Sabtu, 05 Maret 2011

THE STRADS (EPISODE ENAM)

PUKUL 0200, KETINGGIAN 40 RIBU KAKI
SEPULUH MIL DARI PERBATASAN HAZRABIAH—GALBADIA,

GURUN HAZRABIAH
KESULTANAN HAZRABIAH

Entah berapa sudah napas Kopral Penerbang Edward McKlusky yang dihela ketika ia mulai bosan memainkan joystick kamera ALL-TV yang dibidik ke arah kawasan perbatasan Hazrabiah dengan Galbadia, sambil memutar-mutar bola tetikus di samping stik kendalinya untuk memperbesar dan memperkecil lensa kamera super sensitif sebesar teleskop observasi langit.

Hanya hamparan padang pasir bewarna dominasi hitam dengan campuran gradasi abu-abu kehitaman untuk menunjukkan kawasan padang pasir terluas di Benua Estharian pada kondisi larut malam suhu udaranya dingin.

*****

Kamera ALL-TV adalah perangkat kamera inframerah, ia mengandalkan pencitraan dua warna hitam dan putih dengan campuran gradasi dari tangkapan hawa panas yang dihasilkan obyeknya untuk mendapatkan pencitraan yang lebih detil—walau warnanya hanya sebatas hitam-putih dan komposisi campuran di antara keduanya.

Apalagi ditambah dengan lensa kamera sepanjang teleskop observasi langit yang hampir sebesar mobil jenis city car lengkap dengan sistem pengaturan elektrik, sehingga kamera ALL-TV itu bisa membedakan mana seekor ular pasir dengan tumpukan pasir saja dari ketinggian 40 ribu kaki seusai dengan permintaan McKlusky.

*****

“Hey, McKulsky! Kau seperti mau mati disana.” Panggil rekan satu satuannya, ketika rekannya yang sedang menyusuri kabin untuk buang air, memergoki McKlusky merem-melek ketika bertugas malam.

”Hoaeeeeeemm!.. Ya, mati kebosanan disini!” seloroh Edward sambil mengucak-ucak matanya yang mulai ikut-ikutan berat seperti kepala dan punggungnya.

Tiba-tiba ada tangan yang menepuk bahunya, ia pun sontak terduduk, karena yang suka menepuk bahunya ketika ia sudah mulai bermalas-malasan adalah Kolonel Penerbang Johanes Chow—sang komandan pesawat Ursa dengan sandi tugas Sky Eye.

“Kalau tugas ini membosankan, kenapa kau bergabung di AU, nak?!” tanya orang yang menepuk bahunya.

Ia pun tahu benar si empunya suara yang mencoba dimirip-miripkan dengan suara Kolonel Chow, ”Karena aku harus menafkahkan istriku yang sedang hamil tua—Pak Komandan!” jawab Edward sembari menghela napas lega.

Sersan Penerbang Rupert van Der Beek—sahabat semenjak masuk wajib militer Angkatan Udara—memandanginya dengan senyuman jahil, ”Waduh, berarti bukan karena sukarela kau mengabdi di Angkatan Udara, dong?” tanya Rupert kecewa.

”Tak ada pekerjaan yang lebih baik gaji dan tunjangannya, kecuali di militer.” jawab Edward alias McKlusky, “Yaa—Setimpal dengan resikonya, lah! Andai ada pekerjaan yang gaji dan tunjangannya jauh lebih besar dari resikonya—aku tanpa ragu untuk keluar dari peti mati terbang ini.” Lanjutnya enteng..

Rupert menghela napasnya dan memandangi sepanjang kabin—takut ucapan Edward yang kencang dan seenak jidat itu didengar Komandan Chow, “Kau akan mati dibunuh kalau Komandan Chow mendengar jawabanmu, Ed!” ujar Rupert mengingatkan.

McKlusky tersenyum kecut ketika mengingat wajah sang Komandan Sky Eye itu, perwira menengah dengan pangkat Kolonel Penerbang itu pernah memergokinya tertidur dalam tugas, namun berkat lobian Rupert, ia lolos dari ancaman skors dan memberikan Edward kesempatan terakhir untuk tidak tertidur dalam tugas lagi.

“Ayo, kerja yang benar! Si bayi nanti dikasih makan apa?!” ujar Rupert sambil mengetuk dahi Edward dengan papan kertas meninggalkan sahabat dekatnya untuk melanjutkan tugas malamnya mengawasi performa server Sky Eye.

Edward menampar pipinya sendiri, ”Harus kerja..Harus kerja!.. Setelah istriku melahirkan aku akan keluar dari neraka ini!” desisnya mantap, ia pun kembali menajamkan matanya dan kembali memperhatikan layar kamera ALL-TV-nya dengan serius.

*****

Sky Eye adalah nama sandi yang diberikan oleh Mabes Angkatan Udara kepada pesawat tipe E-10 atau sering disebut Ursa, Ursa adalah pesawat intai garis depan berbasiskan pesawat terbang sipil komersial jarak jauh Boeing 767-400ER—dirombak habis-habisan sesuai dengan standar kemiliteran untuk mengganti pesawat intai besar E-3 Sentry yang juga berasal dari modifikasian pesawat terbang Boeing 707.

Ursa dilahirkan setelah Angkatan Udara membutuhkan pesawat besar yang mampu menampung perangkat intai dan komunikasi tercanggih yang memiliki dimensi yang lebih besar dimana Sentry sudah tidak sanggup menampungnya.

Sky Eye adalah salahsatu dari sepuluh Ursa bernama sandi yang sama, baru berdinas kira-kira lima tahun yang lalu, kesepuluh Sky Eye pertama hingga kelima bertugas pada Skadron Intai ke-85 dan Sky Eye keenam hingga kesepuluh bertugas Skadron Udara ke-140.

Sesuai dengan nama satuannya—pesawat yang mengangkut limapuluh awak termasuk pilot dan kopilot, melakukan tugas pengintaian dan penyadapan jarak-jauh, dan kini Sky Eye sedang mengikuti latihan perang rutin dengan Laskar Udara Kesultanan Hazrabiah.

*****

Tak disangka, setelah digembleng habis-habisan di kamp pelatihan AU Rune-Midgard, berlatih kesamaptaan fisik dan mental, latihan menembak layaknya prajurit Rune-Midgard lainnya, merayap dibawah kawat berduri dan rentetan senapan mesin, akhirnya Edward—cuma—ditugaskan sebagai operator kamera intai Sky Eye yang kerjaanya hanya—bertugas memutar, memperbesar dan memperkecil fokus kamera, dan mengubah gradasi pencahayaannya dan memencet tombol foto atau rekam ketika melihat sesuatu yang ganjil.

Awalnya ia merasa bangga bisa menjadi salahsatu operator pesawat kebanggaan AU Rune-Midgard itu—karena ketika resmi berdinas di Angkatan Udara, ia langsung ditugaskan sebagai salahsatu awak Ursa, mainan baru Angkatan Udara yang membuat para awak pesawat intai yang tak dapat jatah, iri berat—namun, selama lima tahun ia bertugas di Angkatan Udara hanya memainkan joystick, ia mulai bosan dan menyesali keputusannya menjadi seorang penerbang—sebutan bagi anggota Angkatan Udara.

Edward sendiri heran dengan Rupert, ia terlihat sangat menikmati pekerjaannya menjadi seorang dari dua operator super-komputer yang dipasang di kabin tengah pesawat raksasa ini untuk memproses hasil dari jutaan data-data masuk sepuluh macam radar peringatan dini, radar navigasi, radar cuaca, radar akustik, kamera ALL-TV, penyadap emisi gelombang radio-satelit komunikasi dan berbagai macam alat pemantau elektronik yang—apabila dihitung keseluruhan berat instrumen tersebut adalah bisa sampai seperempat dari berat kosong Ursa itu sendiri—tertanam di sepanjang badan Sky Eye.

Mungkin karena ia jebolan fakultas Komputer dan Informasi Teknologi MIT—Midgard Institute of Technology—sehingga begitu menikmati pekerjaannya yang cuma menginspeksi proses menerima data, mengolah data, dan menghasilkan data ke dalam server superkomputer dari berbagai instrumen ke server.

Harusnya orang yang mengabdi selama itu sudah menggantikan si sialan Chow—Gumam Edward dalam hati, kenapa tidak? Temannya Rupert adalah tipe orang yang cocok menjadi seorang perwira, pintar, berdedikasi, dan dekat dengan kolega dan prajurit dibawahnya, berbeda jauh dengan Komandan Chow, ia lebih suka bertelur di ruang komandan dan menikmati sikap ngeboss-nya.

Ia memainkan stik kendali kameranya, mengarahkan kamera ALL-TV ke sepanjang perbatasan dengan fokus pembesaran dua ribu lima ratus kali, layaknya ia bermain video games, dari cuma daratan padang pasir tandus sampai ia bisa tahu kalau ternyata ada pohon mati raksasa berada di tengah-tengah padang pasir itu—seperti biasa, tak ada yang menarik untuk dilihat.

”Hey, Rupert.” panggil Edward kepada Rupert.

Rupert pun menoleh ke arah Edward yang sibuk bertopang dagu dengan tangan kiri memandangi monitor kamera ALL-TV-nya dan tangan kanannya sibuk memainkan joystick kamera.

”Ya?” tanya Rupert.

”Kapan kita pulang?” tanya Edward.

Rupert tersenyum, ”Empat jam lagi, Kopral Penerbang, empat jam lagi.” jawab Rupert sembari melihat arlojinya.

Edward menghela napas panjang dan kembali memainkan tombol pembesaran dan pengaturan kontras warna dengan wajah ditekuk—empat jam lagi—gerutunya dalam hati.

Namun rasa bosannya tiba-tiba hilang ketika ada sesuatu yang ganjil yang tertangkap oleh kamera ALL-TV-nya.

=== THE STRADS : EPISODE ENAM, DIMULAI ===

Sedangkan di kokpit pesawat, pilot Sky Eye, Kapten Penerbang James Carter, terus memperhatikan cakrawala di depannya yang masih ditutupi oleh kegelapan malam.

”Berputar, berputar, dan berputar.” gumam Kapten James sambil memperhatikan ikon Sky Eye yang membuat pola lingkaran sepanjang dua ratus kilometer di layar GPS.

”Memang itulah tugas kita di sesi terakhir latihan ini, Kapt!..” jawab Letnan Satu Penerbang Duff Hamilton—sang kopilot sembari terus mengawasi ratusan panel yang mengeroyoki kursi kopilotnya itu.

”Hmmmm...” gumam Kapten Carter, sang kopilot bisa melihat rekan kerjanya itu terlihat resah dan gelisah.

”Ada apa?” tanya Letnan Hamilton.

”Apa kau tidak merasakan ada yang aneh dari materi latihan kali ini?” jawab Kapten Carter resah.

“Maksudnya, Capt?” tanya Letnan Hamilton belum nyambung.

“Posisi kita agak terlalu dekat dengan perbatasan Hazrabiah dan Galbadia—si biang kerok perang di Estharian—Apa tidak terlalu riskan terbang di jarak sedekat ini?” jawab Kapten Carter.

Letnan Hamilton terdiam beberapa saat, memang ada yang janggal—untuk latihan sesi terakhir yang diperintahkan oleh perwakilan Skadron Intai ke-85 di Hazrabiah agak berbeda, pada hari-hari sebelumnya.

“Benar juga—Tidak ada kawalan dari laskar udara?” tebak Letnan Hamilton.

“Tepat sekali, kawan!” jawab Kapten James mantap. “Seperti ada yang disembunyikan dari kita.”

“Well, itu urusan yang di atas kita—kita hanya bisa melaksanakan tugas sebaik mungkin dan kembali dalam keadaan utuh!” tampik Letnan Hamilton yang juga mulai ikut-ikutan khawatir.

*****

Pemirsa,

Penguasa Kekaisaran Galbadia, Kaisar Vincent Deling, dalam pidato pada upacara pengangkatan Panglima Angkatan Bersenjata Kekaisaran Galbadia menyatakan bahwa—Ia mengutuk pihak sekutu yang membunuh Komandan Wilayah Barat Jendral Mathias von Lierben.

Namun, muncul isu kalau Jendral von Lierben adalah korban perseteruan antara pihak istana dengan kelompok yang menentang kebijakan politik sang kaisar yang berhembus menggunakan nama Dewan Jendral, dan Jendral von Lierben adalah peringatan pertama pihak istana untuk para kelompok oposisi tersebut.

