Edward meringis ketika mengingat desakan istrinya untuk segera punya momongan karena ingin memiliki anak semenggemaskan Alissa.

Ia pun teringat ketika ia curhat kepada Rupert akan masalah rumah tangganya, ia dan istrinya yang sedang hamil muda—waktu itu—terus bertengkar. Edward kebingungan apa yang harus ia lakukan untuk bisa terus bersama dengan istrinya, seperti Rupert dan Janice.

“Memang begitu istri seorang prajurit, mereka kecewa karena kita tidak bisa ada ketika mereka membutuhkan perhatian dari kita. Itu yang menyebabkan istrimu kecewa terhadapmu. Ia sebenarnya kecewa karena tuntutan tugas memisahkan antara dirimu dan dirinya, apalagi ia sedang mengandung.” Jawab Rupert bijak.

Edward mengangguk sembari menundukkan kepalanya, ia malu karena tak tahu perasaan istrinya yang sebenarnya. “Aku iri, kau dan Janice bisa selanggeng dan seakur itu.” Seloroh Edward.

Tiba-tiba Rupert meremas bahunya sembari tertawa, “Aku juga punya masalah yang sama sepertimu, kawan. Aku cuma bisa memberikan saran kepadamu, manfaatkan waktu bebasmu untuk memperhatikan keluargamu. Karena belum tentu kita akan bisa bertemu dengan mereka lagi.” Gumam Rupert.

*****

Edward tersentak dari lamunan masa lalunya, ia pun memandangi Rupert yang dalam keadaan kritis--Manfaatkan waktu bebasmu untuk memperhatikan keluargamu, karena belum tentu kita akan bisa bertemu dengan mereka lagi—Edward tertegun sesaat, menundukkan kepalanya, menahan emosinya yang tiba-tiba mulai keluar ketika sekelebat mengingat keluarga Rupert dan istrinya di rumah.

Strad yang sedang memandangi cakrawala yang mulai gelap, mendengar suara sesenggukan yang berasal dari Rupert dengan mata berkaca-kacanya.

“Cengeng...” gumam Strad dengan wajah trenyuhnya.

*****

“Pak!”

Komandan Piccard langsung terbangun dari tidurnya—tak disangka, ia tertidur di meja kerjanya di Ruang Komando, panggilan dan sentuhan Anne langsung membuatnya kembali tersadar.

Ia pun mengusap wajahnya untuk memaksa wajahnya bisa segar kembali, “Aku tertidur.”

Anne tersenyum, “Sudah dari kemarin anda tidak tidur.” Ujar Anne sembari menyodorkan tangan kanannya yang memegang segelas susu coklat panas.

Komandan Piccard langsung menyambutnya dengan baik, “Terima kasih.”

“Ijin untuk bertanya, Pak!”

“Hmmm!.. Pertanyaan apa itu, Sersan?”

“Soal orang yang disebut Guru oleh Strad. Saya jadi penasaran—siapa dia?”

Komandan Piccard menunduk sejenak, ia membuka masa lalunya, namun ia terganjal oleh kesepakatan untuk merahasiakan segala hal yang berhubungan dengan satuan tugas itu, “Hanya bisa mengatakan—Beliau adalah orang yang melihat si bawel itu sebagai manusia.” Jawabnya singkat sembari memandangi layar monitor.

Tiba-tiba sebuah alaram peringatan menyala—satelit pemantau bereaksi terhadap sebuah iring-iringan yang sedang bergerak dengan kecepatan tinggi mendekati reruntuhan Sky Eye.

Anne pun bergegas menuju meja kerjanya, memantau lebih dekat lagi untuk memastikan milik siapa iring-iringan itu—ternyata itu adalah iring-iringan pasukan SS.

“Pak, ada iring-iringan Pasukan SS menuju Sky Eye—tiga buah jip G-SS dan sepuluh orang bersenjata lengkap!”

“Posisinya?!”

“Kira-kira dua mil dari Sky Eye—satu jam lagi mereka akan sampai di posisi Strad!”

Komandan Piccard langsung menghubungi Strad, “Strad, di sini Komando!”

*****

“Di sini Strad.” Jawab Strad.

“—Kami menemukan ada iring-iringan Pasukan SS menuju posisi kalian, tiga buah jip G-SS dengan sepuluh orang bersenjata lengkap sedang bergerak ke posisi kalian!—“

“Kapan mereka sampai ke sini?!”

“—Satu jam lagi!—“

“Roger, Komando. Strad selesai!”

“Ada apa?” tanya Edward yang bisa melihat wajah Strad yang tadinya santai, berubah menjadi sangat serius ketika selesai melakukan komunikasi radio dengan Komandan Piccard.

“Pasukan SS terdeteksi sedang dalam perjalanan menuju posisi kita, satu jam lagi mereka akan sampai!” umum Strad.

Carter dan Clinton terdiam, sejenak mereka berdua menghentikan pembedahan, dan saling berpandangan mata satu sama lain.

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Edward resah.

“Kita akan membuat perimeter pertahanan.” Jawab Strad, “Kau—“ tunjuk Strad kepada Edward, “Jaga tempat ini sebisa mungkin, aku akan berada di posisi terdepan—berusaha untuk membuat tamu kita repot.”

Edward mengangguk mengerti.

“Clinton, ikut bersama dia—ia butuh bantuan!” perintah Carter.

“Tapi, bagaimana dengan operasi ini?” tanya Clinton.

“Apa kau lupa kalau kita dilatih untuk bisa melakukan segala macam operasi sendirian?”

“Tidak, Pak!” jawab Clinton mantap.

“Kalau begitu segera bersiap!”

Clinton langsung melepas kedua sarung tangan bedahnya yang berdarah-darah dan masker mulutnya, “Aku akan membantumu membendung mereka!” tawar Clinton sembari meraih M4RIS berpelontar granatnya.

“Terima kasih!” jawab Strad.

*****

“Di depan kita! Satu kilometer lagi!” lapor seorang kopral kepada Komandan Regunya.

