Selasa, 08 Februari 2011

THE STRADS (EPISODE EMPAT)

TEEET!! TEEET!! TEEEETT!!

Hampir tak pernah Komandan Piccard menghentikan tangannya yang terus-terusan menekan klakson mobilnya, namun ratusan orang mabuk dan bebal itu tetap saja asyik menari-nari di tengah jalan kota, pengendara lainnya pun begitu, sama-sama kesal seperti sang komandan.

Hampir satu jam ia dan pengendara lainnya terjebak kemacetan di pinggir kota karena lautan manusia yang sedang merayakan Hari Kemerdekaan Republik Rune-Midgard, polisi lalu-lintas yang dikerahkan untuk mengatur gegap gempita acara pun tak berkutik ketika berhadapan dengan “amuk” massa.

Arlojinya menunjukkan pukul 22. 15—ia sudah terlambat lima menit!

Wajah semakin kusut, sekusut selembar kertas yang digulung-gulung dan diremas-remas, emosinya pun beranjak naik seiring waktu yang terus berputar, tapi ia berusaha untuk menenangkan dirinya dengan memperhatikan para polisi yang kerepotan menyingkirkan lautan manusia yang bergerombol layaknya binatang ternak.

Di tengah kekacauan itu, pikirannya menerawang tigapuluh tahun yang lalu, ia melakukan hal yang sama dengan kawan-kawannya—mabuk dan membuat para pengendara kesal, persis seperti apa yang ia alami sekarang—dan salahsatu teman geng bikin onar adalah orang yang akan ia temui sekarang.

Saluran lalu-lintas yang macet itu akhirnya berangsur lancar lagi, para pengendara yang ingin menikmati hari libur mereka di luar kota, langsung tancap gas ketika melihat jalanan sudah berhasil disterilkan oleh polisi.

“Akhirnya.” hembus Komandan Piccard lega, tanpa banyak pikir, ia langsung menginjak gasnya dalam-dalam.

Mobil Ford Ranger hitamnya berdecit, lalu melesat kencang meninggalkan asap dan bau karet terbakar, sang polisi hanya bisa memandangi mobil tentara itu sembari menggelengkan kepalanya.

=== THE STRADS : EPISODE EMPAT, DIMULAI ===

Ia pun semakin kencang memacu mesin mobil SUV-nya, karena ia sudah terlambat sepuluh menit untuk menghadiri sebuah acara besar di kawasan elit di pinggiran kota Junon yang jaraknya dua puluh kilometer dari ibukota.

Dengan piawai ia membawa mobil besarnya mengikuti jalanan yang penuh lika-liku dan naik-turun tajam itu, rasa khawatir tidak bisa hadir di acara ternyata lebih kuat ketimbang rasa khawatir mobil bongsor milik kantor bisa terguling masuk ke jurang karena terlalu limbung.

Selera yang cukup aneh bagi orang-orang mapan untuk mencari tempat tinggal yang aman dan damai dengan cara membangun kediaman-kediaman mewah mereka di kawasan pegunungan sekitar Junon yang terkenal terjal dan berbahaya itu, namun begitulah orang kaya, demi menjaga ekslusifitas, kepuasan batin dan kenyamanan hidup mereka, mereka rela bayar besar—dan mau tinggal dimana saja.

****

Setelah masuk dan menyusuri jalan komplek memperhatikan rumah-rumah para penghuninya yang berhektar-hektar itu, akhirnya ia sampai di sebuah gerbang tinggi besar yang juga dijaga oleh empat orang polisi militer berpakaian PDL bersenjata lengkap dengan dua anjing penjaga berwajah seram—majikan dengan anjingnya sama-sama menakutkan.

Seorang PM mendekatinya dan mengetuk kaca jendelanya sebagai tanda minta dipersilahkan untuk diperiksa, ia terlihat berani memasang wajah seram kepada Komandan Piccard, walau pangkat dirinya lebih tinggi dari pangkat dua orang PM itu.

Tak ada mobil kelas bawah seperti Ford Ranger dengan lancangnya masuk ke wilayah kekuasaan si empunya rumah yang mereka jaga, paling minimal yang biasa datang ke tempat itu adalah mobil-mobil kelas lincoln atau bentley.

Maka dari itu, salahsatu dari keempat PM itu menghampiri dan menggedor kaca mobil Komandan Piccard dengan wajah seram, Komandan Piccard pun membuka kaca jendelanya.

“Ada tujuan apa anda datang kemari?!” tanya sang PM dengan wajah angker.

“Saya ingin bertemu dengan Jendral.” Jawab Komandan Piccard.

Sang PM terlihat keheranan, mimik wajahnya seperti mengatakan—Orang gila macam apa dengan dandanan seperti ini berani-beraninya datang ke kediaman Jendral?!

“Tolong identitasnya!” pinta sang PM dengan nada mulai keras.

Komandan Piccard hanya menjawabnya dengan, “Sycorax—katakan itu kepada bagian protokoler di dalam.”

Sang PM terdiam sejenak, seperti ragu—tapi akhirnya menuruti apa yang dikatakan oleh Komandan Piccard, ia langsung menghubungi bagian protokoler dengan menggunakan telepon yang ada di pos jaga.

Komandan Piccard bisa melihat sang PM itu agak tersentak, kelihatannya ia merasakan betapa saktinya kata sycorax—sang PM langsung bergegas mendekati Komandan Piccard dan memberi hormat kepada Komandan Piccard.

“Selamat malam, Kolonel! Mohon maaf atas ketidaknyamanannya!” sambut sang PM sambil memberi isyarat untuk membukakan pintu gerbang.

“Malam.” Balas Komandan Piccard sambil kembali membawa mobilnya ke dalam kediaman sang jendral pelan-pelan.

*****

Ternyata ia tak langsung sampai di halaman depan si punya rumah itu, Komandan Piccard harus melintasi taman pribadinya seluas lima hektar terlebih dahulu, jalan menuju rumah itu benar-benar menuntun para tamu melintasi taman rumah—atau bahkan lebih cocok disebut istana—untuk mengikuti tur pariwisata bunga-bungaan dari seluruh penjuru dunia lengkap dengan patung-patung dan air mancur-air mancur, Komandan Piccard seperti harus transit ke surga dulu sebelum sampai di kediaman yang punya rumah.

Heran, darimana dia punya uang sebanyak itu hingga bisa punya istana seluas ini?—tanya Komandan Piccard dalam hati.

Akhirnya setelah tersesat di taman bunga, ia pun sampai di rumah rekan kerjanya itu—sebuah rumah mewah bergaya campuran jaman kolonial dan pertengahan, lengkap dengan sepuluh pancuran air pribadi bersama ornamen-ornamen patung pualam bertemakan perang antara malaikat perang dengan para setan setinggi lima meter.

Komandan Piccard berdecak kagum kepada mobil-mobil tamu yang terparkir tak jauh dari pintu masuk kediaman yang dipayungi oleh tumbuhan menjalar yang begitu hijau segar terawat dan berlantaikan keramik kualitas wahid itu, beberapa anggota satuan keamanan juga terlihat mondar-mandir untuk memastikan tidak ada yang menyentuh barang seujung jari pun kendaraan boss-boss mereka masing-masing.

Hanya mobil Ford Ranger milik Komandan Piccard yang beda sendiri di antara belasan mobil merk Jaguar, Bentley, Aston Martin, Rolls-Royce—tak ada satu pun merk “rendahan” yang menemani mobil Komandan Piccard, bahkan para anggota satuan pengamanan sampai-sampai memandangi heran Komandan Piccard.

Mobil biasa-biasa saja, dandanan sang empunya mobil pun tidak ada yang menarik, hanya jas kulit warna coklat kehitaman yang menutupi pakaian Komandan Piccard yang terdiri dari kemeja kuning krem dengan celana bahan warna abu-abu.

Komandan Piccard mencoba merapikan kembali pakaiannya dengan bercermin di lantai marmer tempat parkir tamu si empunya rumah, entah darimana ia beli—dan berapa harga yang harus ia rogoh di kantong celananya—untuk marmer sebening kaca, setelah merasa rapi dan percaya dirinya kembali, dengan mantap ia masuk ke dalam rumah sang teman.

*****

Dua orang petugas protokoler segera menyambut Komandan Piccard yang berjalan menuju pintu masuk kediaman sang jendral, mereka berdandan layaknya para tamu undangan—berpakaian tuksedo hitam-hitam dengan rambut klimis licin.

Letnan Glint dan Sersan Luck memberi hormat kepada Komandan Piccard.

“Selamat datang, Pak!” sambut sapa Letnan Glint—komandan satuan protokoler sang jendral.

Komandan Piccard hanya tersenyum simpul dan mengangguk sekedarnya.

“Jendral sudah menanti kedatangan anda!” ujar Letnan Glint sembari memberi isyarat kepada Sersan Luck.

“Silahkan ikut saya, Kolonel.” Ajak Sersan Luck yang menjadi pemandu jalan Komandan Piccard.

*****

Begitu pintu masuk rumah berbentuk gerbang dibuka, suara alunan musik klasik bercampur suara bincang-bincang puluhan tamu serta dentingan gelas sampanye dan peralatan makan dari perak menggema di seisi ruang tamu sebesar lapangan sepakbola langsung menyambut Komandan Piccard.

Selamat datang di wilayah kekuasaanku!—Sambut lukisan tiga setengah meter sang punya rumah—Jendral Matthew Halberdier—dengan pose heroik karismatik ala Napoleon Bonaparte—sembari menatap tajam Komandan Piccard.

Kekaguman dan rasa sesal pun menyeruak ketika melihat isi rumah sang Panglima Angkatan Bersenjata Republik Rune-Midgard itu.

“Hmmm, andai aku bisa seoportunis dirinya.” Selorohnya santai sebelum melanjutkan perjalanannya menembus gelombang manusia berpakaian mewah.

*****

Komandan Piccard dengan seragam kantorannya, menarik perhatian para kaum borjuis yang ada di ruang tamu sang jendral, tatapan mereka penuh tanya, siapa orang ini? Apakah ia benar-benar tamu undangan?—tapi Komandan Piccard tak punya waktu untuk memikirkannya, ia terus menerobos di tengah-tengah lautan manusia, mengikuti Sersan Luck.

Ternyata tak cuma orang-orang berpakaian tuxedo dan gaun pesta saja yang diundang, puluhan perwira dari berbagai matra—Darat, Laut, Udara, Marinir, dan Kepolisian—berbaur di tengah-tengah acara pesta pora ber-budget roket, lengkap dengan pangkat dan tanda jasa yang deretannya saling bersaing antara perwira tinggi satu sama lain.

Beberapa pelayan dengan seragam tuksedo khas pelayan dan celemek sutra putih yang mereka gantung di persendian lengan mereka, langsung menyambut dan menyodorkan makanan pesta—bergelas-gelas sampanye dan berpisin-pisin kecil kaviar kualitas wahid—kepada Komandan Piccard.

Kesempatan langka ini langsung ia sambut dengan mantap, hari ini, Komandan Piccard libur dari kesehariannya dengan kopi, makanan siapsaji, serta MRE di Ruang Komando.

*****

Suara alunan musik orkestra yang disewa oleh sang Jendral untuk mengiringi sesi dansa waltz, beberapa orang penting pun terlihat sedang asyik bersantap dan mengobrol dengan suara yang tenang di meja makan masing-masing dan dibelakangnya, para bodyguard dengan tenang menjaga mereka.

Beberapa hadirin dan anggota keluarganya berdansa waltz di tengah-tengah ruangan ikut bersama para penari waltz, dengan kompak dan lembut mereka mengikuti alunan lagu, tempo paling lembut sampai yang paling tinggi mereka gulung.

Komandan Piccard tahu benar siapa saja yang ada di ruang dansa—mereka adalah kalangan paling elit di antara paling elit di Rune-Midgard, keluarga politikus, keluarga konglomerat, keluarga jendral, masih banyak lagi.

“Mohon menunggu sebentar di sini.” Pinta Sersan Luck.

“Terserah.” Jawab Komandan Piccard.

Sersan Luck berjalan mendekati Jendral Halberdier yang sedang bersantap malam di tengah-tengah para elitis, Komandan Piccard bisa melihat sosok teman satu asrama akademi militernya—pakaian tuxedo mahal membalut tubuh sang jendral bintang empat yang tambun.