Kaisar Vincent Deling menjawab isu-siu yang berkembang dalam pidato pengangkatan Jendral Manstein.

“Kita jangan mau menelan bulat-bulat taktik adu domba si lidah ular Sekutu yang lancangnya mengorbankan putra terbaik bangsa kita—mendiang Jendral von Lierben! Kita harus bersatu-padu, memusnahkan orang-orang munafik egoistis seperti itu di muka bumi!”

Panglima Militer Galbadia, Jendral Carl Manstein, juga senada dengan sang kaisar, ia menyatakan tidak ada perpecahan di kubu militer kekaisaran dan pengelompokan di dalam tubuh Angkatan Bersenjata.

*****

Dengung suara televisi kecil yang menggantung di langit-langit Ruang Komandan dimana pria sipit dengan lambang burung elang emas di kedua ujung kerah seragam ABU-nya, terlihat bersantai menonton siaran berita dari Rune-Midgard bersama wakilnya berpangkat kapten.

“Keadaan di kawasan Estharian semakin memanas, Komandan.” Mayor Harold—wakil komandan Sky Eye yang duduk di kursi tamu yang berada di samping meja kerja sang komandan. “Apalagi muncul isu kalau Galbadia mulai memprovokasi pemerintah Rune-Midgard juga.”

“Dan itulah tugas rahasia kita malam ini, Mayor. Mengawasi apa yang dibicarakan oleh orang-orang Galbadia di sebrang perbatasan sana.” seloroh Komandan Chow.

Komandan Chow mulai bosan dengan liputan berita RMNN—televisi nasional milik Rune-Midgard, memencet tombol nomer remote televisi kecilnya itu untuk mencari acara televisi yang lebih menarik dari tigaratus saluran televisi hasil pekerjaan sambilan alat penyadap gelombang satelit Sky Eye—baik saluran televisi konvensional hingga saluran televisi berbayar.

“Ada aktivitas mencurigakan di perbatasan?” tanya Komandan Chow malas.

Wakilnya menggelengkan kepalanya, “Negatif, Pak!” jawabnya sambil menyerahkan laporan pengintaian Sky Eye selama empat jam yang lalu—hanya komunikasi radio serta aktivitas darat-udara biasa.

“Kapan kita bisa pulang dari tempat ini, Mayor?”

“Tiga jam lagi.” Jawab Mayor Harold, “—asal tidak ada perintah tambahan saja.”

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu ruang komandan, Komandan Chow pun menyilakan orang yang ingin bertamu ke ruang kerjanya itu, ternyata seorang awak pesawatnya masuk, namun ada yang berbeda dari wajahnya—ia terlihat tegang.

“Ada apa, Kopral?” tanya Komandan Chow curiga.

“Pak, ALL-TV kita baru saja menangkap aktivitas darat!” jawab Kopral Penerbang dengan wajah serius.

Komandan Chow dan wakilnya saling berpandangan.

“Kalau begitu cetak foto dan simpan rekaman hasil tangkapan kamera kita dan bawa ke ruang penyelidikan!” desak Komandan Chow.

“Siap, pak!”

*****

“Apa yang kita dapatkan?!” tanya Komandan Chow ketika masuk ke ruang penyelidikan.

Para awak pesawat yang bertugas menyelidiki dan mempelajari input sadapan komunikasi maupun foto atau rekaman udara langsung bangkit dari tempat duduk masing-masing dan memberi hormt.

“Lima menit yang lalu kamera ALL-TV menangkap pergerakan di wilayah Hazrabiah, Pak!” jawab komandan tim penyelidik berpangkat kapten.

“Tunjukkan hasil rekaman tersebut!” titah sang komandan.

Seorang awak pesawat menghidupkan instrumen rekaman kamera ALL-TV yang mampu merekam gambar selama tujuh hari seminggu tanpa henti itu, ia langsung memutar hasil rekaman kamera ke saat dimana pergerakan yang dilaporkan itu terekam.

Ternyata benar, seisi ruangan tersebut bisa melihat sebuah konvoy jip mercedes-benz G-Class tipe militer dan mobil tempur dingo terlihat memacu mesinnya menyusuri padang pasir, beberapa saat kemudian, kedua kendaraan tempur andalan Galbadia itu menurunkan kecepatannya, dan tiba-tiba konvoy itu masuk ke dalam sebuah bukit pasir yang ada di dekatnya!

“Apa bisa dipastikan kalau itu memang konvoy kendaraan militernya Galbadia?” tanya Komandan Chow.

“Bisa dipastikan, pak!” jawab sang letnan sembari menunjukkan beberapa foto beresolusi tinggi.

Komandan Chow bisa melihat konvoy itu dengan jelas, tak cuma bentuk dan jumlahnya—bahkan kode registrasi dan lambang militer Galbadia terlihat cukup jelas dari iring-iringan kendaraan tempur.

“Ada sadapan komunikasi radio yang mencurigakan?”

“Negatif, Pak! Baru kali ini kami menemukan aktivitas di sekitar perbatasan.”

Komandan Chow berpikir sejenak—ada yang disembunyikan oleh Galbadia, “Kelihatannya teman kita memang berani bermain api.” Desis Komandan Chow senang, “dimana posisi bunker rahasia itu?”

“Dua belas mil dari garis perbatasan, Pak!”

*****

Sedangkan di kokpit Sky Eye, tiba-tiba radar peringatan dini Sky Eye menyala, ada empat pesawat tempur misterius melesat cepat ke arah mereka dari jarak dua puluh mil dari posisi Sky Eye, atmosfir kokpit yang tenang dan nyaman seketika berubah menjadi menegangkan.

Dalam tiga detik, sistem komputer pengindentifikasi kawan-lawan dengan prossesor sebesar delapan gigahertz dan berkekuatan lima ribu watt itu sudah menunjukkan hasil, sang kopilot terkejut ketika melihat sosok yang ada di layar monitor pengindetifikasi radar itu.

”Kapt, ada empat pesawat Typhoon F1 Angkatan Udara Galbadia mendekati posisi kita!” lapor sang kopilot.

”Perasaan tidak enakku mulai keluar lagi.” Ujar Kapten James, “Jarak?!” tanya Kapten James sembari mengatur ulang sistem navigasinya.

”Dua puluh mil arah jam tiga!” jawab sang kopilot.

*****

Komandan Chow yang sedang sibuk mengamati rekaman tersebut akhirnya terpecah ketika mendapat laporan dari salahsatu staff ruang penyelidikan.

“Kokpit di interkom, Pak!” lapornya.

“Hubungkan!” jawab Komandan Chow.

Empat detik kemudian, komunikasi interkom pun dibuka.

“—Pak, ada empat Typhoon milik AU Galbadia mendekati posisi kita!—“ lapor Kapten James.

“Lakukan tindakan preventif, kapten!” jawab Komandan Chow.

*****

Tiba-tiba lampu peringatan bewarna kuning menyala jelas di seluruh kabin pesawat, seluruh awak kapal terhenyak beberapa saat—ada masalah dan mereka harus kembali ke tempat duduk masing-masing dan menggunakan sabuk pengaman, dan beberapa saat kemudian seluruh awak pesawat Sky Eye merasakan kalau pesawat mereka miring ke kiri dengan lumayan tajam.

Edward yang sedang melamun itu, langsung terjaga dengan wajah bingung dan takut, ia bisa mendengar deru mesin jet Sky Eye yang sedang dipacu dengan kecepatan maksimal—benar-benar ada yang tidak beres.

PUKUL 0345
KETINGGIAN 20 RIBU KAKI
PERBATASAN HAZRABIAH-HAZRABIAH
GURUN HAZRABIAH
KESULTANAN HAZRABIAH

Sky Eye mencium keberadaan Regu Falkon yang sedang melakukan patroli udara di kawasan perbatasan, Regu Falkon adalah salahsatu regu yang berada di bawah bendera Skadron ke-16 yang bertugas menjaga kawasan perbatasan udara yang menggunakan pesawat Eurofighter Typhoon versi F1.

Sistem radar peringatan dini Falkon-1—komandan Regu Falkon—seketika menyala—radar menyebutkan kalau ada pesawat Ursa milik AU Rune-Midgard terbang di sekitar garis perbatasan Hazrabiah dan Galbadia.

”—Falkon-1, Ursa di tiga puluh mil dari posisi kita!—“ lapor pesawat Falkon-3—pesawat Typhoon F1 yang mengambil bagian kanan formasi.

”Disini Falkon-1, roger, aku juga mengendus keberadaan pesawat tak dikenal di perbatasan.” jawab Falkon-1 di saluran radio antarregu.

“—Di sini Falkon-4, kami menyarankan untuk segera melapor ke markas!—“ usul Falkon-4 yang membuntuti Falkon-1 dari jarak satu kilometer.

”Pangkalan, disini Falkon-1! Kami menemukan sebuah pesawat intai tipe E-10 Ursa, kemungkinan besar, milik Angkatan Udara Rune-Midgard, sedang melakukan penerbangan di sekitar perbatasan. Mohon petunjuk, ganti!” lapor Falkon-1 ke pangkalan.

“—Di sini Pangkalan, roger, Falkon-1. Menunggu verifikasi dari pihak Abwehr. Harap menunggu dan tidak menembak sebelum ada perintah!—“ jawab pangkalan.

”—Falkon-1, disini Pangkalan, pesawat itu sedang mengintai kita, tembak jatuh pesawat itu—apapun caranya!—” jawab Pangkalan.

“Roger, Pangkalan. Bersiap untuk menembak jatuh pesawat musuh.” jawab Falkon-1.

Unit Falkon yang berjumlah lima buah pesawat itu langsung mematikan sistem pengaman persenjataan mereka yang berupa dua pasang rudal ASRAAM dan tiga pasang rudal jarak menengah AMRAAM—mereka langsung mempercepat pesawat mereka terbang memburu Sky Eye hingga berada di jarak tembak rudal mereka.

*****

Seorang operator penyadap Sky Eye terhenyak ketika mendengar komunikasi antara Falkon dan pangkalan udara yang ia dengar di earphone-nya—perintah menembak jatuh Sky Eye tertangkap instrumen penyadap gelombang radio, “Ki—kita mau ditembak jatuh!” teriaknya kepada para awak pesawat yang ada di sekitarnya.

*****

”Sky Eye dikunci oleh musuh!” lapor Letnan Hamilton.

Kapten James yang sedang berusaha mati-matian memacu mesin jet pesawatnya ke arah wilayah Midgard langsung memberikan perintah kepada rekannya, ”Sial, percuma, pesawat bongsor ini tak akan bisa diajak mengelak—Nyalakan sistem ECM!”

Rekannya dengan sigap langsung menyalakan sistem ECM untuk mengacaukan radar Regu Falkon yang sedang mengunci mereka, tak tanggung-tanggung—sepuluh panel ECM semuanya dinyalakan agar menambah daya rusak.

Sistem ECM berhasil menyelamatkan Sky Eye—di layar HUD pesawat-pesawat Typhoon F1 itu mulai kacau, layar HUD Falkon-2 bermunculan tiga sasaran terkunci, sedangkan Falkon-4 kehilangan sistem pengenal kawan-lawannya, sedangkan sistem pengunci rudal Falkon-3 tak berdaya.

“—Pengacak!—“ ujar Falkon-4 sembari menyebut nama akrab dari ECM.

”—Kurang ajar, radar kita diacak!—“ umpat Falkon-2.

“—Aku tidak bisa mengunci sasaran!—“ timpal Falkon-3.

”Disini Falkon-1, jangan manja dengan teknologi, gunakan peralatan penglihatan malam kalian, cari dan dekati posisi pesawat itu, gunakan kanon kita, kita diperintahkan menembak jatuh pesawat itu—bagaimana pun caranya!” desak Falkon-1.

*****

“Kapt, musuh mendekati posisi kita!” lapor Letnan Hamilton yang sedang berpegangan pada sudut-sudut kabin.

“Sial, pesawat bongsor ini benar-benar merepotkan!” umpat Kapten James sembari terus berusaha membelokkan kendali pesawat yang semakin berat itu.

*****

Pesawat pengintai berbasis pesawat sipil memang tak selincah pesawat intai berbasis pesawat tempur, Falkon-1 berhasil melihat keberadaan Ursa dari lampu navigasi ujung-ujung pesawat yang terlihat berkedip-kedip di kegelapan langit, ia pun langsung menekan tombol kanon 25 milimeter ke kumpulan lampu tersebut sambil berharap ada yang kena dengan keadaan secepat itu.