Sang Komandan Regu mengangguk mengerti, ia pun langsung meraih radio yang menggantung di dashboard jip G-SS yang ia tumpangi, “Tim barisan paling belakang lakukan manuver membokong, kita akan mencoba menjepit mereka dari depan dan belakang!”

“—Roger!—“ jawab anggotanya yang berada di iring-iringan paling belakang, jip G-SS bersenjatakan senapan mesin MG43 langsung berpisah dari iring-iringan, bergerak cepat menuju bagian belakang reruntuhan Sky Eye.

*****

“—Satu kendaraan mereka melakukan manuver membokong, jumlah mereka ada tiga orang!—“ lapor Anne yang memantau posisi Pasukan SS itu dari langit.

“Lalu bagaimana dengan dua lainnya?” tanya Strad yang bersembunyi di balik gundukan pasir.

“—Tim inti mereka sedang bergerak menuju ke arah kalian berdua, satu jip bersenjatakan MG43 dan pelontar granat otomatis.—“

“Lalu yang mana jip yang berpelontar granat?” tanya Clinton.

“—Yang paling depan!—“

“Okay! Aku akan melumpuhkan yang paling berbahaya dulu—yang berpelontar granat!” tawar Clinton.

“Roger, Archangel-2. Setelah berhasil melumpuhkan yang berpelontar granat, aku akan menembaki yang nanti tersisa.” Dukung Strad.

“—Mereka datang ke posisi kalian—bersiaplah!—“

*****

Strad dan Clinton langsung bersiap-siap menembak dua iring-iringan Pasukan SS yang akan melintasi lokasi penyergapan yang mereka buat—Strad dan Clinton berhadap-hadapan menyamping jalur masuk kedua mangsa mereka, Strad berlindung di balik gundukan pasir sedangkan Clinton berlindung di balik onggokan mesin Sky Eye.

Suara deru mesin khas mobil jip mercedes-benz makin terdengar jelas, Strad langsung bersiap dengan kuda-kuda menembak—kedua matanya tidak lepas dari garis bidik ACOG-nya, sedangkan Clinton sudah bersiap membidikkan pelontar granat M203-nya.

Dan saat yang paling menentukan pun datang—kedua jip G-SS itu melintasi posisi penyergapan mereka, dengan mantap Clinton menembakkan pelontar granatnya.

Peluru granatnya meluncur tepat ke sela-sela ban depan.

*****

BLEDARRRRRRR!!!!

Mobil paling depan langsung terjungkal ke depan seiring bola api mencuat cepat dari kaki-kaki depan, sebagian besar Pasukan SS yang berada di atas mobil tersebut tanpa ampun ditimpa mobil mereka sendiri, beberapa dari mereka terpental keluar mobil.

“Kita disergap!!” erang supir mobil belakang sembari langsung membanting setirnya ke arah kanan—menghindari mobilnya menabrak mobil paling depan yang dijilat oleh api.

*****

Strad langsung melepaskan tembakan gencar ke arah mobil belakang yang mencoba banting setir—sasaran pertamanya adalah prajurit SS yang sedang memegangi senapan mesin MG43, tanpa ampun ia menembak terus hingga si operator MG43 itu terjatuh dari mobil.

Beberapa yang selamat langsung refleks merundukkan tubuh mereka serendah mungkin dan mencoba membalas tembakan Strad semampunya sembari mencoba menyeimbangkan tubuh mereka dengan mobil yang mengebut dengan manuver zig-zag.

Strad langsung berlari mencari tempat berlindung yang lebih keras secepat mungkin ketika mendengar desingan peluru dan suara peluru yang masuk ke dalam pasir semakin gencar.

*****

Clinton membalas tembakan dari mobil belakang dengan peluru senapan M4RIS-nya, “Telak sekali, kawan!” erang Clinton senang.

*****

“Jangan senang dulu—masih ada dua jip lagi yang harus kita ladeni!” jawab Strad sembari mengisi kembali amunisi CQB-R-nya, “Usahakan jangan sampai mereka mengetahui keberadaanmu!”

“—Roger! Kembali mengisi peluru granat!—“ jawab Clinton.

“—Mobil yang lolos dari sergapan berlindung di reruntuhan ekor pesawat, sebagian dari mereka turun dari mobil, dan sedang mengatur barisan!—“ lapor Anne.

“Roger, Anne!” jawab Strad yang langsung keluar dari tempat berlindung dan memacu langkahnya.

Ia menyelempangkan CQB-R-nya, mencabut dua buah granat fragmentasi, tanpa ragu ia melepas kedua pengaman granat tersebut dan membiarkan kedua granat yang mulai mengembang itu berada di kedua tangannya.

Sudah dua detik granat itu ada di kedua tangannya—sudah saatnya!—dengan sekuat tenaga ia melemparkan kedua granat fragmentasi itu ke para prajurit SS yang sedang berlindung di balik reruntuhan ekor pesawat.

Dua detik kemudian terdengar ledakan keras dan erangan manusia, ia pun langsung mendaki reruntuhan ekor pesawat sehingga ia bisa melihat beberapa pasukan SS tergeletak dan mengerang kesakitan.

Tanpa ampun ia menembaki para pasukan SS yang masih selamat dari dua ledakan granat yang meledak secara bersamaan itu tepat di titik-titik vital—mereka tidak akan bergerak lagi untuk selamanya.

Operator MG43 yang lolos dari ledakan granat itu langsung menembaki Strad yang tidak memperhatikan keberadaannya dengan gencar.

Tembakan gencar itu mengoyak lapisan almunium reruntuhan dan mementalkan tubuh Strad, ia pun jatuh menggelinding dengan cepat dan berhenti dengan kasar, ia mengaduh kesakitan—betis dan bahu kirinya terserempet peluru.

*****

“Strad!” Clinton langsung beranjak dari persembunyiannya dan bergegas menghampiri Strad yang terkapar, “Hey! Kau tak apa-apa, kawan?!” tanya Clinton yang bisa melihat Strad masih selamat.

“Orang Galbadia sialan itu berhasil mengenai betis dan bahuku!” ringis Strad.

