PUKUL 2230
APARTEMEN VICTORIA VIII, PUSAT KOTA JUNON
JUNON
REPUBLIK RUNE-MIDGARD
WRRRR!!
Kediaman Prof. Harold Cooks—Kepala Staff Penelitian dan Pengembangan Persenjataan Angkatan Bersenjata Republik Demokratik Rune-Midgard—malam ini terdengar sangat gaduh, suara gaduh itu berasal dari suara mesin penghancur dokumen yang dipaksa bekerja siang dan malam untuk mengunyah dokumen-dokumen rahasia yang harus segera dimusnahkan.
Sedangkan Prof. Dixy, teman dekat dan teman sekantornya itu, terlihat sangat panik, ia membuang ratusan lembar dokumen ke atas perapian apartemen Prof. Cooks secara serampangan.
Ia pun memandangi arloji rolex-nya yang melingkar di tangan kirinya, napasnya terhenti ketika melihat jarum jam yang menujukkan pukul sebelas kurang seperempat—jadwal penerbangan Esthar Air tujuan Junon-Loire yang mereka berdua pesan akhirnya sudah terbang, ”Kita sudah terlambat!!” pekik Prof. Dixy kalap.
”Lebih baik kita terlambat daripada bukti-bukti ini masih ada!” jawab Prof. Cooks sembari terus menjejalkan mulut mesin penghancur dokumen itu dengan beberapa dokumen lagi.
Mesin penghancur dokumen itu mulai terlihat macet karena dan bahkan bau mesin terbakar pun mulai tercium dari mesin penghancur dokumen itu, semuanya harus beres sekarang juga dan secepat mungkin—tinggal sepuluh bendel dokumen rahasia yang harus mereka hancurkan.
Koneksi mereka mengatakan kalau aktivitas terlarang mereka sudah diketahui oleh aparat, dan mereka diperintahkan untuk segera menghilangkan jejak—dengan memusnahkan dokumen keterlibatan mereka—dan kabur ke Loire kalau tak mau berhadapan dengan hukuman mati kalau terbukti melakukan pekerjaan haram mereka itu.
*****
Sedangkan di pintu depan kamar Prof. Cooks, enam orang unit satuan HRT dari MFB—Biro Penegakan Hukum pemerintah Rune-Midgard—berpakaian biru tua, bersenjata dan berperlengkapan lengkap sudah bersiap-siap untuk menyergap dua buruan mereka di dalam, mereka sedang menunggu perintah dari Opsir Statam dan Opsir Neil.
Opsir Statam dan Opsir Andrew akhirnya datang dengan berpakaian preman datang dengan langkah terburu-buru—dengan memegang pistol Glock 18 di tangan kanan, dan surat perintah penggeledahan dan penangkapan di saku kemeja.
“Apa yang kalian tunggu? Dobrak!” komando Opsir Statam kepada para petugas unit HRT sembari memasang kuda-kuda menembak.
Sang komandan unit HRT memberikan isyarat kepada anakbuahnya yang sudah memegang pasak baja yang dipakai untuk menjebol pintu sasaran untuk memulai penyergapan.
*****
BRAKK!!
Pintu apartemen Prof. Cooks jebol seketika dihantam kepala pasak baja, dalam sekejap mata, enam orang berpakaian hitam-hitam dan bersenjata lengkap merangsek masuk.
”MFB!! ANGKAT TANGAN!!” teriak seorang anggota HRT sembari menodongkan senapan MP5A5 ke arah dua ilmuwan itu.
Tanpa diduga, Prof. Cooks yang terdesak mengeluarkan sepucuk pistol dari balik jaketnya, namun dengan cepat seorang HRT langsung membungkamnya dengan dua tembakan di dada.
Prof. Dixy hanya bisa memandangi ngeri rekan kriminalnya itu tergeletak tak bernyawa dengan tatapan kosong, ia pun segera mengangkat kedua tangannya, “A—Ampun! Jangan tembak!!” pekiknya ketakutan.
Prof. Dixy langsung diringkus, beberapa saat sekujur tubuhnya dijamah untuk memastikan Prof. Dixy tidak melakukan hal yang sama seperti rekannya yang naas itu, lalu kedua tangannya dilipat di belakang dengan pergelangan tangannya diripet.
Seorang perwira MFB tersenyum lega ketika melihat masih ada dokumen yang tersisa—baik yang belum diapa-apakan, belum sepenuhnya disantap oleh mesin pemusnah dokumen maupun sebagian masih selamat dari santapan api perapian.
Beberapa dokumen yang dilemparkan ke perapian pun segera diselamatkan dengan cara diinjak-injak sampai padam, setelah tak ada api lagi, para opsir MFB itu langsung memungut dokumen-dokumen yang selamat. untuk dijadikan barang bukti.
”Lihat ini.” Tunjuk Opsir Andrew kepada Opsir Statam.
Opsir Statam pun memperhatikan dokumen-dokumen yang berhasil diselamatkan itu, ia tersenyum lebar penuh kemenangan ketika melihat kop surat berlambang Abwehr—badan intelijen Kekaisaran Galbadia.
“Kali ini kalian tak akan bisa lolos lagi dari jeratan dakwaan tindak pidana spionase, Professor.” ujar Opsir Statam itu puas.
Akhirnya drama kucing-kucingan antara kedua opsir yang bertugas menyelidiki kedua ilmuwan itu berakhir.
=== THE STRADS : EPISODE TIGA, DIMULAI ===
PUKUL 2330
RUANG INTROGASI
KANTOR MFB RESOR JUNON TENGAH
REPUBLIK RUNE-MIDGARD
“Professor Stewart Dixy, umur 35 tahun, lulus dari Migard Technology Institute pada umur 20 tahun dengan predikat Summa Cum Laude bersama belasan penghargaan karya-karya ilmiah baik nasional maupun internasional—maka dari itu anda disebut Bintang dari MTI.
Bekerja di Badan Penelitian dan Pengembangan Angkatan Bersenjata Rune-Midgard selama lima tahun, dan besoknya memperoleh jabatan bergengsi, diangkat sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan—hanya dalam waktu lima tahun. Sayang sekali karir cemerlangmu harus berakhir sekarang.” baca opsir Hannah Andersen—agen MFB yang menginterogasinya.
Prof. Dixy hanya bisa tertunduk lesu, segelas kopi capuccino dan dua buah donat kentang dari kantin MFB tak ia sentuh sedikit pun.
”Sejak kapan anda bekerja pada intelijen Galbadia?” Tanya si Ospir Andersen sembari berkacak pinggang dan memasang muka memeriksa.
“Semenjak saya melakukan kerjasama dengan sebuah perusahaan komputer milik Galbadia. Mereka memberikan tawaran honor sepuluhkalilipat dari gaji bulana saya bekerja di Litbang.” jawab Prof. Dixy.
“Anda memiliki garis nasib yang terlalu baik, hampir tak ada orang seumuran anda sudah menduduki jabatan pimpinan di daerah vital ini! Tetapi kenapa anda melakukan ini semua?” tanya Opsir Andersen.
“Ketamakan.” jawab Prof. Dixy sinis.
”Maksud anda?” tanya Ospir Andersen.
“Andai istri saya tidak terlalu hidup dalam kehidupan glamour dan jetset-nya aku tidak perlu melakukan hal ini untuk menjaga kegemarannya atas nama—melanggengkan pernikahan.” jawab Prof. Dixy.
*****
Joanna Amelia, seorang artis papan atas yang terkenal paling cantik dan bertalenta, Prof. Dixy adalah fans Joanna yang paling beruntung—ia berhasil menarik hati sang artis dan menikahinya, awalnya Prof. Dixy merasa beruntung memiliki wanita yang paling digilai oleh para pria di dunia, tapi akhirnya—ia adalah pria paling malang di dunia.
Ketika gaji sang suami ternyata tidak bisa mencukupi kegemaran sang istri yang suka berpesta-pora, pelesir, dan belanja yang sudah menahun, pertengkaran pun tak bisa dielakkan, keadaan semakin parah dengan campurtangan dunia infotainment.
Dia adalah hidup dan matiku—itulah prinsip Prof. Dixy, ia rela melakukan apa saja demi bisa tetap bersama istrinya—dan ini menjadi salahsatu kesempatan bagi Abwehr untuk memanfaatkannya.
Karl Stormberg, seorang pengusaha besar—dan salahsatu rekan sosialistanya Joanna, melakukan pendekatan intensif dengan Prof. Dixy, setelah hampir setengah bulan merasa cukup untuk mendekati Prof. Dixy, ia pun mulai menawarkan pekerjaan khusus untuknya—mencuri desain-desain prototipe persenjataan milik pemerintah Rune-Midgard, dalam rangka mendukung kampanye militer Kerajaan Galbadia di kawasan Estharia.
Awalnya Prof. Dixy menolak tawaran itu—ia tahu resiko besar yang akan ia hadapi apabila melakukan tindakan spionase, tapi iming-iming honor sepuluhkalilipat dari gaji bulanannya, plus—mereka akan memberikan apa yang Prof. Dixy minta, tanpa ragu akan mereka penuhi.
Prof. Dixy—dengan desakan dari Joanna—akhirnya menerima tawaran menggiurkan itu, Karl pun menghubungi salahsatu penghubungnya, yaitu Prof. Harold Cooks, seorang dosen kedokteran yang sering bolak-balik mengajar di Universitas Galbadia.
Modus operandi yang mereka lakukan adalah, Prof. Dixy akan mencuri cetak-cetak biru di Litbang dan disimpan dalam microdots—komponen data sebesar semut yang bisa menampung ratusan data-data tulisan, cuplikan-cuplikan, serta gambar-gambar beresolusi tinggi—dan memberikannya kepada Prof. Cooks untuk dibawa ketika ada tugas mengajar di Galbadia.
MFB pun mengendus perilaku mencurigakan antara Prof. Dixy dan Prof. Cooks selama setahun karena banyak laporan dari Junon kalau pihak militer Galbadia banyak memiliki peralatan dan teknologi militer yang sama persis dengan apa yang sedang diteliti oleh militer Rune-Midgard.
*****
“Apakah benar—Karl Stomberg, direktur utama Today’s Future Inc adalah promotor anda dan Prof. Cooks?” tanya Opsir Andersen sembari menunjukkan foto-foto Karl Stomberg.
“Apakah kalau saya mengakuinya, saya mendapatkan keringanan, Bu?” tanya Prof.Dixy.
“Jujur saja—Kami tidak tahu.” jawab sang Ospir Andersen singkat, “Tapi kami akan berusaha untuk dijadikan pertimbangan di persidangan nantinya atas kerjasama dan perilaku baik anda.”
Prof. Cooks menghela napas panjang, sangat panjang ketika ia membayangkan istrinya sedang bersiap-siap pulang untuk menghadiri acara pelantikan jabatan barunya harus ditangkap agen-agen MFB yang datang ke resort dan masa depannya dan istrinya kelak bakal berada di ujung laras regu tembak.
