Kamis, 20 Januari 2011

THE STRADS (EPISODE DUA)

Waktu yang dijanjikan oleh Nikolai pun tiba, di tengah remang-remangnya lampu penerangan desa, Lonant berjalan hati-hati menyusuri jalan tersebut, setelah baru saja diperintah Nikolai untuk memanggil tamu agung para pemberontak itu untuk ikut berkumpul di markas rahasia mereka.

Seorang anggota pemberontak yang bertugas berjaga-jaga di luar rumah langsung menyapanya ketika Lonant datang.

“Bagaimana?” tanya Lonant.

Anggota pemberontak itu tersenyum mengerti, “Ah—Kelihatannya ia begitu nyenyak tidurnya.” Jawabnya dengan nada bercanda.

“Bisa-bisanya ia bisa tidur senyenyak itu dalam keadaan seperti ini—Akan kubangunkan dia!” seloroh Lonant sembari bergegas masuk ke dalam rumah dan menuju kamar Strad yang berada di lantai atas.

Pihak sekutu meremehkan para pemberontak, buktinya adalah, hanya mengirimkan satu orang prajurit—Desas-desus yang berhembus dari mulut para pemberontak begitu cepat meracuni Lonant, ia pun juga ikut merasa tidak simpatik dengan terhadap keberadaan Strad, ketidaksimpatikannya itu ia salurkan dengan langsung membuka pintu kamar dengan agak sedikit mendobrak.

Lonant berharap caranya ia membuka pintu bisa membuatnya melihat Strad yang langsung terbangun dengan wajah masih mengantuk bercampur gelagapan, setelah beberapa jam enak-enakan mengigau dalam mimpi.

Namun harapan emosionalnya berhenti spontan seiring dengan langkahnya yang terhenti—ia sudah disodori moncong pistol M1911A3-nya Strad, jari telunjuknya juga sudah seluruhnya memeluk pelatuk—tinggal meremas sedikit saja.

Lonant menguasai dirinya lagi, ia menghela napas dan menelan ludahnya sejenak, “Bersiap-siaplah, kita akan berangkat untuk menyelamatkan orangmu malam ini!” ujar Lonant gagap.

Strad langsung bangkit dari tidurnya, menyarungkan kembali pistolnya, meraih dan memanggul kembali tas ranselnya, dan langsung berjalan meninggalkan Lonant.

“Tu—tunggu!” susul Lonant.

=== THE STRADS : EPISODE DUA, DIMULAI ===

Lonant berusaha mengingat-ingat kembali kejadian tadi, ia melukiskan kejadian tersebut dengan alur kronologis yang lebih lambat dan jelas, karena apa yang terjadi begitu cepat, ia sedikit meragukan ingatannya di bagian—ketika membuka pintu ia masih melihat Strad masih tidur di atas ranjang.

Namun, ketika ia mengedipkan matanya, ia sudah melihat Strad sudah menodongkan pistolnya dalam keadaan terjaga walaupun Strad menodongnya dalam keadaan tiduran—membuatnya ragu, tapi ia berusaha menampik keraguannya, ia yakin kalau itu memang kejadian yang sebenarnya.

Akhirnya ia merasa yakin kalau apa yang dilakukan Strad memang benar-benar bukan ilusi kepanikannya, keyakinan apa yang ia alami tadi membuat munculnya rasa yakin dan percaya kalau Strad bukan orang sembarangan—dan pihak sekutu tidak mempermainkan dirinya dan para pemberontak lainnya.

”Hey, kawan! Tadi kau melakukannya cepat sekali! Bagaimana caranya untuk mempelajari teknik seperti itu?!” tanya Lonant dengan nada memuji.

Namun Strad tak menggubrisnya, ia hanya terus berjalan memunggungi Lonant.

”Hanya orang yang sangat terlatih yang bisa melakukan hal seperti itu!” lanjutnya.

Lagi-lagi, tak ada jawaban dari si manusia es itu, tapi rasa kagum yang muncul itu masih bisa mengalahkan kedongkolannya atas arogansi Strad.

”Itu dia tempatnya!” tunjuk Lonant.

Strad mengalihkan pandangannya, melihat siluet sebuah lumbung gandum yang bersembunyi malu-malu di tengah rimbunnya hutan kecil yang terkena sinar rembulan.

*****

Lonant mengantar Strad ke salahsatu ruangan di lumbung gandum kolektif milik masyarakat setempat, di dalam ruangan tersebut ada empat orang warga yang masih sibuk menggiling bulir-bulir gandum.

Strad terdiam beberapa saat, memandangi Lonant dan empat orang warga penuh curiga, karena apa yang ia lihat hanya sebuah ruangan tertutup penuh dengan ampas-ampas gandum dan empat orang yang bergelagat mencurigakan, Lonant bisa melihat tangan kanan Strad yang secepat angin itu sudah menyentuh gagang pistolnya.

“Tenang, kawan! Mereka adalah para penjaga pintu masuk!” ujar Lonant meyakinkan.

Keempat penjaga yang menyamar sebagai penduduk setempat mengangguk penuh arti, memberikan isyarat kalau mereka bukan musuh dari Strad.

“Kau yakin tidak ada yang mengikuti kalian?” tanya salahseorang penjaga.

“Tidak ada!” jawab Lonant mantap.

Tatapan tajam Strad akhirnya sedikit memudar, ia mulai kembali tenang, walau Lonant bisa melihat kalau kawannya dari negri sebrang itu masih terlihat tidak mempercayainya—dari tangan kanannya yang masih menyentuh speed holster-nya.

Seorang penjaga mengacak-acak tumpukan ampas gandum seperti seekor ayam yang sedang mencari makan, terdengar bunyi derat engsel pintu yang terbuat dari kayu lapuk—ternyata sebuah pintu rahasia yang sedang dicari.

“Jalan ini menghubungi ke tempat persembunyian kami! Ayo, ikut aku!” ajak Lonant kepada Strad.

*****

Sedangkan di Ruang Komando, Komandan Piccard hanya bisa duduk menyimak pembicaraan antara Strad dan Lonant lewat peralatan penyadap suara canggih.

”Strad masuk ke dalam persembunyian pemberontak.” lapor Anne. ”—Pak, apa yang harus kita lakukan? Apa hanya terus-terusan memantau seperti ini tanpa menghubungi Strad?” tanya Anne.

Komandan Piccard yang selama berjam-jam hanya memantau pergerakan Strad dari langit hanya menjawab ”Serahkan semuanya padanya, dia tahu apa yang harus ia lakukan!”

*****

Strad dan Lonant harus bersusah-payah menyurusi lorong bawah tanah yang hanya memiliki lebar satu setengah badan orang dewasa itu, terpaksa mereka berdua harus berjalan sedikit menyerong untuk bisa mendapatkan ruang gerak yang lebih baik.

Hawa lorong bawah tanah itu juga terasa pengap, walau ada hembusan udara yang terasa di dalam lorong sempit itu, tapi terasa pelit berhembus, membuat orang yang tak biasa lalu-lalang di tempat ini jadi sulit bernapas.

Jalan pun sedikit sulit, karena harus berjalan dengan genangan air setinggi mata kaki orang dewasa sepanjang terowongan sempit, sepertinya genangan air tersebut sengaja dibuat, sebagai tanda peringatan kalau ada yang datang berkunjung.

Semakin dalam lorong bawah tanah mereka susuri, semakin terdengar suara-suara manusia sayup-sayup—berarti semakin dekat dengan markas rahasia para pemberontak.

Tiba-tiba dari arah depan datang sorot lampu senter kepada Lonant dan Strad dengan cepat, disusul beserta suara senjata yang dikokang dua kali, reflek, Strad mencabut pistol berperedamnya.

Lonant pun secara spontan memasang bahasa tubuh melerai. ”Tenang! Ini aku—Lonant!” jawab Lonant yang mencoba menenangkan suasana yang tiba-tiba memanas itu.

Beberapa saat kemudian sorot lampu senter itu meninggalkan wajah mereka berdua, ternyata sorot lampu itu berasal dari dua orang penjaga markas rahasia yang bersembunyi di cerukan sebesar empat orang dewasa, Strad bisa melihat para penjaga itu bersenjata lengkap, walau tak begitu terlihat jelas karena pencayahaan yang kurang memadai.

”Komandan sudah menunggu kalian.” ujar salahseorang dari penjaga.

Mereka harus menyusuri empat tikungan sempit sebelum akhirnya sampai di tempat persembunyian puluhan pemberontak untuk berkumpul sembari mengobrol satu sama lain, melakukan taklimat, bagi-bagi logistik persenjataan, dan lain sebagainya.

Di tempat persembunyian jauh lebih baik, selain hawa cukup segar dan terasa lapang—walau masih terasa pengap karena banyaknya orang di tempat itu—luasnya ruangan itu terasa lega dan memiliki pecahayaan yang bagus, itu karena belasan lampu petromak digantungkan di setiap sudut ruangan dengan jarak yang tak jauh dari lampu satu dengan lampu yang lain.

Tumpukan kotak amunisi, baik dari kotak yang terbuat dari seng murahan sampai kotak kayu, hasil rampasan perang dari berbagai jenis senjata dan kaliber—dengan cap lambang Angkatan Bersenjata Kekaisaran Galbadia—terlihat menggunung di pojok ruangan bersama senjata-senjata yang berderet rapi dari berbagai jenis.

Beberapa anggota pemberontak yang melihat kehadiran Strad, memandangi si manusia es ini dengan wajah tidak simpatik—dengan penuh curiga—atau bahkan meremehkan, mungkin karena akibat desas-desus di antara mereka tentang meragukan kemampuan si pejuang tunggal.

Mereka berdua bisa melihat Nikolai bersama komandan pemberontak dari desa lain, mereka sedang menyusun strategi dalam penyerbuan malam ini, Lonant langsung menghampiri Nikolai, dan Strad pun menyusulnya dari belakang.

“Komandan.” Sapa Lonant.

Nikolai pun seketika menghentikan pembicaraannya langsung menyambut Strad yang ada di depan matanya—dengan tatapan dinginnya memandangi Nikolai.

”Selamat datang, Tuan Strad!” sambut Nikolai ramah.

“Kapan kita berangkat?” tanya Strad tak tanggung-tanggung.

Nikolai tersenyum ramah kembali—sedangkan para komandan pemberontak desa lain tertawa, ”Kita harus menyusun strategi untuk menyelamatkan kawanmu terlebih dahulu.” ujar Nikolai.

”Apakah ini tamu agung dari pihak sekutu yang—satu-satunya dikirim?! Benar-benar khas tentara sekutu—penuh semangat yang tak terkendali!” tanya Komandan Desa Utara dengan nada sedikit mengejek.