Terdengar suara senapan mesin menyalak galak dan desingan peluru di dekat mereka berdua—jip G-SS yang mau membokong Strad dan yang lainnya mengganti rencana untuk menyerang langsung Strad dan Clinton.

“Kita harus kembali!” ujar Clinton sembari berusaha merundukkan kepalanya serendah mungkin,” Ayo—Aku bantu kau!” tawar Clinton sembari mengulurkan tangan kanannya.

“Aku masih bisa berdiri!—“ tampik Strad sembari mencoba bangkit dari jatuhnya.

Mereka berdua langsung bergegas menuju reruntuhan kabin pesawat—Strad berlari dengan terpincang-pincang, namun ia masih menyempatkan diri untuk membalas tembakan pasukan SS yang tersisa, sedangkan Clinton berusaha memberikan tembakan perlindungan untuk Strad.

Tapi jalan kehidupan Clinton berakhir di Hazrabiah—ketika dua peluru kaliber 76,2 milimeter bersarang di dadanya, lempengan keramik anti-peluru yang ada di dalam rompi IBA-nya tak mampu menangkisnya.

Strad hanya bisa melihat Clinton tergeletak dan tak bergerak lagi, “Cih!” desisnya sembari terus memacu langkahnya menuju tempat perlindungan terakhir.

*****

Edward daritadi hanya bisa berlindung sembari mendengar suara baku tembak dan ledakan, ini jadi saat-saat hidup dan mati Edward untuk kedua kalinya—hanya bisa menggigit bibir dan menggenggam erat senapan M16A2-nya.

Beberapa saat kemudian, ia bisa melihat Strad sedang berlari terpincang-pincang, wajahnya terlihat seperti paduan rasa kesal dan takut—dan beberapa saat kemudian ia bisa melihat pasukan musuh mengejarnya dari belakang dan menembakinya.

“Apa yang kau lakukan?! Tembak keparat-keparat itu!!” teriak Strad.

Edward langsung membidik seorang SS yang sedang membidik Strad—tepat di tengah-tengah badannya, tanpa ragu ia menembakkan M16A2-nya dengan gencar.

Namun hasilnya—pasukan SS itu masih hidup, ia langsung lari mencari selamat dari tembakan kalap Edward.

*****

Strad langsung meluncur ke dalam lubang masuk reruntuhan untuk bisa lekas sampai, beberapa detik kemudian terdengar ledakan granat dan kepulan pasir yang beterbangan tak jauh dari lubang masuk.

“Hey! Di mana Jumpers satu lagi?!” tanya Edward sembari melepaskan tembakan ke arah musuh.

Strad memandangi Edward dan khususnya Carter yang memandangi dirinya ketika Edward menanyakan nasib rekan seperjuangannya itu di tengah-tengah operasi, ia menghela napas sejenak, “Dia mati!” jawabnya tanpa perasaan.

“Dimana jemputan yang dijanjikan?!” tanya Edward.

Strad tak menjawab—ia malah langsung lari ke arah server komputer yang beberapa jam yang lalu sedang mengunduh program virus yang dibawa oleh Strad—Pengunduhan Selesai—Strad menghela napas lega ketika melihat tulisan di layar itu.

“Hey! Aku bertanya padamu!” labrak Edward.

“Aku mohon tutup mulutmu sebentar saja!” jawab Strad. “Bagaimana dengan operasinya?” tanya Strad.

“Satu pecahan lagi—Gila! Baru kali ini aku mengalami operasi di tengah kekacauan seperti ini!” jawab Carter.

“Sebentar lagi operasi kawanmu selesai, apabila selesai kita baru bisa memanggil jemputan! Kita harus mempertahankan posisi ini mati-matian sampai operasinya selesai!” umum Strad sambil mengisi amunisi CQB-R-nya.

Edward menahan kekesalan dan paniknya, ia memandangi Strad lalu memandangi Rupert—sahabat dekatnya yang sudah ia anggap sebagai seorang kakak baginya—masih tak sadarkan diri karena dibius total.

Ia pun langsung bangkit dan kembali membantu Strad yang menembaki pasukan SS yang masih tersisa dari sela-sela lubang masuk reruntuhan kabin pesawat.

Edward mencoba untuk bisa menembak lebih akurat, ia membidik seorang SS yang menembaki posisi mereka dari sela-sela reruntuhan jip G-SS yang gosong, walau dengan tembakan tunggal, peluru-peluru yang ia lesatkan tidak ada yang kena—dan ketika ia sudah menghabiskan tiga perempat magasen Edward berhasil mengenai—kakinya.

“Tembakan penerbang memang payah!” gerutu Strad.

Edward hanya bisa terdiam beberapa saat dan kemudian kembali membalas tembakan-tembakan musuh yang berjarak seratus meter di depan mereka dengan kemampuan menembak sekenanya.

*****

Strad memperhatikan pasukan-pasukan SS yang sedang mencuri lihat dan mencuri tembak ke arah mereka berdua—satu di reruntuhan kiri, dua di gundukan pasir itu, satu lagi berlindung dibalik jip.

Keadaan semakin bertambah sulit, ketika ia menyadari sudah lima magasen ia habiskan dalam pertempuran ini, berarti ia tinggal memiliki tiga magasen yang masih ada—satu magasen di senapannya dan duanya masih tersimpan di balik kantong amunisi ALICE-nya.

Ia harus berinisiatif, sebelum ia dan Edward harus mati terbantai atau menyerah kalah pasrah disiksa oleh para pasukan SS yang akan menyekap mereka karena kehabisan amunisi untuk terus “bertelur”.

“Aku punya ide untuk menghabisi mereka semua!” ujar Strad.

Edward menghentikan tembakannya, “Bagaimana?” tanya Edward polos.

“Kau terus menekan mereka untuk tetap berlindung, aku akan membokong mereka dari samping. Dan jangan berhenti menembak sebelum aku mengatakan aman—Mengerti?!”

Edward mengangguk sembari merogoh kantong baju seragamnya untuk mengambil magazen cadangan, mengisi senapan M16A2-nya.