Jendral Halberdier tersentak ketika melihat Komandan Piccard, seperti teman lama bertemu kembali.

“Nicholas!..” panggilnya.

*****

Komandan Piccard bisa melihat mata biru dan rambut coklat yang bersinar cerah Jendral Halberdier kini sudah mulai kusam, penuh dengan uban dan dikelilingi kantung mata, namun masih ada yang tidak berubah dari sosok Matthew Halberdier, tubuhnya masih berdiri tegap walaupun sekarang kantung-katung lemak ada dimana-mana, wajah boleh mulai keriput.

”Jendral!” balas Komandan Piccard sembari memberi hormat kepada Jendral Halberdier.

Jendral Halberdier mengerut, “Jangan sekali-kali memberi hormat kepadaku ketika berpakaian seperti ini!” tolaknya.

“Berpakaian sipil atau berpakaian apa pun—anda tetap atasan saya.” Jawab Komandan Piccard.

“Omong kosong!—“ balas Jendral Halberdier, ”Bagaimana kabarmu, Nak??” tanya Jendral Halberdier yang langsung memeluk erat Komandan Piccard.

”Sehat!.. Sehat sekali, Pak!” jawab Komandan Piccard penuh semangat.

”Tolong, jangan panggil aku bapak, aku tak suka terlihat tua.. Panggil saja aku seperti dulu kita di Akmil!” protes sang jendral.

”Ya, ya—Maafkan saya, Pak! Maksud saya—Matt.” ujar Komandan Piccard.

Mereka pun tertawa lepas, aroma persahabatan begitu menusuk hidung dalam pertemuan dua sahabat dekat itu.

Jendral meremas kedua bahu adik kelasnya itu, ”Nah, begitu dong seharusnya!—“ ujar Jendral Halberdier, “Kangen-kangenan di sini tidak bisa bebas—Mari!” ajak Jendral Halberdier.

Mereka berdua pun berjalan meninggalkan ruang dansa, Jendral Halberdier mengangguk kepada para tamu agung sebagai tanda mohon permisi untuk meninggalkan acara sejenak, para tamu agung mengangguk tersenyum—dan memandangi Komandan Piccard dengan penuh tanya.

Akhirnya mereka berdua sampai ke tujuan—ruang kerja Jendral Halberdier, salahsatu dari bagian dari ring satu—radius yang hanya boleh didiami oleh sang jendral dan orang rumah, serta para penjaga yang memiliki wewenang untuk memakai akses ring satu.

Dua orang petugas pengamanan berpakaian tuksedo yang berjaga-jaga di depan pintu ruang kerjanya langsung menyambut Jendral Halberdier dan Komandan Piccard dengan sikap sempurna dan hormat.

“Selamat malam, Pak!” sapa salahsatu dari dua petugas pengamanan.

“Selamat malam, prajurit!—Katakan kalau saya sedang tidak ingin diganggu!” perintah sang jendral.

“Siap, Pak!” jawab sang anggota mantap sembari membukakan pintu ruang kerjanya.

*****

“Akhirnya—Aku bisa meloloskan diri dari segala tektek-bengek birokrasi.” Seloroh Jendral Halberdier.

Komandan Piccard memandangi kagum isi ruang kerja Jendral Halberdier, ”Luar biasa sekali ruang kerjamu, Matt.”

“Sayang sekali kau hanya mau bermain aman—padahal kalau kau berani—foto dan nama dirimu yang tercantum di segala penghargaan yang ada di sini.”

Patung dan lukisan para pahlawan dan jendral terkenal, foto-foto bersejarah, tanda jasa dan cindera mata kunjungan ke negara-negara sahabat, semuanya membuat ruang kerja sang jendral semakin sedap dipandang.

”Bagaimana dengan gugus tugas yang kau pimpin?” tanya Jendral Halberdier.

”Semua yang direncanakan semenjak didirikan—sejauh ini tetap berada di apa yang kita rencanakan.” jawab Komandan Piccard.

Jendral Halberdier tersenyum puas ketika mendengar laporan dari Komandan Picard. ”Tak salah kalau aku memberikan tugas kepadamu untuk memimpin gugus tugas ini.” puji Jendral Halberdier.

“Padahal rencana untuk membuat kelompok tempur ukuran kecil seperti ini sudah digunakan oleh militer Balamb.” Ujar Komandan Piccard.

“Mereka boleh jadi yang pertama—Tapi kita harus jadi yang paling sempurna!” timpal Jendral Halberdier.

Sang jendral menuangkan champagne untuk Komandan Piccard, ”Champagne?” sodor Jendral Halberdier, Komandan Piccard menerimanya dengan suka hati.

”Terima kasih.” sambut Komandan Piccard.

“Sayang sekali kalau minuman berumur lima puluh tahun ini tidak dinikmati pada saat sebaik ini.” ujar Jendral Halberdier sembari mengaduk-aduk dengan pelan gelas kristalnya.

Mereka berdua mengangkat gelas kristal mereka masing-masing, dan dengan kompaknya mereka mengadu kedua gelas kristal mereka satu sama lain, gelas-gelas kristal itu berdentik unik dan mengeluarkan dengingan kecil namun lembut yang keluar ketika daya benturan kecil itu masih tersisa sampai habis.

”Untuk kesuksesan.” gumam Jendral Halberdier sembari menegak langsung champagne-nya.

Jendral Halberdier dan Komandan Piccard menegak sampanye-nya satu sama lain dengan serentak.

“Ngomong-ngomong, bagaimana dengan para pemberontak Desa Murkovii?” tanya Komandan Piccard.

Jendral Halberdier tersenyum lebar ketika mendengarnya, “Ah! Misi perdana satuan tugasmu yang sukses itu, eh?” tanya Jendral Halberdier.

”Sangat melelahkan dan menegangkan.” gumam Komandan Piccard.

Jendral Halberdier tertawa ketika mendengar jawaban Komandan Piccard, “Bagaimana bisa—Komandan Grup 1 Brigade 105—masih punya rasa gugup dan takut?!” sindir Jendral Halberdier, “Ya—aku mendapatkan laporan mengenai misi itu—benar-benar memuaskan kami semua.”

”Lalu—bagaimana dengan kabar mereka?” tanya Komandan Piccard tak sabar.

”Menurut Junon—setelah insiden penyerangan di desa kecil itu, para pemberontak itu habis disapu oleh pasukan Galbadia dalam operasi memberantas pemberontakan—satu bulan nonstop—Tanpa ampun! Kelompok Nikolai Tupolevski—dan juga para pengikutnya yang lolos dari pembantaian di Murkovii—kini jadi buronan nomer satu di Turkjiyan.”

Nicholas Piccard langsung menghabiskan champagne mahal itu. Jendral Halberdier kembali menyodorkan mulut botol champagne-nya.”Tambah?” tawar Jendral Halberdier.

”Tidak, terima kasih.” tolaknya. “Lalu—bagaimana dengan kebijakan pemerintah?” tanya Komandan Piccard.

Jendral Halberdier hanya menghela napas, “Sayangnya, walau misi satuan tugasmu mendapatkan applaus, Galbadia mulai mengendus campurtangan pemerintah, kami memutuskan untuk tidak terus ikut campur di Turkjiyan lebih dalam—setidaknya untuk sementara waktu.” jawab Jendral Halberdier.

Komandan Piccard “Keputusan Presiden 77E.”gumam Komandan Piccard.

Jendral Halberdier menyandarkan tubuhnya yang gemuk itu ke kursi kerjanya yang empuk itu. “Benar sekali—Keputusan Presiden 77E.” Jawab Jendral Halberdier singkat.

”Oh ya! Presiden menitipkan ucapan terima kasih dan pujian atas pencapaianmu dan anak-anakmu itu—Sebenarnya ia ingin bertemu denganmu.” ujar Jendral Halberdier.

”Sudah tugas kami untuk menjalankan tugas negara yang diberikan kepada kami dan harus segera diselesaikan, walau nyawa taruhannya.” jawab Komandan Piccard.

”Tak sia-sia negara menunjuk kalian—Tingkatkan, Kolonel!” puji Jendral Halberdier dengan bersuara mantap dan lantang.

”Siap. Jendral!..” jawab Komandan Piccard, tawa pun kembali pecah di ruang kerja Jendral Halberdier, ruang kerja kembali hangat.

“Oh ya! Tak ada reaksi dari Kekaisaran Galbadia mengenai insiden Bandolier IV?” tanya Komandan Piccard.

Jendral Halberdier tersenyum ringan, ia pun menjawabnya, ”Posisi tawar kita sedang bagus—Mudah-mudahan para diplomat kita bisa bekerja dengan baik.” Jendral Halberdier menawarkan kembali champagne.

Komandan Piccard menyambut mulut botol sampanye Jendral Halberdier, “Belum ada jawaban?—kisi-kisi?” tanya Komandan Piccard sambil menegak sampanye-nya.

“Tidak ada—Sampai detik ini.”.

“Setidaknya rahasia-rahasia negara kita berhasil dikirim ke dasar palung.” seloroh Komandan Piccard dan didukung oleh anggukan Jendral Halberdier.

”Sampanye?” tawar Jendral Halberdier lagi.

Sekali lagi, Komandan Piccard menyodorkan gelasnya, “Kapan lagi aku bisa menikmati minuman ini pada jam bebas?”

Jendral Halberdier tertawa kecil ketika mendengarnya, “Masih suka minum kopi, kawan?” tanya Jendral Halberdier.

“Setelah aku bertanggung jawab dalam satuan tugas itu—Semakin menggila.” Jawab Komandan Piccard sembari memandangi minuman mahal itu dituangkan ke dalam gelasnya. “Ngomong-ngomong—Kira-kira pesan apa yang disimpan oleh Dougherty?”

Jendral Halberdier terdiam mendengar pertanyaan Komandan Piccard, ia menerawang sejenak.

“Informasi A1?”

“Karena kau adalah orang yang bisa dipercaya—akan kuberitahu.”

“Syukurlah.” Seloroh Komandan Piccard.

“Ada perebutan sengit antara dua bintang empat dalam suksesi bintang lima mereka.” Jawab Jendral Halberdier.

Benak Komandan Piccard berputar cepat, dua bintang empat dalam suksesi bintang lima mereka—setidaknya sering menonton televisi dan koran disela-sela bertugas dan liburan akhirnya ada hasilnya.

“Jendral Mathias von Lierben dan Jendral Karl Manstein?”

“Tepat sekali!” jawab Jendral Halberdier, “Ah, sudah! Jangan tanyakan lagi soal pekerjaan!—Aku sudah muak!” gerutu Jendral Halberdier, ”Sayang sekali, kita kurang satu orang teman.“ gumam Jendral Halberdier.

Komandan Piccard terdiam ketika mendengarnya, benaknya menerawang ke masa lalu, sosok dua orang yang tegas itu berubah menjadi rapuh, Komandan Piccard memandangi jendela ruang kerja Jendral Halberdier.

“Andai mereka semua masih ada.“ gumam Komandan Piccard sebelum menghabisi champagne-nya dalam sekali teguk.

Tiba-tiba jendela ruang kerja sang jendral bersinar terang bewarna-warni, sepertinya puncak acara sudah dimulai, Midgard Day—Hari Kemerdekaan Republik Demokratik Rune-Midgard yang juga ulang tahun Jendral Halberdier, diperingati dengan suguhan pesta kembang api selama satu jam tanpa henti, langsung diluncurkan dari Gedung Strife—pusat kekuasaan eksekutif Rune-Midgard.

Jendral Halberdier beranjak dari tempat duduknya, ia mencari dan mengambil salahsatu dari belasan bingkai foto yang ia gantung di dinding ruang kerjanya, ia membuka kaki kecil yang terselip di bingkai belakang foto tersebut dan menaruhnya di meja kerja.

“Mereka masih ada—walau hanya dalam foto.” Ujar Jendral Halberdier.

Komandan Piccard memandangi foto tersebut, terlihat lima orang berpakaian prajurit Rune-Midgard jaman Perang Estharian Pertama, saling berangkulan satu sama lain, walau wajah mereka lelah dan kusut, sunggingan senyuman lebar masih bisa mereka suguhkan di depan fotografer.