Ternyata tembakan spekulasi Falkon-1 menuai hasil, sayap kanan Sky Eye koyak dengan mudahnya, mesin jet kanan pun meledak keras ketika beberapa peluru kanon yang ditembakkan dari ujung kanon Falkon-3 yang terbang menyambar Sky Eye, beberapa awak pesawat jatuh terpental karena goncangan keras dari arah kanan.

Sepuluh instrumen ECM Sky Eye tak mampu mengelabui kejelian mata pilot Falkon-1 dan kanon anti-materialnya.

*****

“Aaah! Aku ingin muntah!” rintih Edward yang berpegangan di sekitar tempat duduknya.

Sedangkan Rupert menutup matanya sambil mengejan, menahan buasnya manuver Kapten James yang makin menggila.

Sedangkan Komandan Chow hanya bisa berharap sang pilot berhasil meloloskan diri, walaupun ia tahu berada di dalam pesawat seperti Ursa di medan perang seperti berada di dalam peti mati—siap dikuburkan.

*****

Kapten James bisa merasakan Sky Eye semakin liar, ia tidak bisa mengendalikan pesawat berbasis Boeing 767-400ER itu sepenuhnya yang terus terbang berputar menukik ke arah kiri.

“Mesin kanan mengalami malfungsi, sayap kanan tak berfungsi, kita mulai kehilangan kendali!”

Alarm malfungsi ikut menyala bersahut-sahutan mengiringi layar indikator yang menujukkan warna merah pada sayap kanan pesawat, Kapten James terus berusaha menguasai pesawatnya yang semakin liar, namun tuas kendali dan pedal semakin sulit untuk ia kendalikan.

*****

Sedangkan para unit Falkon bisa melihat Sky Eye semakin kehilangan kendali dan ketinggian. Falkon -1 bisa melihat sayap kanan Sky Eye yang mulai dilalap si jago merah yang mulai membesar dan merambat ke badan pesawat.

“—Falkon-1, disini Falkon-4, pesawat itu mulai tak berdaya. Apa harus kita tembaki lagi?—” tanya pilot Falkon-4 yang bisa memandangi Sky Eye yang berekor api.

Falkon-1 terdiam beberapa saat, “Disini Falkon-1, kita kembali.” Jawab Falkon-1.

“—Apakah kau yakin, Falkon-1?—“ tanya Falkon-2 ragu.

“Dalam keadaan seperti itu, mereka tidak akan bisa selamat.” Jawab Falkon-1 mantap.

Keadaan hening sejenak, sembari memandangi Sky Eye yang begitu cepat kehilangan ketinggian.

“Roger, Falkon-1.” Jawab Falkon-4.

Unit Falkon mulai kembali menyusun formasi berlian, mengitari tiga putaran seperti empat ekor burung nassar yang mengintai seekor banteng sekarat dan meninggalkan Sky Eye yang tak berdaya.

“Pangkalan, disini Falkon-1. Penyusup berhasil kami tembak jatuh.” lapor Falkon-1 sembari terus membawa pesawat Typhoon F1-nya mengitari Sky Eye yang terus terbakar itu.

“—Di sini Pangkalan, roger, Falkon-1, segera kembali ke pangkalan—bersiap untuk tugas yang lebih penting lagi!—“ tutup Pangkalan.

*****

Alaram tanda bahaya kebakaran di sayap kanan pesawat menyala, “Kapt! Kebakaran di sayap kanan!” ujar sang kopilot.

“Ya tutup jalur bahanbakar ke sayap kanan, tolol!” jawab Kapten James kesal.

Sang kopilot langsung menutup jalur bahanbakar ke mesin pesawat yang terbakar hebat agar tidak menyebar ke tangki bahanbakar utama yang berada di badan pesawat, walau bahanbakar pesawat yang tersisa tinggal separuh, pesawat bisa meledak tanpa sisa di udara dengan modal bahanbakar avtur sebanyak itu—Kapten James tak mau nasibnya berakhir jadi abu di udara.

Goncangan di seisi pesawat semakin terasa mengerikan, altimeter Sky Eye mulai tak terkendali, pesawat terancam stall, namun Kapten James masih terus berusaha mengendalikan pesawatnya untuk menghindari kecelakaan fatal.

*****

Alaram-alaram tanda bahaya dan gangguan teknis makin banyak yang menyala di seisi kokpit, Kapten James dan kopilotnya pun sudah mulai muak dengan mendengar suara-suara din-din, tit-tit, net-net, dan nguing-nguing di seisi kokpit pesawat.

“Hey! Apa kau tak bosan mendengar alaram-alaram ini, heh?!” tanya Kapten James kesal.

Letnan Hamilton mencoba meraih-raih tombol-tombol sistem alaram sembari tubuh dikocok-kocok karena gesekan Sky Eye karena seluruh tubuhnya dikekang oleh ganasnya gaya gravitasi bumi.

Namun keadaan mulai berubah, tiba-tiba Sky Eye mulai bisa sedikit dikendalikan, tidak sebinal beberapa menit yang lalu, Kapten James tak mau membuang kesempatan yang biasanya tak pernah datang ini.

Dengan cepat dan tanggap, Kapten James mulai mengendalikan pesawatnya yang menukik tak terkendali itu, dengan perlahan namun pasti, ketinggian pesawat yang menurun drastis itu, berangsur-angsur mulai stabil.

“Kapt, pesawat kita mulai bisa dikendalikan!” sorak Letnan Hamilton.

“Ya, kita harus cepat-cepat menstabilkan moncong pesawat sebelum keadaan berubah lagi!” timpal Kapten James yang sedang sibuk mengendalikan kendali pesawat yang mulai bergerak tak terkendali lagi.

Hamparan Gurun Hazrabiah terlihat mulai menguning sepanjang penglihatan Kapten James di pagi hari itu, sang kapten memandangi angka lima ribu kaki di altimeternya, mengerikan, dalam waktu hanya beberapa menit—pesawat raksasa ini menukik tajam dari 40 ribu kaki layaknya jet coaster.

Ia terus menjaga kestabilan Sky Eye yang kembali tak terkendali itu sembari terus memperhatikan altimeter digital pesawat yang terus menghitung mundur ketinggian pesawat dengan kecepatan tinggi sembari terus menurunkan kecepatan Sky Eye.

Altimeter menunjukkan ketinggian dua ribu kaki, padang pasir pun mulai terlihat dengan jelas, beberapa detik lagi Sky Eye yang terbakar itu akan mencium bumi, sedangkan para awak pesawat yang tertutup dari dunia luar, hanya bisa berdoa dan berharap guncangan keras tak terkendali itu bisa hilang.

”Bersiap-siaplah, aku akan mencoba membawa beruang gila ini mendarat darurat!” ujarnya sembari menurunkan kecepatan pesawat.

Lengannya terlihat begitu tegang karena berusaha menahan beratnya kendali Sky Eye untuk tetap stabil, sedangkan Letnan Hamilton berpegangan kuat di sisi kokpit sembari menahan napas dan berharap ia dan yang lainnya bisa selamat.

“Lima ratus kaki!—Empat ratus kaki!—Tiga ratus kaki!—“ hitung Kapten James.

*****

Edward hanya bisa duduk meringkuk mendengarkan suara mesin pesawat yang semakin melengking, wajah istri tercintanya muncul dari dalam ingatannya seiring dengan suara lengkingan mesin pesawat yang seperti mau meledak.

*****

“250 kaki!!”

Kedua mata hijaunya itu dengan jelas melihat daratan, Kapten James bisa melihat daratan padang pasir yang lurus, ia bersyukur dan yakin sekali kalau ia akan berhasil melakukan pendaratan darurat dengan aman.

“200 kaki!!—Sedikit lagi!!”

Namun, tiba-tiba Sky Eye menukik ke arah kiri dan menghantam bumi tanpa ampun, pendaratan darurat yang mulus—buyar seketika.

Edward tak tahu apa yang terjadi setelah keduamatanya melihat seluruh jendela kokpit dipenuhi pasir, mendengar suara seperti tabrakan mobil, dan kepalanya seperti dihantam palu godam.

Pesawat E-10 Ursa dari Skadron Intai ke-80 Angkatan Udara Rune-Midgard gagal mendarat darurat dengan mulus di tengah-tengah padang pasir Hazrabiah di wilayah Hazrabiah.

PUKUL 0800
MARKAS BESAR ANGKATAN BERSENJATA RUNE-MIDGARD
JUNON
REPUBLIK RUNE-MIDGARD

Jendral Halberdier sedang terlihat serius menyimak laporan kesiapan salahsatu dari ketiga angkatan bersenjatanya, tanpa sering berkedip, ia terus memaku matanya ke arah Kepala Staff Angkatan Darat yang sudah satu setengah jam melaporkan kesiapan tempur Angkatan Darat.

Begitu juga dengan yang lainnya, Kepala Staff Angkatan Udara, Kepala Staff Angkatan Laut, dan Kepala Staff Korps Marinir juga mengikuti atasannya itu, walau rata-rata panglimanya sudah uzur—kira-kira berumur 60 tahunan lebih atau sepantaran Jendral Halberdier—mereka cukup melek teknologi, semua kepala staff melakukan presentasi dengan menggunakan power point—walau sayangnya mereka tidak terlibat dalam pengumpulan dan pembuatan data presentasinya.

Mengetahui kesiapan seluruh kekuatan militer Rune-Midgard di seluruh matra adalah tugas utamanya dalam agenda besar pemerintah Rune-Midgard dalam menghadang arogansi Kekaisaran Galbadia yang mulai mengganggu stabilitas dunia—yang ditandai oleh makin meningkatnya aktifitas militer di perbatasan Rune-Midgard dan Galbadia.

Tiba-tiba, seorang Staff Mabes datang tergesa-gesa menghampiri dan membisiki telinga kanan Kepala Staff Angkatan Darat, para Kepala Staff dan Jendral Halberdier, terdiam memandangi staff Mabes yang masih membisikkan sesuatu kepada sang Kepala Staff Angkatan Udara.

Ia tersentak beberapa saat, lalu tertegun ketika semua berita yang dibisikkan oleh staff Mabes itu sudah disampaikan seluruhnya, lalu Jendral Halberdier melambaikan tangan kirinya, sang staff mengangguk dan meninggalkan ruang rapat.

Mereka melihat Kepala Staff Angkatan Udara terlihat kacau—seperti ketiban batu yang tiba-tiba jatuh tanpa bilang-bilang, ia mengusap-usap rambutnya yang mulai menipis, dan memijit-mijit bibirnya yang tebal—ada masalah besar yang dibisikkan oleh staff Mabes itu.

“Kabar buruk, pesawat intai yang ditugaskan di Hazrabiah, ditembak jatuh pesawat tempur Galbadia!” Umum Kepala Staff Angkatan Udara.

Semua jendral yang ada disana tertegun beberapa saat dan saling berpandangan satu sama lain, namun pandangan mereka terpaku pada Jendral Halberdier dan Kepala Staff Angkatan Udara yang terlihat salah tingkah.

“Bagaimana dengan kondisi pesawat?” tanya Jendral Halberdier.

“Menurut informasi yang berkembang, pesawat sempat mencoba mendarat darurat, tapi kondisinya rusak berat—kemungkinan seluruh awaknya meninggal.” Jawab Kepala Staff Angkatan Udara.

*****

Komandan Piccard yang sedang tertidur pulas di ruang kerjanya—mencoba mengumpulkan kembali seluruh staminanya selama waktu senggang—tiba-tiba menggulingkan badannya hingga terjatuh di lantai ruang kerjanya yang sudah dijadikan rumah tinggalnya itu.

BRUK!

Bunyi tubuhnya yang menghantam lantai ruang kerjanya yang dibalut karpet bewarna merah tua itu.

Komandan Piccard mengaduh sembari mengurut punggungnya—ternyata jatuh dari tempat tidur rasanya sama seperti dibanting oleh seorang sensei karate ban hitam yang sudah malang-melintang di turnamen.

Tak disangka gaung dering suara telpon yang ada di mimpinya itu membuatnya terbangun dari tidurnya, ternyata berasal dari suara telpon di meja kerjanya yang terus berdering menanti dirinya terbangun dan mengangkatnya.

Komandan Piccard pun memandangi telpon yang berdering itu dengan muka bantal, ternyata suara dering telpon yang terngiang-ngiang di bunga tidurnya ternyata berasal dari telpon yang berdering itu.

Sial, ternyata suara telpon di mimpiku itu beneran, toh!—gerutunya dalam hati, ia pun bangkit dari jatuhnya dan berjalan terhuyung-huyung menghampiri gagang telpon sambil berusaha memanggil nyawanya yang masih belum sempat kembali ketika ia terjatuh dari sofanya.