Strad tersenyum, “Syukurlah kalau kau mengerti!” gumamnya sembari mengisi amunisi baru untuk CQB-R-nya, “Tunggu aba-aba dariku!” ujar Strad kepada Edward.

Edward mengambil kuda-kuda membidik, mengarahkan bidikannya ke musuh yang sedang mencuri-curi tembak dari balik tempat mereka berlindung.

“Tembak!”

*****

Edward melepaskan tembakan tunggal yang gencar ke tempat-tempat bersembunyinya para pasukan SS tersebut, mereka tak sadar kalau Strad sedang mengambil langkah seribu—walau terpincang—untuk menikung mereka dari samping.

Dengan hati-hati ia mengendap-endap ke arah musuh, ia bisa melihat dengan jelas kelima tentara SS yang sedang melepaskan tembakan gencar ke arah bunker dadakan, dengan hati-hati ia membidik mereka dengan ACOG-nya, menunggu saat yang tepat untuk menyergap mereka.

Ketika peluru mereka habis, mereka langsung bergegas mengisi kembali senapan mereka—ini dia saat yang ditunggu-tunggu!

Kesempatan pun datang, Strad tanpa ampun melepaskan tembakan ke arah pasukan SS yang begitu dekat dengannya—ia bisa melihat wajah mereka yang sedang menahan sakit diterjang pelurunya.

Satu orang SS lolos dari sergapan mautnya, dengan cepat ia mencabut pistol M1911A3-nya dan melepaskan tembakan telak ke arah wajah dan leher SS itu tanpa ampun.

Ia bisa melihat jasad-jasad para prajurit SS yang tergeletak tak bernyawa lagi, dengan cepat ia bergegas mengganti magazen CQB-R dan M1911A3-nya—Strad mengawasi medan pertempuran, keadaan yang barusan begitu kacau, penuh dengan baku tembak, kini jadi sepi.

“Komando, bagaimana? Masih ada musuh yang tersisa?” tanya Strad.

“—Aman, dari sini kami melihat sudah tidak ada pergerakan lagi.—“ jawab Anne.

Strad menghela napas lega—akhirnya pertempuran sengit itu berakhir juga, “Archangel-1, bagaimana dengan operasinya?”

*****

”Akhirnya!..” gumam Carter lega, pecahan terakhir sudah berhasil dibuang, “—pecahan-pecahannya sudah berhasil dibuang semuanya, tinggal menutup luka-luka yang ada.” Jawabnya.

“—Bagaimana dengan kondisinya?—“

“Sudah mulai stabil. Aku berharap tidak ada lagi yang mesti dikhawatirkan—apalagi ini sudah kantong darah terakhir.”

*****

Strad duduk dan menyandarkan tubuhnya di reruntuhan di dekatnya, akhirnya ia bisa bernapas dengan tenang, merebahkan tubuhnya dengan santai, dan menyempatkan diri untuk menegak air mineral.

“Kalau begitu tinggal menunggu operasi selesai dan setelah itu memanggil jemputan kita.” Ujar Strad.

“—Roger, Strad!—“

Adrenalin di darahnya sudah mulai berkurang, rasa sakit mulai terasa dari kedua luka tembaknya, “Misi pertama yang menyebalkan!” desisnya sambil memandangi langit Hazrabiah yang mulai memudar.

RUMAH UTARA

KOMPLEKS GEDUNG STRIFE

JUNON RUNE-MIDGARD

Presiden Xavier terbangun dari tidurnya yang lelap, suara deringan telepon darurat—yang bewarna merah menyala dan hanya akan berbunyi kalau ada masalah darurat—dengan begitu sabar memanggil sang presiden dan ibu negara untuk segera bangun.

Presiden Xavier yang hanya menggunakan kimono sutra warna abu-abu dengan badge bordiran lambang kepresidenan—dan berwajah bantal serta mata kemerah-merahan, bangkit dari tempat tidurnya.

Ibu negara yang ikut terbangun dari tidurnya, tetap berada di ranjang dengan menutup tubuhnya yang memakai lingerie tipis warna merah muda dengan selimut—ia kembali melanjutkan tidurnya sembari mengomel.

“Xavier di sini.” Jawab sang presiden dengan suara bergumam.

“—Pak, terjadi pergantian kekuasaan di Hazrabiah dan pasukan Galbadia masuk dan menguasai wilayah Hazrabiah!—“

“APA?!”

Suara yang terdengar malas-malasan itu langsung berubah menggelegar—dan membangunkan istrinya.

ISTANA AL-JAMIYAH

KOTA RAS-AL-ALIYAH

KESULTANAN HAZRABIAH

Pangeran Salim—adik dari Sultan Hamid, penguasa Kesultanan Hazrabiah, sedang memakai pakaian ghamis terbaiknya di kamar riasnya yang mewah, dua orang abdi begitu teliti memakaikan jubah hitam dengan bordiran khas Hazrabiah yang terbuat dari benang emas murni.

Terdengar suara orang mengetuk pintu, Pangeran Salim tahu betul siapa yang mengetuk pintu tersebut—irama ketukannya begitu khas, berbeda dengan orang lain yang hanya asal mengetuk pintu.

“Masuk Jendral Mahmud!” panggilnya.

Ketika mendapat ijin masuk, Jendral Mahmud—Panglima Laskar Kesultanan Hazrabiah—masuk ke dalam kamar Pangeran Salim sembari menundukkan kepalanya dan mengucapkan, “Panjang umur untuk Pangeran!” sebagai sapaan kepada keluarga istana.

“Bagaimana dengan rencana kita?” tanya Pangeran Salim.

“Semua berjalan sesuai dengan apa yang kita rencanakan, Yang Mulia. Walau ada beberapa kontak senjata dengan loyalis Sultan Hamid.” Jawab Jendral Mahmud.

“Bagaimana dengan para keluarga istana yang mendukung sultan?”

“Semua berjalan sesuai dengan apa yang kita rencanakan, Yang Mulia. Sang sultan dan keluarganya, dan orang-orang yang loyal terhadapnya sudah berhasil kita ringkus. Tapi ada beberapa yang melawan dan terpaksa kami bunuh.”