“Tak kusangka wajahku masih sekencang ini.” Gumam Komandan Piccard.

“Aku menyesal jadi salahsatu orang terbaik—mereka selalu mengirim yang terbaik ke balik meja—dan jadi gendut sepertiku!” timpal Jendral Halberdier.

Jendral Halberdier langsung menuangkan kembali botol champagne-ya ke gelas Komandan Piccard dan mengangkat gelasnya yang penuh dengan champagne itu, “Untuk ketiga rekan kita yang sudah pergi lebih dulu.” ujar Jendral Halberdier.

Komandan Piccard terjaga dari lamunannya, pesta kembang api itu benar-benar menghipnotisnya masuk ke dalam indah—dan kelamnya—masa lalu sang kolonel, ia pun mengangkat gelasnya juga.

“Untuk Republik Demokratik Rune-Midgard! Untuk Matthew Halberdier! Untuk satuan tugas kita!—“ teriak Jendral Halberdier.

“Untuk Yuri, Jimmy, dan Anton.” ujar Komandan Piccard menambahi.

“Untuk Yuri, Jimmy, dan Anton!” ulang Jendral Halberdier.

TRING!

Bunyi dentingan dua gelas seharga sepuluh kali lipat gaji seorang tentara berpangkat prajurit itu terdengar dua kali.

Acara minum-minum mereka semakin meriah ketika diiringi oleh suara dentuman dan kilatan cahaya warna-warni kembang api yang, benar-benar hari ulang tahun dan hari kemerdekaan yang meriah!

*****

TOK! TOK! TOK!

Seseorang mengetuk pintu ruang kerja Komandan Piccard. Komandan Piccard yang masih terlelap dari kelelahannya itu langsung membuatnya tersentak bangun, ketukan terus terdengar, ini bukan bagian dari lanjutan mimpi lelahnya—ini kenyataan.

”Yak, masuk!” ujar Komandan Piccard sembari merapikan kemeja putihnya yang kemana-mana.

Ternyata Anne yang datang, wanita bertubuh molek dibalik pakaian dinas harian dengan rok mini membawa amplop coklat plus senyuman manisnya yang tak sedikit membuat para pria akan berkhayal liar, namun Komandan Piccard terlalu lelah untuk bisa langsung berpikiran kemana-mana ketika tidur nyenyaknya terjaga.

Anne memberi hormat kepada Komandan Piccard, ”Maaf, Pak! Ada kiriman lagi!” ujar Anne.

Komandan Piccard mengucek kedua matanya yang masih sembab dan merah itu, ”Taruh saja di meja saya.” jawab Komandan Piccard menggeram.

Anne langsung bergegas permisi meninggalkan ruang kerja Komandan Piccard, ”Oh ya, Anne! Bagaimana dengan liburan Midgard Day-mu?” ujar Komandan Piccard.

Anne hanya mengangkat bahunya, “Cukup baik, Pak. Berkumpul dengan keluarga dan jalan-jalan ke mall dengan teman-teman, diskon 19 Juli—Itu saja.” jawabnya.

Komandan berwajah bantal itu hanya bisa mengangguk, “Coba cari seorang pria.” usul Komandan Piccard.

Anne tersipu-sipu ketika mendengar saran dari Komandan Piccard, “Andaikan bisa, Pak.” Jawabnya malu-malu.

“Tak mungkin tak ada pria yang tak tertarik denganmu, cobalah untuk lebih memperhatikan sekitarmu.” Ujar Komandan Piccard.

Si manis berkacamata minus satu itu mengangguk mengerti, “Terima kasih atas petunjuknya, Pak.” Jawab Anne.

“Oh ya! Jangan lupa minta seorang OB di kantor untuk membuatkan espresso—Pakai krim!”

*****

Amplop coklat ketiga dan segelas besar espresso plus krim sudah duduk manis di atas meja kerjanya, Komandan Piccard yang sudah berhasil mengumpulkan nyawanya itu, memperhatikan amplop coklatnya, tergeletak tak berdaya.

Komandan Piccard menyeruput minuman kesukaannya itu sebelum membuka amplop coklat yang berjumlah dua buah itu—satu untuknya, satu lagi untuk Strad, sebuah ritual tersendiri dan wajib dilakukan oleh Komandan Piccard.

Belasan berkas dengan ketikan rapi dan berejaan bahasa Midgard yang baik dan benar menyambut sang komandan, begitu asyik sang kolonel membaca berkas itu—pendahuluan, situasi-kondisi lapangan, sasaran tugasnya, semuanya dijelaskan dengan begitu detail.

Komandan Piccard terkejut ketika melihat sosok pria tua berumur 70 tahunan dengan seragam perwira tinggi Kekaisaran Galbadia di dalam selembar foto hitam-putih terselip di berkas sasaran misi, orang yang ada di foto itu bukanlah sembarang perwira tinggi.

Tak disangka, dia jadi sasaran dalam tugas pertamanya.—gumam Komandan Piccard dalam hati.

*****

DARRR!!

Letusan tembakan tunggal Strad menggema bersahut-sahutan panjang sebelum hilang ditelan lapangan tembak seluas delapan puluh hektar yang sunyi sepi.

Tembakan peluru kaliber 380 Lapua Magnum yang keluar dari ujung laras senapan runduk L96A1 berhasil melubangi kepala boneka tentara Galbadia yang duduk di kursi mobil jip berpengendali remote control dengan kecepatan 80 kilometer/jam itu dengan begitu telak.

”—Luar biasa tembakanmu, Nak!.. Kita istirahat dulu, dan kebetulan ada yang mau bertemu denganmu.—“ puji sang pelatih lewat komunikasi radio.

Strad menghela napas lega ketika melihat sasarannya—berjarak 750 meter itu—akhirnya takluk oleh tembakan tunggalnya dari balik teropong bidiknya.

“Terima kasih, Pak.” jawab Strad sembari mengosongkan isi senapannya, “Seseorang?—Ngomong-ngomong, siapa yah?” gumam Strad bertanya-tanya.

*****

Komandan Piccard bisa melihat Strad sedang berjalan meninggalkan tempat persembunyiannya sembari menenteng senapan L96A1.

“Bagaimana dengan latihan-latihannya?” tanya Komandan Piccard kepada sang pelatih.

“Kalian memang jeli mencari orang-orang berbakat seperti dia.” Jawab sang pelatih berpangkat sersan itu.

Komandan Piccard memandangi sasaran tembak Strad yang terhenti di ujung lapangan, menghabisi lawan secepat itu dengan tembakan tepat di titik vital bagian kepala, “Dia memang sudah siap untuk melaksanakan tugas perdananya.” gumam Komandan Piccard.

*****

Strad terkejut ketika melihat sosok yang ia kenal itu berdiri di samping pelatihnya, orang sudah hampir setahun lamanya tidak pernah bertemu muka, tapi ciri fisik Strad yang khas tak pernah membuat Komandan Piccard lupa—rambut hitam keperakan dengan iris mata kanannya yang bewarna merah ruby.

“Sepertinya kau sudah semakin tajam dalam menembak.” sambut Komandan Piccard sembari tersenyum.

Strad langsung menghampiri dirinya dan menjabat tangan sang komandan, “Senang sekali bisa bertemu dengan anda lagi!” sambut Strad penuh semangat.

“Bagaimana dengan kondisi mata kananmu?” tanya Komandan Piccard.

“Walau sudah lama—Aku masih harus rutin meminum obat anti-resistensi.” Jawab Strad.

“Menembak sasaran dengan kecepatan 80 kilometer/jam dengan tembakan tepat di kepala—jarang seorang penembak runduk bisa melakukan hal secepat itu.” Ujar Komandan Piccard sembari merogoh jaket kulitnya.

“Berkat pelatih saya, Pak, yang terus menggembleng saya hingga jadi seperti ini.” Jawab Strad merendah.

Komandan Piccard menyodorkan map coklat kepada Strad, Strad terkejut melihat map coklat itu—tak ada waktu banyak untuk basa-basi. “Sudah saatnya kau membuktikan hasil latihanmu.” ujar Komandan Piccard.

****

Terdapat tulisan—Jendral Mathias von Lierben—di pojok kiri bawah, diatas tulisan—RAHASIA NEGARA—pada foto sasaran Strad dengan pengambilan gambar dari samping, tugas pertama yang lumayan berat untuk Strad, namun ia memang dilatih untuk mengemban misi kelas berat seperti ini, sasarannya tak main-main pula.

“Tugas pertamamu adalah membunuh Jendral Mathias von Lierben! Dialah yang memimpin kampanye militer ke Esthar dan bertanggungjawab atas peristiwa Valentine Berdarah, karena kekejamannya itu, dunia menyebutnya—Drakula von Lierben.”

“Jendral von Lierben memiliki kharisma kepemimpinan yang luar biasa di militer Kekaisaran Galbadia, kami berharap dengan berhasil menghabisi Jendral von Lierben—maka semangat tempur para prajuritnya bisa runtuh dan mengurangi ketersediaan para perwira tinggi yang memiliki kemampuan memimpin dan strategi yang luar biasa.”

Strad terus memperhatikan foto-foto tersebut dengan sangat seksama, foto sang jendral dari berbagai sudut pengambilan itu, ia perhatikan betul dan dimasukkan ke dalam ingatannya yang sangat tajam—foto dalam berbagai sudut pengambilan gambar memang merupakan kebutuhan wajib untuk seorang sniper seperti dia.

Tapi ada yang membuatnya tertarik di dalam hatinya ketika ia memperhatikan betul foto Jendral Mathias von Lierben itu, kesenduan dan kesedihan terlihat dari sosok seorang jendral dengan postur gagah dan berwibawa.

Sedangkan Komandan Piccard terus memperhatikan mata kanan merah Strad seperti sedang sibuk mengolah dan merekam gambar Jendral Mathias von Lierben itu.

Mungkin dia adalah satu-satunya prajurit yang memiliki kondisi fisik yang berbeda dengan prajurit di Midgard—Komandan Piccard teringat masa lalu Sradivarius bermata kanan merah.

“Minggu depan sasaran tembakmu akan meresmikan sebuah pangkalan militer di Kota Donna-Frantelai, sebuah kota yang berada di Esthar Tenggara. Ini rute perjalananmu dan lokasi di mana kamu akan menembak—ini fotonya, sebagai alat bantu cadanganmu nanti apabila GPS portabel yang kamu bawa tidak berfungsi. “

Komandan Piccard menunjukkan foto satelit wilayah di sekitar pangkalan militer Donna-Fratelaii plus dengan garis-garis bewarna kuning terang dan titik-titik warna merah yang menunjukkan rute perjalanan dan titik-titik tersebut terdiri dari titik penerjunan, titik penyusupan, lokasi penembakan, dan titik penjemputan—tempat-tempat tertentu yang harus ia sambangi nanti.

“Kamu akan diantar ke Titik Penerjunan dengan menggunakan Blackhawk, titik penerjunan itu berada lima belas kilometer dari titik penyusupan untuk meminimalisasi tangkapan radar musuh, dari titik penyusupan sampai lokasi penembakan kau harus dengan dalam keadaan merayap.”

Strad tertegun sejenak, “Kenapa saya harus merayap?” tanya Strad bingung.

Komandan Piccard tersenyum penuh arti, ia menunjukkan sebuat foto sebuah tiang dengan tinggi kira-kira lima meter, namanya—Sensor Gerak—tertulis tepat di bawah tulisan—RAHASIA NEGARA, “Karena ini.” Tunjuk Komandan Piccard.

“Maksudnya?”

“Wilayah pangkalan militer ini diperlengkapi oleh perangkat sensor gerak yang dipasang di tempat-tempat yang tersembunyi. Sensor gerak ini akan langsung menangkap dan memberitahu ke pusat pemantauan di pangkalan tersebut apabila ada sesuatu dengan ketinggian lebih dari seratus sentimeter bergerak di kawasan pangkalan.”

“Seratus sentimeter—mereka mengincar manusia.” Gumam Strad paham.

“Sepertinya aku tidak perlu memberitahu lagi kenapa kamu harus merangkak.” Gumam Komandan Piccard.