Komandan Piccard berdehem sejenak untuk mengusir suara parau mengigaunya, ”Piccard, disini.” Jawabnya dengan suara wibawa.

Beberapa menit kemudian terdengar suara, “Siap!” dari mulut Komandan Piccard yang langsung terjaga dan segar-bugar seketika.

PUKUL 0900
GEDUNG DENZEL, PERPUSTAKAAN NEGARA
JUNON
RUNE-MIDGARD

Komandan Piccard menyusuri rak-rak buku di sebuah perpustakaan negara yang sudah berdiri setahun setelah konstitusi negara sudah berdiri, Gedung Denzel—nama yang lebih disukai oleh publik daripada Gedung Perpustakaan Negara Rune-Midgard—didirikan sebagai implementasi amanat konstitusi negara dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa.

Luar biasa, adik dari Gedung Strife ini, benar-benar—luar biasa luas—nya, seluruh literatur dari berbagai genre, fiksi maupun non-fiksi, baik komersiil maupun akademik, semenjak jaman pertama kali negara berdiri sampai baru dicetak detik ini, semuanya ada di Gedung Denzel yang bisa dimasukkan sepuluh buah pesawat Boeing 747-400.

Namun Komandan Piccard tak terlalu suka menghabiskan waktu di tempat ini, gedung tua dan dipenuhi dengan rak-rak buku bertingkat lima yang berpuluh-puluh ribu deretannya, seperti membuatnya terjebak di dalam labirin—dan ia pun berharap tak ada minotaur pemakan manusia yang menanti dirinya.

”Dimana ini Blok A1-B2-C12-D45-E20-F33??.. Grrr!” gerutunya kesal.

Walaupun ribuan papan penunjuk jalan bergelantungan di langit perpustakaan dan puluhan pusat informasi berceceran di seluruh penjuru gedung, tetap saja membuat orang yang tak terbiasa menghabiskan hidup di tempat ini tersasar.

Setelah kebingungan menyusuri perpusatakaan itu, akhirnya, dengan kesabaran dan ketelitian selama hampir tiga jam berada di gedung itu—ia akhirnya menemukan orang yang ia cari sedang tertidur pulas diatas sebuah meja komputer.

Berkacamata bulat berdiameter sepuluh sentimeter, berambut oranye gondrong setengkuk menutupi telinga acak-acakan, persis seperti Albert Einstein—setidaknya ia lebih terlihat lebih imut.

Dan yang paling mencolok adalah—kabel USB yang menjuntai panjang dari otak belakangnya ke lubang USB komputer di depannya.

Tidak salah lagi—”Huh, akhirnya ketemu juga.” Gumam Komandan Piccard lega.

Bayangan menua di labirin rak buku dan dimangsa minotaur seketika hilang ketika melihat sosok pemuda yang sedang ia cari asyik mendengkur di tengah-tengah tumpukan buku yang rata-rata setebal batu bata itu akhirnya ditemukan.

Komandan Piccard bisa melihat pemuda itu sedang mengunduh berhalaman-halaman ilmu kedokteran dasar, algoritma kuantum, filsafat dunia—bacaan yang cukup berat untuk sosok pemuda berkisar duapuluhan lebih.

“Hey, nak—bangun!” panggil Komandan Piccard sembari menggoyang tubuh Strad dengan lembut.

Tapi Strad tidak mau bangun, ia masih teronggok di meja komputer yang didirikan untuk kebutuhan literatur versi digital.

“Bangun!” Komandan Piccard mencoba menggoncang tubuhnya lebih keras.

Masih belum ada jawaban.

Kebiasaan lama—Komandan Piccard menghela napas dalam-dalam, ia pun mencari buku yang dirasanya paling tebal dari deretan rak buku yang tak jauh dari meja komputer yang berjumlah sepuluh buah.

Tanpa ragu Komandan Piccard membantingnya tanpa ragu—tepat di samping Strad yang tertidur lelap.

BRAK!!

Strad tersentak dari tidurnya yang nyenyak itu, beberapa saat kemudian wajahnya yang kusut karena masih mengantuk itu berubah kusut marah ketika mendengar suara buku dibanting.

”Hey! Buku untuk dipelajari dan dipahami, bukan dibanting!!” hardiknya dengan suara lantang.

“Buku memang berguna, termasuk membangunkan orang, Nak.” jawab Komandan Piccard enteng, “Tapi buat apa? Kamu tinggal memasukkan isi-isi buku ini langsung ke kepalamu.” Lanjutnya sembari mengembalikan buku tebal itu ke tempatnya lagi.

“Dasar orang tidak berpendidikan.” Seloroh Strad sinis.

“Baiklah—kita sudahi perkenalan yang kurang mengenakkan ini.” Ujar Komandan Piccard sembari merogoh jaket kulitnya, ia menunjukkan, seperti biasanya, sebuah amplop coklat dengan cap lambang negara dan tulisan—SANGAT RAHASIA. “Sudah saatnya kau berhenti mengunduh tumpukan teori-teori di sini, Nak! Sekarang saatnya kau mengunduh prakteknya lebih banyak lagi.”

“Hmm, sudah waktunya, ya?” gumam Strad sembari menutup sistem USB di komputer perpustakaan tersebut, mata Strad yang bewarna biru—dan apabila diperhatikan dengan sesama, iris matanya terdapat kilauan mata keemasan, langsung berubah oranye, persis seperti orang yang mematikan lampu hias akuarium.

“Masih mimisan?” tanya Komandan Piccard.

“Kalau aku menyambung dengan sistem komputer dalam waktu lebih dari satu jam—masih! Tapi aku mengakalinya dengan sambil tidur, dan ketika bangun proses masih berlangsung—aku harus segera memutuskan sambungannya.” jawab Strad.

”Tugas pertamamu adalah tugas yang berhubungan dengan sesuatu bernama komputer.” jawab Komandan Piccard sembari menyerahkan amplop coklat itu.

Strad mengacak-acak rambut oranye-nya itu, dan meraih amplop coklat yang disodorkan oleh Komandan Piccard, dengan gesit ia membuka segel map coklat itu, membongkar seluruh isi map, dan membaca berkas taklimat plus foto-foto satelit secara sekilas.

“Militer kita mengirimkan satu pesawat intai mereka ke Gurun Hazrabiah untuk sebuah misi spionase rahasia di tengah-tengah kegiatan mereka yang ikut dalam program latihan Mid-Haz ke-27.”

“Program latihan Mid-Haz. Adalah program latihan bersama bilateral antara Angkatan Udara Rune-Midgard dengan Laskar Udara Kesultanan Hazrabiah. Mid-Haz, yang kepanjangan dari Midgard-Hazrabiah, dicanangkan pertama kali oleh presiden ke-25, Presiden John Turnbull dan Sultan ke-12 Sultan Malik IV.” Potong Strad.

“Terima kasih buat intermezzo-nya—Pada pukul 0345 waktu setempat, Sky Eye dikejar dan ditembak jatuh oleh pesawat patroli Angkatan Udara Galbadia berupa empat pesawat tempur Typhoon F1.” ujar Komandan Piccard sembari memberikan foto cetak biru pesawat E-10 Ursa.

“Typhoon F1. Kelihatannya pesawat baru dibeli itu sudah harus bercinta dengan anggota dari Wing Tameng Udara Kekaisaran Selatan, yang bertugas menjaga wilayah udara bagian selatan Kekaisaran Galbadia.” Potongnya lagi.

Strad memperhatikan foto pesawat Sky Eye ketika masih mengaso di sebuah hangar pesawat di Pangkalan Udara Costa De La Sol, “Mengawali tugasnya dengan buruk, akan terus mengalami hal yang buruk selamanya.” Seloroh Strad, jargon militer Rune-Midgardyang sudah dijadikan mitos, yang sering dilabelkan pada barang baru yang baru masuk dinas yang mengawali dengan kegagalan.

Strad memandangi reruntuhan pesawat itu, “Terus apa yang harus aku lakukan?.. Aku bukan ditugaskan untuk melihat foto pesawat yang sudah jadi rongsokan ini, kan?” tanya Strad dengan nada sombong.

Komandan Piccard mendelik tajam, “Hati-hati kalau kau bicara, Nak. Di dalam sana ada saudara-saudara kita yang mengorbankan nyawanya demi kita.” Tegur Komandan Piccard.

Strad tersenyum satir, “Kita? Heh—Aku tak pernah meminta mereka untuk mengorbankan nyawa mereka. Dan sayangnya, kita sering menjadi korban eksploitasi para atasan di atas—Kuharap kau tidak begitu, Komandan.” balas Strad sinis.

Komandan Piccard mendengus kesal, namun ia tak mau berkelahi, ia pun menunjukkan sebuah foto, Strad bisa melihat sebuah server komputer setinggi satu setengah meter—dengan tulisan RAHASIA NEGARA di pojok kanan atas—dari foto itu.

Strad memicingkan matanya dan mengatur-atur posisi kacamatanya lagi, “Hmm! Barang baru—aku belum mendapatkan referensi tertulis soal benda ini.” Gumam Strad.

“Kau akan dikirimkan ke lokasi jatuhnya Sky Eye untuk mencari server seperti di foto itu dengan menggunakan pesawat C-17 dari Iskandarjamillah, menuju Pangkalan Abu Saleh lalu dari Abu Saleh kau akan diantar dengan menggunakan helikopternya laskar udara menuju lokasi Sky Eye—pangkalan terdekat dengan lokasi Sky Eye.

Kemungkinan besar pasukan Galbadia akan menyusup ke wilayah Hazrabiah menuju lokasi jatuhnya pesawat ini dan mencuri data-data yang ada di dalam server—Cari dan temukan server ini sampai dapat, dan rusak seisi data yang ada dengan ini.” Jawab Komandan Piccard sambil melemparkan sesuatu.

Sebuah flashdisk berukuran ibu jari bewarna putih terbungkus rapih dengan hard-case-nya yang terlihat jauh lebih kokoh daripada hardcase plastik flashdisk kelas kacangan yang biasa dijajakan di pasar-pasar kaget di pinggiran kota.

“Apa ini?” tanya Strad sambil memperhatikan flashdisk tersebut—ada logo MCA-nya, “Pemberian dari Direktoran Teknologi Junon, eh?” tebak Strad.

“Flashdisk itu berisi virus—asli dari si tim pembuat server dan program di dalamnya—masukkan program virus itu ke dalam kepalamu dan nanti unggah program virus itu ke dalam server tersebut. Program itu akan otomatis mulai merusak data-data yang ada di dalam server selama kira-kira lima jam. Selama itulah kau akan bertahan dan menjaga program itu sampai virus itu berhasil menyelesaikan tugasnya.” Jawab Komandan Piccard.

Strad memandangi remeh foto server komputer Ursa itu, “Dalam kecelakaan separah ini, apa iya kita masih perlu alat ini?” tanya Strad sinis sembari menunjukkan foto reruntuhan Sky Eye dan flashdisk.

Komandan Piccard tersenyum penuh arti, “Sudah kubilang, nak. Sudah saatnya kau untuk belajar praktek.” Jawab Komandan Piccard.

“Orang-orang berdasi di sana butuh menghilangkan bukti.” Seloroh Strad. “Lalu—berapa lama aku harus mengunggah isi flashdisk ini? Tidak akan merusak isi kepalaku, kan?” tanya Strad khawatir.

“Tenang saja—kami sudah mempertimbangkannya!” jawab Komandan Piccard enteng, “Setelah virus itu berhasil diunggah sistem server tersebut, kau akan dijemput oleh helikopter dari Laskar Udara Hazrabiah.”

“Kenapa harus laskar udara? Jangan-jangan pemerintah mau mencuci tangan mereka lagi lewat kita, yaa?” tanya Strad dengan nada menggoda.

“Yang kita pikirkan hanyalah untuk segera menghancurkan data-data intelijen yang ada di dalam server itu.” Jawab Komandan Piccard, ia memandangi arlojinya, “Kau cuma punya waktu dua jam sebelum dijemput.” Ujar Komandan Piccard sembari meninggalkan Strad, Terdengar suara “Selamat bertugas, Nak.” Dari balik rak-rak buku.

*****

Selama flashdisk isi virus itu menempel di lubang USB yang ditanam otak belakangnya, ia sedang sibuk menyiapkan senapan serbunya, CQB-R yang sudah dicat dengan warna coklat gurun, ditambah dengan asesoris ACOG, ANPEQ-15, dan juga pegangan vertical grip—yang juga dicat coklat gurun—untuk kenyamanan dan kecepatan reaksi membidik.