*****
“Kita baru saja mendapatkan informasi kalau Dixy dan Cooks sebelum lari ke Esthar, mereka mengapalkan XCGM-1 ke Esthar—dengan nama kapal Bandolier IV!” umum Opsir Statam sambil bergegas menuju meja kerjanya, “Opsir White! Segera hubungi pihak Penjaga Pantai untuk segera menangkap kapal itu—surat perintah penangkapan sudah ada!”
“Oke, Pak!” jawab Opsir White—salahsatu tim penyelidik Dixy-Cooks—sembari dengan segera menghubungi kantor Penjaga Pantai.
Opsir Johanson, petugas pencari informasi yang bergabung dalam tim penyelidikan ini langsung mencari data tentang XCGM-1 dari arsip Litbang Militer yang telah diberi ijin akses terbatas oleh pemerintah.
Akhirnya—ujar Opsir Johanson senang, “Pak! Kita menemukannya!” lapor Opsir Johanson.
“Tunjukkan padaku, nak!” jawab Opsir Statam—pimpinan tim penyelidikan.
Ia menunjukkan data tentang XCGM-1 langsung dari layar komputernya, “XCGM-1 adalah prototipe rudal jelajah yang dibuat oleh pemerintah, status—prioritas tinggi!”
“Opsir Statam—Pihak Penjaga Pantai mengatakan bahwa Bandolier IV sudah meninggalkan wilayah laut setengah jam yang lalu!” lapor Opsir White.
Opsir Statam pun terdiam ketika mendengarnya, tubuhnya gemetaran karena menahan kegeramannya, ia berhasil menangkat seekor tikus—tapi gagal mendapatkan tikus yang satu lagi hidup-hidup, serta menyelamatkan XCGM-1.
“Kurang ajar! Mereka sudah mengetahui rencana kita!” ujar Opsir Statam geram.
PUKUL 0000
SAMUDRA ESTHAR
SEKITAR PERBATASAN LAUT RUNE-MIDGARD DAN ESTHAR
REPUBLIK RUNE-MIDGARD
Sebuah kapal kargo raksasa terlihat berlayar oleng karena digoyang oleh ombak besar, kapal kargo dengan nama lambung—ECS BANDOLIER IV—yang tertulis besar-besar dihaluan dan buritan kapal, terus berlayar pelan diatas ganasnya ombak.
Karl Stormberg mendesak mereka untuk berlayar di tengah-tengah badai ganas, agar mereka bisa keburu kabur ketika aparat penegak hukum menyadari tindak-tanduk mereka selama setahun ini karena dibocorkan keberadaan mereka oleh dua koneksi pentingnya—dan apa yang dikhawatirkan Stormberg pun benar.
Sang wakil nahkoda berjalan menghampiri sang nahkoda yang terus memperhatikan sistem navigasi kapal, ia terlihat sangat tenang, walaupun seisi anjungan kendali terus digoyang oleh ombak besar tanpa henti.
”Bagaimana?” tanya wakil nahkodanya.
Ia menyeruput kopi panasnya yang bergolak-golak karena goyangan ombak besar itu sejenak dengan hati-hati, lalu menjawab pertanyaan wakilnya. ”Kita memang benar-benar kumpulan orang yang nekat dan gila, tak ada satu pun kapal yang mau berlayar di tengah-tengah badai seedan ini!” jawab si nahkoda.
“Hanya ini cara untuk bisa lolos dari kapal-kapal Dinas Penjaga Pantai.” timpal wakilnya, “Lalu, estimasi kapal ini akan sampai di perairan Esthar?” tanya sang wakil.
”Kalau cuaca seperti ini, kapal akan sampai empat jam ke depan. Kalau cuaca mereda, kita bisa sampai lebih cepat dari delapan jam.” jawab sang nahkoda, sekarang giliran si nahkoda bertanya, ”Lalu, bagaimana dengan frekuensi radio pihak keamanan Rune-Midgard? Ada reaksi?”
Sang wakil nahkoda tersenyum enteng, ”Tenang saja, capt. Tak ada komunikasi yang mencurigakan, kok.” jawab sang wakil.
Nahkoda tersenyum sedikit lega, ”Baguslah.” Jawabnya lega, “Lalu, bagaimana dengan dua orang ilmuwan itu?” tanya sang nahkoda.
“Kata Karl, kalau mereka berhasil lolos, sekarang mereka dalam perjalanan udara menuju Loire.” Jawab sang wakil nahkoda.
“Tapi—Aku tidak yakin kita bisa lolos dari Rune-Midgard.” Ujar sang nahkoda yang mulai diracuni keragu-raguan.
Namun wakilnya hanya tersenyum sinis, “Itu hanya perasaanmu yang bukan-bukan, toh kita sudah lolos dari wilayah yurisdiksi mereka, dan kalau mereka baru sadar kalau kita sudah pergi, mereka harus berhadapan dengan cuaca sekacau ini.” Jawabnya yakin.
Sang nahkoda tersenyum, “Benar juga.”
Sedangkan di dalam lambung kapal, beberapa penjaga lambung kapal—dengan bersenjatakan berbagai macam senapan, baik G3, Uzi, maupun senapan MP5A5—terlihat berkerumun di sebuah kontainer.
Seorang komandannya sedang memperhatikan isi kontainer yang ia suruh untuk dibuka oleh dua orang anakbuahnya, ia mau memastikan isi kontainer tersebut dalam keadaan utuh, setelah dilaporkan terdengar suara bantingan keras berulang kali.
”Tadi saya mendengar suara terbanting dari dalam kontainer ini!..” ujar seorang penjaga yang melapor barusan.
Dengan hati-hati mereka membuka isi kontainer itu, tuas penguncinya lumayan keras untuk dibuka—karena kontainer yang dikhawatirkan oleh sang komandan itu masih tergolong masih baru—dan akhirnya, setelah agak sulit membuka tuas penguncinya, pintu kontainer akhirnya berhasil dibuka.
Sang komandan memandangi isi kontainer berupa sebuah rudal sebesar pesawat propeler latih terbang pemula, penuh dengan bola-bola sterefoam, dengan tulisan—MILIK PEMERINTAH REPUBLIK RUNE-MIDGARD // OBYEK RAHASIA—di lambungnya.
”Tak apa—Barang itu tak mengalami kerusakan, kok.” jawab sang komandan sembari mengisyaratkan kepada para anakbuahnya untuk menutup kontainer itu lagi.
JLENG!
Bunyi pintu kontainer yang kembali terkunci rapat.
*****
“Lima menit lagi.” ujar seorang awak kapal SDV—kapal selam mini yang diciptakan untuk mengantar pasukan khusus lewat kedalaman lautan—kepada Strad yang terlihat gugup.
Selain ketatnya pakaian selam, gugupnya misi pertama juga membuatnya semakin gelisah, ini semakin diperburuk ketika ia melihat stiker bertuliskan—DILARANG MEROKOK—dalam hal seperti ini, ia membutuhkan sebatang-dua batang rokok untuk menenangkan dirinya.
”—Gugup, Strad?—“ terdengar suara Komandan Piccard dari headset yang menggantung di telinga kirinya.
Strad langsung memencet tombol PTT-nya yang melingkar di lehernya, ”Yeah—Sangat, Komandan!..” jawabnya lantang dan kesal.
*****
Komandan Piccard terus memperhatikan layar LCD raksasa yang ada di depannya, radar menunjukkan SDV yang dilepaskan dari kapal MWS Red XIII—kapal selam kelas Costa De La Sol yang ditugaskan untuk mengantarkan Strad dan awak SDV—sedang berenang lamban ditengah-tengah cuaca buruk.
“—Bagaiman kondisi cuaca di wilayah sasaran?—” tanya Strad.
”Tetap buruk, Komandan. Menurut satelit cuaca, kecepatan angin menunjukkan angka 30 knot dengan ketinggian ombak lima sampai enam meter.” jawab Anne.
“—Lalu, dengan komunikasi radio Bandolier IV?—”
“Negatif, selama ini, tidak ada komunikasi yang mencurigakan. Mereka tetap terus berusaha untuk tidak melakukan komunikasi radio.” Jawab Anne.
“—Yeah, tentu, mereka tak mau lokasi mereka di laut lepas ketahuan. Lalu, bagaimana dengan kapal-kapal penjemput itu?—”
Anne memperhatikan radar maritim yang ada di depan matanya, empat segitiga ukuran sedang—sebagai tanda kalau itu adalah kapal perang tipe penjelajah—sedang berlayar menuju garis biru putus-putus—tanda perbatasan lautan lepas dengan Republik Pendudukan Esthar.
“Masih jauh dari perbatasan.”
“Kira-kira, kapan mereka sampai di perbatasan?” tanya Komandan Piccard sambil masuk ke dalam Ruang Komando dengan membawa secangkir kopi.
Benak Anne mulai berhitung cepat selama beberapa saat, “Errr.. Kira-kira dua sampai dua setengah jam lagi, Pak!” jawabnya.
Komandan Piccard mengangguk paham, ”Strad, kau dengar itu?” tanya Komandan Piccard sembari sedikit-sedikit menyeruput kopinya.
”—Yeah, diterima, Komando. Ini akan menjadi perjalanan yang lebih sulit dari yang kita rencanakan.—” jawab Strad yang menghela napas resahnya pada misi pertama.
Ruang Komando kembali hening.
“—Anu, Komando.—“ Strad mulai membuka pembicaraan lagi.
“Ya, Strad?” tanya Komandan Piccard.
“—Ngomong-ngomong. Sekilas aku mendengar suara wanita di sana?—“ tanya Strad dengan suara menggoda.
“Ah! Hampir saja aku lupa memperkenalkannya padamu, Strad!” jawab Komandan Piccard.
“Namaku, Anne, Strad!” sapa Anne, “—Aku adalah asisten Komandan Piccard selama misi ini berlangsung.”
“—Aku berharap aku bisa mengajakmu kencan ketika tugas ini selesai!—“ goda Strad.
Anne tersipu-sipu mendengar tawaran Strad, “Sayang sekali—Kelihatannya masih belum ada liburan untuk kita.” Tolak Anne.
“—Hmmm!.. Benar juga.—“ timpal Strad sambil menghela napas.
“Aku harap obrolan perkenalan kalian sudah selesai dan kembali fokus pada tugas kalian masing-masing!” tegur Komandan Piccard.
“—Uhg! Galak sekali!—“ keluh Strad, “—Senang berkenalan denganmu, Anne! Strad selesai.—“
Anne berusaha menahan tawa, “Ya, senang berkenalan denganmu—Strad.” Jawab Anne.
*****
Suara senapan MP5N menyalak keras dan bertubi-tubi, empat tentara Galbadia yang kejam dan bersenjata berhasil ia lumpuhkan dengan tembakan tepat di jantungnya, tubuh yang tergeletak itu jatuh terkapar seketika dengan tiga buah lubang di dada dan kepala mereka.
Tak ada waktu untuk memuji dirinya sendiri, waktu terus berputar cepat, dua menit lagi ia harus mengakhirinya, dengan lincah ia mengganti magazen amunisi sembilan milimeter senapan MP5N-nya dan mulai bergerak kembali menuju lokasi para pasukan Galbadia berada.
Strad terkejut bukan main ketika dua orang tentara Galbadia tiba-tiba muncul di depannya sembari menodongkan senjata mereka.