“Tak mengapa—orang-orang keras kepala seperti mereka memang lebih baik dibungkam.” Ujar Pangeran Salim enteng.

Ada ketukan pintu yang kedua terdengar di tengah-tengah perbincangan mereka berdua.

“Masuk!” jawab Pangeran Salim.

Ternyata orang dari bagian protokoler, ia melakukan hal yang sama dengan Jendral Mahmud, “Panjang umur untuk Pangeran!”

“Bagaimana?” tanya Pangeran Salim.

“Semua hadirin sudah datang di ruang tamu istana, Yang Mulia.”

“Lalu, bagaimana dengan tamu agungku?”

“Beliau sudah hadir. Hamba mohon kepada Yang Mulia untuk segera ke ruang tamu—mereka sudah menunggu anda!”

Pangeran Salim memandangi dandanannya di depan cermin yang panjang sebadan, tubuhnya yang gempal itu ia perhatikan baik-baik, tak ada cacat sedikit pun pada pakaian sultan yang ia pakai hari ini, “Ternyata aku pantas juga jadi seorang sultan.” Selorohnya bangga, “Mari—kita ke ruang tamu!”

*****

Semua hadirin yang berkumpul di ruang tamu—para orang-orang penting di lingkar dalam istana dari kalangan sipil maupun militer, para syeikh—kepala suku yang mendukung kudeta Pangeran Salim, duduk rapih di barisan paling depan.

Utusan khusus Kekaisaran Galbadia yang diwakilkan oleh Pangeran Jahn Kohler juga terlihat duduk di barisan depan, tepat di tengah-tengah diapit oleh para pendukung Pangeran Salim—mereka hadir sebagai dukungan atas upaya penggulingan kepemimpinan Sultan Hamid.

Dan yang terakhir, para wartawan dari berbagai media berita di dalam maupun luar negri juga mendadak diundang oleh pihak protokoler Pangeran Salim ke istana pribadi milik sang pangeran yang berdekatan langsung dengan perbatasan Esthar.

Mereka sedang menanti kedatangan Pangeran Salim dan Jendral Mahmud untuk melakukan konferensi pers di depan para hadirin yang dijaga ketat oleh belasan laskar loyalis Pangeran Salim yang bersenjata dan berperlengkapan lengkap.

*****

“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya seorang wartawan The Midgard Post dengan suara berbisik.

“Kelihatannya terjadi kudeta. Di jalan aku melihat banyak orang-orang ditangkap dan digiring ke regu tembak!” jawab wartawan dari Balamb Daily.

“—Dan kudeta ini didukung oleh Galbadia.” Timpal wartawan dari Nacadian Herald. “Kalian bisa lihat Pangeran Jahn Kohler—keponakan Kaisar Vincent Deling yang baru saja diangkat sebagai komandan wilayah Hazrabiah—kedatangannya sebagai restu dari Galbadia atas kudeta hari ini.”

Seorang anggota protokoler datang di atas mimbar, “Kepada hadirin! Yang Mulia Pangeran Salim hadir ke mimbar!” umumnya.

*****

Semua hadirin langsung berdiri dari tempat duduk mereka, menyambut Pangeran Salim yang datang dan bergegas menuju mimbar, kilatan blitz kamera foto langsung menyambutnya—sejarah pun dimulai pada saat ini.

Pangeran Salim menyilakan seluruh hadirin untuk duduk kembali, ia pun bersiap untuk memaparkan pidato—pidato yang akan mengubah masa depan Hazrabiah, bahkan dunia nantinya.

“Sudah hampir lima puluh tahun, rakyat hidup dalam kesengsaraan, di mana kekayaan hasil sumber daya gas dan minyak yang menjadi lumbung emas bagi rakyat Hazrabiah hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang, yaitu para konglomerasi energi dan anggota keluarga istana!”

“Saya, Pangeran Salim Ali-Seggaff, putra kedua dari mendingan Sultan Razak Ali-Segaff, menyadari betul itu kalau kami telah melupakan kesejahteraan rakyat kami! Dan karena itu—mulai tahun ini, bulan, ini, hari ini, jam ini, dan detik ini juga saya dan para pengikut saya menyatakan—kepemimpinan lalim Sultan Hamid untuk memutus lingkaran setan ini!”

“Kami memulai untuk menghentikan kepemimpinan yang lalim dengan menggulingkan kepemimpinan kakakku—Sultan Hamid Ali-Seggaff dan kroni-kroni jahatnya dan membasmi orang-orang yang dengan jelas-jelasnya ingin memerangi kebangkitan rakyat Hazrabiah!”

“Saksikanlah! Bangkitnya rakyat Hazrabiah dari keterpurukan—menuju masa depan yang lebih baik, adil, dan sejahtera di bawah kepemimpinan Sultan Salim Ali-Seggaff segera dimulai!!”

PANGKALAN UDARA SAID JIMLI

KOTA BIN HALIM

KESULTANAN HAZRABIAH

Para prajurit Rune-Midgard yang sedang ikut latihan gabungan Mid-Haz, terhenyak ketika menonton berita di salahsatu saluran televisi milik Hazrabiah, semua saluran televisi menayangkan pengumuman penggulingan kekuasaan oleh Pangeran Salim.

“Tidak mungkin—ada kudeta di sini!” ujar Prajurit Williams tak percaya.

“Bagaimana bisa? Tidak ada panas-tidak ada hujan??” timpal Sersan Newton.

“Hey lihat!” tunjuk Prajurit Wong ke arah layar televisi yang menyorot para utusan khusus Kekaisaran Galbadia, “Ada orang-orang Galbadia di sana juga!”

Keadaan di barak prajurit itu semakin mencekam, mereka saling berpandangan satu sama lain, mereka merasa bahwa bahaya makin datang mendekati mereka semua.

“Bagaimana ini, Mayor Freiss?! Kita harus segera keluar dari tempat ini!” desak Kopral Houston.