CQB-R adalah senjata non-organik hasil modifikasi habis-habisan dari varian CQB-R—yang jadi senapan laras panjang organik militer Rune-Midgard—yang dijadikan senapan serbu terpendek untuk memenuhi kebutuhan pertempuran di dalam ruangan dan senjata yang jauh lebih ringkas.

Dan sesuai dengan standar satuan tugas dimana ia bernaung, pistol standar lapangan yang menjadi pegangan wajib Strad adalah pistol M1911A3—namun ia memakai warna standar pabrikan, tidak bewarna modifikasi seperti CQB-R.

“Gurun Pasir Hazrabiah, suhu tertinggi yang pernah tercatat adalah enampuluh derajat celsius, dan yang terendah adalah limabelas derajat celsius, waktu matahari terbit tiga jam lebih lama dari waktu matahari terbit pada umumnya—Aku harus banyak membawa bekal air minum lebih banyak, dan menggunakan seragam yang lebih tipis nantinya.” gumamnya sendiri.

Ia sedang sibuk mengisi penuh camelback isi tiga liter-nya dengan air mineral yang ada di ruang logsitik, dan tak lupa ia mengisi ransel MOLLE ukuran kecil dengan dua kantin minumannya untuk cadangan nanti, dan beberapa bungkus ransum MRE serta perangkat alat bantu malam untuk mengantisipasi misinya molor hingga malam hari.

Strad sedang sibuk memasang rompi anti-peluru tipe IIIA—yang mampu meredam proyektil kaliber 5,56 hingga 7,62 milimeter—bewarna krem dan dragrim tipe ALICE bewarna coklat muda—lengkap dengan kantong-kantongnya—ke tubuhnya yang dibalut seragam kamuflase Desert Tri-Color.

Delapan amunisi cadangan tipe kaliber 5,56 milimeter dan empat amunisi cadangan kaliber 45 tak lupa ia selipkan di dua kantong magazen pistol isi tiga di dahrim ALICE-nya, dan kantong amunisi pistolnya yang membelit paha kirinya, di tengah padang pasir terbuka, kehabisan amunisi bukan lelucon yang bagus untuknya.

Dirinya sudah selesai mengunduh isi flashdisk itu—tandanya, kedua matanya yang biru berkilauan kembali ke sedia kala, bewarna oranye.

Dan yang terakhir adalah mengalungkan shemag kotak-kotak dengan perpaduan warna coklat dan hitam untuk melindungi hidung dan mulutnya dari debu pasir, dan safety goggles dengan bingkai plastik tebal namun kuat warna coklat gurun untuk melindungi kedua matanya.

CEKREK!

Bunyi senapan CQB-R coklat gurun-nya yang dikokang.

”Oke, saatnya mengunggah sesuatu!” gumamnya mantap sembari membetulkan kacamatanya—Saatnya untuk melaksanakan tugas yang tak akan ia duga nanti!

PUKUL 1110
SAMUDRA ESTHAR, KETINGGIAN 20 RIBU KAKI
PERBATASAN HAZRABIAH—RUNE-MIDGARD
REPBLIK RUNE-MIDGARD

Strad terus duduk bersandar pada dinding kabin pesawat C-17 yang nyaman, ia bisa memandangi lautan luas Samudra Esthar yang masuk dalam wilayah Kesultanan Hazrabiah, negara yang merupakan kawan dekat Republik Rune-Midgard.

Pesawat C-17 yang ia tumpangi itu akan mengantarnya ke sebuah Pangkalan Militer Abu Saleh, pangkalan militer milik Kesultanan Hazrabiah yang berada dekat dengan posisi jatuhnya Sky Eye yang jatuh tadi subuh—yang juga tempat menginapnya Sky Eye selama latihan gabungan berlangsung.

“—Tumben sekali kau tidak bersuara.—“ ujar Komandan Piccard.

“Aku gugup.” Jawab Strad datar sembari memandangi kedua tangannya yang bersarung tangan coklat tanah.

“—Biasanya orang yang suka bicara sepertimu mencoba melawan rasa gugupnya dengan berceramah lebih banyak lagi.—“

“Aku sarankan untuk membaca buku teori psikologi untuk menghentikan komentar bernunsa mengejek.”

“—Setidaknya aku tahu bagaimana caranya untuk menutup mulutmu, wikipedia berjalan.—“ jawab Komandan Piccard.

”Terserahlah!” jawab Strad kesal.

”—Ngomong-ngomong, ada yang ingin aku kenalkan kepadamu!—“ ujar Komandan Piccard.

“—Hi, Strad! Perkenalkan, namaku Anne! Senang bertemu denganmu!—“ sapa Anne.

******

“—Bertemu? Menurut Ejaan Yang Disempurnakan—lebih bagus menggunakan kata—berkomunikasi denganmu!—“ dikte Strad.

“Ya ampun.” Desis Anne sedikit geregetan. “Senang berkomunikasi denganmu, deh!” ralat Anne.

Komandan Piccard hanya bisa tersenyum tipis dan mengangkat kedua bahunya.

“Aku bertugas sebagai operator komunikasi dan radar di Ruang Komando. Apabila Komandan Piccard berhalangan, aku memiliki wewenang untuk mewakilkan beliau.” Papar Anne.

“—Bagus! Punya pengganti ketika situasi darurat! Salahsatu syarat dasar sebuah organisasi professional.—“

“Ngomong-ngomong. Bagaimana dengan virus yang kami kirimkan? Mudah-mudahan sudah berhasil kau unduh.” tanya Komandan Piccard.

“—Jangan remehkan indigo, Komando!—“ jawab Strad mantap.

“—Komando, disini Mother Crane, perkiraan waktu sampai di tujuan adalah 30 menit lagi.—“ lapor pilot Mother Crane yang mengantar Strad.

”Disini Komando, roger, Mother Crane.” jawab Komandan Piccard.

Sesaat, Anne teringat sesuatu dalam tugasnya, ia mencoba iseng menanyakannya kepada sang komandan, ”Komandan.” panggilnya.

”Ya?” jawab Komandan Piccard.

“Beberapa waktu sebelum saya ke kantor, saya menyimak berita kalau katanya Galbadia menembak jatuh sebuah Ursa milik kita, apa ini ada hubungannya?” tanya Anne penasaran.

”Tugas kita cuma melaksanakan tugas yang diemban oleh kita, bukan berdiskusi politik.” jawab Komandan Piccard yang kelihatannya hilang mood-nya untuk bicara.

Anne mengangguk takut dan kembali diam, berusaha untuk tidak mengusik komandannya dengan pertanyaan-pertanyaan konyol.

PUKUL 1115
RUANG KONFERENSI, GEDUNG STRIFE
JUNON
REPUBLIK RUNE-MIDGARD

Jendral Halberdier juga berdiri tegap di samping sang nomer satu di pemerintahan Republik Rune-Migard yang sedang sibuk menyapa para wartawan yang ada di ruang konferensi pers yang menyambutnya dengan blitz-blitz kamera yang menyilaukan.

“Selamat pagi!” sapa Presiden Xavier sembari menyunggingkan senyuman kepada para wartawan yang hadir.

”Selamat pagi, Pak!” jawab para wartawan yang hadir.

Sebelum memulai pidato kenegaraannya, ia mencoba berkelakar, “Omong kosong apalagi yang ia buat setelah tuduhan membunuh orang mereka sendiri?” yang langsung disambut tawa oleh para wartawan koresponden kepresidenan yang sudah lama duduk manis di ruang konferensi pers.

”Beberapa menit yang lalu. Kita menyimak pidato Panglima Militer Kekaisaran Galbadia, Jendral Carl Manstein, bahwa ia mengklaim menembak jatuh sebuah pesawat intai milik Angkatan Udara Republik Demokratik Rune-Midgard beberapa jam yang lalu.

Pihak Militer Kekaisaran Galbadia mensinyalir bahwa pesawat intai yang menurut mereka adalah pesawat intai E-10 Ursa milik Skadron ke-80 Angkatan Udara Republik Rune-Midgard, yang melakukan pengintaian militer secara illegal dan melakukan tindakan spionase ketika masa pelatihan bersama Mid-Haz.

Saya sudah melakukan konfirmasi kepada Angkatan Udara mengenai insiden ini, dan Kepala Staff Angkatan Udara menyatakan, memang AU kita mengirimkan satu pesawat Ursa untuk ikut dalam latihan gabungan tersebut, namun tidak melakukan misi pengintaian di Hazrabiah, saya tekankan lagi—tidak ada satu pesawat patroli intai jenis apa pun yang melakukan pengintaian!

Jadi, jawaban kami atas keterangan pers yang dilakukan oleh Jendral Manstein benar-benar merupakan kebohongan publik belaka yang bersifat provokatif atas kedaulatan Republik Rune-Midgard dan Kesultanan Hazrabiah.

Malah atas nama Pemerintahan Republik Demokratik Rune-Midgard menyatakan itu fitnah yang dihembuskan untuk menyeret bangsa kita dan teman dekat kita—rakyat Hazrabiah, dan kami menantang Militer Kekaisaran Galbadia untuk membuktikan mulut besar mereka. Terima kasih!” tutup Presiden Xavier.

Para wartawan langsung menyerbu sang presiden setelah Presiden Xavier menutup keterangan pers-nya, namun kali ini Presiden Xavier hanya memberikan isyarat kalau ia menolak untuk menjawab pertanyaan mereka.

Para anggota dinas rahasia dan dibantu polisi militer yang bertugas di Gedung Strife, dengan sigap meminta para wartawan untuk tidak memaksakan kehendak mereka dan mengawal Presiden Xavier pergi meninggalkan ruang konferensi pers bersama Jendral Halberdier.

”Jendral.” panggil Presiden Xavier.

”Ya, Pak Presiden.” jawab Jendral Halberdier.

”Saya harapkan apa yang anda lakukan berjalan dengan sesuai dengan apa yang anda rencanakan, Jendral.” gumam Presiden Xavier.

Jendral Halberdier bisa melihat kekhawatiran dan ancaman terpendam dibalik perkataannya yang tenang dan datar itu, Jendral Halberdier berani mengajak sang presiden bermain api, berusaha menantang kebohongan publik yang mereka ciptakan sendiri yang tak ingin diakuinya.

Jendral Halberdier mengangguk, ”Pasti, Pak Presiden. Pasti.” jawabnya mantap.

PUKUL 1200
PANGKALAN MILITER ABU SALEH
GURUN HAZRABIAH
KESULTANAN HAZRABIAH

Sebuah jip Humvee dengan kencang melaju ke tempat diparkirnya pesawat C-17 yang mengantar Strad, Kolonel Ahmad, komandan pangkalan, bisa melihat dengan jelas, Strad yang sedang memikul ransel MOLLE ukuran sedangnya, keluar dari pintu kargo pesawat angkut terbaik milik militer Rune-Midgard, dari dalam jip.

Bunyi ban Humvee berdecit kencang, berhenti mendadak tepat di depan Strad, seorang kopral keluar dari dalam Humvee dan membukakan pintu belakang, Kolonel Ahmad dengan kacamata hitamnya, dengan penuh wibawa keluar dari dalam Humvee.

”Anda yang bertugas, prajurit?Dimana yang lain?” tanya Kolonel Ahmad kepada Strad.

Strad terdiam dan memandangi isi pesawat, “Menurutmu? Apakah ada lagi yang keluar dari dalam sana?” jawab Strad tak simpatik.

Kolonel Ahmad terlihat kesal dengan tingkah Strad yang arogan, pasukan khusus milik Militer Rune-Midgard sering terkenal arogannya, tapi yang ia hadapi sekarang jauh lebih arogan, tak punya sopan-santun dan berbicara ketus.

“Kau sudah lupa bagaimana cara bersikap kepada orang yang pangkatnya lebih tinggi, heh?” tanya Kolonel Ahmad kesal.

“Tidak juga.” Jawab Strad, “Tapi aku tidak diperintahkan untuk berbaik-baik dengan kau.” Lanjutnya.

Walau menusuk, sang kolonel juga memuji sosok Strad, jujur—menunjukkan arogansi ala prajurit Rune-Midgard, tidak seperti yang lain, bersikap “munafik” dengan menjaga sopan-santun, walau pada dasarnya sama saja.