“Mohon maaf apabila saya keliru menganalisa—alat sensor gerak ini memiliki kelemahan, yaitu mereka tidak bereaksi terhadap sesuatu yang bergerak kurang dari seratus sentimeter.” Jawab Strad.

“Betul sekali, prajurit!” puji Komandan Piccard, “Seperti yang kamu lihat di peta ini, warna merah semi-transparan ini adalah wilayah sensor gerak yang dipasang di sekitar pangkalan militer Donna-Fratelaii—selama di daerah merah ini, kamu harus tetap berusaha untuk tetap dalam keadaan merunduk.”

“Kapan acara peresmian pangkalan ini, Pak?”

“Acara peresmian itu akan dilaksanakan pada tanggal 27 Juli, sedangkan sekarang adalah tanggal 20 Juli—kamu punya waktu satu minggu untuk bisa sampai ke tempat itu tanpa diketahui. Ini denah acaranya—” tunjuk Komandan Piccard.

Denah susunan acara, lokasi para prajurit apel, lokasi para pejabat militer duduk—bahkan tempat Jendral von Lierben akan berdiri dan berpidato dalam acara peresmian tersebut juga ada, Strad tinggal memperhitungkan kapan waktu yang tepat untuk mengeksekusi sasarannya.

“Maaf. Kalau boleh tahu, apa saja yang ada di pangkalan militer itu, Pak?” tanya Strad.

“Hmm!.. Kau berada di tengah-tengah sarang singa, walau baru saja didirikan beberapa minggu yang lalu, semuanya sudah diisi. Satu brigade lapis baja, satu brigade infantri mekanis, satu brigade infantri, satu skadron besar helikopter tempur—Jujur saja, mau gagal atau tidak misimu, kau akan dalam masalah besar, Nak!” jawab Komandan Picccard.

“Sebagai tambahan. Untuk tetap memastikan posisimu tidak diketahui musuh, selama perjalanan dari titik penyusupan hingga kamu berhasil menembak mati Jendral von Lierben—tidak ada komunikasi radio sedikit pun, maaf—selama seminggu kamu sendirian di sana!” wanti-wanti Komandan Piccard.

Strad terdiam beberapa saat, apabila misi gagal, ia bakalan diburu oleh hampir satu resimen yang ada di pangkalan militer itu—benar-benar seperti seekor kelinci yang diburu oleh ribuan rubah lapar—ia mengangguk mengerti. Bagi seorang sniper seperti dia, ia harus memahami konsekuensi tugas rahasia seperti ini.

“Lalu, bagaimana dengan penjemputannya?” tanya Strad.

“Tenang saja, kami sudah menyiapkan helikopter untuk menjemputmu dan pesawat Prowler untuk mengawal proses penjemputanmu sampai di lokasi aman.” Jawab Komandan Piccard yakin.

“Kami cuma bisa memberikan hal-hal yang sudah aku katakan dalam taklimat ini. Sisanya adalah bagaimana kamu berimprovisasi dalam tugas ini.” tutup Komandan Piccard, sembari bersiap-siap meninggalkan tempat pelatihan.

Komandan Piccard memandangi arlojinya, sudah waktunya Strad untuk bersiap-siap, ”Kamu cuma punya waktu dua jam untuk bersiap-siap.” ujar Komandan Piccard sebelum meninggalkannya.

Strad langsung berdiri tegak dan memberi hormat kepada sang komandan, ”Terima kasih, Pak!”

Komandan Piccard mengangguk dan meninggalkannya—meninggalkan Strad yang sedang menyusun rencana matang-matang.

Bunyi derit panjang reselting celana model cadpat yang Strad tutup, cadpat adalah seragam dengan pola kamuflase digital dengan warna dominasi hijau dan hitam adalah pilihan bagus untuk menyatu dengan rerumputan dan dedaunan segar di tempatnya ia bertugas nanti.

Strad sibuk mempersiapkan peralatan yang akan ia bawa dalam operasi rahasia selama satu minggu tersebut.

Bungkusan besar ransum MRE untuk seminggu, cadangan air minum, peralatan P3K dan peralatan yang diperkirakan akan dibutuhkan setelah kebutuhan wajib tergeletak rapih di atas meja, dengan hati-hati ia masukkan dengan teratur ke dalam ransel MOLLE-nya yang bewarna hijau berkamuflase digital.

Strad lebih harus memperhatikan stamina dan batasan ketinggian yang tidak punya kompromi, ia harus bisa mengatur makanan dan persediaan air minum yang ia bawa, plus amunisinya sebijak mungkin, agar ia bisa menghindari kelaparan, kehausan, dan bawaan y yang menggunung.

Senapan SR-25 menjadi pilihannya dalam misi mengeksekusi Jendral von Lierben—SR-25 merupakan senapan runduk yang dibuat murni untuk seorang penembak runduk, dengan peredam suara pasif yang sudah bergabung dengan laras senapan plus kaliber 7.62x51 milimeter merupakan solusi terbaik untuk masalah senapan runduk yang ringkas dan memiliki daya pukul yang besar.

Ia pun menyempatkan diri untuk melakukan prosedur pemeriksaan jeroan senapan dan peneraan kilat teropong bidik senapan SR-25-nya, karena misi sesulit ini membutuhkan senjata dan penembak yang prima luar-dalam.

Ia pun memasukkan empat magasen cadangan ke dalam kantong amunisi di rompi IBA-nya yang ia ringankan—dengan cara mencabut lempengan keramik E-SAPI di bagian depan dan belakang untuk mengurangi beban dan kerepotan, kini ia hanya bisa selamat dari tembakan pistol kaliber 9 milimeter sampai kaliber 45—ia hanya bisa berharap tidak tertembak peluru dengan kaliber yang lebih besar dari itu.

Lalu hanya membawa dua magasen cadangan kaliber 45 untuk pistol standar operasi M1911A3 di holster-nya yang bewarna hijau lumut, pistol adalah sahabat terbaik seorang sniper, mereka akan sangat membantu majikannya ketika senjata utamanya—yang didominasi senjata laras panjang—tak berkutik di pertempuran jarak dekat.

*****

Strad pun sedang asyik mempermak wajahnya dengan menggunakan krayon samaran muka, tanpa ragu ia menggambar wajahnya dengan kombinasi warna hijau dan coklat sebagai lapisan dasarnya, untuk sentuhan akhirnya, dengan hati-hati ia mengguratkan batang krayon samaran muka warna hitam untuk membentuk pola guratan-guratan.

”Yap! Semuanya sudah siap.” gumamnya mantap—setelah memastikan wajahnya kuning kecoklatan sudah berubah menjadi kulit pohon.

Setelah selesai mengecek ulang perlengkapan yang akan bawa, tatapannya berakhir pada perlengkapan paling vitalnya, yaitu tumpukan pakaian ghillie—sebuah pakaian berbentuk rompi yang terbuat dari rumbai-rumbai kain yang dicat sedemikian rupa hingga menyerupai tumbuhan untuk menutup seluruh kaki, kepala, punggung, sebagian tubuh bagian depan.

“Hidupku tergantung padamu, kawan!” ujar Strad kepada pakaian ghillie-nya.

PUKUL 2359
KETINGGIAN LIMA RIBU KAKI
KAWASAN DONNA-FRATELAII
REPUBLIK ESTHAR

Sudah tiga jam lebih sang pilot helikopter UH-60K dengan nama sandi Ghosthawk memacu elang silumannya itu terbang di udara dengan kecepatan duaratus knot untuk menyusuri wilayah Esthar Tenggara.

Penerbangan Ghosthawk adalah penerbangan jarak jauh, Ghosthawk terbang dari sebuah kapal induk MWS Silver X yang berlayar di dekat kawasan perbatasan wilayah perairan Rune-Midgard dengan wilayah perairan Esthar Tenggara.

Perjalanan dari MWS Silver X menuju Donna-Fratelaii, harus terbang menyisakan sedikit bahanbakar di tangkinya sebelum melakukan isi bahan bakar di udara dan kembali terbang dengan konsumsi bahanbakar yang sama.

*****

“Kapt, bahanbakar di tangki utama sudah tersisa sepuluh persen lagi.” Lapor sang co-pilot yang melihat indikator peringatan bahanbakar tinggal 10 persen menyala.

“Kalau begitu buka saluran bahanbakar dari kedua tangki cadangan ke heli dan tutup saluran bahanbakar utama.” Jawab sang pilot.

Kini Ghosthawk menegak bahanbakar yang ada di tangki cadangan—kini elang siluman itu hanya punya bahanbakar untuk mendaratkan Strad di titik penerjunan dan kembali menuju lokasi pengisian bahanbakar di udara—dimana sebuah stratotanker menanti mereka di wilayah udara Rune-Midgard.

*****

Sedangkan di Ruang Komando, hampir limaribu mil jauhnya dari posisi Ghosthawk berada, Komandan Piccard sedang mengawasi pergerakan Ghosthawk dari layar monitor, Anne sibuk mengawasi lalulintas frekuensi radio musuh yang berhasil ia sadap, mencoba memastikan kalau tidak ada yang mengetahui keberadaan Ghosthawk.

“Bagaimana dengan komunikasi musuh yang ada?” tanya Komandan Piccard.

“Negatif, belum ada komunikasi musuh yang mencurigakan, Pak.” Jawab Anne yakin.

Komandan Piccard lega ketika mendengar laporan dari operator radio dan komunikasinya itu, “Bagus, Sersan—Tetap terus awasi komunikasi setempat!”

“Siap, Pak!”

Komandan Piccard hanya bisa berharap varian khusus dari helikopter Blackhawk itu yang sudah dimodifikasi dengan material dasar dan cat yang digunakan menggunakan bahan-bahan penyerap radar, dan disertai peralatan pengecoh radar, bisa melaksanakan tugasnya dengan baik.

*****

Strad menyingkapkan lengan seragam Cadpat-nya yang tertutup pakaian ghillie itu untuk melihat jam tangan digitalnya—waktu sudah menunjukkan pukul duabelas tepat, Strad yang berdandan seperti manusia rawa itu menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri karena gelisah melaksanakan tugas perdananya.

Sedangkan seorang awak helikopter yang menemaninya di kabin penumpang, kelihatan asyik memandangi dunia luar yang gelap gulita, segelap pakaian terjunnya.

”—Tegang, Strad?—“ tanya Komandan Piccard kepada Strad yang memperhatikan suara napas Strad yang gelisah.

Strad yang wajahnya diwarnai kamuflase hijau-hijau itu, tersenyum malu-malu ketika mendengar pertanyaan komandannya dibalik speaker kecil yang menyumbat lubang telinga kirinya, ”I—Iya, maafkan saya kalau gugup dalam tugas!” jawabnya.

”—Tak mengapa, tugas pertama memang menegangkan, aku juga mengalami hal yang sama persis sepertimu ketika melaksanakan tugas pertamaku.—“ ujar Komandan Piccard ramah.

*****

Anne hanya bisa tersenyum heran ketika melihat Komandan Piccard jadi terlihat sopan dan lembut ketika berbicara dengan Strad yang satu ini.

“Oh, ya!.. Ada yang ingin aku perkenalkan padamu, Strad!” ujar Komandan Piccard.

“—Oh ya?! Saya sangka, komunikasi kita hanya antara anda dan saya saja!—“ jawab Strad.

Komandan Piccard memberi isyarat tangan untuk menyilakan Anne memperkenalkan diri.

“Hallo, Strad! Perkenalkan—namaku Anne. Aku bertugas membantu Komandan Piccard dan kamu dalam bertugas!” sapa Anne.

“—Hai, Anne! Senang berkenalan denganmu! Mohon kerjasamanya!—“ balas Strad ramah.

“A—Anu, bolehkah aku berkomentar tentangmu?”

“—Silahkan, Anne!—“ jawab Strad tanpa ragu.

“Baru pertama kali aku berkenalan dengan seorang prajurit seramah dan selembut dirimu.”

Terdengar suara tawa yang renyah dari speaker, “—Terima kasih atas pujiannya!—“ jawab Strad, “—hanya ingin mencoba melawan jalan hidup saya yang tidak ramah dan lembut dengan berusaha ramah dan lembut dengan sekitar.—“

“Oh—“ timpal Anne, “—begitu, ya?”