Mayor Freiss—wakil kepala utusan Rune-Midgard di latihan gabungan Mid-Haz, hanya bisa terdiam sembari memaku pandangannya ke televisi kecil yang menggantung di pojok langit-langit barak mereka, sang mayor makin khawatir—apalagi Komandan Chow bersama kru Sky Eye belum kunjung pulang.

Tiba-tiba ada seseorang membuka pintu barak dengan paksa—ternyata seorang perwira menengah berpangkat mayor dengan pakaian dinas lapangan dan disertai belasan prajuritnya yang bersenjata lengkap merangsek masuk ke dalam barak.

Semua prajurit Rune-Midgard yang ada di dalam barak hanya bisa diam mematung, memandangi para prajurit Hazrabiah yang beberapa saat yang lalu adalah sahabat mereka—berbalik mengarahkan ujung laras senapan AK-74 ke arah mereka.

PANGKALAN MILITER ABU SALEH

PERBATASAN HAZRABIAH-GALBADIA

KESULTANAN HAZRABIAH

“Kami baru saja mendapatkan informasi dari komandan pangkalan sebelumnya, mereka sedang mengirim sebuah helikopter menuju lokasi jatuhnya pesawat milik militer Rune-Midgard untuk mengevakuasi tiga orang pasukan khusus dan dua orang awak pesawat yang selamat!” lapor komandan Pangkalan Abu Saleh yang baru.

“Kemana mereka akan dibawa?” tanya Komandan Resimen ke-87 Angkatan Darat Kekaisaran Galbadia yang beberapa waktu yang lalu baru bergabung dengan para loyalis Pangeran Salim.

“Ke pangkalan udara Said Jimli untuk bergabung langsung dengan prajurit Rune-Midgard lainnya untuk segera berangkat pulang.”

“Bawa mereka ke sini! Tiga orang pasukan khusus—benar-benar sumber informasi intelijen yang tak boleh kita lewatkan!”

“Baik!”

PERBATASAN HAZRABIAH-GALBADIA, KETINGGIAN TIGA RIBU KAKI

GURUN HAZRABIAH

KESULTANAN HAZRABIAH

“Akhirnya, kita pulang, kawan!” ujar Edward kepada Rupert yang sudah mulai sadarkan diri.

Operasi pembuangan pecahan-pecahan pesawat itu akhirnya berhasil dilakukan oleh Carter sendirian, kesempatan untuk hidup Rupert kembali ada setelah kondisinya yang sempat menurun, mulai menunjukkan tanda-tanda ke arah penyembuhan.

“Aku jadi kangen rumah.” Gumam Rupert sembari tersenyum haru.

“Eh, kalau aku sudah sampai di tanah air—aku akan langsung mengajukan surat pengunduran diri!” seloroh Edward.

Rupert bisa melihat Strad—yang bahu dan betisnya diperban—dan Carter sedang beristirahat sejenak dengan menyandar di dinding kabin belakang helikopter.

*****

“—Elang Emas di sini Pangkalan Abu Saleh!—“

Kedua pilot yang tidak menyadari adanya kudeta dan pendudukan pasukan Galbadia terhadap pangkalan udaranya itu, menjawab dengan enteng, “Di sini Elang Emas!” jawab sang pilot.

“—Batalkan misi membawa pulang mereka ke Said Jimli. Bawa mereka ke Abu Saleh!—“

“Roger!” jawab sang pilot.

Mereka pun mengubah jalur penerbangannya dari awalnya ke Said Jimli, sekarang berbelok ke kiri menuju Abu Saleh, Strad dan yang lainnya, yang sedang bersandar di kabin belakang sampai terbangun ketika helikopter yang menjemput mereka berbelok tajam.

*****

“Hey! Kita mau ke mana?” tanya Strad bingung.

“Kami diperintahkan untuk membawa kalian ke Abu Saleh!” jawab sang kopilot.

Strad mengerutkan dahinya, “Abu Saleh? Kami tidak ada informasi untuk dialihkan ke Abu Saleh!”

“Tapi ini perintah atasan kami!” jawab sang kopilot.

Kedua pilot itu saling berbicara satu sama lain memperdebatkan penolakan Strad untuk dialihkan ke Abu Saleh, mereka akhirnya memutuskan untuk menghubungi pangkalan Abu Saleh lagi.

“Komando, barusan kami akan dialihkan evakuasi ke Abu Saleh—apakah benar?” tanya Strad curiga.

“—Negatif, Strad. Tidak ada yang memberi perintah untuk mengalihkan kalian ke Abu Saleh!—“ jawab Komandan Piccard.

Strad dan Carter saling berpandangan satu sama lain, kau berpikir yang sama?—tanya Strad dalam hati, ya, aku juga berpikirian yang sama dengamu!—jawab Carter dalam hati, mereka langsung menggenggam erat pegangan senapan masing-masing.

*****

“—Abu Saleh di sini Elang Emas, ganti!—“

“—Di sini Abu Saleh!—“

“—Kami ada masalah—mereka menolak untuk dialihkan ke Abu Saleh!—“

“—Kalau begitu buat mereka memenuhi permintaan kita, apa pun caranya! Kalau melawan—tembak saja mereka!—“

Komandan Piccard dan Anne terhenyak ketika mendengar sadapan komunikasi radio antara sang pilot dengan komandan pangkalan tersebut.

“Mereka ingin menangkap kalian!” wanti Komandan Piccard.

*****

Seorang awak kabin mencoba mencabut pistol yang menggantung di pinggul kanannya, namun berhasil dicegah dengan peluru tunggal dari Strad yang menembus tulang belikat kanannya.

Awak kabin kedua mencoba menyerang Strad, namun diseruduk dengan keras oleh Edward hingga ia kerepotan untuk mencengkram Strad dari belakang.

“Kurang ajar!” umpat sang kopilot sambil menodongkan MP5A5 miliknya yang terselip di kokpitnya ke arah Edward.

Rupert yang melihat sahabatnya mau ditembak, langsung bergerak dengan tenaga yang masih tersisa untuk melindungi Edward dengan badannya, terdengar suara rentetan peluru sembilan milimeter menembus dada Rupert.