MP5N-nya mulai menyalak galak ke arah dua musuh yang tiba-tiba menyergapnya dari balik tembok di lorong depan, mereka pun tewas seketika dengan luka di kepala dan dada bagian atas.
Tiba-tiba tiga tentara Galbadia menyergapnya dari belakang, ia langsung berguling ke depan dan melepaskan tembakan, tak sempat mengarahkan pisir MP5N-nya—karena dua tentara Galbadia muncul di titik butanya, dengan cepat ia menjatuhkan dirinya dan mencabut pistol M1911A3-nya.
DAR! DAR! DAR! DAR!
Pistol M1911A3-nya menyalak galak, ia habiskan isi magazen pistolnya untuk membuat lubang-lubang di tiap kepala tentara Galbadia yang mencoba menyergapnya dari belakang itu.
Tiga Galbadia tergolek tak bernyawa dengan bagian-bagian vital yang penuh dengan lubang, Strad menarik napas lega, hampir saja tiga musuh yang keluar dari tempat yang ia duga, berhasil menghabisinya dari belakang.
TEEEEEEEETTT!!
*****
Bunyi bel terdengar panjang, pertanda latihannya sudah usai.
Strad menghembuskan napas lega dan menyeka dahinya yang penuh dengan keringat bercucuran itu sembari menyarungkan kembali pistolnya.
“—Baiklah, waktu selesai!.. Semua senjata dalam keadaan terkunci!—“ umum sang penjaga ruang latihan CQB.
”Akhirnya selesai juga...” gumamnya.
Ia pun mencopot alat pelindung telinga yang menempel di kedua lubang telinganya itu dan berjalan santai meninggalkan ruang kantor itu dengan para pasukan Galbadia—dalam bentuk kayu triplek dengan gambar yang jelek—tergeletak di atas lantai karpet kantor imitasi.
“Empat menit, duabelas koma enam tujuh delapan detik. Selamat! Rekor baru!” sambut Komandan Piccard sembari melemparkan handuk kering kepada Strad ketika baru masuk ke ruang istirahat.
Dengan sigap ia langsung menangkap handuk kering itu, ”Aku memang selalu hebat.” Jawab Strad jumawa sembari mengelap wajahnya yang penuh dengan keringat itu.
Komandan Piccard terkagum-kagum dengan kemampuannya, dengan beban sepuluh kilogram—rompi anti peluru tipe IIA, senapan semi-otomatis MP5N lengkap dengan amunisi cadangannya yang tertempel di dada rompi, pistol M1911A3 plus lima amunisi cadangan yang menempel di kantong paha kirinya—ia bisa mencetak rekor baru.
“Sekedar informasi—kau sudah memecahkan rekor menembak cepat antar angkatan.” Ujar Komandan Piccard.
“Kau memecahkan rekor menembak cepat seorang prajurit SOLDR berpangkat kapten.” Tambah penjaga Ruang CQB.
“Aku sendiri tidak terobsesi untuk memecahkan rekor tersebut!” jawab Strad enteng sembari membongkar amunisi cadangan yang masih tersisa ke atas meja yang penuh dengan tumpukan amunisi dari berbagai kaliber.
Seorang petugas ruang CQB langsung mencoret rekor lama—5: 20. 135, angka yang diciptakan oleh seorang Kapten dari Satuan SOLDR Angkatan Darat—dan menulis angka 5: 10. 678 dengan tulisan besar-besar.
”Rekor luar biasa, Nak!” puji petugas ruang CQB itu, “Siapa namamu, nak? Dari angkatan mana? Baru berkunjung pertama kali di sini—kau sudah memecahkan rekor.” tanyanya.
Strad dan Komandan Piccard saling bertatap mata.
“Maaf, Sersan. Kami tidak punya wewenang untuk menjawab pertanyaan tersebut.” Jawab Komandan Piccard.
Strad hanya mengangkat kedua bahunya, “Yang pasti aku adalah orang Rune-Midgard!”
Komandan Piccard memandangi arlojinya, tak ada waktu lagi untuk berbual lama, ia pun memandangi petugas jaga ruang CQB itu. ”Maaf, bisa tinggalkan kami sebentar?” pinta Komandan Piccard.
”Tentu, Pak!” jawabnya ramah, ia pun segera meninggalkan mereka berdua.
“Ngomong-ngomong—Sudah berapa tahu kita tidak bertemu, nak?” tanya Komandan Piccard.
Strad menerawang sambil mengelus-elus dagunya, “Dua tahun sepertinya!” jawabnya sambil memungut sebatang rokok marlboro menthol kesukaannya dari bungkusan 16 buahnya, dengan cepat ia menempelkan rokoknya ke bibirnya lalu menyalakannya dengan pemantik zippo kesayangannya itu.
Setelah merasa yakin si penjaga ruang CQB sudah benar-benar meninggalkan tempat itu, ia merogoh jaket kulitnya, sebuah amplop kuning dengan stempel negara dan tulisan—RAHASIA NEGARA—dan menaruhnya di atas meja kecil yang ada di depan sofa.
“Saatnya untuk menebus kesalahanmu yang lalu.” gumam Komandan Piccard.
Ia menarik asap rokok yang penuh dengan sumber penyakit mematikan itu ke dalam paru-parunya, dan menghembuskannya dengan penuh perasaan sembari menjatuhkan dirinya di atas sofa.
Strad memejamkan matanya menyandarkan kepala dan lehernya di atas kursi sofa yang empuk, ”Merokok sehabis latihan memang rasanya luar biasa—” ujarnya sembari membuka kedua matanya. “Well, misi perdanaku sebagai Strad apa?”
*****
Sebuah surat tugas, ketikan taklimat yang sarat dengan formalitas, dan foto-foto intelijen yang memperlihatkan sebuah kapal kargo, Strad memperhatikan foto-foto kapal itu dalam berbagai sudut pandang, pokoknya semuanya lengkap, Strad tertarik dengan tulisan yang ada di lambung kapal itu.
”BANDOLIER IV.” ejanya.
“Kapal itu sebenarnya adalah buruan MFB, kapal kargo itu sudah beberapa kali menyelundupkan prototipe hasil eksperimen Litbang Angkatan Bersenjata kita, penyelundupan itu melibatkan dua pejabat tinggi di badan itu yang main mata dengan Abwehr.” ujar Komandan Piccard membuka taklimat.
“Abwehr—”Strad menerawang, benaknya teringat dengan nama Dinas Intelijen Kekaisaran Galbadia—musuh bersama Junon dan Biro Keamanan Federal, alias MFB, “Kontraspionase, heh?” gumam Strad.
“Bandolier IV adalah kapal kargo yang masuk dalam kelas kapal sipil lima puluh ribu ton, kapal ini tercatat dibuat oleh galangan kapal Esthar, awalanya yang kita ketahui Bandolier IV hanya kapal barang yang sehari-harinya mendistirbusikan suku cadang industri, dan ternyata—mereka mempunyai pekerjaan sampingan, yaitu mencuri microdots-microdots berisi cetak biru dan beberapa prototipe yang mereka curi secara utuh.”
“Beberapa jam lagi mereka menangkap dua mata-mata sialan itu—aku berharap mereka berhasil meringkus mereka berdua. Sedangkan kita bertugas untuk memburu Bandolier IV yang dua jam lalu sudah meninggalkan Costa De La Sol.” lanjut Komandan Piccard.
Strad menghembuskan asap rokoknya, ”Lalu, kenapa mereka tidak mengejar Bandolier IV?” tanya Strad.
Komandan Piccard membuka berkas taklimat Strad menuju halaman yang ia cari. Dengan mantap jari telunjuk sang komandan menempel di sebuah foto citra lalu lintas laut.
”Junon sudah mengendus rencana keberangkatan Bandolier IV, sedangkan MFB belum, kalau mereka mengetahui keberadaan Bandolier IV, kapal itu sudah keburu keluar dari wilayah yurisdiksi MFB. Biarkan kita bagi-bagi tugas, mereka mengurus kedua mata-mata itu, sedangkan kita mengurus kapalnya.” jawab Komandan Piccard.
Sebelum melanjutkan taklimatnya, ia menunjukkan cuplikan rute pelarian Bandolier IV, dari Costa De La Sol menuju Pelabuhan Ramseille, tapi mereka mengambil lintasan agak ke selatan, waktu tempuh lebih jauh dari rute pelayaran Costa De La Sol dan Ramseille pada umumnya.
Rute bewarna pink itu akan melintasi perairan yang sedang dilanda badai besar, terlihat dari peta yang digabung dengan peta meteorologi.
“Bandolier IV berencana akan berlayar di perairan yang terkena badai untuk menghindari kejaran pesawat udara dan kapal, kalau mereka selamat dari upaya nekat ini, satu kapal perang milik Angkatan Laut Galbadia akan menjemput mereka.”
Kau akan menyusup ke dalam Bandolier IV dengan menggunakan kapal selam dan mengaramkan kapal kargo berbobot mati lima puluh ribu ton itu dengan bahan peledak yang sudah disediakan sebelum Bandolier IV dijemput kapal perang musuh.”
“Tunjukkan padaku rute keberangkatannya.” pinta Strad.
Komandan Piccard menunjukkan rute keberangkatan Strad, “Ini.” tunjuk Komandan Piccard kepada Strad—sebuah cuplikan peta yang terdiri dari tiga titik dan garis rute bertuliskan Maria AFB, MWS Magenta V, dan MWS Red XIII.
“Rute pertamamu adalah kau akan diantar ke Pangkalan Militer Maria, dengan menggunakan Sea Knight kau akan diantar ke kapal MWS Magenta V, dari Magenta V kau akan diantar menggunakan Seahawk menuju lokasi kapal selam Red XIII.”
“Red XIII akan mengantarmu dengan menyelam dan berenang ke posisi Bandolier IV, kau akan diluncurkan ke kapal kargo itu dengan menggunakan SDV untuk menambah kesenyapan tugas. Setelah kau menyelesaikan tugas di kapal nanti—Seahawk dari Magenta V akan menjemputmu.”
“Okay! Sekarang, apa tugasku di kapal ini?” tanya Strad yang mulai tertarik pada taklimat.
Komandan Piccard mencari-cari berkas yang berisi cetak biru kapal kargo Bandolier IV, dalam cetak biru itu, ada empat gambar kapal yang dalam denah kapal yang berbeda satu sama lain.
”Ini adalah cetak biru kapal itu, kapal itu memiliki empat tingkat lantai basement, tiap satu tingkat terdapat sepuluh blok, dari Blok 1-1 sampai Blok 1-10, Blok 2-1 sampai Blok 2-10, dan seterusnya.”
“Kau akan menanam empat bahan peledak di empat blok ini. Blok 1-5, Blok 2-6, Blok 3-1, dan Blok 4-9. Karena menurut ahli perkapalan kita,empat blok ini adalah titik lemah kapal kargo ini, dengan ledakan di empat blok di dalam kapal itu. Dalam hitungan menit ECS Bandolier IV dengan bobot mati lima puluh ribu ton itu akan karam seketika.”