*****

“—Okay, kelihatannya sudah cukup basa-basi perkenalannya.—“ potong Komandan Piccard, “—Strad. Sudahkah kau mengulas kembali misimu nanti?—“

“Roger, Komando. Selalu saya ulas kembali di dalam kepalaku.” Jawab Strad.

“—Strad, aku ingatkan sekali lagi. Disana kau sendirian, apapun yang terjadi pada saat misi utama belum diselesaikan, kami tidak akan membantumu, mengerti?—“ wanti-wanti Komandan Piccard.

”Roger, Komando. Saya kan berusaha sebaik mungkin untuk tidak mengacaukannya!” jawab Strad.

*****

”Lima menit lagi kita akan sampai di titik pendaratan!” umum sang co-pilot sembari menunjukkan angka lima kepada orang-orang di kabin.

Strad mengangguk mengerti, ”Roger!” jawabnya mantap, sembari memandangi pemandangan dibawah sana.

Semakin dekat dengan titik penerjunan, Ghosthawk makin menurunkan ketinggian terbangnya hingga lima ratus kaki dan menyusuri permukaan bumi yang ada di bawahnya lebih dekat lagi seperti seekor elang sedang mencari ikan.

*****

”Bagaimana dengan komunikasi musuh, Anne?” tanya Komandan Piccard.

”Masih negatif, Pak. Semua berjalan dengan semestinya.” jawabnya yakin.

Komandan Piccard mengangguk puas.

*****

Akhirnya, layar navigasi Ghosthawk menunjukkan kalau mereka sudah sampai di titik penerjunan.

Sebelum menerjunkan paket, Ghosthawk berputar-putar di udara, sang pilot dan co-pilot menyisir daratan yang ada dengan memakai teropong malam inframerah untuk coba memastikan tidak ada siapa pun atau apa pun yang mengetahui keberadaan mereka.

Setelah dipastikan aman, sang pilot langsung melakukan manuver hover—melayang-layang diam di atas aliran sungai yang mengering, yang dipenuhi oleh bebatuan besar dan keras disekitarnya, lokasi titik penerjunan berada di antara dua jurang, sehingga sang pilot harus bisa melakukan manuver tersebut dengan stabil.

Sang awak helikopter langsung mengulurkan tali tambang ke darat, Strad langsung menyelempangkan senapan SR-25-nya yang ikut berpola kamuflase pada badannya, memakai body harness yang menjuntai di tali, dan bersiap-siap untuk meluncur turun.

“Semoga beruntung, kawan!” ujar awak helikopter itu.

Strad mengangguk dan menyunggingkan senyuman lembutnya, “Kalian juga. Semoga selamat sampai tujuan!” balasnya.

*****

Sang pilot memantau Strad yang sudah berhasil menjejakkan dirinya dan melepaskan body harness di daratan dan memunjukkan jempol kanannya dari ruang kokpit.

“Ia sudah sampai di darat!” ujar co-pilot-nya.

*****

”—Komando, disini Ghosthawk. Paket sudah diterjunkan, sekali lagi, paket sudah diterjunkan.—” lapor sang pilot.

“Disini Komando. Roger, Ghosthawk. Segera pergi dari titik penerjunan dan kembali ke pangkalan terdekat.” jawab Komandan Piccard.

“—Roger, Komando. Ghosthawk selesai!—“

*****

”—Strad, disini Ghosthawk. Sekarang kau sendiri, semoga sukses!” ujar sang pilot sembari membawa helikopternya meninggalkan titik penerjunan.

”Disini Strad, terima kasih atas tumpangannya.” jawab Strad sembari berlari menuju kegelapan malam.

Dalam hitungan detik, Ghosthawk yang mengantarnya itu sudah melesat meninggalkan Strad sendirian di titik penerjunan menuju kegelapan langit malam tanpa jejak suara sedikit pun.

Ia memperhatikan daerah rerumputan ditambah hutan-hutan kecil yang menjulang hingga ke puncak jurang membentuk tangga-tangga alam dengan hati-hati dan teliti, untuk memastikan tidak ada musuh yang mengetahui keberadaannya.

Setelah merasa aman, ia berjalan dan bersembunyi di sebuah tumpukan bebatuan kali yang besar untuk menyalakan alat GPS portabelnya dan menghubungi Komando.

*****

“—Komando, disini Strad. Saya sudah berada di titik penerjunan.—“lapor Strad dengan nada berbisik.

”Disini Komando, bagus. Sekarang kamu tinggal berjalan menuju titik penyusupan yang berada di arah jam dua belasmu. Apabila sampai, kembali hubungi kami—Awas! Tetap waspada!” ujar Komandan Piccard.

”—Roger, Komando.. Strad keluar.—“ jawab Strad dengan suara rendah.

Strad memejamkan matanya beberapa saat, ia bisa merasakan tekanan tugas pertamanya yang sangat menekannya, ia berusaha menenangkan dirinya yang gugup, tarik, hembus, tarik, hembus, sampai ia tenang kembali.

Setelah ia merasa tenang, Strad langsung memulai perjalanannya menuju titik penyusupan yang jaraknya sekitar lima belas kilometer dari titik penerjunan—dan juga harus melintasi kawasan berbukit terjal dan berbatu-batu.

*****

Bulan sudah terbit di ubun-ubun, tandanya malam sudah kian larut—tandanya pula semua makhluk siang untuk kembali ke peraduannya masing-masing, tidur mengisi tenaga untuk aktivitas di pagi harinya.

Namun seorang prajurit berpangkat prajurit dua, harus mengemban gilirannya untuk bertugas patroli malam di kawasan Ring Tiga—kawasan terluar dari pangkalan militer Donna-Fratelaii, untuk menghilangkan rasa suntuk dan kantuknya yang mulai menyerang, ia menyalakan sebatang rokok dan radio portabel kecil bertenaga baterai untuk menghiburnya.

Sambil berjalan menyusuri jalan desa dan bersenandung, sekali-kali ia menggerutu karena salahsatu rekannya yang seharusnya bertugas menemaninya tidak bisa ikut karena terkena diare.

Sejenak ia menghentikan langkahnya ketika kantung kemihnya minta untuk segera dikosongkan, ia pun menunaikan hajat kecilnya di tiang pengumuman—Wilayah Militer! Dilarang Masuk! Pelanggar Akan Ditembak!—yang berdiri tak jauh darinya.

Prajurit itu melenguh keenakan seiring air seni yang keluar dari kemaluannya, “Nasib—nasib, harus bertugas di tengah malam ini.—“ keluhnya sambil menutup resleting celananya.

Sang prajurit langsung terkesiap ketika mendengar suara semak bergoyang keras, “Siapa itu?!” tanya sang prajurit sambil menodongkan lampu senter dan pistol P-1-nya ke sumber suara.

Tapi tak ada reaksi apa-apa dari semak-semak itu, sang prajurit akhirnya memutuskan untuk mendekati semak tersebut.

Ketika ia memberanikan diri untuk mendekati semak, ia tersentak ketika sosok sepasang mata merah loncat dari dalam semak.

“Brengsek!—Ternyata kelinci sialan!” umpat prajurit kepada seekor kelinci yang lari kocar-kacir ketika didekati olehnya.

Ia pun kembali melanjutkan perjalanannya menuju pos jaga selanjutnya dengan santai.

*****

Setelah merasa aman, Strad kembali bergerak menuju papan pengumuman yang habis dikencingi oleh prajurit patroli tersebut—prajurit tersebut tidak menyadari kalau ada manusia semak mematung di samping semak di mana ia dikagetkan oleh seekor kelinci.

Strad langsung menghubungi Komandan Piccard dengan memencet tombol PTT yang ada di troath-mic yang melingkar di sekitar jakunnya.

“Komando, di sini Strad. Saya sudah berada di titik penyusupan.”

“—Di sini Komando. Seperti yang kamu tahu—selama kamu menyusup dari titik penyusupan hingga lokasi penembakan, tidak ada komunikasi radio sama sekali hingga kamu berhasil menyelesaikan misi—kamu sendirian! Usahakan tidak bertidak konyol yang bisa menyebabkan posisimu ketahuan!—“

“Roger, Komando. Strad memulai penyusupan.” Tutup Strad.

Sebelum mulai menyusup ke wilayah pangkalan militer Donna-Fratelaii, ia memejamkan matanya sejenak dan mengatur napasnya, setelah sudah mulai merasa tenang, ia langsung melewati papan pengumuman tersebut sembari merayap, senapan SR-25-nya ia sembunyikan dalam pelukannya.

Penyusupan pun dimulai.

*****

“—Papa.—“

Siapa itu?!—Bertanya kepada suara tak ada wujud, hanya ada kegelapan yang terlihat di mata.

“—Ini aku—Rika.—“

Rika?!—Nama itu begitu dikenal dengan baik, namun masih diragukan itu adalah orang yang dikenal.

“—Iya, papa. Ini Rika—anakmu!—“

Tiba-tiba muncul sosok seorang wanita sedang duduk bersimpuh dengan kepala menunduk, ia pun mencoba mendekatinya karena ia kenal betul warna rambut wanita itu.

Anakku—begitulah yang terucap dari bibir sembari menyentuh bahu wanita itu.

Namun, ketika wanita itu berbalik melihat ke arah sosok yang menyentuh bahunya itu, orang yang menyentuh itu tersentak kaget bercampur takut ketika melihat wajah si wanita—mukanya hancur, daging dan tengkoraknya yang koyak terlihat dengan jelas, bahkan bola mata kanannya hampir keluar dari rongganya.

“INI SALAHMU, PAPA!!” jerit Rika.

HARI PERTAMA
KETINGGIAN 40 RIBU KAKI
KAWASAN GURUN HAZRABIAH

Jendral Mathias von Lierben terbangun dari tidurnya, mimpi buruknya itu membuatnya langsung terduduk di kursi penumpang dengan wajah pucat dan keringat dingin bercucuran, napasnya pun ikut memburu.

Ia bergegas mengambil sapu tangan di kantong celananya, “Mimpi.” gumam Jendral von Lierben sembari menyeka wajahnya.

Seorang prajurit dari Skadron VIP ke-7 yang sedang membereskan peralatan pun terheran-heran, ia pun bergegas mendekati sang jendral, “Ada masalah, Pak?” tanya sang prajurit dari Korps Angkatan Udara Wanita.

Jendral von Lierben hanya tertawa kecil, “Tidak—hanya barusan ada sedikit mimpi buruk.” Jawabnya.

Hampir empat jam sang jendral tertidur untuk melepaskan kepenatan tugas negaranya—menginspeksi kesiapan pasukan Galbadia yang ada di Turkjiyan—di kursi penumpang kombinasi kulit dan beludru pesawat A340-300 milik Skadron VIP ke-7 Angkatan Udara Kekaisaran Galbadia.

Skadron VIP ke-7 adalah salahsatu dari tiga skadron VIP yang dimiliki oleh Angkatan Udara Kekaisaran Galbadia, dan Skadron VIP ke-7 adalah skadron yang bertugas untuk melayani kebutuhan transportasi udara para perwira tinggi Markas Besar Angkatan Bersenjata Kekaisaran Galbadia, armada pesawatnya terdiri dari satu buah pesawat Airbus A340-300, A330-300, dan dua A330-200.



Skuadron VIP ke-7 milik AU Kekasiaran Galbadia memang jago memanjakan para pejabat militer dan sipil mereka, minuman dan makanan setara hotel bintang lima, layanan pijat dan spa.

Bahkan layanan khusus rahasia juga disediakan, wanita—bahkan pria—siap melayani kebutuhan biologis para atasannya itu, namun sayangnya, Jendral von Lierben tidak termasuk bagian klub skandal para perwira tinggi markas besar, ia lebih suka memperhatikan kondisi anak buahnya di garis depan, ketimbang menyalurkan hobi beresiko tinggi itu.

“Sampanye dan kaviar, Jendral?” tawar seorang pramugari berpangkat sersan—dengan tangan kirinya membawa nampan diatasnya ada segelas sampanye.

“Terima kasih, Sersan!” jawab Jendral von Lierben sembari meraih gelas sampanye.