“Negaramu benar-benar percaya diri dengan hanya mengirimu seorang, Nak!” ujar Kolonel Ahmad sambil memandangi Strad yang masih muda itu dari ujung kaki hingga ujung kepalanya, “Waktumu semakin menipis, prajurit, ayo!” ajak Kolonel Ahmad kepada Strad berambut dan bermata oranye itu.

Mereka berdua bergegas masuk ke dalam Humvee, dengan cepat sang supir berpangkat kopral itu memacu kendaraannya ke pangkalan helikopter tanpa pernah menginjak rem sedikit pun.

*****

“Kalian sudah semakin jauh bermain apinya.” ujar Kolonel Ahmad dalam perjalanan ke pangkalan helikopter.

Namun Strad hanya mendelik tajam kepada sang komandan pangkalan itu, ”Jangan bicara soal—non-teknis kepadaku! Soal itu, lebih baik kau bicara dengan atasanmu!” jawabnya berani.

Kolonel Ahmad hanya bisa tersenyum kecut mendengar jawaban dari Strad. “Jujur saja, aku tak suka dengan sikap arogan kalian—persis koboi—urakan. Tapi, aku mengagumi keberanian dan kepatuhan kalian dalam mentaati prosedur.” Gumam Kolonel Ahmad.

Akhirnya Humvee yang mereka tumpangi sampai di pangkalan helikopter dengan sangat cepat, Strad bisa melihat sebuah helikopter Blackhawk varian Pavehawk milik Laskar Udara Hazrabiah dengan warna kamuflase gurun sedang bersiap-siap untuk berangkat.

Para petugas teknisi sedang sibuk membereskan segala persiapannya, sedangkan dua kru helikopter serta pilot-kopilot sedang menyimak seorang prajurit berpangkat kapten yang sedang memberikan taklimat kepada mereka.

Kolonel Ahmad dan Strad langsung menghampiri kelima prajuritnya itu, mereka pun langsung memberikan hormat kepada Komandan Pangkalan Militer Wadrah, sang komandan pun berbicara dengan bahasa Hazrabiah.

Strad hanya tersenyum penuh arti ketika mendengar perbincangan antara Kolonel Ahmad dan kedua pilotnya—ia berkata, Midgard mengirimkan satu anak kecil cerewet, bawa bokong sialannya itu ke tempat yang mereka inginkan. Kolonel Ahmad terlihat tersenyum mengejek, ia merasa Strad tidak tahu apa yang ia katakan, sang pilot hanya tertawa dan mengacungkan jempol sebagai tanda siap berangkat.

“Mereka sudah siap! Cepatlah naik!” ujar Kolonel Ahmad.

“Ngomong-ngomong, Kolonel Ahmad.” Strad menghentikan langkahnya sejenak, ia mengucapkan “Dalam budaya Hazrabiah, orang yang hanya bisa menghina di belakang orang yang ia hinakan adalah pria yang tidak punya kemaluan.” Dalam bahasa Hazrabiah.

Strad tersenyum puas ketika melihat Kolonel Ahmad terlihat naik pitam dan mengeluarkan segala kosakata dan perumpamaan kasar kepada Strad yang mulai terbang meninggalkan pangkalan.

*****

“Selamat datang di helikopter kami, prajurit!” sambut sang pilot helikopter di tengah-tengah perjalanan.

”Antar aku ke koordinat 7089-8010!..” pinta Strad sembari melihat kembali peta tugasnya.

Sebuah titik merah bertuliskan—7089-8010—di tengah-tengah wilayah padang pasir di peta yang bewarna coklat muda yang menunjukkan gurun pasir dan garis putus-putus yang membentuk pola garis perbatasan Hazrabiah—Hazrabiah dalam skala satu banding sepuluh ribu.

”Roger, 7089-8010.” jawab sang pilot menyanggupi sambil mengatur ulang sistem GPS-nya dan memasukkan data koordinat yang diberikan oleh Strad, nanti helikopter gurun ini tinggal terbang menyusuri jalur maya yang terlihat di GPS-nya.

PIP!

Bunyi GPS Blackhawk yang selesai memproses koordinat yang dimasukkan, sebuah garis warna merah memotong layar GPS menunjukkan arah yang harus ditelusuri oleh si pengantar, dua jam sepuluh menit, itulah perkiraan sampainya mereka di koordinat tersebut.

*****

Perjalanan terasa membosankan, sangking membosankannya, Strad pun mulai mengantuk, kenapa tidak—yang ia lihat hanyalah daratan kuning kecoklatan dan suara baling-baling helikopter yang berputar kencang.

Tak disangka, ratusan juta tahun yang lalu, Gurun Hazrabiah adalah gugusan rimba yang penuh dengan jutaan jenis tumbuhan dan berbagai jenis binatang purba, termasuk dinosaurus yang rata-rata badannya besar-besar, karena adanya asteroid jatuh, maka hampir seluruh spesies tumbuhan dan binatang purba—termasuk dinosaurus—punah.

Batang dan daging mereka pun ditelan bumi selama berjuta-juta lamanya dengan tekanan tektonik yang menyebabkan tubuh mereka yang sebagian besar dari unsur karbon, berubah menjadi senyawa hidrokarbon yang terbakar apabila bereaksi dengan api, itulah yang disebut dengan pembakaran energi, dan senyawa hidrokarbon itu sering dikenal dengan nama—bahanbakar.

Bahanbakar minyak bumi dan gas alam pertama kali ditemukan oleh manusia sebagai sumber energi—dan sumber uang—pada Tahun 80-an, penemuan pertama terjadi di Krasyordisk, Trabia, dan monumen penambangan minyak pertama masih berdiri tegak di negara komunis itu.

Teknologi transportasi dan energi berkembang pesat seiring dengan semakin banyaknya penemuan ladang minyak dan gas bumi, mobil, pesawat, kapal, pembangkit listrik tenaga diesel dan gas, semuanya berasal dari pengembangan si emas hitam.

Begitu juga dengan Kesultanan Hazrabiah, awalnya hanyalah kesultanan yang komoditas ekspornya hanyalan ternak potong, kurma, dan minyak wangi berkualitas tinggi, namun, keadaan berubah seratusdelapanpuluh derajat ketika tim eksplorasi minyak, Ra Foundation—instansi nirlaba yang berfokus pada penemuan sumber energi baru—dari Rune-Midgard, menemukan ratusan ladang minyak di gugusan gurun pasir kesulatanan.

Emas hitam yang mengangkat derajat kerajaan yang didaulat menjadi negara terkaya di dunia juga, menjadi sebab yang menjatuhkan dan menghancurkan keberadaannya, karena keserakahan anak-anak sultan, kesultanan besar itu akhirnya sering menjadi langganan penggulingan tahta.

Bahkan hampir di seluruh pelosok negara yang memiliki ladang minyak, kehidupan mereka tak pernah aman dan damai, karena konflik memperebutkan hak untuk memiliki si emas hitam, sehingga ada pengamat politik dunia mengatakan—minyak dan gas menyebabkan dunia tak hidup damai.

*****

”Hey, kawan!” panggil sang pilot, “Bolehkah kami tahu apa yang sebenarnya terjadi?” tanya sang pilot.

”Ya, kami hanya diberi taklimat untuk mengantarmu tanpa tahu untuk apa. Kami benar-benar penasaran, kawan!” Ujar seorang awak Blackhawk menimpali.

Tak ada respons hangat dari Strad, hanya wajah yang ditekuk yang mereka dapatkan. “Lakukan tugasmu saja, dan aku bukan kawanmu! Ayo bawa helikopter kalian ke koordinat itu lebih cepat lagi!” jawab Strad ketus.

Keadaan di kokpit seketika berubah dari beku dan menegangkan jadi panas, sang pilot memacu helikopternya untuk terbang lebih cepat lagi sambil menggerutu dan mengumpat dengan bahasa mereka.

Tiba-tiba radio Strad bereaksi, Komandan Piccard ingin berbicara dengannya.

”—Strad, disini Komando!—“ panggil Komandan Piccard.

”Disini Strad.” jawab Strad.

”—Kami ingatkan, tugasmu adalah merusak data hasil pengintaian, cari sampai dapat server itu, dalam kondisi apapun.—“ ujar Komandan Piccard.

“Kalau server yang kau bilang diyakini tak akan lecet sedikit pun, ternyata dalam keadaan hancur?” tanya Strad.

“—Hmm, kelihatannya tidak mungkin. Tapi, kalau itu memang terjadi, tetap laporkan kepada kami untuk ditanggapi!—“ jawab Komandan Piccard.

“Roger, Komando.” Jawab Strad.

Pavehawk bewarna coklat gurun itu menyambar bukit pasir yang ada di bawahnya, mereka berpacu dengan waktu yang semakin menipis.

*****

Dari Ruang Komando—sambil menonton pergerakan helikopter Strad—Komandan Piccard cuma bisa berharap tidak ada masalah dalam tugas yang tergolong ”mudah” ini.

“Oh ya, Anne, ada yang mencurigakan?” tanya Komandan Piccard.

Anne menggelengkan kepalanya, “Tak ada komunikasi radio yang merespons keberadaan helikopter, Pak.” Jawabnya.

Komandan Piccard mengangguk.

*****

Sedangkan di ruang kerjanya, Jendral Halberdier—dengan hanya menggunakan kemeja coklat muda dengan tiga kancing atas terbuka dan tali dasinya dibiarkan terjulur—terus memperhatikan televisi sembari terus meminum brandy kesukaannya yang sudah setengah botol ia habiskan.

Dengan gelisah ia menunggu tanggapan dari rivalnya, si Jendral Manstein, yang menurut Junon, terkenal brutal dan kejam terhadap—bahkan yang dianggap—lawan-lawan politik sang kaisar, namun setiap tayangan yang ia gonta-ganti dengan remote, semuanya nihil, tidak ada satu pun siaran langsung pidato atau berita yang mencuplikkan pidato dari Kekasiaran Galbadia.

”Dimana kau, Manstein?!” tanya Jendral Halberdier resah.

PUKUL 1210
PERBATASAN HAZRABIAH-GALBADIA
KESULTANAN HAZRABIAH

Sedangkan di lokasi jatuhnya Sky Eye, Edward yang tak sadarkan diri, tergeletak di atas kursinya dalam kondisi terikat oleh sabuk pengaman, mulai sadarkan diri ketika matahari mulai beranjak naik ke ubun-ubun dan membakar wajahnya.

Edward melenguh, ia mulai bangkit dari pingsannya, ia langsung mengerang dan memegangi dahinya yang mengeluarkan darah segar disertai pusing yang luarbiasa ketika ia tersadar dari pingsannya.

Ia pun memperhatikan sekitarnya, hanya kabin pesawat yang hancur lebur, gosong, dan terkoyak, angin kering yang membawa debu pasir juga mulai masuk ke dalam kabin pesawat yang menganga.

Para awak yang tak selamat tergeletak tak bernyawa dengan berbagai luka sebagai penyebab kematian mereka, ada yang terkena pecahan kabin, terbakar, maupun menghantam reruntuhan—bahkan, ada yang kondisinya utuh hingga dalam keadaan terkubur tumpukan pasir.

Edward terkejut melihat Rupert yang bersandar tak sadarkan diri di dinding kabin dengan tangan kanannya memegangi lukanya yang parah di perut.

“Ru—Rupert!” panggilnya, namun ketika ia mencoba bangkit, ia tersadar, kalau badannya masih dikekang oleh sabuk pengaman.

Edward pun segera melepaskan sabuk pengamannya dan berjalan terhuyung-huyung mendekati rekan sekerjanya itu—ia bisa mendengar napasnya yang lambat dan pendek, wajahnya terlihat sangat pucat karena luka di perutnya mengeluarkan banyak darah.

”Rupert! Rupert!!” panggil Edward kepada Rupert.

Beberapa saat kemudian, Rupert membukakan matanya yang lemah itu, dengan kesulitan bernapas, ia masih bisa tersenyum ketika melihat Edward dengan luka di dahinya. ”E—Ed.. Syukurlah...” desis Rupert lega.

Edward memandangi luka di perut Rupert yang terlihat terus keluar, ”Kau mengalami pendarahan!.. Kalau dibiarkan, bisa gawat ini!” ujar Edward khawatir.

Edward terlihat kebingungan, melihat kesana-kemari mencari apa yang bisa menolong rekannya dari pendarahan, “Bertahanlah kawan, aku akan menolongmu.” Ujar Edward yang masih merasakan pusing di kepalanya.

Dengan langkah gontai, ia mencari sesuatu dari dalam kabin yang hancur berantakan itu, benaknya mengingat kotak P3K yang berada di dekat meja kerjanya, namun, ia tak menemukan apa pun dari kerusakan yang ada, namun, ia tak menyerah, demi sahabatnya itu, ia terus mengobrak-abrik seisi kabin pesawat yang masih utuh itu.