“Ada yang harus kau waspadai. Kapal kargo ini dijaga ketat oleh pasukan Angkatan Laut Kekaisaran Galbadia yang menyamar menjadi anak buah kapal Bandolier IV, mereka pun dipersenjatai dan mereka tak akan ragu untuk menembang apa yang menghalangi mereka. —Tapi ada yang harus aku ingatkan kepadamu, Strad!”
Ia menunjukkan sebuah peta kontur permukaan dasar laut, ditengah-tengah garis rute pelayaran yang akan dilewati oleh Bandolier IV terdapat sebuah lubang raksasa bertuliskan—Palung Mariana.
“Kau harus menghancurkan kapal tersebut tepat di atas tempat ini!”
“Well—“ gumam Strad sambil mengorek lubang telinga kanannya, “Untuk menghilangkan jejak, eh?”
“Apa yang mereka curi adalah sesuatu yang sangat berbahaya apabila jatuh ke tangan Galbadia, maka dari itu pihak militer menginginkan prototipe curian itu tak akan bisa diambil kembali untuk selamanya.”
Sudah tak ada lagi sisa tembakau di rokoknya, dengan santainya ia membuang puntung rokoknya ke lantai dan menginjaknya, satu batang lagi ia cabut dari dalam bungkusnya dan menempelkannya ke bibir.
”Ngomong-ngomong—kenapa kita tidak langsung saja terang-terangan menghancurkan kapal itu? Dia kan melakukan pencurian rahasia negara dan berada di wilayah yurisdiksi kita, kan?” tanya Strad enteng.
“Pertanyaan yang bagus, Strad—Tapi kau tahu kode etik kita?” jawab Komandan Piccard.
Strad menyalakan rokoknya, ia sesap dalam-dalam dan menghembuskannya dengan cepat, “Kita tak punya wewenang untuk menjawabnya—Mengesalkan sekali, bahkan hanya sekedar obrol-obrol santai, eh!” gerutu Strad sambil menggaruk-garuk rambutnya yang gondrong dengan cepat.
“Yang harus kau pikirkan sekarang adalah apa rencana dan taktit tambahan dalam menjalankan misimu nanti dalam keadaan tetap utuh.” lanjut Komandan Piccard yang bangkit dari sofa, ”Setengah jam lagi jemputan akan datang. Ini tugas pertamamu setelah beberapa lama kau istirahat, jadi, bersiaplah sebaik mungkin.” Tutup Komandan Piccard sembari mengambil kembali berkas taklimat.
Strad tidak bangkit dari berleha-lehanya, membuat sikap sempurna sambil memberi hormat seperti prajurit kepada atasannya—ia hanya duduk sembari memandangi denah Bandolier IV sambil berkata, “Ya.” Dengan datarnya.
“Semoga beruntung!” lanjut Komandan Piccard sembari membuka pintu keluar ruang CQB.
*****
Strad sedang sibuk mempersiapkan apa yang akan ia bawa nanti dalam misi sabotase di gudang peralatan.
Untuk melindungi tubuhnya yang berbalut pakaian selam warna hitam keabu-abuan, ia mempercayakannya kepada rompi CIRAS Sea Version—rompi anti-peluru dengan bahan anti-air untuk mencegah berat rompi yang membengkak karena terendam air—konfigurasi amunisi MP5 dengan warna senada.
Untuk senjata utamanya, ia membawa senapan sub-otomatis dengan alat peredam bawaan MP5SD6 dengan menggunakan alat bantu bidik Aimpoint CompM2, tak hanya MP5SD6, senapan shotgun M870 tanpa popor jadi senjata utama keduanya—lengkap dengan delapan magasen MP5 dan sepuluh peluru kaliber 12 gauge.
Seperti biasa—pistol M1911A3 jadi senjata cadangan apabila senapan MP5SD6 dan M870 yang ia bawa sudah habis amunisinya—lengkap dengan lima magasen cadangan. Tak lupa juga ia membawa tali tambang khusus sepanjang dua puluh meter dan diujungnya terdapat kail baja khusus yang bisa dimasukkan ke dalam laras pistol M1911A3-nya.
Empat bahan peledak jenis—pasang saja dan ledakkan—ia jejalkan semua ke sebuah kantong kecil tambahan yang ia pasang di bagian punggung CIRAS-nya.
Peralatan menyelam pun ia persiapkan—kacamata selam, peralatan selam sistem sirkuit tertutup, dan alat pelampung darurat portabel sebesar buah zakar pria dewasa yang dipasang di pasang di selangkangan, apabila digunakan, bisa langsung mengembang membentuk rok mini yang mengembang dan mengapung dengan cepat ke permukaan.
Semua senjata Strad pasang dalam keadaan terkokang—tinggal mengubah kenop pengaman untuk membuat senjatanya siap untuk langsung meletus, ia pun menyesuaikan kembali bidikan senjatanya hingga mendapatkan bidikan yang akurat.
Setelah merasa bidikannya sudah benar-benar mantap, ia pun menurunkan senjatanya dengan wajah yakin.
Akhirnya yang selama ini ia tunggu—datang juga sekarang!
PUKUL 2200
SUATU TEMPAT DI SAMUDRA ESTHAR
PERAIRAN REPUBLIK RUNE-MIDGARD
WRRRRRRRR!!!
Bunyi deru rotor helikopter Seahawk milik Angkatan Laut Rune-Midgard yang membawanya ke titik koordinat yang ditentukan di salahsatu sudut luasnya Samudra Esthar, untuk terbang ke sana, helikopter Seahawk berkode Oceanbird harus menghabiskan dua dari empat tangki cadangan yang dicantelkan di sayap tambahan.
Sudah hampir setengah bungkus marlboro menthol Strad habiskan untuk melepaskan ketegangan selama perjalanannya—ia harus benar-benar merokok sampai merasa puas, karena setelah berada di kapal selam hingga misi selesai—ia tidak boleh merokok—benar-benar neraka untuk pecinta tembakau seperti Strad.
“Nah, itu dia!..” tunjuk awak Oceanbird kepada Strad.
Mereka berdua bisa melihat sebuah siluet kapal selam yang sedang berlayar di permukaan laut sore hari dengan laut yang cukup tenang, MWS Red XIII—yang merupakan salahsatu dari tiga belas kapal selam kelas Costa De La Sol, kapal selam serang terbesar milik armada Angkatan Laut Rune-Midgard.
Ketika Oceanbird makin mendekati MWS Red XIII, kapal selam serang terbesar itu makin nyata terlihat benar-benar besar.
Jauh di ujung kapal, terlihat sebuah kapal selam SDV yang menempel diatas badan kapal, persis seperti ikan remora yang terus menempel pada tubuh ikan paus biru raksasa—kapal selam mini itu akan jadi wahana transportasi untuk mengantarnya ke Bandolier IV nanti.
”Baru pertama kali aku melihat kelas Costa De La Sol dengan mata kepalaku sendiri.” Gumam Strad kagum.
“Yeah! Tiga Seahawk bisa parkir di atas punggungnya!” timpal awak helikopter, “—Dan kelihatannya sang kapten benar-benar ingin menunjukkannya!”
Dengan piawai sang pilot Oceanbird mendekatkan helikopternya sembari tetap menyesuaikan kecepatan berlayar MWS Red XIII, hanya dalam waktu satu menit, Oceanbird berhasil mendarat di punggung monster laut ini dengan selamat.
Sang awak helikopter bisa melihat sang co-pilot memberi tanda jempol kepadanya, “Kita sudah sampai—Saatnya kau turun!” ujar awak helikopter.
Strad pun mengangguk mengerti, “Terima kasih atas tumpangannya, kawan!” ujar Strad sembari keluar dari dalam kabin Oceanbird.
”Sama-sama, kawan! Semoga sukses.” jawab si awak helikopter itu.
Beberapa saat kemudian, Oceanbird melesat meninggalkan Strad bersama kapal selam hitam itu dengan kecepatan penuh, tak sampai satu menit, helikopter pengantarnya itu hilang di tengah cakrawala yang mulai gelap.
Ia pun berjalan dengan hati-hati menuju pintu masuk—ia tak mau menggagalkan misi yang akan ia laksanakan nanti karena jatuh terpeleset dan terjebur ke laut karena lambung kapal selam yang sangat licin itu.
Seorang awak kapal membukakan pintu untuknya, lengkap dengan jaket biru muda dan topi bergambarkan kapal selam kebanggaan mereka itu.
”Selamat datang di Red XIII, kawan!” sambut sang awak kapal selam itu ramah kepada pria berpakaian selam superketat itu.
”Terima kasih.” jawabnya dengan senyuman tak kalah lebar dari sang awak kapal selam itu sembari bergegas masuk ke pintu palka.
*****
Tiba-tiba kapal selam-mini yang mengantarnya oleng ke kiri, membuat dirinya yang sedang melamun itu tersentak kaget dan refleks memegangi dinding kapal.
”Whoa!—Ada apa ini, kapten??” tanya Strad panik.
”Tenang saja, hanya ombak besar lewat..” jawab sang kapten SDV dengan entengnya.
Yeah, hanya ombak besar gundulmu! Hampir saja goncangannya membuat jantungku copot!—Kutuknya dalam hati sembari memandangi asam sang kapten kapal dan co-pilotnya terlihat menikmati perjalanan ini seperti sepasang manula yang sedang pergi piknik.
Dengan hati-hati, kapal selam mini mendekati Bandolier IV yang berada lima puluh kaki di atas permukaan mereka yang juga sedang sibuk diombang-ambing ombak lautan.
Strad menghela napas panjang mencoba menenangkan diri setelah jantungnya berdegub kencang karena ombak besar yang tak sopan membangunkannya dari lamunan.
”Kepada Komando, disini Beaver, kami sudah sampai di titik peluncuran.” lapor kapten kapal selam mini itu sembari terus mempertahankan posisi kapal selamnya yang digoyang oleh ombak besar untuk tetap berada dekat dengan sasaran. “—Menyelam di tengah gelombang benar-benar—menantang.” Desisnya.
”—Disini Komando, diterima Beaver!.. Strad, kau dengar itu?—” tanya Komandan Piccard.
“Sangat jelas, Komando. Disini Strad, bersiap untuk meluncur ke sasaran.” jawab Strad.
Tanda perintah untuk berangkat sudah keluar dari mulut Komandan Piccard alias Komando, ia pun dengan kesulitan mencoba berdiri dari tempat duduknya.
Ia memeriksa kembali peralatannya—termasuk tali tambang sintetis yang melilit pinggangnya itu, setelah yakin semuanya beres dan terikat dengan kencang, ia pun bergegas masuk ke dalam sebuah ruangan sempit sebesar tubuh orang dewasa plus peralatan selamnya.
”Sudah siap, kawan?” tanya seorang awak kapal selam sembari mengedipkan matanya.
Strad menghela napas panjang, “Cepat keluarkan aku dari sini.” Jawabnya.
Setelah Strad duduk di ruangan kecil yang hanya mampu menampung empat orang—berjejalan, awak kapal menutup palka ruangan kecil itu serapat mungkin agar air laut yang akan menyembur masuk ke dalam ruangan kecil itu tidak merembes ke dalam ruang kendali.
Strad segera memasang kacamata selamnya yang tebal dan membuka keran selang oksigen yang sudah ia masukkan ke dalam mulutnya, ia bisa merasakan aliran segar masuk ke dalam paru-parunya.