Sang sersan yang bertugas sebagai pramugari dalam penerbangan VIP tersebut langsung menaruh sepiring kecil berisi kaviar telur salmon dan beberapa keping biskuit gandum sebagai kudapan darurat di atas meja kecil di samping kursi sang jendral.

Sang sersan pun minta ijin untuk undur diri ke kabin belakang, Jendral von Lierben pun mengangguk penuh arti sebagai tanda menyilakannya.

Tapi sayangnya, sampanye hanya mampu ia minum hanya tiga kali seruputan, sedangkan kaviar dan biskuit gandum tersebut hanya mampu ia habiskan dua keping, Jendral von Lierben lebih suka memandangi langit yang mulai terlihat meganya, mengingat-ingat mimpi buruk tersebut.

Seminggu lagi adalah hari peringatan kematian Eurika von Lierben—putri semata wayangnya yang gugur dalam tugas di medan tempur wilayah Esturia ketika terlibat dalam pertempuran hebat dengan Tentara Merah Trabia.

Dan sudah dua tahun ia melanggar janjinya sendiri untuk segera berhenti terlibat dalam Perang Estharian Kedua.

“Jendral, Ibu ingin berbicara dengan anda..” lapornya.

Jendral von Lierben terhenyak sejenak, ia langsung memberi isyarat untuk segera menyambungkan saluran telepon jarak jauh itu ke telepon portabel yang tersimpan rapih di sandaran tangan kirinya.

“Ya, bagaimana kabarmu, sayang?” tanya Jendral von Lierben mesra.

“—Seharusnya aku yang menanyakan hal itu. Aku dengar dari anak-anak Korps Protokoler, katanya kamu pingsan!—“ jawab Nyonya von Lierben khawatir.

Jendral von Lierben pun menghela napasnya sejenak, “Aku benar-benar sudah jadi besi tua. Badan ini disuruh untuk keluar tenaga lebih banyak sedikit sudah langsung tumbang.”

“—Sudah kubilang, kan, dari dulu! Mathias, kamu harus segera pensiun!—“ semprot Nyonya von Lierben kalap.

Jendral von Lierben tertawa kecil, suara cerewet si nenek tua yang sudah mendampinginya selama limapuluhlima tahun itu membuatnya semakin tak sabar untuk segera pulang.

“—Sudahlah, ketika kamu sudah pulang, segera temui Yang Mulia dan minta ijin untuk pensiun! Urusan pekerjaanmu bisa dilanjutkan oleh penerusmu nantinya, kok!—“ jawab Nyonya von Lierben bawel.

Tak ada pembicaraan, hanya keheningan yang terdengar.

“Sayang, kamu tahu tanggal berapa sekarang?” tanya Jendral von Lierben.

“—Seminggu lagi ada acara ziarah ke makam Rika. Jangan ada agenda pekerjaan untuk hari tu!—“

“Kuharap tidak ada agenda untuk menghadap Yang Mulia Kaisar pada waktu itu.”

“—Apa kamu takut dipecat?—“

Jendral von Lierben tidak bisa menjawab, ia hanya bisa diam ketika istrinya menimpal, “—Lebih baik seperti itu, agar kamu cepat keluar dari lingkaran setan itu!—“

Obrolan mereka terpotong oleh laporan anggota Korps Protokoler, “Maaf, Jendral. Orang dari Korps Protokoler Istana ingin bicara dengan anda di jalur tujuh!”

“Baik.” Jawab Jendral von Lierben, “Sayang, sepertinya kita sudahi pembicaraan kita dulu—orang dari istana ingin berbicara denganku.”

“—Baiklah, segera pulang—dan jangan lupa minum obat!—“

“Baik, baik.” Jawab Jendral von Lierben, ketika sambungan telepon Nyonya von Lierben sudah terputus, sang jendral langsung memencet tombol bertuliskan angka tujuh yang bersinar kelap-kelip, “von Lierben di sini.” Jawabnya.

“—Bersiaplah, Jendral, untuk menghadiri rapat uji kelaikan besok lusa pada pukul sepuluh pagi di Istana Reichstaag.—“

Jendral von Lierben tertegun beberapa saat ketika mendengarnya, “Cepat sekali—Baiklah, terima kasih atas pemberitahuannya.”

Pembicaraan pun selesai, sang jendral hanya bisa kembali menyandarkan kepalanya yang tiba-tiba berat dan mengurut titik tengah kedua alisnya yang tiba-tiba tegang ketika mendengar kata—rapat uji kelaikan.

Uji kelaikan Panglima Angkatan Bersenjata Kekaisaran Galbadia, puncak karier tertinggi yang bisa diraih oleh seorang prajurit, menjadi seorang panglima tertinggi adalah cita-citanya semenjak muda—tapi menjadi seorang panglima tertinggi di negara yang berperang dalam peperangan yang makin berlarut-larut bukan harapannya.

*****

Sedangkan di tanah Galbadia, Grup D Kompi D Korps Abwehr sudah satu bulan ini memantau komunikasi Jendral von Lierben dengan menyadap segala saluran komunikasi satu dan dua arah sang jendral—langsung dari sebuah ruangan di Gedung Abwehr, karena Jendral von Lierben dicurigai terlibat dalam Dewan Jendral.

“Bagaimana? Apa ada obrolan yang mencurigakan dari Jendral von Lierben?” tanya seorang perwira berpangkat mayor kepada operator penyadap berpangkat sersan yang bertugas menyadap saluran telepon dari dan ke Jendral von Lierben.

“Belum ada obrolan yang mencurigakan, pak!” jawab sang sersan.

Sang mayor terdiam beberapa lama, “Tetap terus pantau saluran komunikasinya!” titahnya.

“Siap, pak!”

HARI KEDUA, PUKUL 0600
250 KILOMETER DARI PANGKALAN MILITER
DONNA-FRATELAII
REPUBLIK PENDUDUKAN ESTHAR

Strad menghembuskan napas panjangnya karena lelah merayap sepanjang perjalanan, kepalanya yang ditudungi oleh pakaian ghillie suit ia sandarkan ke akar pohon raksasa yang ia daulat sebagai tempat persembunyian keduanya—sebuah cerukan besar yang lumayan dalam, sehingga ia bisa merenggangkan badannya dengan aman dari sensor pembaca gerak.

Tak lupa SR-25-nya yang membuat dada dan perutnya pegal, disandarkan sejenak di tumpukan akar raksasa yang ada di sampingnya, ia mencoba untuk mengatur napasnya kembali, setelah hampir sepuluh jam terus merayap di sepanjang jalan.

Ia lalu merogoh kantongnya, mengambil sebungkus ransum MRE-nya, menu untuk makan siang di hari ketiga adalah satu paket makanan pembuka berupa omelet keju, makanan utama tumis daging kari bercampur nasi dan salad sayuran sebagai makanan penutupnya.

SRET!

Bunyi bungkusan yang sobek, ia pun mencium harumnya makanan di dalam bungkusan MRE itu. ”Hmmm!...” gumamnya senang.

Harumnya ransum membuat air liurnya makin banyak menetes, dan perutnya semakin meraung-raung minta dimasuki makanan itu.

Dengan sendok plastik ia mengaduk-aduk makanannya, dan menyendoknya, mulutnya dengan cepat melahap sesendok makan omelet keju, hanya dalam waktu satu menit, makanan pembuka yang hanya terdiri dari seperempat porsi sudah ludes.

Makanan utama langsung disikat dengan cepat, rempah-rempah kari yang menyatu dengan kuah tumis daging kari membuat tubuhnya yang mulai loyo, mulai terasa mulai meningkat, nasinya pun masih terasa pulen, walau berlama-lama direndam dalam campuran kuah.

Strad menutup ritual makannya dengan menyedot mulut selang camelbak-nya, memasukkan sampah-sampah bekas makannya ke dalam ransel, dan menyandarkan kepalanya sembari mengucapkan syukur

Sebelum bergerak kembali, ia menghabiskan waktu untuk menunggu makanannya selesai dicerna, Strad kembali memeriksa jalur perjalanannya, ia merogoh kantong ransel MOLLE yang tersembunyi dibalik tebalnya pakaian ghillie-nya untuk mengambil peta misinya.

Ia memperhatikan peta misinya dengan seksama, dan menghitung-hitung serta mengukur kembali posisinya dan tujuannya dengan GPS portabel yang melingkar di tangan kirinya, setelah beberapa menit menghitung posisinya dan memeriksa kembali untuk menghindari kesalahan hitung.

Yak, di sini tempat dimana aku berada!—Ujarnya mantap dalam hati, sembari memberi tanda pada peta misinya yang dilaminating tipis dengan menggunakan spidol hitam kecil, setelah mengetahui posisinya di peta manual, ia melanjutkannya dengan mengulas rute selanjutnya.

Strad pun selesai mengulas rute selanjutnya, ia pun kembali melanjutkan perjalanannya menuju pangkalan militer.

HARI KETIGA, PUKUL 2300
245 KILOMETER DARI PANGKALAN MILITER
DONNA-FRATELAII
REPUBLIK PENDUDUKAN ESTHAR

Ternyata rute selanjutnya tidak mudah—ia harus dihadang oleh benteng alami pangkalan militer Primea-Murkovii, sebuah aliran sungai yang sangat deras dan dalam, ia tidak akan selamat apabila nekat menyebrangi sungai ganas dengan lebar hingga seratus meter.

Kalau pun mencoba berjalan memutar, ia akan kehilangan banyak waktu untuk bisa sampai di pangkalan militer tepat pada waktunya, otaknya terus membuat perkiraan-perkiraan, namun hasilnya banyak yang buntu dan merugikannya.

Hmmm.. Apa yang harus aku lakukan, yah?—tanya Strad yang sedang bersembunyi di kegelapan pepohonan di dekat sungai, dalam hati.

Ia pun memandangi posisi jembatan satu-satunya yang berada di dekatnya, seperti layaknya pintu masuk ke pangkalan militer, tiap ujung jembatan terdapat pos jaga, di mana dijaga oleh enam orang tentara Galbadia bersenjata lengkap dengan didukung oleh dua unit panser dan satu unit tank leopard II.

Sayup-sayup bunyi deru sebuah truk terdengar mendekati pos jaga, Strad langsung mengambil teropongnya dan memantau jembatan itu.

*****

Dari balik lensa teropong, ia bisa melihat dengan jelas, seorang penjaga jembatan—yang sedang duduk santai di dekat barikade kawat berduri—langsung bangkit dari kursi malasnya, beberapa menit kemudian sebuah truk tua berjalan ringkih mendekati barikade jembatan, si penjaga memberi isyarat untuk berhenti.

Truk barang berhenti mengikuti perintah si penjaga, beberapa penjaga yang bertelur di dalam pos jaga, serentak keluar mengepung truk tua itu dengan wajah gembira, seperti anak-anak kecil yang kedatangan sinterklas.

Sepertinya antara supir truk—yang berumuran sekitar tigapuluhtahunan itu—dengan para penjaga terlihat akrab, tak ada prosedur introgasi standar—dari mana, bawa apa, mau kemana dengan wajah penuh selidik—dan pemeriksaan identitas, hanya sapaan dan obrolan ringan, itu yang dilihat—dan diprediksi—oleh Strad di balik rimbunnya hutan.

Tapi ada yang sedikit dicurigai oleh Strad, si supir truk itu kelihatan pucat, ia terus memandangi bak truk belakangnya yang ditutupi kain kanvas lusuh dengan gelisah, sepertinya ada sesuatu yang tak ingin diketahui yang disimpan di bak truk itu oleh para penjaga.

*****

“Bawa apa, nih, hari ini?” tanya seorang penjaga kepada si supir truk angkut itu.

”Ya, cuma bawa kebutuhan sehari-hari dan beberapa pesanan dari dapur umum untuk acara minggu depan katanya.” jawab si supir.

*****

“Hey, coba lihat!...” tunjuk si penjaga satu lagi, si penjaga terhenyak ketika melihat botol-botol yang diperlihatkan kepadanya—botol sampanye!

“Hey, itu pesanan untuk para perwira tinggi nanti!” protes si supir—ia tahu kebiasaan para penjaga jembatan ini, suka mengambil barang-barang yang mereka suka sebagai ijin untuk masuk ke pangkalan militer.