Beberapa saat kemudian, ia mendengar suara degupan baling-baling helikopter dari kejauhan, ia pun mengintip dari jendela pesawat, dari teriknya gurun—ia bisa melihat sebuah titik hitam melayang di langit biru yang terik, rasa takutnya pun datang.

*****

“Itu dia lokasinya!!...” tunjuk sang pilot kepada Strad.

Strad bisa melihatnya dengan jelas, sebuah cekungan hitam membujur panjang di gurun yang gersang dengan berbagai bagian pesawat berceceran, dan diujungnya terlihat sosok reruntuhan Sky Eye yang terperosok menghantam bukit pasir di depannya.

Keadaannya benar-benar lebih memprihatinkan daripada gambar dari citra satelit, hangus dan kacau-balau, ini yang membuat Mabes—dan juga Strad—yakin kalau tak ada yang selamat dari kekacauan itu.

Semua kru helikopter terhenyak ketika melihat reruntuhan Sky Eye yang bisa dikatakan “mainan baru” itu, mereka bergumam satu sama lain, memahami apa tujuan mereka mengantar Strad dengan tatapan trenyuh.

“Komando, disini Strad! Kami berhasil sampai di posisi Sky Eye!“ lapor Strad.

”—Disini Komando, roger, Strad! Bagaimana dengan kondisi Sky Eye—?” tanya Komandan Piccard.

Ia menggelengkan kepalanya, ”Mengerikan, kalau kau ikut, kau akan bisa melihat betapa lebih kacaunya Sky Eye daripada foto satelitnya!“ jawab Strad.

”—Kalau begitu, segera lakukan tugasmu secepat mungkin!—” desak Komandan Piccard.

”Roger, Komando!“ jawab Strad.

*****

Blackhawk milik AU Kesultanan Hazrabiah itu mulai menurunkan kecepatan dan ketinggiannya sambil terus berputar satu kali di atas reruntuhan Sky Eye sebelum akhirnya melayang stabil di udara, putaran baling-baling helikopter yang sedang melayang membuat lokasi sekitar berubah menjadi badai gurun lokal.

Strad langsung memasang goggles-nya untuk melindungi keduamatanya dari debu pasir, shemag yang membelit lehernya itu ia belitkan di mulut dan hidungnya, awak helikopter pun mengulurkan tali tambang ke tanah.

*****

Edward bergegas melindungi Rupert yang terluka dari hembusan debu pasir yang beterbangan masuk ke dalam kabin pesawat karena tiupan kencang baling-baling utama helikopter yang bisa mencapai seratus ribu rpm.

”Si—Siapa yang datang?” tanya Rupert.

”Entahlah, kawan!.. Aku sendiri tak tahu helikopter siapa yang datang! Mungkin musuh!..” jawab Edward sembari melindungi wajahnya dan Rupert dari badai pasir lokal itu.

Awak helikopter yang mengulurkan tali itu memberikan tanda jempol kepada Strad sebagai tanda ia diperbolehkan untuk meluncur turun.

Strad degan cepat memasang body harness dan langsung meluncur ke darat dengan cepat, sarung tangan coklatnya bedesis kencang ketika bergesekan dengan tali tambang, tak ada rasa ragu maupun takut yang ada di diri Strad ketika harus meluncur turun dari ketinggian limapuluh meter itu.

Kedua kakinya yang dibalut sepatu boot gurun bersol empuk itu, ia langsung membungkukkan badannya dan bergegas melepaskan body harness-nya, ia pun mencabut CQB-R-nya dan membidik 360 derajat ke sekitarnya untuk memastikan tidak ada tuan rumah yang bersiap menyambutnya.

*****

Sang pilot bisa melihat Strad melambaikan tangannya di darat, ”Baiklah, kita pergi dari tempat ini!” ujar sang pilot kepada co-pilotnya.

Ia langsung menarik kendali, melepaskan tali tambang yang menjulur ke tanah, dan meninggalkan lokasi sampai kawannya dari negri sebrang itu memanggil mereka kembali setelah selesai menunaikan tugasnya.

*****

”Disini Strad, aku sudah sampai di di titik jatuhnya Sky Eye!” lapor Strad yang bergegas masuk ke dalam reruntuhan kabin Sky Eye sambil terus membidikkan senapan serbunya itu.

“—Di sini Komando. Roger, Strad. Tetap waspada terhadap sekitarmu, nak!—“ jawab Komandan Piccard.

*****

Setelah deru debu pasir dari helikopter sudah reda, Edward langsung segera bersembunyi di sudut kabin pesawat, dia berencana akan langsung meringkus orang yang datang itu dari belakang.

Strad dengan hati-hati masuk ke dalam koyakan kabin pesawat yang cukup untuk dirinya masuk ke dalamnya, tanpa tahu dari titik butanya, Edward sedang siap meringkus Strad.

Ketika Strad masuk, ia terhenyak ketika melihat ada manusia tergeletak memandanginya—dalam keadaan hidup.

”Hiaaaaaaaahh!!” Edward langsung menyergap Strad yang lengah.

Dengan sigap Strad langsung berbalik dengan cepat dan menarik seragam ABU Edward dengan sekuat tenaga, Edward yang tak menyangka kalau musuhnya begitu cepat menyadari keberadaannya, hanya bisa menahan napas ketika badannya terangkat dengan serta-merta.

Edward jatuh tersungkur, menghantam lantai kabin yang cukup keras sambil mengaduh-aduh, ketika ia mencoba bangkit—moncong senapan CQB-R sudah menempel di pipinya dengan jari telunjuk kanan menempel di picu.

Tinggal sekali tekan untuk mengoyak dagu Edward.

Strad tersadar ketika melihat seragam ABU yang dipakai Edward.

“ABU? Pakaian dinas lapangannya Angkatan Udara—Hey! Kau orang Midgard!” gumam Strad heran bercampur bingung.

”Si—Siapa kau?!” tanya Edward yang sama-sama bingung.

Strad menurunkan moncong dan kembali mengunci senapannya, ia menghela napas lega, Strad terlihat bingung dan heran, bingung karena ia tak menyangka ada yang selama dari kecelakan tersebut.

”Bagaimana bisa dalam kecelakaan separah ini ada yang selamat?!” ungkap Strad heran, sangking herannya, ia menggaruk-garuk rambut oranye-nya yang gondrong itu.

Edward yang sedang memegangi dagunya yang nyeri itu, tertegun ketika melihat badge bendera Rune-Midgard menempel pada velcro di dada depan rompi anti-peluru Strad.

”K—Kau orang Midgard juga?! Syukurlah! To—tolonglah kawanku, kawan! Dia mengalami pendarahan di perutnya.” mohon Edward sembari menunjuk Rupert yang tergeletak tak berdaya.

“Oke, setelah disambut dengan sangat tidak ramah oleh kawan sendiri—lalu apa sekarang?” keluh Strad.

Strad bergegas menghampiri Rupert, wajahnya semakin memucat karena kurang darah, sedangkan tangannya yang bewarna merah darah terus menutupi perutnya yang terus mengeluarkan darah segar.

”Berapa lama ia mengalami pendarahan seperti ini?” tanya Strad sembari memeriksa denyut nadi di pergelangan kiri Rupert, ia menghitung denyut nadi Rupert dengan melihat jam tangan digitalnya.

Edward menggelengkan kepalanya yang berdarah itu, “A—Aku baru saja siuman.”

Denyut nadi Rupert lemah, bahkan beberapa detik yang lalu, denyut nadinya menurun, ia dalam bahaya.

”Sial, kalau tahu begini, aku bawa perlengkapan medis yang lebih lengkap lagi!” kutuknya, ia pun melaporkan temuannya kepada Komandan Piccard.

*****

”—Komando, disini Strad!—“

Komandan Piccard langsung menjawab panggilan Strad. ”Disini Komando.” jawab Komandan Piccard.

”—Kita dalam masalah, aku menemukan dua orang yang selamat, satu orang mengalami cidera ringan di kepalanya, sedangkan satu orang lagi mengalami pendarahan berat di perutnya. Aku tak membawa peralatan P3K yang lengkap, mungkin aku akan merawat mereka dengan peralatan P3K yang aku punya. Dia perlu bantuan medis segera!—“ lapor Strad.

Komandan Piccard terkejut ketika mendengar laporan dari Strad, Anne pun ikut terheran-heran dan saling berpandangan dengan wajah sama herannya, dalam kehancuran total yang dialami Sky Eye, masih ada yang selamat—walau dalam keadaan kritis.

“Ba—Bagaimana bisa?!”

“—Tanya saja mereka. Dua orang ini benar-benar masih disayang nyawanya!—“

Komandan Piccard terdiam beberapa saat, ”Strad, rawat mereka sebaik mungkin, dan cari yang selamat. Kami akan berusaha mengirimkan bantuan secepatnya!” jawab Komandan Piccard.

“—Hey! Bagaimana bisa aku merawat mereka?! Aku tidak bawa perlengkapan medis lebih lengkap!—“

“Coba cari cara untuk bisa merawat mereka! Karena setidaknya apa yang diajarkan ketika kau dididik ada hasilnya! Siapa tahu ada perlengkapan P3K di pesawat itu—segera cari! Komando selesai!”

”—Tap—Pfh! Roger, Komando. Strad selesai!—“ tutup Strad tak puas.

Komandan Piccard meraih telepon terdekatnya, dan langsung memutar nomer khusus untuk menghubungi sang jendral.

”—Halberdier, disini.—“ jawab Jendral Halberdier di sebrang sana.

”Jendral, ada dua orang yang selamat di Sky Eye, satu cidera ringan, sedangkan satu lagi dalam keadaan kritis karena pendarahan berat. Kami membutuhkan bantuan medis segera untuk seorang awak Sky Eye yang mengalami pendarahan berat itu.” lapor Komandan Piccard.

*****

“Apa?!.. Bagaimana bisa?..” tanya Jendral Halberdier tak percaya.

Sangking tak percayanya, ia sampai berdiri dari kursi kerjanya yang empuk itu, matanya terbelalak dan mulutnya menganga, ia jadi seperti patung badut bodoh dengan seragam seorang jendral bintang lima.

Ia masih merasa kalau dirinya masih dipengaruhi oleh brandy yang sudah satu setengah botol ia habiskan karena bosan menunggu respons dari pihak Kekaisaran Galbadia.

”Sebentar, sebentar!—“ Jendral Halberdier kembali duduk dan mencoba berpikir dengan kepalanya yang pusing karena alkohol, “Coba ulangi sekali lagi.” pinta Jendral Halberdier yang sudah mulai mabuk itu.

“—Jendral, kami menemukan ada yang selamat!—“

”Berapa orang?” tanya Jendral Halberdier sembari mengusap-usap wajahnya yang kacau-balau.

”—Dua orang, tapi ada kemungkinan masih ada yang selamat dari peristiwa itu.—“

”Kondisinya?” tanya Jendral Halberdier lagi.

”—Satu orang mengalami luka ringan di kepalanya, namun satu orang lagi mengalami pendarahan cukup parah. Ia harus segera mendapatkan perawatan medis dan dievakuasikan dari tempat itu.—“ jawab Komandan Piccard.

Jendral Halberdier menarik napas dalam-dalam dan berusaha berpikir jernih ditengah-tengah pengaruh alkoholnya, ”Tetap fokus pada tugas utama. Lakukan perawatan darurat, aku akan mengirimkan bantuan.” jawab Jendral Halberdier.

”—Baik.—“ ujar Komandan Piccard sembari menyelesaikan komunikasinya.

Jendral Halberdier duduk di kursi kerjanya lagi, dan menyandarkan kepalanya yang tiba-tiba menjadi berat ketika mendengar kabar dari Komandan Piccard.

Ia masih tak habis pikir, kalau dalam keadaan separah itu masih ada yang bisa selamat dalam kecelakaan itu, lalu, ia mengangkat gagang teleponnya dan menghubungi Mabes Angkatan Udara, beberapa saat menunggu lama, akhirnya ada jawaban.

”Ya, disini Jendral Halberdier, Panglima Angkatan Bersenjata Republik Rune-Midgard, saya ingin menghubungi Kepala Staff Angkatan Udara—segera mungkin!!” jawab Jendral Halberdier kepada sang operator Mabes Angkatan Udara.