“—Atau sering disebut dengan kata terburu-buru!” timpal Komandan Desa Barat.

Komandan pemberontak Desa Barat memandangi Strad dari ujung rambutnya yang ditutupi bandana hingga ujung kaki yang ditutupi sepatu boot—ia masih muda, “Kuharap kau sudah siap mati kesepian, Nak!” ujarnya yang disambut tawa oleh para komandan desa tetangga.

Tiba-tiba Komandan dari Desa Selatan mulai membuat ulah—dengan berkacak pinggang dan berpandangan meremehkan ia mendekati Strad dengan posisi berhadap-hadapan, antara hidung satu dengan hidung lainnya hanya sehasta.

Nikolai menghela napas melihat gelagat rekannya yang terkenal sombong dan meremehkan orang-orang yang baru ia kenal, “Sudahlah!” pinta Nikolai sedikit kesal.

Namun Komandan Desa Selatan memberikan isyarat—jangan ganggu urusanku dengannya!

Semua mata yang ada di markas rahasia itu tertuju kepada Komandan Desa Selatan dan Strad.

“Mohon maaf apabila saya lancang! Sejujurnya—Aku sedikit meragukan kemampuanmu, kawan! Orang-orang di sini banyak yang meragukanmu, mereka—bukan—kami, merasakan kalau atasan-atasan yang mengutusmu ke sini bermain-main dengan kesepakatan yang antara kami dan mereka buat sebelum kau datang!”

“Anda bertanya kepada orang yang salah, Pak.” Jawab Strad.

Lonant sontak membela Strad, “Ya! Dia tidak perlu diragukan lagi—Aku sudah membuktikannya kalau dia bukan lelucon!”

“Kalau begitu—buktikanlah kepada kami semua!” jawab Komandan Desa Selatan dengan nada menantang.

Seorang pemberontak yang hanya menonton adegan drama ini tiba-tiba ada yang angkat bicara mengiyakan perkataan Komandan Desa Selatan, seorang lagi ikut mengiyakan, disusul satu-dua-tiga orang lagi.

“Tunjukkan kemampuanmu!” tantang seorang pemberontak.

“Mana kemampuanmu?! Kami tidak mau mati untuk orang yang diragukan!” timpal seorang lagi yang diamini oleh sebagian besar pemberontak.

“Tunjukkan! Atau kau urus kawanmu di sana sendirian!”

Keadaan semakin runyam, Nikolai hanya bisa berkacak pinggang dan memandangi para pemberontak yang makin beringas dengan wajah masam dan khawatir.

Strad tak menanggapinya, ia berdiri kokoh tak bergeming—seperti bongkahan gunung es raksasa di tengah-tengah kobaran kebakaran hutan.

*****

Sedangkan di Ruang Komando, Komandan Piccard mengerenyitkan dahinya ketika mendengar keadaan semakin tak terkendali.

“Bagaimana ini, Pak?” tanya Anne resah.

Komandan Piccard hanya berdiam diri.

*****

Strad langsung memencet tombol PTT radionya, “Komando, di sini Strad.”

“—Akhirnya kau menghubungi kami juga—Merindukan kami, kah?—“ jawab Komandan Piccard dengan gurauan satir.

“Ijin melakukan operasi penyelamatan sendiri, Pak.”

“—Negatif, Strad. Terlalu beresiko melakukannya sendirian!—“

“Apa yang harus aku lakukan?”

“—Layani apa yang mereka inginkan!—“

*****

“Apa kata atasanmu?” tanya Komandan Desa Selatan.

“Aku akan lakukan apa yang kalian minta. Dengan syarat hanya satu kali saja. Aku tidak mau membuang-buang waktu.” Jawab Strad.

“Pegang ucapanku!” jawab Komandan Desa Selatan senang, ia menyuruh salahsatu pemberontak untuk menyerahkan pistol G 18 miliknya kepada sang komandan, ia pun mencabut pistol G 18 miliknya sendiri, ia pun langsung melolosi setiap bagian kedua pistol tersebut di atas meja yang ada, “Kita bermain cepat-cepatan menembak!”

Strad terdiam beberapa saat, “Kau serius?” tanya Strad.

“Sekarang kau meragukanku??” balas Komandan Desa Selatan.

Strad langsung berdiri di sampingnya, “Baiklah.” Jawab Strad.

Komandan Desa Selatan itu tersenyum senang ketika tantangannya dijawab Strad, “Kau! Beri aba-aba!” tunjuknya ke seorang pemberontak yang ikut-ikutan tegang dalam konflik dirinya dengan tamu agung kiriman sekutu.

Komandan Desa Selatan sudah memasang kuda-kuda untuk bersiap mengerahkan segala kecepatan tangannya untuk merakit kembali pistol di depannya.

“Bersiap!” teriak sang wasit.

Namun ada yang membuatnya terganggu—Strad tidak membuat gerakan kuda-kuda apa pun, ia hanya berdiri santai, berkacak pinggang, memandangi peretelan bagian pistol itu seperti makanan sehari-hari baginya.

“MULAI!”

Teriakan, sorak-sorai, dan siulan pun langsung pecah di dalam markas rahasia, ada yang meneriakkan dukungannya terhadap salahsatunya, ada juga yang mengejek kepada salahsatu kontestan.

Ketika Komandan Desa Selatan itu langsung menyerang peretelan tersebut, ia terkejut bukan main ketika Strad malah menghampiri dirinya dan melepaskan bogem mentah ke ulu hatinya, kontan ia pun langsung meringkuk kesakitan.

Setelah yakin lawan tak berdaya karena pukulannya, ia baru langsung segera merakit pistol Glock 18 itu dengan cepat namun tenang, Komandan Desa Selatan baru menyadari kalau pukulan ke ulu hati itu adalah salahsatu strategi Strad, ia langsung bergegas berdiri dan cepat-cepat merakit dengan menahan rasa sakit.

Strad tak perlu sibuk-sibuk memasukkan sebutir peluru ke dalam magasen pistol, hanya dengan memasukkannya langsung ke dalam ruang tembak dan menodongkannya langsung ke kepala Komandan Desa Selatan itu—ia sudah berhasil menaklukkan lawannya yang masih sibuk memasukkan peluru ke dalam magasen.

Keadaan pun jadi hening—tak ada seorang pun bicara—mereka tertegun dengan kemampuan Strad.

Nikolai tersenyum puas, ”Baiklah, bagaimana kalau kita lanjutkan kembali penyusunan strateginya?”

*****

PUKUL 2300 WAKTU SETEMPAT

LIMA KILOMETER SEBELAH TIMUR DARI PRIMEA-MURKOVII

“Satu jam? Apa itu cukup?” tanya Nikolai ragu.

”Cukup.” jawab Strad.

“Bagaimana kalau lebih dari satu jam?” tanya Nikolai lagi.

“Segera bawa mundur para pemberontak lainnya.” Jawab Strad.

“Heh! Mudah-mudahan perkataanmu ini bukan karena setelah berhasil mempermalukan Komandan Desa Selatan.” Seloroh Nikolai.

Tak ada jawaban dari Strad.

*****

“Kalau diingat-ingat dengan usulan strategi anda, Tuan Strad—” ujar Nikolai kepada Strad yang terus berjalan tanpa henti, dengan kedatangannya menggenggam erat senapan M4RIS-nya itu, ”Berarti ini adalah pertemuan terakhir kita?” tanya Nikolai.

Strad memalingkan wajahnya ke Nikolai yang berjalan beriringan dengannya, ”Ya.” jawab Strad singkat.

Nikolai menghela napas panjang, ”Sayang sekali, padahal saya ingin berbincang-bincang lebih lama dengan anda.” ujarnya kecewa.

Namun Strad tak menggubrisnya, ia terus berjalan, tak perduli dengan apa yang dikecewakan Nikolai.

Sedangkan di barisan belakang, Lonant sedang membicarakan pengalamannya dengan Strad kepada rekan-rekannya. ”Kemampuannya benar-benar mengerikan!.. Ia seperti melakukannya dengan hanya dalam waktu sejentik jari!” Seloroh Lonant.

”Maksudmu?” tanya Visier tak paham.

”Awalnya aku ingin membuatnya jatuh dari tempat tidur dengan mendobrak pintu dan berharap bisa berkata—Ayo bangun! Dasar malas! Namun baru saja aku mendobrak pintu, ia sudah dalam keadaaan segar-bugar dan menodongkan pistolnya!” jawab Lonant sembari memanggul senapan G3-nya itu.

“Maksudmu, dia menodongkan pistolnya kepadamu?” tanya Johan lugu.

Lonant menggelengkan kepala, ”Bukan begitu.. Aku pikir itu adalah kewaspadaannya saja. Dia-dia—Dia seperti bisa mengetahui aku akan mendobrak pintu tersebut di alam bawah sadarnya!” jawab Lonant yang disambut tawa rekan-rekannya.

Lonant mengerutkan dahinya, ”Kalian meragukan kesaksianku, heh?!” tanya Lonant ketus.

Visier akhirnya selesai mengkhayalkan kejadian yang dialami Lonant, ”Secepat itu, kah?”

Lonant bisa melihat wajah ragu rekannya itu, Lonant tersenyum kecut, ”Yeah, seharusnya kalian harus mencobanya biar yakin!” jawab Lonant.

”Yang tidak bisa kubayangkan adalah, bagaimana ia bisa mengendalikan dirinya dalam keadaan secepat itu?” tanya Johan yang juga selesai membayangkan kejadian tersebut.

”Maksudmu?” tanya Lonant.

Visier mengangguk setuju, pikiran Johan sama dengan pikirannya, ”Ya. Ada kemungkinan langsung tertembak olehnya.. Namun dengan keadaan secepat itu ia bisa mengendalikan telunjuknya ketika yang datang adalah kau. Luar biasa.” ujar Visier menimpali.

”Ya, seperti yang aku bilang!.. Karena kejadian itulah. Aku mulai mempercayai kemampuan orang itu. Dan komandan mereka akhirnya yang kena batunya karena meragukan orang itu!” seloroh Lonant sembari memandangi para pemberontak desa selatan yang gusar.

PRIMEA-MURKOVII

PUKUL 0130 WAKTU SETEMPAT

Nikolai terlihat begitu resah, ia khawatir kalau apa yang dilakukan oleh kawan sekutunya itu gagal, arloji yang melingkari pergelangan tangan kanan Nikolai sudah menunjukkan pukul 0130.

”Jam berapa?” tanya Visier yang masih sibuk mengawasi kota kecil seluas 20 hektar itu dengan teropong malamnya, teropong malam hasil rampasan seorang perwira Galbadia yang minggu lalu jadi korban menyergapan Nikolai dan anakbuahnya.

”Setengah dua pagi.” jawab Nikolai sambil memijat-mijat bibirnya.