“Satu saja, lah!” rengek si penjaga itu sembari memandangi kotak kayu yang berisi berbotol-botol sampanye yang tersembunyi di dalam tumpukan kotoran kertas untuk menjaga minuman mahal itu dari benturan keras, “Atau dua, yah?!”

“Aku bisa ditembak oleh komandan kalian kalau ketahuan!” tolak si supir sembari mencoba menghampiri si penjaga kedua yang mengambil dua botol sampanye dari kotaknya. “Kembalikan!” pinta si supir.

Si penjaga mencabut pistol P1-nya dan menodongkan ujung laras ke kepala si supir, ”Beraninya kamu melawan tentara Galbadia?!!” tanya si penjaga dengan suara mengancam.

”A—Aku mohon!” mohon si supir yang badannya gemetaran hebat.

”Persetan dengan para jendral!” jawab si penjaga, “Mereka membeli berbotol-botol sampanye, hanya diminum tidak sampai seperdelapannya! Mereka pikir mereka beli minuman mahal ini dari siapa?!—Dari gaji kami yang tidak seberapa tahu?!”

Si supir hanya bisa mengkerut dan memejamkan matanya—keadaan benar-benar jadi mencekam.

Si penjaga berubah pikiran, “Ambil satu botol saja.” Perintahnya, awalnya para penjaga lainnya terlihat kesal, namun akhirnya mereka menuruti permintaannya—hanya satu botol sampanye yang mereka ambil.

BRUUMMM!!

Truk itu langsung bergegas menuju pangkalan militer, sedangkan sang supir terlihat sedang mengumpat kepada para penjaga yang bertindak seenak jidat kepadanya.

Sedangkan para penjaga jembatan terlihat bersorak gembira mendapatkan minuman mahal sang jendral, mereka langsung membukanya dan menikmatinya langsung dari mulut botol, setelah tiga tegak, mereka menggilir sampanye itu ke para penjaga lainnya.

Strad memandangi pos penjagaan itu dengan wajah optimis, ia menemukan caranya untuk bisa menyebrangi jembatan—yang dijaga oleh pos penjagaan yang lumayan ketat itu—tanpa diketahui oleh lawan—tapi, ia butuh beberapa waktu untuk memantau pergerakan rutin truk itu.

Akhirnya ia memutuskan untuk membuat rencana awal, ia akan tetap menunggu di tempat persembunyiannya dan terus memantau aktivitas musuh yang berada seratus meter dari tempat persembunyiannya di rerimbunan semak-semak yang tak jauh dari pinggir sungai yang berarus deras itu.

HARI KEEMPAT
KEDIAMAN JENDRAL VON LIERBEN
DELING-CITY
KEKAISARAN GALBADIA

Jendral von Lierben semakin semangat untuk mengangkat-angkat Maria—cucu semata wayangnya yang sudah beranjak berumur satu tahun—ke langit, sang jendral bersyukur, akhirnya cucu semata wayangnya itu menerima kehadiran si pria tua yang asing ini, setelah sebelumnya bayi montok berkulit bersih itu menangis sambil menjerit ketakutan ketika sang kakek mencoba menghiburnya.

Farah Johansen, putri sematawayangnya, ibu dari Maria von Lierben, sedang sibuk mengatur meja makan, ia sekali-kali memandangi Maria dan Kakek Mathias begitu larut dalam kegembiraan dengan penuh kelegaan—akhirnya, sang kakek punya banyak waktu untuk cucunya.

“Ngomong-ngomong, di mana Anton?” tanya Jendral von Halberdier kepada Farah.

“Ia sedang dalam perjalanan ke sini, Pa. Seharusnya sebentar lagi ia sudah sampai.” Jawab Farah yang sedang sibuk merapihkan empat set peralatan makan supaya lebih rapih terlihat di meja makan.

Beberapa saat ketika menanyakan keberadaan Anton, tiba-tiba terdengar suara Anton mengucapkan, “Selamat malam, semuanya!!” dengan penuh semangat.

“Selamat datang, Anton!” sambut Jendral von Halberdier kepada Anton Johansen—menantunya yang bekerja sebagai broker properti.

Anton menyapa Maria dengan ciuman hidung—menempelkan hidungnya ke hidung Maria yang mungil dan menggoyang-goyangkannya bersama-sama, Maria begitu mengerti apa yang harus ia lakukan—dan ia pun begitu bersemangat melakukan ciuman hidung dengan ayahnya.

“Ngomong-ngomong, di mana Ibu Dora dan yang lainnya? Biasanya mereka ikut bantu-bantu.” Tanya Jendral von Lierben.

“Hari ini semuanya kami yang urus!—Ayo semuanya berkumpul! Makanannya sudah siap!” panggil Nyonya von Lierben sembari membawa makanan utama kesukaan keluarga von Lierben—kalkun panggang asam manis yang sudah dihiasi dengan salami, buah zaitun, asparagus, dan dedaunan penghias lainnya yang melingkari sekitar piring saji.

Kali ini makan malam keluarga benar-benar terasa privatnya, tidak ada para pelayan rumah yang ikut campur dalam acara makan malam itu, semuanya—memasak, menyiapkan meja makan, menyalakan lilin—dikerjakan berdua oleh Nyonya von Lierben dan putrinya.

Farah pun menaruh meja makan bayi tepat di samping sang kakek, bukan main senangnya—dan juga menyesal karena baru kali ini—ia bisa melihat cucunya ikut makan malam dengannya, sebelum kalkun asam manis dipotong, sang kepala keluarga memimpin doa.

*****

Jendral von Lierben membacakan doa sebelum makan malam, menguntai ucapan syukur kepada Yang Maha Kuasa yang masih memberikan waktu untuk berkumpul—suasana begitu tenang dan khidmat.

“Amien!” tutup Jendral von Lierben, pisau besar pun ia ambil dan bersiap untuk memotong daging pertama.

Keriuhan keluarga kecil yang sedang berkumpul itu benar-benar membuat sang jendral terasa ringan, pemandangan para prajurit yang berada di bangsal-bangsal rumah sakit dalam keadaan dibalut perban hingga dalam keadaan sudah berada di dalam kantong jenasah yang ada di benaknya sejenak menghilang.

Apalagi kedamaian makin terasa ketika ia memperhatikan Maria yang sedang belajar makan sendiri, ia begitu tidak peduli dengan wajahnya yang penuh dengan sisa makanan bayi—ia terus menyekop makanannya dan memakannya dengan begitu polos.

Sejenak sang jendral mengingat ketika masih menjadi seorang prajurit sengsara, makan bersama bersama istri dan kedua anaknya—Farah sudah masuk sekolah dasar, sedang Rika masih berumur sama dengan Maria—di ruang makan kecil sebuah rumah dinas prajurit.

Sudah cukup. Aku tak mau kehilangan keluargaku lagi!—ujarnya dalam hati dengan mantapnya.

HARI KELIMA
ISTANA REICHSTAAG
DELING-CITY
KEKAISARAN GALBADIA

Dua mobil tempur dingo berhenti tepat di pintu gerbang masuk istana, mobil mercedes-benz tipe limousine lengkap dengan dua bendera kecil berlambang Angkatan Bersenjata Kekaisaran Galbadia berkibar di bumper depan yang mereka kawal ikut berhenti di belakang mereka.

Seorang penjaga istana langsung menyambut orang yang ada di dalam mobil mercy tipe limousine itu dengan membukakan pintu, sedangkan para penjaga istana lainnya yang menjaga pintu masuk istana langsung berdiri tegak.

“Terima kasih.” Ujar Jendral von Lierben yang keluar dari dalam kabin belakang.

Para penjaga istana yang menjaga pintu masuk langsung memberi hormat senjata kepada sang jendral yang sibuk merapihkan jaket kulit bewarna hitam legam itu.

Seorang staff istana sudah menanti sang jendral di depan langsung menyambutnya, “Selamat datang, Jendral—” sapa staff istana, “Yang Mulia sudah menanti anda!” tambahnya.

“Terima kasih.”

*****

Satu jam lagi acara uji kelaikan segera dimulai, Jendral von Lierben terus duduk menanti acara tersebut dimulai di tempat yang sudah disiapkan untuk timnya di ruang rapat istana.

Sedangkan ajudan dan staff-staff-nya yang sedang sibuk menyiapkan presentasi untuk acara uji kelaikan nanti, sepuluh makalah dipersiapkan untuk para hadirin yang akan datang dalam acara tersebut.

Sang jendral mengerutkan dahi ketika melihat keempat anakbuahnya begitu sibuk menyiapkan amunisi untuk presentasi sang Komandan Wilayah Timur, “Untuk apa itu semua?!” tanya Jendral von Lierben heran.

Keempat anakbuahnya tak kalah heran ketika mendengar pertanyaan sang jendral.

“Mempersiapkan presentasi nantinya, Pak.” Jawab seorang staff-nya yang berpangkat mayor yang terdengar bingung dan segan.

“Tidak perlu!” jawab Jendral von Halberdier.

Mereka saling berpandangan satu sama lain.

“P—Pak?” tanya staff-nya lagi, ia merasa bingung dengan perintah sang atasan.

“Sudah kukatakan—tidak perlu! Kalian nanti hanya perlu duduk saja dan diam selama aku bicara!” jawab Jendral von Halberdier.

“Si—Siap, Pak!” jawab mereka—walau masih ragu dan bingung.

*****

Beberapa saat kemudian, seorang prajurit Galbadia yang tergabung dalam Korps Reichstaag membuka pintu ruang rapat istana, empat orang pewira menengah dengan wajah dingin masuk ke dalam ruang rapat istana, Jendral von Lierben bisa melihat dengan jelas lambang harimau putih yang tersohor menempel di lengan kanan pakaian dinas harian mereka—Korps Wilayah Barat.

Beberapa saat kemudian, menyusul sang Komandan Wilayah Barat—Jendral Carl Manstein, dia adalah panglima perang yang memimpin pertempuran melawan Republik Sosialis Trabia di wilayah barat yang dingin, kampanye barat—nama yang sering dikenal dalam operasi militer di wilayah Trabia—terkenal tempat pertempuran paling kejam dan mengerikan, dan Kaisar Vincent Deling memilih orang yang tepat.

“Sudah lama kita tidak bertemu, Jendral!” sapa Jendral von Lierben.

“Sudah berapa lama kita tidak bertemu?—Hampir tiga tahun.” Balas Jendral Manstein.

“Ya, hampir tiga tahun!” timpal Jendral von Lierben, “Aku mendengar namamu begitu tersohor di Kampanye Barat.”

Jendral Manstein tersenyum sinis, “Aku lebih suka disebut ditakuti, ketimbang tersohor.” Selorohnya.

*****

“Beliau yang namanya Jendral Manstein—yang menjadi rival Jendral von Lierben selama ini?” tanya sang mayor kepada rekannya yang menjadi ajudan Jendral von Lierben.

“Yeah, aku saja baru bertemu Jendral Manstein untuk pertama kalinya.” Jawab si ajudan sembari memandangi Jendral Manstein, “Cocok sekali ia dikenal sebagai jendral paling ditakuti di Galbadia.”

Beberapa menit kemudian, seorang abdi istana datang dari lorong khusus keluarga istana, ia mengumumkan, “Yang Mulia Kaisar Vincent Deling—Penguasa Galbadia dan para anggota yang terhormat Dewan Bangsawan, telah datang—hadirin diperintahkan berdiri!”

*****

Tim Jendral von Lierben dan tim Jendral Manstein langsung berdiri dan menghadap ke lorong khusus keluarga istana—sang kaisar dan dua belas bangsawan yang memimpin dua belas provinsi Galbadia, termasuk keempat keponakannya—Viscount Jahn Kohler—Bangsawan dari Rabavia, Kepala Dewan Bangsawan, Raul Roeme—Bangsawan dari Hidenburg, Rajiz Lewd—Bangsawan dari Ulmk, dan Iffil van Bommell—Bangsawan dari Eiderland, hadir di ruang rapat istana.

Dua orang anggota dari Korps Pengawal Istana—dengan pakaian serba hitam—masuk lebih dahulu dan menyilakan sang kaisar untuk masuk ke dalam ruang rapat istana, keempat keponakannya mengikuti dari belakang, disusul para anggota Dewan Bangsawan.