Carter langsung membalas tembakan si kopilot itu—si kopilot langsung tewas ketika enam peluru tajam menembus dinding pembatas dan bersarang di jantung dan paru-parunya.

Sang pilot yang panik mencoba meraih senapan MP5A5 miliknya, namun dua tembakan pistol Strad telak di lengannya membuatnya terlalu sakit untuk menggerakkan tangannya mengambil senapan semi otomatis.

“Jangan bepikiran untuk berbuat macam-macam!” ancam Strad sambil menodongkan pistol M1911A3-nya, tak lupa ia mematikan radio helikopter dan sistem pelacak untuk menghindari militer Hazrabiah mengejar mereka.

Si pilot hanya bisa terdiam memandangi ujung laras CQB-R Strad yang masih hangat.

Sedangkan Edward hanya bisa memandangi ngeri Rupert yang tergeletak di lantai kabin, dengan wajah ramahnya yang pucat dan darah segar keluar dari bibirnya, Carter memeriksa nadi di leher Rupert.

Carter hanya bisa memejamkan matanya dan menggelengkan kepalanya.

“Komando, kami berhasil menguasai isi helikopter. Apa yang harus kami lakukan selanjutnya?” lapor Strad.

“—Bawa helikopter kalian ke daerah perbatasan Hazrabiah-Ozratia, kami akan segera menjemput kalian!—“

“Roger, Strad selesai!” tutup Strad. “Dan sekarang—bawa kami ke perbatasan Ozratia!” pinta Strad kepada sang pilot.

Tujuan perjalanan kembali diubah, kali ini dari Pangkalan Abu Saleh menuju perbatasan Ozratia, kawasan yang masih bisa dianggap aman.

*****

Setiap pagi Nina McKlusky memandangi keranjang bayi dengan wajah sedih selama suaminya meninggalkan dirinya untuk bertugas, namun beberapa hari ini ia semakin nelangsa karena suaminya belum pulang beberapa hari yang lalu.

Ia semakin khawatir Edward ternyata terlambat pulang seminggu lamanya, pikiran-pikiran buruk pun berdatangan menghantui dirinya, apalagi berita-berita yang menyuguhkan semakin panasnya kondisi politik luar negri membuatnya jantungnya semakin berdegup kencang.

Ketakutannya akhirnya sirna ketika seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Sebentar!” ujar Nina sembari bergegas menuju pintu rumahnya dan mengusap airmatanya.

Ia terkejut ketika melihat sosok pria—lengkap dengan seragam ABU-nya—berdiri tegap di depan pintunya sembari memegang erat ransel bawaannya dari rumah, matanya terbelalak, kedua tangannya menutup mulutnya yang menganga.

Beberapa detik kemudian airmata mengalir dari mata Nina, ia menangis tersedu-sedan. Kepalanya bersandar kepada dada pria yang selama ini ia rindukan dan ia khawatirkan, Kopral Penerbang Edward “ Ed” McKlusky.

Edward memeluk erat tubuh Nina, ucapan Anumerta Rupert van Der Beek ketika ia melakukan curhat terakhirnya ketika bertugas tigabelas jam yang lalu terngiang di telinganya.

Manfaatkan waktu bebasmu untuk memperhatikan keluargamu. Karena belum tentu kita akan bisa bertemu dengan mereka lagi.

*****

Tangis haru pecah di pagi hari di Kompleks Angkatan Udara di Costa De La Sol.

Acara pemakaman Anumerta Rupert van Der Beek berlangsung dengan hikmat dan penuh haru di Pemakaman Militer Costa De La Sol, beberapa prajurit AU yang tergabung dalam kompi kolone senapan mengalunkan lagu duka, mengiringi enam prajurit yang sedang memikul peti jenasah.

Janda Janice van Der Beek hanya bisa meratapi kepergian suaminya bersama Alissa van Der Beek—anak semata wayang mereka—yang masih terlihat bingung tak mengerti apa yang terjadi menimpa ayahnya di deretan sanak keluarga almarhum.

Edward McKlusky—dengan pakaian dinas upacaranya, sahabat terdekat Rupert, dengan hati-hati dan penuh penghayatan melipatkan The Golden Compass—sebutan bagi bendera Republik Rune-Midgard—yang menyelimuti peti jenasah Rupert dan menyerahkannya kepada sang janda.

“Janice, maafkan aku yang tak bisa melindunginya dengan baik.” Bisik Edward sembari menyerahkan lipatan bendera itu kepada Janice.

Janice berusaha tersenyum di depan Edward yang prihatin, walaupun wajahnya merah dan sembab karena terus menangis, “Terima kasih, Ed. Terima kasih. Terima kasih sudah menemani dirinya di saat-saat terakhirnya.” Jawab Janice sembari menerima lipatan bendera itu sembari terisak-isak.

Tiga kali letusan tembakan salvo memecahkan kesunyian kompleks pemakaman, seiring dengan penguburan peti sang almarhum, para prajurit yang ada di acara itu memberikan penghormatan terakhir, tak terkecuali Edward.

“Saya mewakili Departemen Pertahanan dan Angkatan Bersenjata Republik Demokratik Rune-Midgard mengucapkan bela sungkawa sedalam-dalamnya atas gugurnya Sersan Anumerta Rupert van Der Beek, sebagai penghormatan terakhir atas pengabdiannya, maka kami menaikkan pangkatnya menjadi Letnan Anumerta.” Ujar utusan dari Departemen Pertahanan kepada keluarga yang ditinggalkan.

Sedangkan Edward dan Nina dari kejauhan menyimak sambutan bela sungkawa utusan departemen itu, sembari dikelilingi oleh beberapa utusan lainnya dan perwira-perwira menengah skadronnya.

Sembari berandai-andai, kalau sosok Janice berubah menjadi sosok Nina, berpakaian hitam-hitam dengan perutnya yang membesar dimana si jabang bayi yang akan lahir di dunia harus hidup tanpa ayah karena kejamnya tugas rahasia.