Tanpa ragu sang kapten memencet tombol pintu peluncuran, beberapa saat kemudian, langit-langit di ruangan peluncur itu menyembur keluar seiring pintu-pintu kecil di sekitar langit-langit dibuka, indikator ruang peluncur sudah menunjukkan ruangan kecil itu sudah sepenuhnya diisi air, dan awak SDV itu membuka pintu peluncuran.
Terdengar suara gumaman di atas kepalanya, dengan cepat Strad mengayuhkan tangan dan kakinya untuk keluar dari SDV, tak kusangka berenang di gelombang sebesar ini lebih menyulitkan—gumamnya dalam hati.
Ia bisa merasakan kalau tubuhnya dari samping terasa bergeser sedikit demi sedikit, ke kiri dan ke kanan karena terbawa arus, namun ia terus berusaha mengayuh kedua kakinya yang bersepatu katak menuju ke permukaan secepat mungkin.
Akhirnya, setelah hampir sepuluh menit berenang sekuat tenaga ke permukaan, ia sampai di permukaan laut, ia bisa melihat gelombang pasang lautan yang mengombang-ambingkan dirinya di dalam laut terlihat bergolak tinggi-tinggi, gemuruh hujan badai disertai terjangan petir menyambutnya.
Ia bisa melihat Bandolier IV yang luarbiasa besarnya itu, terombang-ambing dan dihantam deburan ombak oleh ganasnya cuaca buruk di Samudra Esthar, lampu-lampu Bandolier IV pun terlihat remang-remang karena pendeknya jarak pandang, tak disangka, monster sebesar Bandolier IV, bisa nyaris tak berdaya seperti kapal kertas di tengah kolam renang.
Ia langsung menyelam dan berenang mendekati Bandolier IV sekuat tenaga, mencari celah yang bisa ia jadikan tempat untuk didaki.
*****
Sedangkan di dalam kapal, sang kapten kapal terus mengawasi kondisi kapal raksasanya itu. Ia bisa bernapas lega, walau dihajar oleh ombak besar, Bandolier IV masih tetap berlayar sesuai dengan jalurnya dengan menggunakan sistem GPS.
Setelah beberapa lama meninggalkan rekannya untuk menghubungi kapal penjemput serta memantau sadapan komunikasi radio, sang wakil nahkoda kembali ke anjungan kendali kapal.
”Bagaimana dengan kapal kita?” tanya sang wakil.
”Sesuai dengan jalurnya, kau tidak perlu khawatir..” jawab nahkoda enteng sembari menyandarkan punggunya di kursi.
Sekarang giliran sang nahkoda yang bertanya, ”Lalu—Bagaimana dengan jemputan kita?”
“Sebentar lagi mereka sudah sampai di titik pertemuan.” Jawab sang wakil.
“Bagaimana dengan sonar?” tanya sang nahkoda.
Sang wakil menggelengkan kepalanya. ”Tak ada yang perlu dikhawatirkan—hanya rombongan ikan sarden dan batu karang.” jawab sang wakil nahkoda yakin.
Sang nahkoda berpikir sejenak, ia merasa ragu, “Ngomong-ngomong, apa iya militer mereka tidak bertindak sedikit pun?” tanya nahkoda curiga.
Wakilnya tersenyum sinis, “Mereka tak akan mau mengorbankan kapal perang mereka di tengah badai seperti ini!” ejeknya.
Mereka berdua pun tertawa lepas, menikmati sekali ejekannya kepada militer Rune-Midgard selagi bisa.
*****
“Satu jam lagi Bandolier IV akan memasuki palung, Pak!” lapor Anne.
“Masih ada waktu, Sersan.” Desis Komandan Piccard sambil memandangi terus layar monitor—Sebuah segitiga bertuliskan Bandolier IV sedang bergerak pelan bersiap menyebrangi Palung Mariana, sebelum memasuki wilayah lautan Esthar.
*****
Kejamnya ombak itu tak menciutkan nyali dan usahanya untuk sampai ke kapal, karena berenang di tengah ombak tinggi dan ganas—serta dingin—sudah menjadi santapan sehari-hari ketika dia dilatih.
Akhirnya ia berhasil juga mendekati Bandolier IV, ia pun segera mencabut pistol M1911A3-nya dan memasang alat pengait—yang menghubungi tali tambang yang ada di pinggangnya—pada ujung larasnya, ia membidik pistol yang terkenal tahan gerusan air garam itu ke pagar buritan kapal—Namun ia tak terburu-buru untuk langsung melepaskan tembakannya, ia menunggu gelombang yang mengganggu bidikannya itu mulai tenang.
Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya timing-nya datang juga, ia pun langsung menekan picu pistol M1911A3-nya dengan mantap.
Dengan cepat pengait kecil terbuat dari metal titanium yang kokoh itu meluncur cepat menuju sela-sela pagar buritan kapal seiring dengan suara letusan kecil yang keluar dari ujung laras.
Kait titanium yang berbentuk seperti cakar elang itu mengait sela-sela pagar pembatas, Strad pun mencoba memastikannya terkait dengan sekali menghentak, lalu ia kembali menghentaknya untuk kedua dan ketiga kalinya.
Setelah mantap dan yakin, ia langsung mendekati lambung kapal, setelah cukup dekat dengan lambung kapal, Strad bergegas memasang harness khusus berpengunci—dimana harness tersebut akan meluncur lancar apabila Strad bergerak mendaki, namun akan otomatis menahan kuat apabila Strad terjatuh.
Setelah kuda-kudanya dirasa sudah cukup mantap, ia mulai memanjat ke buritan belakang kapal dengan cepat, harness berpenguncinya berderit-derit seiring Strad yang terus berjalan menuju buritan kapal.
*****
Di ruang komando, Komandan Piccard memperhatikan Strad yang masih berusaha sampai di buritan lewat kamera satelit dengan citra infra-merah.
“—Komando. Aku butuh kondisi di sekitar buritan kapal!—“ pinta Strad.
“Sebentar.” Jawab Anne sambil memperhatikan pergerakan musuh yang ada di lantai teratas kapal tersebut, “Ada lima orang penjaga—tapi posisi mereka masih jauh dari posisimu!” jawab Anne.
”—Roger, Anne! Terima kasih!—“ jawab Strad ramah.
“Lalu, berapa lama lagi Bandolier IV sampai di palung?” tanya Komandan Piccard.
“Bandolier IV sudah berada di daerah palung—Kita hanya punya waktu dua jam untuk mengaramkannya dari sekarang!” jawab Anne.
“Strad! Kau hanya punya waktu dua jam dari sekarang untuk bisa mengaramkan Bandolier IV!”
“—Roger, Komando.—“
*****
Akhirnya Strad sampai juga di buritan belakang kapal—yang minim alat penerangan, lampu yang ada pun hanya bersinar remang-remang, ia mengawasi kiri dan kanan dirinya sembari menodongkan pistolnya yang telanjang tak berperedam.
Aman, tak ada yang datang ke tempatnya, penyusupannya berhasil.
Ia langsung membuka kacamata renang dan alat selam yang menggantung di dadanya lalu langsung membuang semuanya ke lautan untuk menghilangkan jejak.
Sebelum beraksi, sejenak ia melakukan inspeksi senjata secara kilat untuk senapan MP5SD6 dan M1014-nya, untuk memastikan tidak ada masalah pada senjata yang ia bawa, ia mencabut magasen, menahan kokangan berada di posisi belakang untuk bisa melihat isi laras, setelah terlihat kosong, ia kembali mengisi kedua senjatanya dengan peluru dan mengokangnya kembali.
”Di sini Strad, aku sudah berada di atas kapal. Aku akan bergegas menuju tujuan!” lapor Strad yang dengan suara diturunkan.
“—Roger, kami akan membantumu dari atas!—“
*****
“—Musuh. Satu orang. Posisi dua puluh meter di depanmu.—“
“Roger. Sasaran terdeteksi.” jawab Strad pelan sembari memperhatikan ABK dengan bersenjatakan G3 sedang melakukan patroli di sekitarnya dengan memakai jas hujan bewarna kuning norak untuk melindungi tubuhnya dari deburan ombak dan derasnya hujan.
Dengan lincah Strad berhasil melintasinya tanpa diketahui oleh sang ABK.
Strad berjalan mengendap-endap meneruskan penyusupannya itu dengan matanya terus memandang ke titik merah bidikan Aimpoint senapan MP5SD6-nya dan telunjuk menempel di picu senapannya.
“—Susuri dek kontainer di depanmu, jalan lurus terus lewati lima perempatan dan kau akan menemukan jalan masuk ke dalam lambung kapal.—“
“Roger.”
Strad memasuki dan menyusuri dek tengah kapal yang bak lorong labirin bertembokkan tumpukan kontainer kapal di sekitarnya, lebarnya pun tak seberapa, hanya muat dua orang dewasa—benar-benar seperti tempat latihan CQB yang pernah ia sambangi selama ini.
“—Tahan! Ada dua orang dari arah kanan berjalan ke arahmu!—“
Terdengar ada orang yang sedang mengobrol di dekatnya, kira-kira lima meter di balik sudut lorong di depannya, dengan cepat Strad bergegas mengambil jalan memutar untuk menghindari dua penjaga itu.
*****
Anne terus memandangi lekat-lekat layar monitor, menanti kedua penjaga yang sedang berpatroli itu sudah cukup jauh meninggalkan posisi Strad.
“Aman! Strad, kau bisa melanjutkan perjalananmu!”
“—Roger—“ jawab Strad yang terlihat mulai kembali bergerak menyusuri labirin kontainer dek tengah.
*****
Akhirnya Strad sampai di jalan masuk ke dalam lambung kapal, ia langsung menghubungi Komando, “Komando. Aku masuk ke dalam kapal.” Lapor Strad.
”—Roger, Strad. Untuk informasi, kami tidak bisa menjadi kedua matamu ketika berada di dalam kapal—berhati-hatilah!—“
“Roger, Komando. Strad selesai.”
Dengan hati-hati, ia menuruni tangga besi menuju perut kapal yang disinari oleh ribuan lampu ber-watt kecil lambung kapal, ketika berada di ujung jalan, ia dihadapi oleh pertigaan jalan dengan plang bertuliskan—
BLOK 1-1 S/D BLOK 1-5 ke arah kanan.
BLOK 1-6 S/D BLOK 1-10 ke arah kiri.
Sesuai dengan petunjuk yang ada di depan matanya, ia menuju misi pertamanya, menuju Blok 1-5.
”Strad menuju Blok 1-5.” lapor Strad dengan suara berbisik.
”—Roger, berhati-hatilah, Nak!—“ ujar Komandan Piccard mewanti-wanti.
Ia bergerak dengan hati-hati menuju Blok 1-5—blok satu sampai blok delapan adalah ruangan-ruangan penyimpanan kontainer-kontainer kapal yang dimasukkan ke dalam lambung kapal yang disusun berblok-blok untuk memudahkan pengaturannya dalam masalah penyimpanan selama perjalanan.