Ketika Kaisar Deling memperlihatkan wujudnya dengan jelas, kedua jendral terbaik milik Angkatan Bersenjata Kekaisaran Galbadia itu langsung bersikap sempurna dan memberi hormat dengan mantap.

Namun cara penghormatan mereka berbeda, Jendral Manstein mengepalkan tangan kanannya dengan mantap dan mengatakan, “Darah dan nyawa kami untuk Kaisar Galbadia!” dengan lantangnya—penghormatan prajurit Korps SS itu tak bisa ditinggalkan oleh sang jendral.

Sedangkan Jendral von Lierben hanya memberi penghormatan layaknya seorang prajurit professional biasa, memberi hormat kepada orang yang kewenangannya lebih tinggi di negaranya, tanpa mengeluarkan ucapan tanda kebulatan loyalitas seperti Korps SS.

“Silahkan duduk kembali.” Ujar Kaisar Deling kepada seluruh hadirin yang ada di ruang rapat istana.

*****

Kaisar Vincent Deling, ia adalah penguasa Galbadia dengan sistem pemerintahan Kekaisaran Absolut, ia adalah putra mahkota dari mendiang kaisar terdahulu—Kaisar Damien Deling—yang harus kehilangan nyawanya sebagai salahsatu pertanggungjawabannya atas semangat ekspansionisnya yang memakan banyak korban pada Perang Estharian Pertama.

Perjanjian Loire—perjanjian damai yang dibuat sebagai tanda Perang Estharian Pertama berakhir—ditandatangani oleh Kaisar Damien Deling, Kekaisaran Galbadia dibubarkan, sistem-sistem feodalisme daerah yang ada di Galbadia juga ikut dihapuskan, digantikan dengan sistem pemerintahan presidensiil untuk pusat kekuasaannya dan sistem kegubernuran untuk kawasan provinsinya—yang dikenal dengan Republik Galbadia yang dipimpin oleh Presiden Josep Drexler.

Sepuluh tahun Republik Galbadia dalam kondisi kemelaratan dan ketidakpastian politik, harga diri kebangsaan mereka diinjak-injak oleh negara-negara pemenang perang dengan cara Galbadia harus membayar sepuluh kali lipat total kerugian peperangan keduabelah pihak kepada negara-negara pemenang perang.

Pangeran Vincent Deling, para keluarga bangsawan yang dijatuhkan martabatnya, dan para fundamentalis Kekaisaran Galbadia bersatu melawan pemerintahan Republik Galbadia, hingga akhirnya Pangeran Vincent Deling kembali naik tahta dan mengembalikan kembali martabat Kekaisaran Galbadia yang sempat menghilang.

Jendral von Lierben dan Jendral Manstein dulunya adalah anggota dari kelompok fundamentalis, mereka berdua memimpin pemberontakan bersenjata untuk menggulingkan pemerintahan republik yang tidak memiliki wibawa.

Hanya latar belakang mereka yang berbeda, Jendral von Lierben berasal dari seorang prajurit professional murni yang bergabung dalam kelompok fundamentalis, sedangkan Jendral Manstein berasal dari anggota paramiliter yang bertugas melindungi keluarga kaisar terdahulu yang dikenal dengan nama Korps SS.

*****

Setelah menjadi negara yang lebih kuat, Kaisar Deling melancarkan kampanye militer balas dendam, ia mengerahkan seluruh kekuatan militernya yang sudah kembali pulih untuk merebut kembali provinsi-provinsi yang diambil oleh negara-negara pemenang perang, kampanye-kampanye militer tersebut dipimpin oleh Jendral von Lierben dan Jendral Manstein.

Kepiawaian mereka dalam olah strategi dan kepemimpinan berhasil dibuktikan, empat provinsi yang lepas—Provinsi Ulmk, Rabavia, Hidenburg, dan Eiderland—berhasil kembali ke pangkuan Kekaisaran Galbadia.

Jendral von Lierben tersohor dalam merebut kembali Provinsi Ulmk dan Rabavia yang diambil Esthar dengan taktik serangan kilatnya—serangan dadakan dan mobil dengan mengerahkan seluruh komponen militer secara spontan.

Jendral Manstein terkenal dalam merebut kembali Provinsi Hidenburg yang diambil Kerajaan Balamb Raya dan Provinsi Eiderland yang diambil Turkjiyan dengan berdarah-darah, ia menggunakan takit sapu jagat, semua tentara musuh dan warga sipil yang terlibat—dibabat sampai habis dengan cara eksekusi di tempat.

Berkat kepemimpinan mereka yang luar biasa, Kaisar Deling mengangkat Jendral von Lierben menjadi Komandan Wilayah Barat—yang berhadapan dengan pasukan Pesemakmuran Balamb Raya dan para pemberontak Esthar dan Turkjiyan.

Sedangkan Jendral Manstein diangkat oleh Kaisar Deling menjadi Komandan Wilayah Timur—yang berhadapan dengan pasukan Republik Sosialis Trabia yang terkenal sama beringas dan kejamnya dengan sang jendral.

*****

Kaisar Deling memulai pidato paparannya dalam acara uji kelaikan di ruang rapat istana.

“Seperti yang anda-anda ketahui, aku membutuhkan sosok pemimpin militer yang kuat, yang mampu memegang tampuk kepemimpinan militer tertinggi pertama untuk Kekaisaran Galbadia—yaitu, Panglima Angkatan Bersenjata Kekaisaran Galbadia.”

“Tugas utama panglima ini adalah, mendukung rencana negara kita untuk mengukir sejarah baru Kekaisaran Galbadia untuk menjadi pemimpin di Benua Estharian—bahkan di seluruh dunia dalam bidang kemiliteran.”

“Aku tekankan kepada kalian, sejarah Kekaisaran Galbadia seribu tahun yang lalu, nenek moyang kita menjadi pemimpin dari setengah Benua Estharian. Dan kini saatnya—bersama dengan Panglima Angkatan Bersenjata Kekaisaran Galbadia nantinya—kita akan mencetak sejarah baru untuk negara kita yaitu—Kampanye Galbadia Raya!”

Jendral Manstein begitu berbinar-binar ketika mendengar rencana sang kaisar, bersama para anggota Dewan Bangsawan langsung menyambut dengan tepuk tangan meriah, mereka pun tanpa segan untuk mengucapkan dukungannya dan melontarkan umpatan kepada negara-negara yang menindas mereka dahulu—yang tergabung dalam Blok Sekutu.

Kaisar Deling begitu menikmati sambutan hangat para anggota Dewan Bangsawan, ia seperti mendapatkan angin segar, ia pun optimis, menjadi penguasa tunggal Benua Estharian, ketika sambutan mulai mereda, ia kembali berorasi.

Jendral von Lierben tertegun ketika mendengar paparan sang kaisar, mengukir sejarah baru Kekaisaran Galbadia—kata-kata polesan dari sang kaisar untuk menutupi kata-kata yang sebenarnya—memperluas kampanye militer Galbadia.

Sang kaisar sudah berjalan terlalu jauh dari tujuan sebenarnya!

Matahari masih bersinar malu-malu, baru menunjukkan cahaya merah di langit Donna-Fratelaii, dibalik kegelapan hutan, Strad yang masih setia selama satu minggu menggunakan pakaian ghillie, sedang melihat jam tangan digitalnya.

Jamnya menunjukkan pukul 0530, ia terus memandangi ujung jalan seperti menunggu sesuatu, beberapa menit kemudian, terdengar suara dengungan mesin truk bercampur lagu tak jelas di ujung jalan.

Seperti yang dijadwalkan—gumamnya dalam hati.

Sesuai dengan hasil pengintaian selama dua hari penuh, ia sudah mencatat delapan kali truk pengangkut keluar-masuk setiap hari dari jembatan itu, dan setiap truk masuk ke dalam jembatan, si sopir harus melayani keserakahan para penjaga pos jembatan.

Dan pagi buta adalah saat yang paling bagus—karena, para penjaga pos terlihat kurang semangat untuk memeriksa dan pagi itu juga isi truk yang mereka periksa juga menambah kemalasan mereka—jerami.

*****

Si supir truk pengangkut jerami terlihat begitu santai membawa truk tuanya itu sembari mendengar lagu-lagu etnis Esthar Tenggara kesukaannya dengan suara keras—namun, perjalanannya hari ini tidak semulus perjalanan sebelumnya.

Kerutan tua mulai muncul di dahinya ketika melihat seonggok bangkai seekor rusa jantan tergeletak di tengah jalan, ia pun menurunkan kecepatan dan akhirnya berhenti tepat di depan bangkai rusa itu.

”Hmm, kenapa ada bangkai di tengah jalan gini??” gumamnya heran sambil menetralkan gigi truknya.

Ia lalu turun dari truknya dan menghampiri bangkai rusa yang besarnya hampir satu jalan penuh bisa ia tutup, si supir truk melihat dua buah lubang di leher si rusa malang, ”Huh!.. Pasti kerjaan tentara patroli!” gerutunya sambil menggulungkan lengan bajunya.

Lalu ia berusaha menyeret bangkai rusa itu ke pinggir jalan, ”Urgh!.. Nggak disangka rusa ini berat juga!..” ringisnya, tak disangka berat rusa itu minta ampun, ia pun menyeretnya sedikit-sedikit hingga akhirnya tersingkir dari jalan.

Akhirnya bangkai rusa itu berhasil ia singkirkan dari jalan, sembari mengusap dahinya yang penuh dengan keringat, ia kembali meneruskan perjalanannya, bunyi deru mesin truk tua itu terdengar di seluruh hutan di pagi itu, roda-roda truk mulai berputar lambat.

*****

Akhirnya, beberapa menit berlalu, truk tua itu berhenti di pos jaga—Seperti jadwal yang Strad awasi selama dua hari, si penjaga yang merampas champagne si jendral itu menghentikan laju truk.

“Selamat pagi!” sapa si supir truk itu kepada para penjaga.

Namun tak ada balasan dari mereka—terlalu mengantuk dan malas untuk meladeni si supir truk, karena mereka harus jaga malam hingga pagi dan truk itu tak bisa memberikan apa pun kepada mereka, karena itu—giliran jaga malam sampai pagi adalah giliran jaga yang paling dibenci.

Seperti yang Strad ingat, si penjaga memasang muka masam di depan supir truk itu, maklum, supir ini bukan membawa makanan manusia, tetapi makanan kuda yang ada di pangkalan, jadi tak ada yang bisa ia kompasi.

Dua dari para penjaga—sesuai prosedur—memeriksa isi jerami yang ada di dalam truk, satu orang mengacak-acak isi jerami dengan ogah-ogahan, sedangkan satu orang mengawasi dari arah belakang.

Seperti biasanya di hadapan si supir pembawa jerami itu, si penjaga memperhatikan tanda pengenal si supir dengan wajah masam dan galak, lalu ia mengembalikan tanda pengenal itu kepada si empunya.

Si penjaga menyilakannya untuk kembali melanjutkan perjalanannya, “Kau boleh lewat.” Jawabnya dingin.

”Terima kasih!” ucap si supir ramah.

”Ya.” jawab si penjaga dingin.

*****

Si penjaga memberi tanda kepada panser yang menghalangi jalan untuk memberi jalan.

Truk tua itu mulai melanjutkan perjalanannya, seorang penjaga bertanya kepada rekannya yang memeriksa isi truk itu, “Tak ada makanan?” tanya si penjaga itu.

“Kalau kau ingin sarapan untuk kuda—cegat lagi dia!” jawabnya kesal.

*****

Sedangkan dibalik kaki-kaki truk tua itu, Strad bisa melihat pos jaga—dengan enam penjaga pos yang tamak dan juga panser ringan—yang menjadi penghalangnya mulai menjauhinya.

Sekarang ia sudah berhasil melewati pos jaga, tinggal bisa kuat bergelantungan di kaki-kaki truk, maka Strad akan berhasil menyebrangi sungai dan masuk ke kawasan terdalam dari pangkalan militer Donna-Fratelaii.

=== TASK FORCE : STRAD EPISODE EMPAT SELESAI ===

Tidak ada komentar:

Posting Komentar