Nikolai memandangi para pemberontak yang—masuk dalam timnya—bersembunyi di semak-semak, mereka terlihat gelisah, tak sabar untuk segera beraksi, mata Lonant pun terlihat sedang mengeluh tak sabar untuk bisa langsung beraksi.

”Dia lama sekali, Komandan..” gerutu Lonant.

“Kerjaan seorang pasukan elit memang begitu.” jawab Nikolai tersenyum.

”Bagaimana dengan tim-tim yang lain?” tanya Nikolai lagi.

”Mereka sudah siap dari tadi, tinggal menunggu tanda dari orang itu.” jawab Visier sembari meremas-remas laras depan senapan G3-nya.

“Bersabarlah, kawan.. Bersabarlah.” bisik Nikolai sembari melihat lima orang tentara Galbadia sedang menjaga pintu masuk selatan kota kecil itu.

Mereka masih belum menyadari kalau desa yang mereka duduki itu sudah dikepung oleh para pemberontak.

Beberapa lama mereka menunggu di persembunyian mereka, Johan berdesis. “Dia memang bukan prajurit biasa...” Visier berpaling ke arahnya.

“Ya! Dia memang bukan prajurit biasa, prajurit biasa tak mungkin berani menyusup ke markas dengan penjagaan seperti ini—sendirian.” desis Johan.

*****

Ini penyusupannya yang ketiga, kali ini ia harus menanamkan bahan peledak di sebuah apartemen bertingkat tiga yang dijadikan salahsatu dari tiga barak tentara garnisun yang bertugas di Primea-Murkovii.

Sialnya, barak yang ketiga jauh lebih ramai dari barak pertama dan kedua, ada enam orang tentara Galbadia sedang mengobrol di depan apartemen sambil duduk-duduk di atas jip dan truk mereka.

Dengan hati-hati ia berjalan sembari bersandar pada tembok pekarangan yang tak terkena sinar lampu jalan, hanya kegelapan sudut kota yang luput oleh gemerlapnya lampu-lampu kota menjadi pelindung satu-satunya.

“Komando. Mohon pantauannya.” Ujar Strad dengan nada berbisik.

“—Di sini Ann! Harap menunggu sejenak—“ jawab Ann, “—Enam orang di depanmu, rata-rata di jarak lima belas meter.—”

Ia bisa melihat tak jauh dari keenam tentara Galbadia itu ada sebuah tumpukan sampah, nalarnya bekerja cepat, disanalah bisa jadi tempat untuk menaruh bahan peledak yang aman.

Beberapa saat kemudian, Ann kembali melanjutkan pemberitahuannya, “—Dari sini kelihatannya tidak ada lagi yang mencurigakan, tetap waspada!—“

“Roger.” Jawab Strad sambil memulai berjalan mengendap-endap menyusuri bagian gelap kota sembari terus mengarahkan senapan M4RIS-nya.

Tak disangka, ketika ia mau melewati tong sampah di dekatnya, muncul seekor anjing liar dari balik tumpukan sampah, anjing liar itu terkesiap ketika melihat sosoknya.

Kedua telinganya dan tubuhnya yang berbulu gimbal berdiri tegak, wajahnya waspada, dan bersiap-siap untuk menggonggong.

Namun Strad seolah-olah tak peduli, ia hanya acuh terhadap anjing gembel itu, menaruh bahan peledak di dekat apartemen tersebut, dan kembali mundur ke kegelapan malam.

Anjing liar itu hanya bisa berdiri terpaku, memandangi Strad yang menghilang dalam kegelapan malam, dan beberapa saat kemudian ia kembali tenang dan menikmati makan malamnya—Tinggal menuju barak keempat yang agak jauh dari barak ketiga.

Strad—sambil bersembunyi di gelapnya sudut kota—memandangi jam tangan digitalnya—Waktu sudah mulai menipis, ia harus segera bergegas menuju barak keempat.

Sebelum melanjutkan perjalanannya, ia memandangi sekitarnya dengan tajam, setelah merasa aman, ia langsung kembali mengendap-endap menuju barak ketiga.

*****

Strad berhenti di sebuah perempatan jalan, ia memandangi ke sebuah taman kota yang ada di sebrang jalan, dimana setelah taman kota itu, ia akan menemukan barak ketiga, ia langsung menyebrangi jalan besar yang sepi itu.

Namun ia tak menyangka kalau ada tiga orang keluar dari dalam taman kota tak jauh darinya, Strad dan tiga patroli itu terhenyak memandangi satu sama lain, Strad langsung membidikkan M4RIS berperedamnya itu.

“Peny!—“ belum selesai berteriak, ia sudah diterjang peluru tajam yang senyap.

Sedangkan seorang lagi membidik Strad—yang membidik jauh lebih cepat dengan tenangnya walau dalam keadaan segawat itu—dengan panik.

DEP! DEP! DEP!

Tiga kali tekanan ke picu mengoyak leher korban keduanya, sedangkan yang terakhir, lari ketakutan mencari selamat dan bantuan.

Suara seperti seprai yang dipukul pemukul jemuran itu terdengar lagi tiga kali di tengah jalan yang sepi, seiring dengan embun merah muda yang beterbangan di langit malam, korban terakhirnya jatuh tersungkur dan tak lagi bangun dari jatuhnya untuk selamanya.

Strad langsung bergegas menghampiri ketiga patroli yang naas itu, ia menyeret tubuh mereka ke semak-semak yang ada di sekitar taman kota untuk menghilangkan jejak, setelah menjejalkan tubuh korbannya di semak-semak, tak lupa ia mematikan ketiga radio komunikasi mereka—Setelah merasa aman, Strad kembali beraksi dalam gelapnya malam di Primea-Murkovii itu.

Dengan hati-hati, Strad mendekati pekarangan belakang sebuah motel tua—motel tua itu adalah barak ketiga yang menampung dua puluh garnisun yang sedang beristirahat malam ini, cukup nyaman untuk menampung para penjajah ini tanpa harus pusing mengirimkan surat permintaan pengiriman tenda kompi yang merepotkan untuk dibawa dan memakan waktu ketika didirikan.

Halaman belakang motel tua itu begitu gelap, dengan matanya yang terlatih untuk bisa melihat di pencahayaan yang minim, ia masih kesulitan untuk bisa melihat—saatnya ia untuk memakai NVG.

Dengan langkah senyap seperti langkah seekor harimau yang sedang membayang-bayangi mangsanya, ia mendekati pekarangan itu dengan memakai NVG, dengan hati-hati ia kembali berjalan maju sembari memperhatikan sekitarnya yang bewarna kehijauan itu.

Akhirnya ia menemukan sebuah jendela kamar halaman belakang yang terbuka, sebelum melaksanakan rencananya, ia harus mengintip isi kamar tersebut untuk memastikan tidak ada apa pun yang bisa mengetahui rencananya.

Ternyata ada empat orang tentara Galbadia yang sedang bersantai menikmati malam dengan bermain gitar dan sebotol besar minuman keras sedang asyik berpesta kecil-kecilan di saat waktu bersantai.

Dari remangnya pekarangan belakang, ia mengawasi keempat tentara itu dengan teliti dan hati-hati, ia melihat tiga orang tentara Galbadia bermuka merah padam seperti udang rebus, dengan suara sumbang dan napas minuman keras mereka bernyanyi-nyanyi tak peduli dengan tetangga mereka di kamar sebelah.

Namun ketika melihat si pemetik gitar, ternyata dia masih terlihat segar-bugar, Strad mengurungkan niat untuk menggunakan kamar itu untuk dijadikan tempat disembunyikannya bom ketiga dan kembali mengendap-endap menyusuri mencari kamar lainnya sembari menggenggam erat senapan M4RIS berperedamnya.

Akhirnya kamar kosong yang ia harapkan ternyata ada juga, namun seperti biasa, ia harus tetap patuh pada apa yang dilatih selama bertahun-tahun—tetap teliti dan waspada terhadap sekitar.

Ia memperhatikan kamar kosong yang gelap itu, ketika sibuk memastikan isi kamar itu, tiba-tiba ada sesuatu yang bergerak dari tempat tidur yang tak jauh dari jendela—dimana Strad mengintip.

Ia pun langsung berbalik ke arah tembok sampai sesuatu yang bergerak itu diam kembali. Ketika ia melihat kembali,ternyata seorang tentara sedang tidur sembari mendengkur.

Dengan perlahan-lahan ia menggeser jendela kamar tentara itu lebar-lebar sampai ia bisa masuk ke dalamnya, setelah sukses membuka jendela itu tanpa membangunkan tentara tidur itu, Strad dengan hati-hati masuk ke dalam kamar itu, ia mendahului jempol kaki kanannya terlebih dahulu, dan menjejakkannya dengan sangat hati-hati.

Setelah seluruh badannya berada di dalam kamar itu, ia langsung menurunkan ransel MOLLE bawaannya itu dengan hati-hati.

Resleting tas ransel yang ia buka berderit, pandangan matanya ia alihkan ke arah prajurit yang tertidur, ia pun mengarahkan moncong pistol M1911A3-nya ke posisi dimana prajurit itu tertidur—apabila ia terbangun karena suara deritan resleting tasnya, Strad langsung menembaknya tanpa ampun hingga tak bergerak lagi.

Ia langsung merogoh isi kantong ranselnya untuk mengambil kantong peledak ketiganya—isinya enam bahan peledak C4 ukuran kecil yang bertempelan satu sama lain membentuk kubus, lengkap dengan alat pemicu dimasukkan dalam kantong berbahan ransel ukuran kecil—langsung ia sembunyikan di tempat yang tak akan terpikirkan untuk dijamah oleh manusia.

Ia menyelipkan sekantong C4 ke dalam kolong ranjang yang tertutup oleh seprai untuk menjamin tidak ada seorang pun yang menemukan—dan berpikiran kalau bahan peledak yang ia tanam berada—di situ.

Setelah selesai, ia langsung bergegas keluar dari kamar itu, namun ketika Strad bersiap-siap untuk keluar dari jendela, tiba-tiba terdengar suara kain tersingkap!

Si tentara lelah itu terbangun dari tidurnya, dengan mata yang masih merah menyala dan berupa kusut ia memandangi seisi kamar, lalu, ia memandangi jendela kamarnya yang terbuka.

”Pantas saja dingin!!” gerutunya.

DRAK!

Bunyi jendela kamar yang ditutup dengan paksa, ia tak menyadari kalau Strad sedang meringkuk dibawah bibir jendela kamarnya dengan mengarahkan pistolnya ke prajurit yang terbangun itu.

Strad menghela napas lega, kembali menyarungkan pistol standar satuan tugasnya, dan kembali masuk ke kegelapan malam untuk melaksanakan rencana selanjutnya.