Lantai-lantai yang membentang di seisi kapal yang terbuat baja berongga-rongga membuat seseorang yang berjalan biasa akan mengeluarkan suara berdenting dan menggema di sepanjang lorong yang dipenuhi oleh pipa-pipa saluran air minum, pembuangan, dan pemanas yang terbuat dari baja.
Strad berusaha menyusuri jalan menuju Blok 1-5 dengan berjalan kucing—berjalan satu jalur dengan kaki sedikit dijinjitkan, plus dengan sepatu boot selam yang terbuat dari karet semi-keras, hasilnya—langkahnya mengeluarkan suara berdetik-detik, walau tidak bisa menghilangkan suara dengan sempurna, setidaknya, langkah Strad mengurangi perhatian bagi yang mendengarnya.
Strad terkejut ketika ia melihat sosok seorang penjaga sedang membelakanginya—dan bergerak berbalik ke arahnya.
Penjaga itu berbalik ke belakang, matanya ia picingkan karena minimnya penerangan, “Huh! Hanya perasaanku saja!” seloroh dirinya sembari mengusap-usap tengkuknya.
Untung saja penjaga itu tidak memandang ke arah lantai, kalau iya, ia akan menemukan Strad sedang tiarap dengan posisi siap menembak dirinya.
Tadi nyaris saja!—gumam Strad lega dalam hati menghela napas lega, ia kembali berjalan menuju Blok 1-5 secepatnya setelah penjaga bersenjatakan MP5A5 itu sudah dirasa jauh dari tempatnya ia bersembunyi.
*****
Akhirnya ia sampai di tujuan pertamanya, Blok 1-5.
”Komando, disini Strad. Aku sudah berada di Blok 1-5.” lapornya dengan suara berbisik.
”—Di sini Komando, letakkan bahan peledak di tempat itu, terserah mau dimana, yang penting jangan sampai mudah ditemukan oleh musuh!—“ ujar Komandan Piccard.
Dengan cepat ia membuka resleting kantong bahan peledaknya, memulai tugas menyabotase Bandolier IV.
TIT!—Bunyi alat detonator sinyal pararel yang sudah diaktifkan, bahan peledak pertama sudah dipasang di sela-sela kontainer hingga sulit untuk ditemukan dan juga sulit dijangkau tangan.
“Blok 1-5, sudah.” lapor Strad.
”—Bagus, sekarang yang kedua adalah Blok 2-6. Tetap waspada, Strad!—“ ujar Komandan Piccard.
Ia pun mulai melaksanakan improvisasi yang ia rencanakan sebelum misi dimulai, dengan cepat ia bergerak menuju tiang pondasi lambung kapal dan turun ke lantai selanjutnya dengan cara memanjati jaringan pipa yang ada.
Setelah sampai di lantai 2, hanya butuh berjalan sebentar, ia sudah sampai di lokasi tumpukan kontainer dengan plang bertuliskan—BLOK 2-6, ia sudah berhasil memotong waktu yang dibutuhkan.
”—Strad! Satu jam lagi kapal ini akan melewati palung!—”
“Roger.”
Ia langsung bergegas memasang bahan pedelak kedua tepat berada di sampingnya ia berdiri, sesuai dengan—Improvisasi Blok 1-5.
”Blok 2-6, sudah. Melanjutkan ke Blok 3-1”
Strad bergegas menuju tempat selanjutnya, Blok 3-1, ia melakukan cara yang sama, tapi ada yang mulai mengganggu dirinya—suara dengungan jaringan pendingin ruangan yang semakin ia menuruni lantai makin terdengar jelas.
Ia harus lebih ekstra waspada untuk bisa mencium keberadaan para penjaga bersenjata yang berkeliaran di sekitarnya, karena ia tak akan bisa mendengar suara dentingan langkah-langkah mereka.
Ia berhasil memasang bahan peledak di Blok 3-1, namun, ia tidak bisa melakukannya secepat ketika ia memasang kedua bahan peledak sebelumnya—ia harus sedikit berlama-lama untuk memastikan tidak ada penjaga yang ada di sekitar blok tersebut.
Ia melanjutkan perjalanan terakhirnya.
Selain suara dengungan mesin yang makin terdengar berisik, hawa di blok paling bawah dari dingin berangsur-angsur mulai menghangat—dan makin panas, lantai terbawah ternyata adalah daerah jaringan pipa pemanas.
*****
Komandan Piccard pun bisa mendengar berisiknya dengungan suara mesin sistem pendingin ruangan Bandolier IV dari speaker-speaker yang tergantung di setiap sudut Ruang Komando.
”Strad, kau bisa mendengarku?” tanya Komandan Piccard resah.
”—Bisa.Tapi tidak terlalu jelas!—“ jawab Strad dengan suara agak keras.
”Strad! Kau cuma punya waktu setengah jam untuk keluar dari sana, selesaikan dengan cepat!!” tanya Komandan Piccard dengan suara keras.
”—Diterima dengan jelas, Komando.—“jawab Strad.
Sudah berkali-kali Komandan Piccard memandangi arlojinya dengan wajah resah, ia tak sabar untuk mendengar laporan kalau anakbuahnya itu berhasil menyelesaikan tugasnya sebelum waktu habis.
”Sersan, bagaimana kondisi cuaca di sekitar Palung Mariana?” tanya sang komandan.
”Badai bergerak meninggalkan Bandolier IV. Kecepatan angin sudah mulai menurun, dan ketinggian gelombang pasang juga tidak terlalu tinggi lagi—badai sudah mulai reda, Pak!” jawab Anne.
“Lalu bagaimana dengan kecepatan berlayar Bandolier IV?”
“Bandolier IV mulai berlayar lebih cepat, ini dari efek cuaca buruk yang sudah mulai mereda, Pak!”
Komandan Piccard semakin resah ketika mendengar laporan dari Anne, kecepatan berlayar Bandolier IV semakin bertambah—setelah tak bisa berlayar dengan cepat karena dihalangi gelombang pasang yang berlawanan arus, Bandolier IV akan lebih cepat melewati Palung Mariana—misi pun terancam gagal.
“Strad! Bandolier IV mulai berlayar lebih cepat meninggalkan palung karena badai mulai berangsur reda—selesaikan misimu lebih cepat lagi!” desak Komandan Piccard.
”Segera hubungi Magenta V untuk segera bersiap melaksanakan Rencana B.” komando Komandan Piccard.
Rencana B—Helikopter Seahawk bergerak mendekati Bandolier IV untuk menjemput Strad ketika ia berhasil menyelesaikan misinya.
“Tapi komandan, apakah secepat ini kita harus mengirim mereka?” tanya Anne ragu.
”Segera laksanakan, Sersan!” desak Komandan Piccard.
“B—Baik!” jawab Anne ketakutan, ia langsung menghubungi kapten kapal Magenta V.
*****
Beberapa menit kemudian—setelah mendapatkan perintah berangkat dari Komando—awak helikopter SH-60 Seahawk dengan kode sandi Walrus langsung bergegas menuju kendaraan kesayangan mereka.
Dua buah rudal anti-kapal harpoon dicantelkan di kedua pahanya—kedua rudal harpoon itu akan ditembakkan apabila sang pilot mendapatkan perintah langsung dari sang kapten kapal, ini dilakukan apabila Strad gagal dalam misinya mengaramkan Bandolier IV.
*****
”Kenapa kita harus bergegas lebih cepat dari yang direncanakan?” tanya sang ko-pilot yang sedang sibuk mengutak-atik instrumen disekitarnya.
”Tak ada pertanyaan—yang ada kita harus segera berangkat.” jawab sang pilot sembari menyalakan mesin helikopter dan mengaktifkan perangkat navigasinya.
Mesin helikopter mulai menyala seiring dengan dengungan suara yang makin terdengar nyari di dalam kabin, beberapa menit kemudian rotor helikopter mulai berputar perlahan-lahan, sedangkan baling-baling ekornya mulai berputar kencang.
Tiga awak helikopter yang datang belakangan, bergegas masuk ke dalam kabin helikopter dan menuju posisi mereka masing-masing, dua orang merapat ke senapan mesin ringan M60 yang masing-masing bertengger di sisi kiri dan kanan helikopter, sedangkan yang ketiga membawa senapan M16A3 dengan teropong bidik untuk bantuan tembak akurat.
*****
Para ABK melepaskan tali pengekang yang mengikat ketiga roda kokoh Walrus—yang digunakan untuk mencegah sang helikopter bernilai puluhan juta gil yang mangkal di atas dek kapal, lari dari posisinya dan nyemplung ke samudra karena hembusan angin laut atau ombak lautan.
Seorang marshaller memberikan isyarat tangan kepada kedua pilot, kalau mereka harus memberi isyarat siap untuk terbang kepada sang marshaller sebelum berangkat.
*****
Sang pilot menyetel frekuensi radio dimana Komandan Piccard berada, Setelah menyetel di frekuensi yang ditentukan, sang pilot langsung melapor, ”Kepada Komando, disini Warlus, kami sedang dalam perjalanan menuju sasaran!” lapor sang pilot.
“—Disini Komando, diterima Warlus—!” jawab Komandan Piccard.
“Semua sistem berjalan dengan normal, kapten—kita siap untuk berangkat!” lapor sang co-pilot.
“Ayo kita berangkat!!” ujar awak helikopter sembari menggenggam erat senapan M16A3-nya itu tak sabar.
*****
Setelah seluruh awak kapal berhamburan meninggalkan Walrus di jarak aman, marshaller memberikan isyarat tangan mempersilahkan Walrus untuk terbang setelah kedua pilot mengacungkan jempol untuk siap berangkat.
WRRRRRR!!
Hanya dalam waktu lima detik saja, Walrus sudah meninggalkan dek MWS Magenta V.
*****
”Emmm.. Ada masalah, kapal perang Galbadia sedang berlayar mendekati perbatasan.” lapor sang co-pilot ketika melihat radar IFF—radar pesawat tempur yang memiliki kemampuan membedakan mana kawan-mana lawan.
“Apa jenis kapal perang itu?” tanya sang pilot.
“Emmm, Vogel, kapal frigat ringan, benar-benar masalah besar.” Jawab sang pilot.
“Yow, apakah kita tidak akan ditembaki oleh empat kapal itu nantinya, kalau kita terlalu dekat dengan mereka?” tanya si M16A3 resah.
“Tergantung, kawan—sebenarnya, negara kita dengan negara mereka tidak berperang sehingga tak akan menyerang kita kalau kita masih berada di wilayah perairan kita sendiri—tapi entahlah, aku berharap tangan mereka tak gatal.” Jawab sang co-pilot.
Semua awak helikopter bersandi Warlus itu hanya bisa berharap kalau mereka masih bisa berangkat dan pulang dalam keadaan utuh, sembari menikmati goncangan-goncangan turbulen ekor badai yang mereka lewati, sedangkan sang pilot terus memacu helikopternya dengan kecepatan penuh, naik-turun, naik-turun dengan menghentak-hentak seperti memaksakan mobil sedan mewah untuk ngebut di jalanan rusak.
*****
Beberapa mil di wilayah perairan Esthar, empat kapal penjemput itu berlayar dengan kecepatan sedang karena tetap harus hati-hati mengarungi arus samudra yang masih kurang bersahabat.