PUKUL 1300
LAPANGAN ROFFLHEIM
DELING-CITY
KEKAISARAN GALBADIA

Acara apel militer akbar yang digelar oleh Kaisar Vincent Deling berlangsung sangat khidmat, selain keluarga istana dan para bangsawan kerabat dekat yang hadir, seluruh jajaran pemerintahan dan militer pun berkumpul.

Sepuluh ribu pasukan yang tergabung dalam Angkatan Bersenjata Kekaisaran Galbadia berkumpul—termasuk dua anak emas kekaisaran, Korps Fallschirmjaeger dan Korps SS juga ikut hadir dan berada pada barisan terdepan.

Kaisar Vincent Deling naik ke atas tribun khusus untuknya pidato, seluruh rakyat yang diundang langsung menyambut dengan sorak-sorai bergembira dan memuja-muja sang kaisar, sedangkan anak emas sang kaisar—Korps SS—menyambutnya dengan membaca sumpah korps SS yang terdengar bergaung-gaung di dalam stadion upacara bawah tanah yang sangat tertutup dan gelap, hanya cahaya dari obor-obor raksasa berornamen kerajaan Galbadia yang menjadi alat penerangan.

Orang-orang di luar ruang upacara sering bertanya-tanya, bagaimana cara seorang Carl Manstein, Komandan Korps SS pertama, bisa memengaruhi isi kepala pasukan hitamya hingga menjadi pasukan elit yang fanatis, militan terhadap kaisar—dan kejam terhadap lawan-lawannya.

Karena kefanatisan dan kemilitanan mereka lah, Kaisar Vincent Deling dan para simpatisannya yang sering disebut Restorator berhasil merebut kembali kekuasaan Galbadia yang kacau dalam kepemimpinan Republik Galbadia—boneka negara sekutu pemenang Perang Estharian Pertama, dua puluh tahun yang lalu.

Kini, SS menjadi anjing penjaganya sang kaisar, untuk memastikan tidak ada satu orang pun, baik di luar maupun di dalam kekaisaran, mencoba menggoyang tahta kaisar, apabila ada yang diindikasi mencoba menentang—SS akan “menindaknya”.

“Wahai bangsa Galbadia! Ingatkah sejarah yang kita bangun beratus-ratus tahun lamanya—dimana di tanah kita lahir, hidup, dan mati kelak, telah berdiri berbagai macam kekaisaran yang terkenal paling besar dan paling kuat di dunia! Namun sayangnya sudah berkali-kali bangsa kita jatuh dan hancur dengan cara yang sama ketika ingin menuju puncaknya.”

“Apakah itu? Yaitu—karena ulah para pengkhianat yang mau menjual tanah ibu pertiwi kita untuk dilacurkan kepada para musuh untuk kepentingan pribadi mereka! Ini dibuktikan dengan pengalaman mendiang ayahnda dan diriku sendiri—bahkan kita semua, dimana bagaimana rasanya diri kita dijual dan dilacurkan oleh para pengkhianat bangsa kepada ular-ular sekutu yang ditulis pada Perjanjian Loire!”

“Kita harus menjilati ludah-ludah mereka! Kita yang seharusnya jadi bangsa yang paling unggul—menjadi bangsa yang paling rendah! Kita dipaksa oleh mereka, harus memakan sampah—makanan untuk binatang liar—dari restoran-restoran mereka untuk bertahan hidup!”

“Tapi sekali lagi bangsa ini terselamatkan oleh sejarah—karena sejarah, kita bersama-sama, bahu-membahu—bangkit dari kehinaan itu dan berani melawan sekutu dan para pengkhianat bangsa! Harga yang harus kita bayar memang tidak sedikit—darah dan air mata dari orang-orang yang kita kasihi harus jatuh ke tanah di mana kita hidup ini!”

“Tapi kita tahu, darah dan air mata mereka tidak boleh disia-siakan—harus diperjuangkan sampai kapan pun juga kalau perlu sampai kita musnah semuanya! Dan akhirnya—kita berhasil merebut kembali harga diri bangsa kita dengan tega kembalinya jati diri bangsa kita—Kekaisaran Galbadia!”

Ucapan Kaisar Vincent Deling langsung disambut meriah oleh para hadirin, ketika suasana kembali hening, ia pun melanjutkan pidatonya.

Sambutan meriah mulai membahana kembali.

“Aku tanya kembali wahai putra-putri Galbadia!”

Sontak hadirin yang ada di lapangan upacara bawah tanah itu terdiam hening, menanti pertanyaan yang akan dilontarkan oleh Kaisar Vincent Deling.

“Apa kalian semua mau untuk mengubah sejarah bangsa kita yang bangsa besar yang terus-terusan gagal menjadi—bangsa besar yang terus-terusan jadi yang terbaik?!”

Semua hadirin sontak menjawab—Ya!

“Apa kalian semua tahu apa yang menyebabkan bangsa kita kembali terpuruk ketika ingin menjadi bangsa yang paling besar?!”

Semua hadirin sontak menjawab—Ya!

“Siapa?!”

Semua hadirin sontak menjawab—Sekutu dan para pengkhianat bangsa!

“Apa kalian semua tahu, kalau sekutu nyata-nyatanya memerangi kita semua, dan sudah mulai muncul lagi—para pengkhianat bangsa itu? Apa yang harus kita lakukan kepada mereka semua?!”

Semua hadirin sontak menjawab—memerangi dan memusnahkan mereka!

“Kalau begitu, kita semua—bersama-sama, bahu-membahu, untuk memerangi dan memusnahkan mereka, hingga tidak ada yang tersisa orang-orang yang melawan dan menghalangi bangsa kita menjadi bangsa yang terbaik!”

“Sudah saatnya, kita semua—bersama-sama, bahu-membahu, untuk mengubah nasib kita menjadi yang lebih baik lagi sebagai raja dunia yang terus tanpa mahkota menjadi—raja dunia yang sesungguhnya dan selamanya!”

Sorak-sorai semakin membahana dan mulai menjurus semakin menggila—sistem propaganda yang selalu dicekoki kepada rakyat Galbadia mulai ada hasilnya.

“Aku canangkan kejadian ini sebagai—lahirnya Kampanye Galbadia Raya! Galbadia yang memimpin seluruh umat manusia di dunia ini!” pekikan sang kaisar disambut dengan suara dentuman meriam dan kembang api.

Jendral Manstein bangkit dari tempat duduknya, ia pun memberikan perintah ajudannya, “Laksanakan Kampanye Galbadia Raya!”

Sang ajudan memberi hormat kepada Jendral Manstein, “Siap, Pak!” jawabnya sembari bergegas meninggalkan tribun kehormatan.

“Panjang umur Yang Mulia Kaisar—Panjang umur Kekaisaran Galbadia!” pekik Jendral Manstein.

*****
“Bagaimana ini, Jendral?” tanya salahsatu perwira menengah yang sejak acara tadi mendampinginya, kepada Jendral von Nikole yang ikut bangkit dari kursinya dan memberi tepuk tangan meriah.

Jendral von Nikole terdiam beberapa saat, “Segera kirim pesan ini kepada anggota lainnya yang berada di luar ibukota—Bersiaplah!” jawabnya.

Jendral von Nikole memalingkan pandangannya, dari ke Kaisar Vincent Deling ke Bangsawan Utama Julius van Rodenburg yang juga memalingkan pandangan kepadanya—kedua tatapan mereka, ada arti yang tersirat.

PANGKALAN SALIM-XVI
PERBATASAN GALBADIA—HAZRABIAH
GURUN HAZRABIAH
KEKAISARAN GALBADIA

Regu F yang tergabung dalam Resimen ke-4 Korps SS dengan seragam flektarn gurun mereka, sedang bersiap-siap untuk melaksanakan perintah langsung dari Mabes Angkatan Bersenjata Galbadia.

Para pasukan kebanggaan Kekaisaran Galbadia itu terlihat sibuk memunguti magazen G36C yang tertata rapih di atas meja logistik, tak lupa juga melakukan inspeksi senjata secara kilat untuk memastikan senapan serbu mereka akan bekerja maksimal di keadaan seekstrim ini.

Ransum dan berliter-liter air minum juga mereka bawa untuk mencegah kemungkinan tugas mereka akan berlangsung lama, peralatan penglihatan malam juga tak lupa mereka masukkan ke dalam kantong-kantong pada rompi anti-peluru berpola flecktarn gurun mereka.

Ketika mereka keluar dari barak khusus Korps SS, mereka bisa melihat ratusan prajurit Galbadia dari Angkatan Darat dan Udara menyemut di belakang puluhan truk angkut dan kendaraan tempur menurut kesatuan masing-masing.

Belasan pesawat Rafale, Mirage, dan Typhoon dari berbagai varian—dan berbagai persenjataan yang dipasang lengkap dan penuh sesuai dengan tugas mereka masing-masing—bergegas masuk landasan pacu.

Mereka terlibat dalam tahap pertama Kampanye Galbadia Raya—mendukung proses kudeta yang mulai pecah seiring dengan pencanangan Kampanye Galbadia Raya.

*****

Tiga buah mobil mercedez-benz G-class yang sudah dimodifikasi khusus untuk pasukan SS sudah siap sedia mengantar Regu F berangkat ke medan tempur, ketika mereka bersiap untuk bergerak naik ke atas jip, sang komandan kompi berpangkat kapten menyuruh mereka untuk menunda sejenak semangat tempur mereka yang semakin membara.

“Tunggu dulu! Kalian punya tugas lain untuk kali ini!” ujar komandan SS tersebut, “Berkumpul ke aku!” perintah sang komandan.

Seluruh Regu F berkumpul mengerumuni sang kapten, mereka langsung mendapatkan taklimat singkat dari sang komandan, regu kecil ini bertugas untuk bergerak menuju posisi jatuhnya Sky Eye dan mengangkut server super-komputer yang digunakan untuk menyimpan data-data hasil pengintaian untuk dijadikan barang bukti kebohongan publik pemerintah Republik Rune-Midgard.

”Persiapkan diri kalian sebaik mungkin! Tugas yang kita emban adalah tugas yang mempertaruhkan wibawa bangsa kita yang terhormat ini!” erang sang komandan regu dengan pangkat letnan sembari memperhatikan para pasukan SS pimpinannya yang sedang sibuk bersiap-siap.

“Demi Galbadia—Demi Kaisar!” pekik komandan regu yang disambut pekikan perang para anakbuahnya.

*****

“Cepat! Cepat!! Kita tidak punya waktu lagi!” desak sang wakil komandan regu dengan pangkat sersan kepada para prajurit SS yang masih sibuk di meja logistik, sedangkan rekan-rekan mereka yang sudah siap, sudah bergegas menuju jip mereka masing-masing.

Sang komandan kompi terlihat bangga melihat kesigapan para bawahannya ketika perintah untuk menyusup ke perbatasan wilayah Hazrabiah, dari Komandan SS yang baru, turun.

Setelah siap, sang komandan regu dengan pakaian dinas lapangannya, menghampirinya dan memberikan hormat kepada sang komandan kompi berpangkat kapten itu.

“Semua sudah berada di posisi masing-masing, tinggal menunggu perintah berangkat dari anda, kapten!” lapor sang letnan kepada prajurit SS dengan lambang dua batang emas disematkan di dada seragam flecktarn gurunnya.

Sang kapten memandangi bangga para pasukan SS yang ia pimpin itu sudah berada di atas kabin jip mereka masing-masing, ia bisa melihat wajah-wajah para prajurit yang sudah tak sabar untuk melaksanakan tugas penting mereka itu, haus akan pertempuran yang semakin mengeringkan tenggorokan mereka dan tak sabar menanti perintah berangkat dari sang komandan kompi.

”Kalian sudah memahami tugas kalian dengan baik, prajurit?” tanya sang kapten.

”Siap, sudah!” jawab sang komandan regu dan anggota serentak.

Sang kapten mengangguk mantap, ”Jangan kembali dengan tangan hampa!” ujar sang komandan dengan tatapan tajam.

”Lebih baik kami mati daripada gagal dalam tugas, Pak!” jawab sang letnan mantap—ia pun bergegas melompat masuk ke dalam jip terdepan setelah direstui oleh sang komandan kompi, ia memberikan isyarat kepada para supir untuk segera berangkat.

Dua Jip G-SS berbak terbuka itu langsung melesat meninggalkan pangkalan militer dengan kecepatan penuh, berpisah dari gelombang pasukan darat Galbadia dan bergegas menuju lokasi jatuhnya Sky Eye.

=== TASK FORCE : STRAD EPISODE ENAM SELESAI ===

Tidak ada komentar:

Posting Komentar