Namun penyusupan yang dilakukan tak mulus selamanya.

*****

“Awas!.. Merunduk!..” bisik Komandan Desa Barat ketika posisi dirinya dan beberapa anakbuahnya bersembunyi kedatangan lima orang tentara Galbadia yang sedang berpatroli.

Semua anakbuahnya langsung bergegas menurunkan posisi tubuhnya lebih rendah dari semak-semak di sekitar mereka untuk menghindari paparan lampu senter pasukan patroli.

Mereka bisa mendengar perkataan para pasukan patroli itu dengan jelas, sesuai dengan pengalaman mereka, kalau bisa mendengar suara lawan dengan jelas—mereka harus tetap bersembunyi dan diam tak bergerak sedikit pun, kalau tidak ingin ketahuan!

Salah satu prajurit Galbadia mengeluhkan dirinya yang belum mendapatkan cuti untuk pulang ke kampung halamannya, sedangkan salahsatu rekannya hanya bisa meremas bahunya dan menasehati untuk tetap bersabar.

Sedangkan rekannya yang satu lagi mengatakan kalau ia harus memaklumi itu semua, ia mengatakan kepada prajurit yang mengeluh itu kalau banyak sekali kasus seperti yang dialami olehnya.

Sialnya, salahsatu anggota Pemberontak Desa Selatan tak sengaja menginjak bebatuan licin, kontak tubuhnya tak seimbang dan terjatuh.

Patroli yang sedang bersantai langsung terkesiap karena suara gaduh itu, ”Siapa itu?!” tanya salahsatu tim patroli sembari mengokang senapan G3 mereka.

Bukannya tetap tenang dan berusaha meyakinkan keraguan patroli itu, seorang anggota pemberontak malah dengan gegabahnya langsung melepaskan tembakan ke arah patorli—suara baku tembak pun pecah di tengah senyapnya malam di Primea-Murkovii.

*****

”Ada apa?!..” tanya Visier sembari berpaling ke arah asal tembakan tersebut.

Nikolai bisa melihat kepanikan para pasukan musuh ketika mendengar suara letusan tembakan itu lewat teropong malamnya, mereka berteriak-teriak seperti orang gila sembari mengokang senapan mereka, seorang lagi bergegas memutar sirene portable sekuat tenaga.

“Tak ada jalan lain lagi!..Tembak!!” perintah Nikolai sembari melepaskan tembakan ke arah para penjaga yang berada seratus meter di depannya.

*****

Bunyi sirene terdengar keras disusul dengan suara letusan tembakan bersahut-sahutan memenuhi seluruh sudut Kota Primea-Murkovii, Strad yang sedang memperhatikan kantor polisi yang digunakan tentara Galbadia untuk menahan Dougherty, terpecah perhatiannya—pertempuran dimulai, padahal ia belum sama sekali menyalakan isyaratnya.

“—Strad! Rencana kalian ketahuan, segera selamatkan Dougherty secepatnya!—“ desak Komandan Piccard yang bisa melihat puluhan pasukan Galbadia mulai berhamburan di jalanan seperti kawanan lebah ngamuk dari layar LCD.

”Baik.” Strad langsung berlari menyebrangi jalanan, keberadaannya masih belum diketahui oleh para penjaga pintu depan penjara.

Strad memulai rencananya segera—ia merogoh kantong kecil di pinggang kiri rompi CIRAS-nya yang berisi alat pemicu bahan peledak yang sudah ia buat untuk bisa meledakkan ketiga kantong peledak yang ia pasang sekaligus.

Buka pelindung tuas pemicu sekali.

Tekan pemicu dua kali dengan cepat.

*****

Motel berlantai tiga dengan sekejap mata mengeluarkan kilatan cahaya, disusul suara ledakan keras beserta dalam waktu dua detik, satu kantong peledak bisa membuat motel beserta seisinya hancur berkeping-keping, sedangkan orang-orang yang berada di luar gedung agak jauh terluka parah karena daya tolak dan pecahan serpihan material motel yang beterbangan liar dengan kecepatan peluru.

Langit gelap Kota Primea-Murkovii dihiasi oleh tiga kembang api, kembang api yang terbuat dari reruntuhan motel dan bagian manusia—yang hancur berkeping-keping—yang terbakar di udara.

*****
Bola api raksasa membumbung tinggi disertai gemuruh ledakan susulan yang menciutkan nyali menambah kengerian baku tembak antara Pemberontak Desa Barat dengan pasukan Galbadia yang berdatangan.

“Itu tanda dari Strad! Serang!!” komando Nikolai kepada seluruh anakbuahnya yang ada di sana.

Para pemberontak yang bertahan di luar kota langsung merangsek masuk ke dalam kota sambil memekikkan teriakan perang sembari melepaskan tembakan gencar ke arah para garnisun musuh.

Beberapa pemberontak tetap berada di kawasan perbukitan yang lumayan lebih tinggi dari kota, memberikan bantuan tembak berupa tembakan senapan mesin dan senapan runduk untuk mempermudah jalan rekan-rekan mereka.

*****

Dengan hati-hati ia menyusuri kantor polisi yang ia susupi itu, titik merah yang ada pada alat bantu bidik Holosight-nya tak lepas dari keduamatanya sembari mengawasi seisi kantor—yang terlihat sepi.

Tiba-tiba terdengar suara rentetan senapan mesin MG36 menyalak, Strad mencoba mencari asal suara itu sembari terus membungkukkan badannya, akhirnya ia menemukan asal suara itu—dari empat orang prajurit Galbadia yang sedang mencoba membendung gelombang serbuan pemberontak dari dalam kantor polisi.

*****

“Strad. Musuh empat orang tepat di depanmu! Mereka sepertinya belum mengetahui keberadaanmu!” lapor Ann.

“—Roger. Mulai membungkam mereka.—“ jawab Strad mantap.

Dengan mantap Strad mengeluarkan tubuhnya dari balik tembok dan mengarahkan M4RIS-nya ke dua orang prajurit yang sedang sibuk mengganti magasen senapan G3-nya.

Dua peluru kaliber 5,56 milimeter sukses menembus kepala mereka, bagian otak dan cipratan darahnya menyembur dan menempel di dinding ruangan, Strad segera membidik kepala dua orang lagi yang tersentak melihat kedua rekannya dan Strad.

Setengah magasen peluru Strad habiskan untuk merobohkan dan mencabut nyawa dua orang tentara Galbadia yang mencoba menembaknya, darah segar menempel di tembok kantor.

“Empat orang sudah berhasil dihabisi.” Lapor Strad.

“—Roger! Cari ruang kantor utama, di sana kamu akan menemukan jalan ke ruang tahanan!—“ ujar Ann.

*****

”Bagaimana ini bisa terjadi, Sersan??” tanya Sang Kapten sembari bergegas memasang rompi anti-pelurunya.

Istirahat malamnya terganggu oleh bunyi baku tembak, tiga ledakan spontan, dan laporan dari wakilnya yang berpangkat sersan kalau kota kecil yang menjadi wilayah kekuasaannya itu—diserang oleh pemberontak setempat dengan tiba-tiba.

”Kami tidak memprediksi kalau para pemberontak itu akan menyerang kita dengan kondisi seperti itu, Komandan!” jawab anakbuahnya.

”Bagaimana bisa kau membuat analisa seceroboh itu?!” tanya komandan SS itu kesal.

Sang Sersan menggelengkan kepalanya, ”Kami tidak tahu, sepertinya mereka sudah merencanakannya jauh-jauh hari dengan baik. Tim intelejen kita tidak mengendus rencana ini.” jawabnya polos.

”Perintahkan Regu Pertama pertahankan pos komunikasi dan minta bantuan dari pos-pos militer terdekat secepatnya—kau yang memimpin! Regu Kedua dan Ketiga ikut aku ke penjara, agen itu harus dihabisi sebelum pemberontak menemukannya!” komando sang komandan berpangkat kapten itu.

”Siap!” jawab Sang Sersan sembari bergegas meninggalkan sang komandan di dalam kamarnya yang mewah.

*****

“—Awas, Strad! Ada enam orang, jarak kira-kira sepuluh meter dari balik dinding!—“ lapor Ann.

Strad mengintip dari sudut tembok yang membatasi tangga dan ruang tahanan yang berada di lantai bawah tanah kantor polisi yang dijadikan salahsatu markas garnisun, ia bisa melihat enam orang tentara Galbadia yang terlihat kebingungan sedang menyimak frekuensi radio.

Tanpa ragu, Strad langsung mencabut dan melempar granat fragmentasi yang menggantung di dada kirinya, ke arah kumpulan pasukan Galbadia.

Keenam prajurit Galbadia itu spontan memandangi sumber suara menggelinding dan berhenti tepat di bawah kaki mereka—sebelum sempat menarik napas terakhir, nyawa mereka sudah dicabut malaikat pencabut nyawa berukuran bola tenis itu.

Granat meletus, menyebabkan keenam tentara Galbadia itu tewas seketika, asap pun mengepul tebal dan langit-langit penjara berjatuhan, Strad langsung bergegas menuju tempat dimana Dougherty dipenjara sembari tetap dalam posisi membidikkan senapan M4RIS-nya.

Dari pekatnya asap ledakan, ia menemukan seseorang sedang diikat kaki dan tangannya dengan posisi membelakangi jeruji, ia terlihat mencoba merundukkan seluruh tubuhnya ketika mendengar letusan granat.

”Edward Kristenson?” tanya Strad.

Dougherty terkejut ketika mendengar ada yang memanggil nama aslinya, hanya orang yang berkepentingan di Junon yang tahu nama aslinya, muncul rasa lega dan bahagia ketika Strad memanggil nama aslinya—ia segera diselamatkan!

”Ya!” jawabnya mantap.

Strad membidik grendel jeruji penjara yang mengurung Dougherty yang tak berdaya itu selama tiga bulan dengan pistol M1911A3-nya, dua tembakan tepat sudah cukup untuk merontokkan kokohnya sambungan grendel yang terbuat dari baja.

Dengan cepat Strad segera menghampiri Dougherty dan memotong tali tambang yang dipakai untuk mengikat pergelangan tangan dan kakinya.

”Untunglah—Aku akhirnya diselamatkan!” ucapnya dengan penuh rasa syukur.

Strad terdiam ketika melihat kondisi Dougherty, pakaian compang-camping seperti tunawisma, seluruh tubuhnya terdapat bilur-bilur memar bekas hantaman benda tumpul, dan juga luka-luka bekas sayatan cambuk.

Dan yang paling mengenaskan adalah keduamata Dougherty yang tetutup rapat, kedua kelopak matanya gosong dan membengkak karena infeksi, menutupi isi kedua rongga matanya yang sudah kosong itu.