Sang kapten dari empat kapal perang itu sedang memperhatikan cakrawala yang ada di depannya yang masih kurang jarak pandangnya karena kencangnya hujan di sekitar garis perbatasan.
Beberapa saat kemudian, terlihat cahaya-cahaya kecil yang bersinar remang-remang di tengah samudra yang berkabut—itu lampu kapal Bandolier IV.
”Apakah itu kapalnya?” tanya sang wakil kapten sembari membenarkan tudung jas hujannya yang bewarna hitam.
”Aye! Tidak salah lagi!..” gumam sang kapten yang bisa melihat tulisan—Bandolier IV—di haluan kapal raksasa itu dari teropongnya, “Perintahkan kepada seluruh kapal untuk bersiap-siap melakukan manuver penjemputan!” komando sang kapten kapal.
*****
“Pak, kapal perang Galbadia sudah berada di garis perbatasan. Posisi mereka berada di dekat Bandolier IV dengan jarak dua puluh mil!” lapor Anne.
Komandan Piccard memandangi layar monitor, ” Anne, kapan Bandolier IV akan sampai di wilayah Esthar?” tanya Komandan Piccard.
“Dengan kecepatan berlayar yang dimiliki Bandolier IV, maka mereka akan sampai setengah jam lagi, Pak!” jawab Anne.
“Bagaimana dengan Bandolier IV?”
“Lebih-kurang—dengan kecepatan sebesar itu—lima belas menit lagi!”
“Bagaimana dengan Walrus?”
“Dua puluh menit lagi sampai ke posisi Bandolier IV!”
Komandan Piccard langsung menghubungi Strad, ”Strad, disini Komando. Waktumu tinggal lima belas menit lagi, selesaikan tugasmu dan segera pergi dari kapal itu dan ledakkan kapal itu secepatnya!”
*****
“Roger, Komando.” jawab Strad yang sedang melaksanakan tugas akhirnya, yaitu memasang bahan peledak di Blok terakhir, Blok 4-9.
Dengan hati-hati ia menurunkan badannya sembari tak lupa mengawasi sekitarnya, setelah aman, ia langsung segera meninggalkan tali tambang hitam itu, karena nanti ia akan keluar dari lambung kapal dengan menaiki tangga.
Sekarang tinggal mencari posisi yang enak untuk menanamkan bahan peledak terakhir di Blok 4-9.
Sial baginya—ketika ia mau melintasi perempatan lorong menuju Blok 4-9, ia melihat seorang penjaga bersenjatakan G3 memandanginya dengan tatapan terkejut.
Sial!—umpatnya, ia pun langsung bergegas lari menuju kegelapan Blok 4-9.
“Siapa itu?!” labrak sang penjaga sembari menodongkan senapan G3-nya ke arah lorong depan yang gelap.
Strad pun melepaskan tembakan MP5SD6-nya ke arah penjaga itu, beberapa peluru menerjang seluruh tubuhnya, sedangkan sisanya meleset dan memantul di lorong sehingga menimbulkan suara dentingan yang keras.
Dua rekannya yang tak jauh berada di posisinya berada, mendengar suara berisik itu, tanpa banyak tanya, mereka langsung saja bergegas menuju lorong dimana suara itu berasal.
Strad bisa mendengar jelas suara dentingan lantai besi terdengar bersahut-sahutan, berarti ada banyak orang yang mendengar suara rikoset pelurunya itu, ia pun bergegas menghilang.
Dua orang penjaga sampai di lorong dimana asal suara mencurigakan itu berada, namun ketika mereka datang ke sana, tak ada apa pun yang mencurigakan, semuanya kosong, tak ada apa-apa, mereka masih kebingungan, mempertanyakan pendengaran mereka yang terlalu tajam.
“Sial! Padahal aku mendengar suara ribut-ribut di sini!” kutuknya atas keraguan dirinya kepada rekannya yang melongok-longok ke sepanjang lorong sempit dan penuh dengan pipa uap.
Sedangkan di ujung lorong, Strad sedang bersembunyi di balik sudut lorong, menyimak pembicaraan kedua ABK yang masih kebingungan itu sembari terus menggenggam erat senjatanya dan memandangi jasad yang ia seret ke tempat persembunyiannya.
“Hanya perasaan saja.” gumam seorang ABK sembari meninggalkan tempat itu, telinga Strad yang tertutup tudung selamnya itu bisa mendengar mereka berjalan meninggalkan tempat kejadian perkara itu dengan tenang.
Setelah lama menunggu agak lama, ia pun memberanikan diri untuk melihat lorong itu, mencoba meyakini kalau dua penjaga itu benar-benar meninggalkan tempat itu, positif kosong, Strad menghela napas lega—hampir saja!
“—Strad, kau sudah mulai kehabisan waktu! Segera selesaikan tugasmu! —“ desak Komandan Piccard yang semakin resah melihat posisi Bandolier IV mulai keluar dari mulut palung.
Untung saja suara Komandan Piccard yang lantang marah-marah itu hanya terdengar di telinganya saja, ia langsung bergegas memasang bom terakhir sebelum segera meninggalkan kapal itu.
”Blok 4-9 sudah!” lapor Strad sembari bergegas pergi dari tempat itu.
”Dan segera pergi dari tempat itu!!” desak Komandan Piccard.
Ia pun bergegas meninggalkan Blok 4-9 menuju dek atas, keluar dari dek utama yang gelap dan pengab itu, loncat dari atas kapal, berenang agak jauh dari kapal dan menyalakan detonator bahan peledak, dan—BUM!—Misinya berhasil.
Namun pikirannya itu langsung buyar ketika ia memergoki seorang penjaga yang luput dari pengawasannya itu sedang melaporkan mayat orang yang ia habisi itu, lewat radio.
“Kepada seluruh ABK! Ada penyusup! Semuanya waspada!” umum ABK itu lewat saluran terbuka radionya.
Tak ada jalan lain!—Desak Strad kepada dirinya sendiri sembari membidik MP5SD6-nya.
Penjaga itu tersentak ketika memergoki Strad membidiknya, mengarahkan senjatanya dengan panik, namun, Strad terlalu cepat untuknya, terasa dua kali hantaman keras menembus dadanya dan satu lagi menghantam tepat di dahinya.
*****
“Ada penyusup yang masuk ke kapal kita, Kapten!!” lapor seorang kru nahkoda yang mendapatkan laporan kilat itu kepada sang kapten kapal.
“Ba—Bagaimana bisa??” tanya sang nahkoda tak percaya.
“Segera nyalakan alaram tanda bahaya!!” desak wakilnya.
Kru nahkoda yang diperintahkan langsung memencet alaram tanda bahaya untuk memperingatkan seisi awak kapal yang masih belum menyadari keberadaan tikus got yang sempat berhasil menyusup dan menghabisi beberapa rekannya tanpa ketahuan—juga nyaris kabur tanpa ketahuan.
*****
“Pak, keberadaan Strad sudah diketahui musuh!” lapor Anne yang menyadap komunikasi radio di Bandolier IV.
“Strad, segera bawa bokong sialanmu itu keluar dari kapal itu!!” desak Komandan Piccard kesal.
*****
Suara alaram terdengar menggema hingga kapal perang Galbadia yang akan menjemput Bandolier IV.
“Suara dari mana itu?!” tanya kapten kapal bingung mencari asal suara.
“Sepertinya dari Bandolier IV, Kapten!” jawab wakilnya.
*****
Para penjaga bersenjata yang ada di Bandolier IV bergegas merangsek masuk ke lambung kapal dengan persenjataan masing-masing—sedangkan beberapa lagi dari mereka mencoba membarikade semua pintu keluar maupun masuk lambung kapal.
”Segera cari dan habisi dia!!” pekik seorang penjaga.
*****
“—Strad. Awas! Ada empat orang penjaga bersenjata bergerak ke arahmu dari depan!—“
Langkah Strad terhenti sejenak ketika melihat empat orang penjaga bersenjata merangsek masuk ke dalam lorong keluar lambung kapal, ia langsung segera membidik mereka dan melepaskan tembakan.
Belum sempat menembak, mereka berempat harus menyingkir dan berlindung di balik sudut-sudut lorong, ketika Strad sedang berlindung di balik sudut lorong dan mengganti magasen MP5SD6-nya, mereka memberanikan diri dari tempat berlindung dan melepaskan tembakan.
“Komando—berapa lama lagi aku punya waktu untuk lari dari kapal ini?!” tanya Strad sembari merunduk—berharap pantulan-pantulan peluru yang ditembakkan oleh para penjaga tidak mengenai kepalanya.
“—Sepuluh menit lagi kapal akan melewati palung!—” lapor Anne yang tidak bisa menyembunyikan kepanikannya.
“Kalau aku harus memaksakan diri keluar dari jalan depan—sama saja dengan membuang-buang waktu!” desisnya.
Pandangannya teralih ke sebuah jendela lorong—ia punya ide untuk meloloskan diri dari kepungan, ia menyelempangkan MP5SD6-nya dan meraih M1014-nya, tanpa ragu ia membidik dan menembakkan senapan shotgun semi-otomatis itu ke jendela yang tebalnya hingga lima puluh sentimeter itu hingga pecah.
*****
“Ia kabur lewat samping!” tunjuk seorang penjaga yang memergoki Strad yang kabur lewat jendela yang ia pecahkan kepada rekan-rekannya.
“—Strad! Kau tidak punya banyak waktu lagi!—“
Pelarian Strad masih jauh—pinggiran dek atas masih jauh dari yang ia kira—dan masih dijaga oleh para penjaga bersenjata yang tak ingin dirinya meloncat ke laut dalam keadaan hidup-hidup.
Tak ada jalan lain—ia mencari tempat berlindung, meraih alat pemicu detonator yang ada di kantong dada kanannya, dan tanpa ragu membuka pengamannya dan memencet picunya.
KLIK!
DUMMM!!
Bunyi dentuman memekakkan telinga mencuat dari dek kargo utama Bandolier IV, sang nahkoda dan wakilnya terpelanting karena ledakan itu langsung membuat kapal oleng ke kanan tiba-tiba, semua manusia yang ada dan barang-barang yang ada di anjungan berjatuhan dan terguling ke arah kanan kapal dengan cepat.
*****
Sang pilot Walrus terkejut ketika melihat ada kilatan cahaya terang yang keluar dan disusul bola api plus asap pekat membumbung ke udara dari lambung kanan Bandolier IV, daya ledakan keempat bahan peledak yang dihasilkan sampai bisa menggetarkan seisi helikopter dan menggoyangnya.
“Ya ampun, apa itu?!” tanya seorang awak helikopter sembari menunjuk ke arah bola api raksasa yang membumbung di udara.
”Kapal sialan itu meledak!” jawab pilot helikopter.
*****
“Komandan, kapal berhasil diledakkan! Bandolier IV berhasil meledak di posisi kawasan Palung Mariana!” lapor Anne.
“Kau berhasil, Strad!”
Namun tak ada jawaban dari Strad, pikiran yang tidak-tidak mulai muncul di bendak Komandan Piccard dan Anne.
“Strad, kau bisa mendengarku?!”
Masih tidak ada jawaban dari Strad.