Ia teringat obrolan ketika Rupert masih ada.

*****

“Kenapa kau bergabung dalam Angkatan Udara, Ed?” tanya Rupert ketika sedang makan siang, beberapa tahun yang lalu, kepada Edward.

Edward menghela napas panjang, ia memandangi sekitarnya untuk memastikan tak ada yang akan mencuri dengar, “Karena tak ada pekerjaan yang lebih layak kecuali menjadi seorang tentara.” Bisik Edward.

Rupert tersenyum miris ketika mendengar jawaban Edward, lalu Edward balas bertanya, “Lalu kenapa kau bergabung dalam Angkatan Udara?”

Rupert tersenyum ramah, “Semenjak sekolah dasar, aku bermimpi bisa menjadi seorang pilot, dan akhirnya aku berhasil meraih mimpiku menjadi anggota Angkatan Udara. Ya.. Walau sedikit meleset menjadi seorang teknisi server, hehe.” Jawab Rupert lembut.

*****

Akhirnya, setelah kejadian di perbatasan itu, Edward McKlusky mengundurkan diri dari tugasnya sebagai prajurit Angkatan Udara dengan pangkat Sersan, ia sudah tak perduli dengan penghargaan kenaikan pangkat atas tugas rahasianya itu dan sumpah serapah atasan dan rekan prajuritnya atas keputusannya untuk keluar.

Ia mencari pekerjaan sipil yang menurutnya lebih layak dan tak perlu mempertaruhkan nyawanya sebesar itu, walaupun gaji yang ia dapatkan akan lebih rendah dari gaji seorang prajurit militer.

Yang ia pikirkan adalah, bisa hidup damai bersama istri dan anak mereka yang akan segera lahir di dunia, tanpa harus takut suami dan ayah mereka akan meninggalkan mereka untuk selamanya.

Mungkin bisa dikatakan keputusan pengecut seorang desertir—tapi bisa terus melihat istri dan anaknya yang akan lahir setiap hari, masih ia anggap lebih berharga bagi Edward.

*****

Letnan Dua Penerbang Medis Vincent Carter—dengan pakaian dinas upacara—lengkap dengan berbagai atribut—dan salahsatunya tersemat medali kehormatan atas tugasnya di Hazrabiah—menjadi inspektur upacara pelepasan terakhir rekannya—Sersan Satu Alan Clinton.

Ia pun memberikan bendera Republik Demokratik Rune-Midgard yang telah dilipat rapih hingga hanya terlihat lambang Kompas Emas—lambang negara Rune-Midgard—kepada ibunda Clinton sebagai tanda kesetiaan dan pengabdian anak tunggalnya.

“Penghormatan kepada Sersan Satu Anumerta Alan Clinton! Hormat, grak!!” aba-aba Carter yang langsung memberi hormat dengan mantap.

Tembakan salvo pun menggema di langit pemakaman yang muram.

Seiring dengan bunyi tembakan, ia jadi ingat kejadian di Hazrabiah—dan juga ingat misi selanjutnya, bertugas di palagan Hazrabiah di mana Rune-Midgard telah menyatakan perang terhadap Galbadia dan melakukan invasi perebutan kembali di Hazrabiah.

PUKUL 0900
MARKAS BESAR SATUAN TUGAS
SUATU TEMPAT DI RUNE-MIDGARD
REPUBLIK RUNE-MIDGARD

Dengan langkah mantap, Letnan Kolonel Nicholas Piccard, Komandan Satuan Tugas, menyusuri lorong kantornya dengan seragam dinas lapangannya—celana katun coklat, dengan kemeja putih, dasi hitam, dan jaket kulit coklat kesayangannya—menuju Ruang 15, dimana keempat anggota lapangannya diperintahkan untuk berkumpul di ruang itu.

Ia bisa mendengar suara ribut-ribut dari dalam ruangan itu, Komandan Piccard memejamkan matanya sejenak, menarik napas panjang, dan dengan mantap ia menekan gagang pintu Ruang 15.

*****

KRAK!

Dengan langkah mantap Komandan Piccard masuk ke dalam Ruang 15 yang sering dipakai untuk melakukan taklimat, keempat Strad-nya yang sudah lama menunggu, dengan berbagai ekspresi memandanginya.

Strad pertama—yang melaksanakan misi penyelamatan Agen Kristenson di Primea-Murkovii, hadir.

Strad kedua—yang melaksanakan misi sabotase kapal angkut Bandolier IV di kawasan laut lepas Rune-Midgard—Esthar, hadir.

Strad ketiga—yang melaksanakan misi menembak mati Jendral Mathias von Lierben di Pangkalan Militer Donna-Fratelaii, hadir.

Dan Strad keempat—yang melaksanakan misi merusak sistem server komputer di lokasi jatuhnya Sky Eye di Hazrabiah, juga hadir.

Ia melempar berkas coklat yang baru saja sampai di meja kerjanya beberapa jam yang lalu ke meja penaklimat, ia memandangi keempat prajurit tangguhnya satu-satu.

Akhirnya mereka disatukan juga—gumamnya dalam hati.

”Selamat siang, Strad!”sapanya lantang.

Dengan serentak, keempat orang itu menjawab sapaan sang kolonel. ”Selamat siang, Pak!”

Semua Strad yang ada di ruang taklimat saling memandangi satu sama lain.

“Aku punya berita untuk kalian berempat!..” Komandan Piccard menghela napas panjang sebelum melanjutkan perkataannya.

“Keadaan di kawasan Estharian semakin memanas, apalagi setelah Hazrabiah yang dipimpin oleh Sultan Salim bersekutu dengan Galbadia dan Galbadia menyatakan perang keapda Rune-Midgard.”

Oleh karena itu, kami memutuskan untuk menggabungkan kalian berempat menjadi satu tim kecil untuk menjawab kebutuhan di kawasan Hazrabiah nanti. Jadi, bersiaplah kalian untuk terjun ke medan perang di Hazrabiah!” lanjut Komandan Piccard mantap.

=== THE STRADS : EPISODE TUJUH, SELESAI ===