”Kejam sekali.” gumam Strad. ”Kita harus segera pergi dari sini, sebelum keadaan semakin kacau.”

“—Strad, kau sudah menemukannya?!—“ tanya Komandan Piccard.

“Aku menemukannya. Tapi kondisinya benar-benar memprihatinkan. Ia harus segera mendapatkan penanganan medis.” Jawab Strad.

“—Nanti saja! Sekarang bergeraklah menuju Titik Penjemputan, keadaan semakin runyam, mereka memanggil bantuan satu kompi kendaraan lapis baja berat ke Primea-Murkovii!—“

“Roger.”

*****

Tak jauh dari penjara, Sang Kapten dengan anakbuahnya yang tergabung dengan lima iring-iringan mobil tempur Dingo bergegas menuju penjara dengan senjata lengkap dengan kecepatan penuh.

“Lebih cepat! Tahanan itu harus cepat-cepat kita habisi! Kalau sampai mereka menemukan orang itu—bisa gawat!” desak Sang Kapten kepada supirnya yang berusaha memacu kendaraannya dengan cepat sembari menghindari kontak senjata.

Ketika sampai di kantor polisi, mobil-mobil Dingo itu langsung menghentikan kecepatan ugal-ugalannya, para prajurit SS yang naik di dalamnya langsung berkeluaran dengan cepat dan bergegas masuk ke dalamnya.

*****

“Aku tak mendengar suara orang lain. Dimana yang lain?” tanya Dougherty penasaran.

”Tidak. Hanya aku sendiri yang ditugaskan untuk membawamu keluar dari sini.” jawab Strad mantap.

Dougherty hanya bisa terdiam dan membiarkan tubuhnya dipapah oleh malaikat penyelamatnya itu, akhirnya mereka sampai di ruang utama tanpa ada halangan, namun kelegaan itu tak selamanya bersama mereka. Terdengar suara langkah yang berjalan menuju ke arah mereka.

“—Strad! Ada pasukan musuh akan memasuki tempat itu! Segera lari dan ikuti lorong di belakangmu!—“

Pintu dari ujung lorong terbuka, telihat seorang pasukan elit SS yang lengah, dengan cerobohnya masuk ke dalam rumah, Strad refleks melepaskan tembakan gencar untuk pasukan SS yang lengah itu, kontan prajurit terdepan itu menemui kematiannya dengan dada penuh dengan lubang peluru, beberapa saat kemudian berdatangan tembakan balasan dari luar kantor.

Peluru-peluru kaliber 5,56 milimeter itu berseliweran dimana-mana, melubangi tembok dan memecahkan barang-barang pecah belah yang ada di dalam kantor polisi, Strad dan Dougherty meringkuk di lantai untuk menghindari galaknya peluru musuh, tak lupa ia juga memeluk sang tugas utama agar tidak ada satu peluru pun yang menghampirinya.

Setelah puas menjeboli isi dari kantor polisi, para pasukan SS mulai merangsek masuk ke dalam dengan kuda-kuda berlari sembari membidik senapan G36C mereka.

Nalarnya berputar cepat, ia membuat siasat, magazen M4RIS-nya ia ganti dengan yang baru, begitu juga dengan magazen pistol M1911A3-nya, “Kau. Merangkaklah ke arah di depanmu secepatnya ketika aku menyuruhmu untuk pergi.” ujar Strad sembari mengarahkan Dougherty ke lorong belakang.

Dougherty mengangguk mengerti, ia pun bersiap-siap untuk merangkak sembari menunggu aba-aba dari penyelamatnya itu.

“Sekarang!” Strad mengangkat kedua tangannya yang menggenggam senapan M4RIS dan mengarahkannya ke arah pasukan SS yang masuk ke dalam ruangan dengan menembak membabibuta.

Para pasukan SS itu langsung bergegas mencari tempat bersembunyi untuk menghindari peluru-peluru nyasar Strad, setelah amunisi M4RIS-nya habis, ia langsung bergerak menyusul Dougherty sembari melepaskan tembakan membabibutanya dengan pistol M1911A3-nya.

”Kejar orang itu! Kalian ikut aku mengepung pintu belakang tempat ini!” perintah Sang Kapten yang bergegas meninggalkan tempat berlindungnya dan berlari ke pintu belakang kantor polisi.

*****

BRAK!

Suara pintu belakang yang berhasil Strad dobrak dengan kaki kirinya, ia kembali memapah Dougherty dengan cepat namun hati-hati.

“—Strad! Ada sepuluh orang bergerak mengejarmu dari arah kanan!—“

Ia mencabut granat fragmentasinya yang kedua dan melemparkannya pintu jalan samping tanpa ragu.

*****

Pasukan SS yang berada di barisan terdepan tersentak ketika melihat sebuah granat menggelinding agak jauh darinya, “G—GRANAT!!”

Rekan-rekannya yang mendengar peringatan langsung tiarap dan berlari mencari tempat berlindung sebelum beberapa detik kemudian meletus dan memuntahkan peluru-peluru berbentuk gotri baja panas.

Strad berhasil membuat pengejaran para pasukan SS itu terhambat.

*****

Setelah sepuluh menit berlari sekencang mungkin, Strad menghentikan pelariannya di balik rerumputan lebat, ia mengawasi kejauhan mencoba meyakini kalau orang-orang yang mengejarnya masih jauh.

Dougherty bisa merasakan kalau penyelamatnya kesulitan memapahnya lengkap dengan suara napas Strad yang mulai tersengal-sengal, ”Kau sepertinya repot membawaku, prajurit.” ujar Dougherty.

Strad terdiam ketika mendengarnya.

”Bagaimana kalau kau menggendongku?” tawar Dougherty.

Strad mengangguk mantap, ”Usul bagus.” jawab Strad setelah mengisi kembali amunisi kedua senjatanya. “Ayo. Naik ke punggungku.”

Dougherty langsung meraih punggung Strad, setelah misi utama—nya berhasil hinggap di punggungnya yang kokoh itu, ia langsung bergegas masuk ke dalam rimbunnya hutan yang tak jauh dari Kota Primea-Murkovii.

*****

“Anne! Berapa lama lagi jemputan akan datang?” tanya Komandan Piccard.

“Dua jam lagi, Pak!” jawab Anne.

“Buat satu jam!” desak Komandan Piccard.

*****

Sedangkan di kota, para pemberontak sedang habis-habisan melawan para tentara Galbadia, korban-korban dari keduabelahpihak makin banyak yang berjatuhan, namun karena pasukan Galbadia kalah persiapan—apalagi sebagian besar kekuatan utama mereka yang berada di barak habis terkena ledakan C4—mereka langsung berusaha lari dari kota.

Sebuah rumah yang dijadikan sarang senapan mesin oleh pasukan Galbadia, berhasil dirontokkan oleh seorang pemberontak dengan menggunakan roket jinjing Panzerfaust, seorang letnan terlihat kebingungan ketika melihat pemberontak makin merajalela tak bisa mereka kendalikan.

”Mundur!!” perintahnya, dengan senang hati para prajuritnya yang mulai kewalahan—dan kehabisan amunisi—menuruti perintah sang komandan.

Para pemberontak bersorak-sorai melihat para penjajah yang sudah menginjak-injak tanah air mereka itu, lari kocar-kacir, terbuai kemenangan dan terhasut dendam berkepanjangan, para pemberontak terus mengejar para pasukan Galbadia yang tak berdaya itu.

Mereka tak tahu, kalau beberapa rekan mereka yang mencoba menyerbu dan menghancurkan pos komunikasi musuh untuk mencegah musuh memanggil bantuan, sudah gagal menjalankan tugasnya dengan berkalang darah dihabisi oleh regu kecil pasukan SS.

“Sudah aman!” lapor seorang prajurit SS setelah mengawasi setiap sudut ruang pos komunikasi yang menjadi saksi bisu perlawanan sengit mereka dengan para pemberontak.

Tiga orang pemberontak duduk memelas meminta belas kasihan kepada sang sersan, namun mereka memohon kepada orang yang salah, SS adalah pasukan yang tak pernah punya belas kasihan, yang bersebrangan dengan Kekaisaran Galbadia adalah sesuatu yang harus dibasmi.

Sang Sersan memberikan isyarat kepada para prajurit SS yang meringkus dan melucuti persenjataan mereka, mereka mengerti isyarat itu, seketika para prajurit SS itu mengarahkan senjata mereka ke para tawanan dan suara rentetan senapan G36C pecah, tiga pemberontak itu tergeletak berkalang darah.

“Semuanya, buat perimeter!” titah sang sersan, ”—Kau ikut aku!” tunjuk sang sersan yang memimpin regu kecil bermodalkan mobil ranpur tipe Dingo itu kepada seorang prajurit SS berpangkat kopral.

Mereka berdua bergegas masuk ke dalam pos komunikasi dan menghubungi markas-markas Galbadia terdekat untuk meminta bantuan dengan jumlah yang besar, bahkan ia meminta bantuan tank untuk meredam serangan pemberontak.

Beberapa menit kemudian, sang sersan keluar dari pos komunikasi dengan wajah puas, Kota Primea-Murkovii yang kini sedang berusaha direbut oleh para pemberontak akhirnya akan berhasil mereka rebut kembali nanti.

“Sekarang kita bertahan menjaga pos ini sampai bantuan datang! Siapa pun yang mendekati tempat ini yang tidak berseragam pasukan kita, TEMBAK!!” ujar sang sersan SS itu mantap.

“Siap!!” jawab para bawahannya tak kalah mantap.

Dengan siaga mereka membuat garis pertahanan untuk menjaga pos komunikasi dari orang-orang permberontak yang mencoba untuk menguasai kembali pos komunikasi.

*****

“Kita menang!! Komandan, kita menang!!” pekik Lonant yang teler karena candu kemenangan.

Semua pemberontak melepaskan tembakan ke udara sembari bernyanyi-nyanyi untuk merayakan kemenangan, candu kemenangan makin terasa untuk anggota pemerontak yang berasal dari Primea-Murkovii—sudah bertahun-tahun mereka terusir dari rumah dan akhirnya rumah mereka malam itu berhasil direbut kembali.

“Bagaimana dengan rekan-rekan kita yang bertugas di pos komunikasi?” tanya Nikolai.

Anakbuahnya yang bertugas sebagai unit komunikasi, hanya menjawab pertanyaan komandannya dengan menggelengkan kepalanya.

Namun, Nikolai mulai gelisah—alamat buruk, rencana menduduki dan menghancurkan pos komunikasi musuh sepertinya gagal, tandanya musuh berhasil mempertahkan pos tersebut dan akan memanggil bantuan sesegera mungkin.