“Si keparat itu meledakkan dirinya sendiri!” desis Komandan Piccard khawatir.
*****
Sang kapten kapal dan wakilnya terkejut ketika melihat api besar membumbung di udara sembari mengeluarkan asap hitam pekat dari Bandolier IV dan disusul dengan suara dentuman keras yang memecahkan kesunyian dan kegelapan malam di perbatasan itu.
”Apa yang terjadi?!” tanya sang kapten kapal bingung.
Wakilnya hanya bisa terdiam memandangi bola api dan asap hitam pekat membumbung tinggi di udara, menerangi gelapnya samudra, dari dalam lambung Bandolier IV yang mulai ditelan lautan.
“Bandolier IV meledak, Pak!” jawab wakilnya yang tak kalah terpananya melihat Bandolier IV meledak.
*****
“—Strad! Jawab sekarang juga!!—”
Strad membuka matanya lebar-lebar, setelah beberapa saat tidak sadarkan diri karena kepalanya terantuk dinding kapal, ia mencoba untuk segera bangkit dan berdiri menyesuaikan lantai yang ia injak yang mulai condong ke kanan.
“Sialan! Aku masih hidup ternyata!—“ ucapnya lega.
“—Strad! Kau tak apa-apa??!—“ suara Komandan Piccard menusuk gendang telinganya, membuatnya tersadar kalau ia masih di medan tugas.
Terdengar suara tawa dari frekuensi radio, ”—Whoa, hampir saja!.. Aku tidak apa-apa, komandan!—” jawab Strad yang sedang mentertawakan maut yang luput menerkamnya.
*****
Komandan Piccard menghelan napas lega sejenak, “Strad. Dimana kau sekarang?!” tanyanya yang masih tak bisa menahan kekhawatirannya itu.
“—Aku sudah berada di dek atas kapal—Whoaa!!“ Strad berteriak ketika Bandolier IV makin kencang menukik ke dalamnya samudra.
*****
Strad bisa melihat Walrus terbang di atas kepalanya, helikopter seahawk itu sedang terbang satu kali putaran.
“—Strad. Di sini Walrus, kami yang akan menjemputmu. Di mana posisimu sekarang?!—“ panggil pilot Walrus.
“Di sini Strad. Aku berada di dek tengah. Aku akan mencoba menuju haluan kapal—tunggu saja di sana!” jawab Strad sembari berusaha bisa berjalan menuju haluan kapal yang makin jelas terlihat di pandangannya.
“—Roger, Strad!—“
Strad bisa melihat Walrus mulai banting setir dan bergegas terbang ke haluan kapal, sedangkan dirinya berusaha berlari untuk bisa menuju haluan kapal yang lama kelamaan makin terasa terjal.
“Hey! Itu orangnya!” tunjuk seorang penjaga yang memergoki Strad.
Sambutan tembakan pun berdatangan dengan gencarnya, Strad langsung berusaha menghindari tembakan dengan berusaha berlari ke balik tumpukan kontainer sembari melepaskan tembakan asal-asalan dengan pistolnya.
*****
“Dia dalam masalah—Kapt! Putar helikopter ke arah kanan sepuluh derajat!” pinta awak sniper kepada sang pilot.
Sang pilot mengamini permintaan awaknya, supaya awak helikopternya bisa membalas tembakan para penjaga kapal dari udara.
*****
Strad langsung menyesuaikan pijakannya yang makin tegak lurus, tumpukan kontainer yang menjadi tempat ia berlindung jadi tempat ia berdiri, Strad bisa melihat para penjaga banyak yang jatuh ke dalam laut karena terlalu fokus memburunya, sedangkan sisanya bergelatungan di tiang-tiang sekitar.
“—Strad, kami sudah berada di posisi!—“
“Roger, Walrus! Aku sekarang tinggal berusaha untuk bisa ke sana!” jawab Strad sembari tetap berusaha menempelkan punggungnya lekat-lekat ke dek kapal yang sekarang beralih menjadi dinding kapal.
Tumpukan kontainer yang ada di atasnya mulai meringkih, kabel-kabel baja yang menggulung mereka mulai tak kuat menahan gaya gravitasi dan beratnya tumpukan kontainer, beberapa tumpukan kontainer berjatuhan karena beberapa kabel baja akhirnya terputus.
Strad yang sedang sibuk berjalan kepiting menuju pagar dek kapal tersentak ketika melihat tumpukan kontainer yang ada di atas kepalanya berjatuhan.
Tak mau bernasib jadi rempeyek, ia langsung berlari secepat mungkin menuju pagar kapal terdekat, suara gedombrangan kontainer yang berjatuhan semakin terdengar jelas di belakangya.
“Aku belum mau mati sekarang!!” pekiknya sembari mengeluarkan segala kekuatannya yang tersisa untuk meloncat ke arah pagar.
Akhirnya Strad bisa meraih pagar kapal dengan tepat waktu, ia hanya bisa menghembuskan napas lega ketika melihat tumpukan kontainer berjatuhan dan menghantam apa yang ada di bawahnya tanpa ampun.
Tak perlu berpikir lama, Strad langsung memanjati pagar menuju haluan kapal yang ada di atasnya secepat mungkin—karena ia merasa Bandolier IV sudah mulai dimakan Palung Mariana.
*****
“Kapten, ada helikopter yang mendekati Bandolier IV!” lapor seorang operator radar kapal kepada sang kapten kapal penjemput.
“Helikopter apa?” tanya sang wakil kapten kapal.
“Helikopter SH-60, milik Angkatan Laut Rune-Midgard, Pak!” jawabnya mantap.
Sang wakil kapten kapal tersentak ketika mendengar jawaban dari operatornya, ledakan keras di Bandolier IV pasti ada hubungannya dengan helikopter milik Angkatan Laut Rune-Midgard itu.
“Siapkan rudal anti-pesawat, tembak jatuh helikopter itu!” titah sang wakil.
“Jangan!” tolak sang kapten kapal. “Jangan tembak helikopter itu, kita hanya diperintahkan untuk menjemput Bandolier IV—bukan membuat masalah yang lebih besar lagi!” tegur sang kapten kapal.
“Kalau tidak—segala rencana kita akan ketahuan!” jawab sang wakil.
Sang kapten kapal terdiam beberapa saat, “Jangan ganggu helikopter itu, bawa kapal ke tempat Bandolier IV dengan kecepatan penuh untuk evakuasi!”
“Aye, Kapten!” jawab sang wakil.
*****
”Itu dia!—Tak ada waktu lagi, turunkan talinya!” desak sang pilot.
Awak helikopter dengan sigap langsung melemparkan tali tambang hitam ke arah Strad yang berdiri tepat di bawah mereka, tapi Bandolier IV yang tenggelam tegak lurus tiba-tiba berubah miring tajam membuat posisi Strad menjauh dari tali tambang yang ia coba raih.
“Geser ke kanan!” desak awak helikopter.
Warlus menggeser ke kanan dengan perlahan menyesuaikan tali itu ke posisi Strad, Strad juga sedang berusaha menjulur-julurkan tangannya untuk meraih tali itu, namun tali itu tak kunjung berada di dekatnya.
”Agak ke samping lagi!!” ujar seorang awak helikopter yang memperhatikan posisi tali yang masih jauh dari dimana Strad berada.
Keadaan tak diduga, sebuah ledakan susulan menambah kekacauan di Bandolier IV, karena ledakan susulan itu, kapal raksasa itu dengan cepatnya tenggelam masuk ke dalam Palung Mariana—tak ada waktu lagi, Strad harus mengambil langkah nekat.
Dengan sigap Strad langsung meloncat ke arah tali yang teruntai agak dekat darinya, ia bisa melihat tali tambang di tengah-tengah kedua tangannya—sembari menahan napas, berharap ia berhasil meraihnya.
Strad berhasil meraih tali tambang itu, tubuhnya bergelantungan kesana-kemari karena hentakan antara tubuhnya dan tali tambang yang diulurkan Walrus.
*****
”Paket sudah berhasil meraihnya!” ujar sang awak helikopter itu.
Sang pilot tersenyum lega ketika mendengarnya, ”Baiklah, segera tarik tali itu, kita segera pergi dari sini.” ujar sang pilot sembari membawa helikopternya menjauh dari lokasi kejadian.
Sedangkan Strad memandangi tenggelamnya kapal raksasa itu sembari berusaha untuk tetap berpegangan dengan tali helikopter yang bergoyang-goyang seperti seutas benang tipis yang ditiup-tiup.
*****
“Huaah!!...” erang Strad lega, ia langsung menjatuhkan tubuhnya ke lantai kabin Walrus, ia memejamkan matanya sejenak dan mengatur napasnya yang dari tadi terus dibuat tak beraturan.
”Komando, disini Warlus. Paket sudah berada bersama kami! Sekali lagi—Paket sudah berada bersama kami.” lapor sang pilot.
*****
Komandan Piccard memejamkan matanya sejenak, ganjalan yang berisi rasa khawatir dan rasa takut seketika melepaskan belengguan di hatinya, lalu mengambil sapu tangan untuk mengusap keringat dingin yang terus bercucuran selama misi berlangsung, ”Bagus, bawa paket sialan itu sampai ke tujuannya!” jawab Komandan Piccard lega.
*****
Strad memandangi sekoci-sekoci yang ada di bawahnya, mereka tak menembaki helikopter, hanya memandangi helikopter itu dengan keadaan syok dan basah kuyup, pertanyaan pun muncul di benaknya.
“Komando, disini Strad.” Panggilnya.
“—Disini Komando, ada apa, Strad?—” tanya Komando yang terdengar santai itu.
“Bagaimana dengan awak-awak kapal yang selamat, yang sekarang berada di sekoci-sekoci ini?” tanya Strad.
“—Kapal perang mereka sedang dalam perjalanan kesana.—” Jawab Komando.
“Hey! Lalu bagaimana nanti ke depannya?!” tanya Strad tak mengerti.
“—Paling nanti akan menjadi insiden—tahu sama tahu—antara kedua pemerintah yang terlibat.”
Strad tertawa kecil ketika mendengarnya, ”Politik memang rumit—Roger, Komando.”
“Misi yang menegangkan, heh?” tanya awak helikopter.
Strad tersenyum lebar, ia merogoh kantong CIRAS Sea Version-nya, mengambil sebatang rokok kesukaannya dan membakarnya, asap rokok mengepul di dalam kabin helikopter, Strad menariknya dalam-dalam dan menghembuskan asap rokoknya dengan ringannya—melepaskan tekanan tugas yang hampir merenggut nyawanya.
”Ya.. Untuk sebuah misi pertama... ”seloroh Strad enteng.
Akhirnya ia bisa merokok juga, sudah dari ia berada di dalam kapal selam ia ingin merokok, namun baru kesampaian ketika berada di helikopter, nikmat benar rasanya ketika rokok kesukaannya menempel di bibirnya.
Ia melambaikan tangan kepada kapal perang Galbadia yang mulai merapat di iring-iringan sekoci awak kapal Bandolier IV yang berhasil menyelamatkan diri.
”Bon Voyage!...” ujar Strad sembari tersenyum lebar.
=== TASK FORCE : STRAD EPISODE TIGA SELESAI ===