“Tak ada jawaban dari tim yang bertugas menduduki pos komunikasi—Kita mundur—sebarkan juga lewat komunikasi radio!” ujar Nikolai gelisah.

Operator komunikasi yang hanya bermodalkan radio jinjing lawas PRC-77 awalnya tersentak, tapi akhirnya ia mematuhi perintah Nikolai, “B—Baik, Pak!”

Lonant, Visier, dan Johan terkejut ketika mendengar sang komandan menyuruh mereka untuk mundur, kepala mereka tersentak, seperti baru saja dilempar batu.

”Apa? Mundur?!” tanya Visier tak percaya.

”Komandan! Lihatlah! Ini yang selama ini kita harapkan! Mendapatkan kembali kota ini! ” ujar Lonant.

”Musuh berhasil mempertahakan pos komunikasi mereka. Kita kembali, bantuan musuh pasti akan datang! Segera!” ujar Nikolai dengan suara lebih keras dari ketiga anakbuahnya yang setia—dan sedang dibuai kemenangan.

Belum sempat untuk bersiap-siap untuk mundur dari kota, tiba-tiba terdengar suara desisan-desisan keras dari udara.

”Artileri!!”

Ledakan artileri menggema bersahut-sahutan bersama gedung dan rumah yang hancur lebur diterjang peluru meriam, Primea-Murkovii benar-benar tanpa ampun dihujani artileri—entah darimana asalnya itu—tanpa jeda.

Gedung dan rumah yang ada hancur seketika ketika diterjang peluru artileri, para pemberontak yang bernasib sial harus kehilangan nyawanya karena terkena ledakan telak maupun karena pecahan amunisi artileri yang datang tak diduga—Semua pemberontak berhamburan mencari selamat dengan mimik wajah ketakutan.

Nikolai membuka matanya tipis-tipis setelah beberapa saat sebuah ledakan keras terdengar tak jauh dari dirinya dan membuatnya tak sadarkan diri, ia pun berusaha bangkit kembali, namun terdiam ketika melihat Lonant tergeletak tak jauh darinya, dengan keadaan mengenaskan—kaki kanannya dan sebagian dari perutnya habis, Lonant terlihat kesulitan bernapas, apalagi darah segar terus mengalir keluar dari mulutnya.

Dari matanya yang kian nanar, Lonant bisa melihat komandannya berdiri di sampingnya dengan wajah terpukul, beberapa saat kemudian Johan dan Visier datang, mereka tersentak kaget karena melihat keadaannya yang kian kritis.

Nikolai menggenggam erat tangan kanan Lonant yang sudah semakin sulit untuk dikendalikan, Lonant ingin tersenyum lega dan bersyukur pemimpinnya selamat, namun sisa tenaga yang ada tak sanggup lagi untuk menggerakkan bibir dan mukanya.

Ia tak kuat lagi menahan sakit yang makin terasa memilukan—semakin—semakin—dan semakin menyakitkan—sebelum akhirnya tak ada rasa sakit lagi.

Nikolai, Johan, dan Visier hanya bisa tertunduk ketika melihat tatapan kosong Lonant yang tak bergerak sedikit pun.

“Tank musuh datang!!.. Kita harus segera lari dari sini!!” teriak seorang pemberontak panik.

Nikolai perlahan menutup kedua mata Lonant sebelum kembali bergegas ke medan tempur, “Semuanya, mundur ke hutan!!” komando Nikolai yang seolah-olah tidak ada yang terjadi.

*****

Derit bunyi rantai baja tank-tank Leopard II terdengar bersahut-sahutan, panser dan kendaraan lapis baja yang membawa puluhan pasukan infantri mekanis bersenjata lengkap, menyusul di belakang monster darat itu.

Mesin-mesin yang paling ditakuti oleh angkatan darat musuh ini berasal dari Kompi C dari Divisi Lapis Baja ke-88 melesat cepat melintasi hutan dimana Strad dan Dougherty bersembunyi dan istirahat sejenak.

Para pemberontak sedang dalam masalah besar—itu yang Strad simpulkan ketika ia mengawasi pergerakan masal pasukan bantuan dari gelap dan lebatnya hutan di sekitar kota.

”Keadaan semakin memburuk, eh?” tanya Dougherty.

Ia bisa menebaknya hanya dengan suara gemuruh dan deritan ban rantai tank dan kendaraan lapis baja yang melintas.

“Pemberontak dari Desa Murkovii membantu dalam usaha menyelamatkanmu—Tapi kalau melihat pasukan kavaleri yang sedang menuju kota. Aku berharap para pemberontak bisa secepatnya meninggalkan kota.” jawab Strad.

Walau sudah tak punya mata lagi, wajahnya menunjukkan kalau ia memahami situasi yang terjadi.

“Dengan kelompok Komandan Nikolai, bukan?” tebak Dougherty sembari meringis lebar.

Strad terdiam ketika mendengar tebakan Dougherty, orang-orang Junon memiliki daya analisa dan kemampuan membuat kesimpulan yang cepat.

”Ya.” jawab Strad singkat.

“Dulu dia adalah salahsatu dari anggota pasukan komando Republik Turkjiyan, ketika Perang Turkjiyan-Galbadia pecah, ia kembali ke kampungnya yang kita kenal dengan nama Desa Murkovii, memimpin perlawanan rakyat desa terhadap para pasukan pendudukan disana, sebelumnya ia kehilangan anak dan istrinya waktu itu.” ujar Dougherty.

“Dulu, ia adalah orang yang idealis, dia tidak mau berpihak kepada siapapun, baik dengan Galbadia maupun Sekutu, ia berjuang dengan caranya sendiri, bergerilya dan memenuhi kebutuhan logistik dengan cara menyerbu iring-iringan logistik maupun gudang amunisi.”

“Namun, sepertinya keadaan mulai beDougherty ketika pasukan Galbadia yang ia lawan semakin canggih peralatannya, pertempuran dengan persenjataan konvensional yang mereka miliki sudah mulai terasa sia-sia. Hanya ada satu cara untuk melanjutkan perjuangannya, dengan bersahabat dengan musuhnya musuh—”

”Aku tidak berminat dengan ceritamu. Sebelum kita berangkat ke Titik Penjemputan. Luka-lukamu harus kubereskan terlebih dahulu.” ujar Strad sembari merogoh isi ranselnya dengan cepat untuk mengambil peralatan P3K.

Ia membersihkan luka-luka di sekitar wajah Dougherty yang kebanyakan kotor dan mulai bernanah karena tak terurus dengan menggunakan air camelbak-nya dan kain kassa steril, dengan hati-hati Strad menaburkan bubuk antiseptik ke keduamata Dougherty yang mulai terlihat tanda-tanda infeksi.

Dougherty berdesis karena perihnya bubuk antiseptik yang menempel di luka-luka di sekitar matanya itu, setelah selesai melaksanakan prosedur pengobatan darurat, Strad menempelkan dua buah kain kapas ke kedua mata Dougherty, dan menutupnya dengan kain perban dengan kencang.

“Terima kasih, kawan..” ujar Dougherty.

“Sepertinya tentara musuh tak memberimu makan.” ujar Strad sembari membuka sebungkus MRE—ransum instan untuk prajurit.

“Bukan tidak pernah, tapi kalau mereka ingat!” jawab Dougherty sembari tersenyum lebar.

Dougherty bisa mencium harumnya aroma lasagna dari hidungnya yang patah itu yang menyeruak dari bungkusan MRE yang dirobek oleh Strad untuknya—benaknya mulai menerawang hidup di rumah, dimana istrinya membuat lasagna untuk makan malam.

Strad menyendok isi dari makanan siap saji itu dari bungkusnya yang bewarna perak gelap itu dan menempelkan sesendok plastik yang berisi makanan instant untuk tentara itu ke bibir Dougherty.

Dengan cepatnya Dougherty langsung melahap isi dari sendok itu dengan cepat, ia tak perduli bibirnya yang masih bengkak-bengkak ia hajar juga, rasa laparnya mengalahkan rasa sakit pada bibirnya, terlihat ia begitu menikmati lasagna sintetis.

Strad tak memusingkannya, dengan cepat ia menyendokkan kembali MRE-nya dan menempelkannya di bibir Dougherty, terus, terus, dan terus, sampai misi utamanya itu merasa kenyang.

”Sudah lama aku tidak makan makanan seenak ini—” gumam Dougherty sembari mengunyah makanannya. “Aku sudah tak sabar untuk cepat-cepat pulang!|” lanjutnya.

Strad tak lupa menempelkan ujung selang camelbak-nya ke bibir Dougherty untuk minum, Dougherty benar-benar seperti orang kehausan, lama sekali ia menyedot ujung selang camelbak.

Dougherty melenguh keenakan, ia sangat bersyukur bisa makan dan minum lagi, makanan dengan rasa dan nutrisi sintetis dan air mineral benar-benar seperti makanan mewah kelas satu untuknya.

“Walau rasanya payah—Rasa lasagnanya membuatku teringat sebelum aku bertugas di Turkjiyan! Istriku membuat makan malam enak. Lasagna, spaghetti, dan berbagai macam pasta lainnya.” terawang Dougherty.

Beberapa saat kemudian, ia menghela napas sepanjang mungkin, Strad bisa melihat ekspresi sedihnya—istri, salahsatu dari orang yang ia kasihi, yang selama ini terus ia pikirkan setiap pecut yang dilecutkan atau pukulan yang didaratkan dari para interogator.

“Aku bisa membayangkan bagaimana ia mengkhawatirkan keadaanku yang sudah tiga bulan tidak memberi kabar... Termasuk putri semata wayangku..” desah Dougherty.

Namun Strad cuma diam seribu bahasa, ia hanya bertanya, “Apakah kau mau meneruskan makanmu?”

Dougherty menggelengkan kepalanya dan tersenyum, “Tidak, terima kasih, kawan. Terima kasih atas ransumnya!” jawab Dougherty.

Beberapa saat kemudian, radionya berdesis, Komando mencoba menghubunginya.

“—Strad, disini Komando!—“ panggil Ann.

”Disini Strad.” jawabnya.

”—Dari arah jam tujuhmu, ada duapuluh pasukan musuh sedang bergerak mengejarmu dalam jarak lima kilometer dari posisi kalian berdua!—“

“Diterima, Komando. Kami segera bergegas.” jawab Strad.

Dougherty menghentikan makannya, ia penasaran dengan apa yang dikatakan oleh markas Strad, apalagi suara Strad terdengar serius dan mengkhawatirkan. ”Ada apa?” tanya Dougherty.

”Kita harus segera bergerak.” jawab Strad sembari meraih kembali M4RIS-nya yang tersandar di batang pohon di dekatnya.

Ia mengambil sesuatu dari dalam ranselnya, sesuatu berbentuk seperti spidol, ia memencet bagian alat tersebut dan memasukkannya ke dalam ransel yang ia campakkan, lalu langsung bergegas menggendong Dougherty dan meninggalkan tempat dimana mereka bersembunyi.

*****

Walau dalam tayangan infra-merah, Komandan Piccard bisa melihat dengan jelas Strad dan Dougherty—dengan cahaya berkelip-kelip di layar ruang komando—langsung bergegas pergi meninggalkan tempat dimana mereka berada.

Dan tak jauh, duapuluh pasukan elit SS bersenjatakan G36C itu sedang bergerak perlahan namun cepat, menyapu pepohonan di sekitar mereka dengan hati-hati.

”Bagaimana dengan jemputan?” tanya Komandan Piccard.

”Dalam perjalanan, Pak!” jawab Ann.

Tak ada komentar atau sepatah kata pun keluar dari mulut Komandan Piccard.

*****

Sedangkan lima kilometer di belakang, para pasukan SS yang dipimpin oleh Sang Kapten, masih sibuk mengawasi sekitar mereka dengan NVG, dengan hati-hati mereka menyusuri apa yang ada di depan mereka, sembari jari telunjuk mereka menyentuh picu senjata mereka yang siap langsung ditekan sekuatnya apabila ada yang mengancam mereka.

Seorang prajurit SS menemukan sesuatu, beberapa saat ia memperhatikan benda yang tergeletak di atas tanah, lalu ia memberi isyarat untuk menghentikan pencarian.

Kelompok terdepan memberi isyarat untuk berhenti ke kelompok-kelompok kecil di belakangnya.

”Ada apa?” tanya Sang Kapten yang berada beberapa meter dari kelompok depan.

“Sepertinya mereka baru saja pergi dari tempat ini tak jauh, Pak!” jawab seorang dari kelompok terdepan.

Salahsatu prajurit SS itu meraih bungkusan sisa MRE, entah kenapa, rasa penasarannya muncul ketika ia melihat bungkusan MRE itu—ransum tentara sekutu lebih enak daripada ransum kita—desas-desus sesama prajurit membuatnya memberanikan diri untuk mencobanya.

Sang Kapten terperanjat ketika melihat anakbuahnya itu memungut bungkusan sisa MRE itu, “Jangan diambil!!!” pekik Sang Kapten.

Terlambat—ranjau kecil yang disembunyikan di balik bungkusan MRE itu langsung bereaksi ketika tak ada tekanan di bagian atasnya.

*****

Ledakan keras membahana di seluruh hutan, Dougherty pun terperanjat dan mengarahkan matanya ke langit, “Apa yang terjadi?” tanya Dougherty.

“Spekulasiku berhasil.” Jawab Strad singkat.

“Ngomong-ngomong. Siapa yang mengirimmu kesini?” tanya Dougherty.

”Bukan wewenangku untuk menjawabnya.” tolak Strad.

Dougherty memakluminya, memang sudah dari sononya, kalau mereka dari satuan khusus akan menjawab hal seperti itu—bukan wewenangnya untuk mengatakan darimana mereka berasal, mereka hanya diberi tugas untuk melaksanakan tugas yang mereka emban—itu saja.

“Aku ragu... Apa iya kau cuma sendirian dalam misi ini?..” tanya Dougherty ragu.

Namun Strad tak menjawabnya, ia hanya terus berlari sembari menggendong Dougherty yang tak berdaya itu hingga sampai ke Titik Penjemputan, lalu setelah lama memacu tenaganya dengan berlari, ia akhirnya menghentikan langkahnya.

Ia memandangi sekitarnya, dan melihat GPS portabel yang melingkar di pergelangan kirinya, sudah berada di posisi yang benar—Titik Penjemputan.

”Komando. Di sini Strad. Kami sudah sampai di Titik Penjemputan.” lapornya sembari memandangi hamparan rerumputan yang bersinar indah karena pantulan cahaya bulan.

“—Roger, Strad! Stand by di tempat yang aman, kami akan mencoba berkoordinasi dengan jemputan kalian!—“ jawab Ann.

*****

WRRRRRRRRR!!!...

Bunyi deru mesin helikopter UH-60L Pavehawk bercat hitam-hitam, sang co-pilot terus memperhatikan kondisi kendaraan kesayangannya itu lewat instrumen-instrumen avionik super-canggih yang ada di sekitar tempat duduknya.

Sedangkan sang pilot dengan lincahnya membawa sang helikopter terbang rendah menyusuri sungai yang ada di bawahnya.

”—Induk Ayam, di sini Komando. Kapan kalian sampai di titik penjemputan?—“ tanya Komandan Piccard.

”Di sini Induk Ayam. Sesuai dengan jadwal yang ditentukan, ETA dua puluh menit lagi..” jawab sang pilot.

”—Induk Ayam, lebih cepat lebih baik!—“ desak Komandan Piccard.

”Roger.”

Beberapa saat kemudian, sebuah helikopter AH-1 Cobra menyalip Induk Ayam.

*****

”—Kau terlambat kawan.—“ ujar Induk Ayam kepada pilot Cobra.

”Maafkan kami, sedikit masalah teknis tadi.“jawab pilot Cobra, “Bagaimana dengan sistem persenjataan kita?” tanya sang pilot kepada co-pilot yang duduk di belakangnya yang bertugas sebagai operator senjata.

“Kanon 30 milimeter dalam kondisi siap. Roket FFAR kondisi siap. Hellfire dalam kondisi siap juga.” Jawab co-pilotnya.

“Baiklah! Mudah-mudahan persenjataan yang kita bawa cukup nantinya.” Ujar sang pilot.

*****

“—Disini Komando. Strad! Mereka akan datang, ETA, lima belas menit lagi jemputan akan datang. Buat perimeter sampai jemputan datang!—“ komando Komandan Piccard.

“—Ada lima belas tentara musuh sedang bergerak ke Titik Penjemputan, kira-kira sepuluh menit lagi mereka akan sampai! Strad, waspadalah!—“ lapor Ann.

”Diterima, Komando.” jawab Strad sembari menyandarkan Dougherty di akar pohon raksasa yang ia daulat sebagai tempat untuk menyembunyikan Dougherty.

Ia mencopot magazen M4RIS-nya, masih banyak, dua puluh peluru yang tersisa di dalam magazen yang terbuat dari lempengan baja tipis itu, ia kembali memasangnya kembali dan mengokang senapannya.

Ia memeriksa kembali amunisi yang tersisa—amunisi pistol tinggal tiga magazen penuh, satu granat fragmentasi, juga empat peluru granat M203 plus satunya yang masih berada di dalam selongsong pelontar granat yang belum ia gunakan, benaknya mengkalkulasi seberapa lama pertempuran yang ia sanggupi dengan persediaan yang ia bawa.

”Tetap di tempatmu berada. Apa pun yang terjadi jangan beranjak dari tempat ini.” ujar Strad mewanti-wanti.

Ia lalu beranjak dari persembunyian Dougherty yang ditutupi oleh akar-akaran raksasa dan pergi meninggalkan Dougherty beberapa meter dari tempat Dougherty bersembunyi untuk mencari tempat persembunyiannya sendiri.

Strad mengarahkan senapan serbunya itu ke arah asalnya berada, sembari tetap berusaha membuat badannya lebih rendah dari rerumputan yang ada, menanti kedatangan para pemburunya dengan tenang.

Tak lama kemudian, apa yang ia nantikan datang juga.

*****

Tim pemburu yang masih selamat dari ledakan jebakan Strad dengan hati-hati keluar dari rimbunnya hutan, tiga pasukan SS dengan waspada bergerak perlahan keluar dari kegelapan hutan menuju padang rumput yang dimana akan menjadi lokasi penjemputan.

Disusul lima orang SS menyusul dari belakang, disusul lima lagi, dan seterusnya sampai seluruh pemburu Strad dan Dougherty terlihat jelas di penglihatan malamnya, mereka seperti malaikat kematian yang keluar dari gelapnya dunia lain, mencari korban yang ingin mereka cabut nyawanya.

Dengan NVG yang mereka pakai, mereka menyisiri pandangan di depan mereka, dengan sangat teliti, Strad membidik seorang prajurit SS yang mengawasi posisinya dengan Holosight-nya, jari telunjuknya sudah menyentuh picu, tinggal ditekannya untuk menghabisi musuhnya yang berjarak seratus lima puluh meter itu.

Tiba-tiba seorang prajurit SS terpaku ke persembunyiannya, ia terus mengawasi persembunyiannya, namun Strad tetap berusaha mengendalikan ketegangannya, dan tetap menunggu musuhnya bereaksi dahulu dengan jantung yang mulai berdegup kencang.

Kesabarannya pun berbuah manis, ternyata musuhnya tak menyadari keberadaannya, ia kembali berjalan menyusuri padang rumput dengan hati-hati.

”Aman!..” jawab seorang prajurit SS itu setelah yakin tak ada penampakan musuh di hutan di depan mereka.

*****

Sang komandan dan beberapa pasukan SS di belakang mulai menyusul mereka. Kesempatan emas untuk Strad, sang komandan berada dalam posisi terbuka, ia bebas menjadi sasaran tembaknya.

“Apa kau yakin, prajurit?” tanya sang komandan ragu.

Anakbuahnya mengangguk mantap. ”Yakin, komandan!” jawabnya mantap. Awalnya ia kurang mempercayai sang prajurit, namun sang komandan akhirnya menuruti apa yang dikatakan olehnya.

“Jangan berbuat gegabah untuk kedua kalinya! Tetap awasi sekitar kalian! Siapa tahu mereka menyambut kita dengan jebakan lainnya!” komando Sang Kapten yang tak bisa menyembunyikan rasa takutnya untuk terus menyusuri padang rumput di depannya.

*****

Semua pasukan pemburu yang mengejar-ngejarnya tanpa lelah itu, akhirnya terlihat dengan jelas oleh sinar bulan, mereka semua pun terlihat dari balik lensa Holosight Strad.

Target pertama, komandannya, dan yang kedua, lima orang SS yang berkumpul berdekatan—Strad mengatur napasnya sejenak, mencoba menenangkan dirinya, sebelum jari telunjuknya menekan picu M4RIS-nya dalam-dalam.

*****

Peluru tajam kaliber 5,56 milimeter menembus leher sang komandan, rompi anti-peluru yang tebal melindungi bagian vital di tubuhnya tak berdaya melindungi leher sang komandan.

Semua pasukan SS terkesiap ketika melihat sang komandan terpental dengan darah muncrat dari lehernya.

”MUSUH!!!..” teriak seorang prajurit SS sebelum akhirnya dia dan keempat rekannya harus melayang nyawa karena ledakan peluru granat.

Mereka pun melepaskan tembakan balasan ke arah asal tembakan senyap itu, bunyi rentetan senapan serbu G36C bersahut-sahutan, puluhan peluru tajam beterbangan melintasi tempatnya berlindung.

*****
Pertempuran dimulai, Komandan Piccard dan Sersan Anne hanya bisa memandangi kilatan-kilatan dari peluru penjejak yang mereka lihat dari pencitraan satelitnya sembari menahan napas.

“Berapa lama lagi?!” tanya Komandan Piccard.

“ETA. Lima belas menit lagi!” jawab Ann.

*****

Strad terus berlari menuju posisi lainnya sambil meringkuk dan mengisi peluru granat kedua, melindungi seluruh tubuhnya dari peluru-peluru musuh yang terus mengalir deras seperti hujan.

*****

Bunyi pepohonan yang terkoyak peluru musuh mengganggu telinga Dougherty, namun Dougherty tetap meringkukkan badannya dengan wajah khawatir.

*****

Strad terus membalas tembakan musuhnya sembari terus berlindung di pepohonan berbatang tebal sebagai rompi anti-peluru alami menanti momen yang ia tunggu-tunggu.

Kesempatan akhirnya datang juga, ia melihat dua orang SS sedang sibuk mengisi amunisi senapan mereka masing-masing, dengan cepat ia membidikkan senapan M4RIS-nya dan membuka pengaman M203-nya.

Terdengar bunyi tutup botol sampanye yang keras dari laras pelontar granat M203-nya.

Prajurit SS dan rekan-rekan disekitar mereka terpental karena ledakan dahsyat dari granat dengan kemampuan fragmentasi itu.

Mereka yang jadi korban pecahan baja tajam peluru granat M203 meronta-ronta kesakitan, semakin sering mereka meronta-ronta, pecahan-pecahan baja kecil setajam pisau belati itu terus mengoyak-ngoyak daging sang korban, namun teman-temannya yang selamat tak menggubrisnya.

“Arah jam tiga!! Segera kepung dia dari segala arah” pekik seorang SS sembari melepaskan tembakan brutal ke arah pepohonan dimana Strad bersembunyi dan menghabisi keempat rekannya yang lengah itu.

*****

Strad berlari sembari terus merundukkan tubuhnya mencari posisi aman sembari terus mendengar bunyi rerumputan yang dipotong ujung peluru kaliber 5,56 milimeter yang muntah dari dalam laras senapan G36C milik pasukan elit SS dengan gencarnya.

Strad terus berlari kencang, dari satu pohon ke pohon lainnya untuk melindungi dirinya dari tembakan brutal musuh.

”Itu dia! Tembakk!!” Mereka kembali menembaki Strad.

*****

Strad makin kerepotan, musuhnya semakin gencar menyerang dan mulai bermanuver untuk menghabisinya dari segala arah.

“—Strad! Mereka mencoba mengepungmu dari segala arah!—“

“Aku tahu.”

Tiba-tiba, seorang prajurit SS muncul dari balik pepohonan dan mengarahkan pelontar granat ke arahnya.

Sial!—Umpat Strad dalam hati.

Strad terpental keras setelah sebuah peluru granat meledak beberapa meter darinya, ia pun jatuh tersungkur, namun ia berusaha untuk tidak berlama-lama tergeletak dalam ketidakberdayaannya.

*****

Asap mengepul tebal di udara, peluru granat yang ditembakkan ke arah Strad ternyata menyebabkan kebakaran kecil.

“Bagaimana?!” tanya prajurit SS kepada rekannya yang melepaskan tembakan granat.

“Aku tidak tahu! Seharusnya ia mati—tadi aku menembaknya tepat!” jawabnya sambil mencari-cari keberadaan Strad yang terhalang tebalnya asap.

Tiba-tiba terdengar suara degupan baling-baling helikopter yang lama kelamaan makin terdengar jelas.

“Ada yang memanggil bantuan helikopter?!”

“Kita tidak punya satuan helikopter di sini!”

Bapak Ayam terbang dengan kecepatan tinggi menyambar kumpulan pasukan SS yang ada di bawahnya, dengan jelas mereka bisa melihat jenis helikopter itu—mereka tidak punya helikopter—tak bertanda—jenis itu.

“Itu bukan helikopter kita!” pekik seorang prajurit SS sambil melepaskan tembakan ke arah Bapak Ayam.

*****

Dari pekatnya asap, Strad melesat keluar dan menembaki si penembak granat yang konsentrasinya terpecah oleh kedatangan Bapak Ayam dan melepaskan tembakan gencar sesempat mungkin ke musuh yang masih tersisa.

Para pasukan SS terkesiap ketika Strad kembali melawan, namun mereka tak bisa memberikan serangan yang berarti karena Strad keburu masuk ke dalam pekatnya asap kebakaran.

“Sebagian kejar orang itu, dan sebagian buat repot helikopter itu, sisanya cari tawanan itu sampai dapat!”

*****

“—Strad. Di sini Bapak Ayam. Kau bisa menerima?—“ tanya pilot Bapak Ayam.

“Di sini Strad. Sangat jelas.” Jawab Strad sembari memandangi luka di lengan kanan dan paha kirinya—ia beruntung hanya lengan dan pahanya yang kena, karena sebagian besar pecahan granat musuh berhasil ditahan oleh lapisan keramik yang terselip di rompinya.

“—Kelihatannya keadaan di bawah sana kacau sekali! Kami akan mencoba menarik perhatian mereka sampai jemputan kalian datang!—“

“Mohon bantuannya.”

Tiba-tiba, dari kepulan asap ledakan muncul sosok SS yang tiba-tiba mencoba menyerang Strad yang masih berusaha menyadarkan dirinya.

“—STRAD! MUSUH!—“ pekik Ann di telinganya.

“Heaah!!” pekik prajurit SS itu mencoba menikamkan bayonet ke wajahnya dengan menukik cepat.

Strad langsung mengalihkan kepalanya, menangkis tikaman dengan laras depan M4RIS-nya, dan menyelipkan kaki kanannya di tumit terluar musuhnya.

Hanya dalam hitungan satu-dua-tiga, Strad berhasil menangkis serangan bayonet, menjatuhkan prajurit berani itu dengan cara menekel tumit dengan setengah tenaga, dan tanpa ragu menghajar bagian otak kecil musuhnya dengan bertubi-tubi hingga tak bergerak lagi.

“—Strad, dua orang musuh bergerak ke arahmu!—“

Strad langsung bangkit dan buru-buru meninggalkan posisinya.

*****

Terdengar suara dentangan dari dalam kokpit helikopter berasal dari peluru-peluru musuh yang ditembakkan.

“Capt! Kenapa kita tidak langsung saja menembaki mereka?!” tanya co-pilot-nya.

“Bersabarlah, kawan. Kita menunggu sampai helikopter lelet itu sampai ke sini!” jawab sang pilot sembali terus bermanuver dalam ketinggian rendah-kecepatan tinggi.

*****

Strad mencoba membuat musuh-musuhnya terpencar dan menjauhi daerah di mana Dougherty bersembunyi dengan cara hit and run, walhasil, prajurit SS yang gemas terhadapnya, tetap mengejarnya.

“—Strad! Ada satu orang musuh bergerak mencari paket!—“

Pandangan Strad pun langsung beralih ke tempat di mana Dougherty ia sembunyikan, Strad bisa melihat seorang prajurit SS sedang menyisiri setiap sudut pepohon dengan cepat untuk mencari keberadaan Dougherty.

”ANNE, DIMANA JEMPUTAN SIALAN ITU?!!” tanya Komandan Piccard kesal.

”Li—Lima menit lagi, Pak!..” jawab Anne gagap, ia juga hanyut dalam baku tembak itu.

Komandan Piccard yang awalnya terlihat tenang itu, seketika berubah menjadi sosok emosional ketika melihat anakbuahnya sedang dalam keadaan di ujung tanduk.

*****

Dougherty yang sedang meringkuk bisa mendengar suara langkah pasukan SS yang sedang sibuk mencarinya.

Jantungnya mulai berdegub kencang ketika ia bisa mendengar suara desisan rumput dan patahan ranting makin terdengar, Dougherty berusaha untuk mengatur napasnya, supaya tidak terdengar oleh telinga orang yang memburunya.

*****

Sedikit lagi!—Pekik Strad dalam hati, wajahnya mulai pucat dan mimik mukanya mengejan karena memaksakan kaki kanannya yang terluka untuk berlari sekencang mungkin hingga sampai di jarak tembak terjelas.

*****

“Aha! Di situ ternyata!!”

Dougherty tersentak ketika mendengar suara prajurit SS yang berhasil memergoki dirinya bersembunyi, bayangan anak-istri serta kehidupan di rumah yang damai—makin terlihat jelas di benaknya ketika mendengar suara kokangan senjata.

Seluruh tubuh sudah berada tepat di penjera G36C prajurit SS itu—tinggal tekan pelatuknya saja!

Aku tidak mau mati!—Jerit Dougherty dalam hati.

*****

Tiba-tiba terdengar desingan peluru, tanah di sekitarnya beterbangan, ia mengerang kesakitan ketika tiga peluru Strad menerjang tulang belikat, rusuk kiri bawah, dan betis kanannya, ia mencoba segera menghindari tembakan Strad yang sedang melancarkan teknik menembak sambil berjalan cepat.

*****

M4RIS-nya berdetik—tanda amunisi habis, karena sudah terlatih, ia langsung mencabut pistolnya dan menembaki musuhnya sampai tak bergerak—tak ada ampun untuk musuh!

Ketika pasukan SS itu tergeletak dan tak bergerak lagi, ia langsung berlari sekuat tenaga menuju persembunyian Dougherty.

*****

Dougherty tersentak kaget ketika bahunya diremas.

“Ini aku.” Jawab Strad sembari buru-buru mengganti magasen M4RIS dan pistolnya.

“—Strad. Di sini Induk Ayam. Bersiaplah untuk penjemputan!—“

“Di sini Strad. Roger.”

*****

“Akhirnya kalian datang juga—Lambat sekali!” ujar pilot Cobra kesal.

“—Maaf. Empat tangki bahan bakar tambahan ini membuat kami terbang lambat!—“ jawab pilot Induk Ayam.

“Bersiap, kawan—“ ujar pilot Bapak Ayam sembari memasang peralatan NVG infra merah di helm pilotnya, “Kita akan menghajar musang-musang sialan di bawah ini rata dengan tanah!”

*****

Sedangkan dua orang awak kabin Induk Ayam yang bersenjatakan M14 dengan teropong bidik malam bersiap-siap untuk memberikan bantuan tembak dari pintu kanan.

*****

Bapak Ayam langsung membanting tuas kemudinya, menukik tajam menembaki para pemburu itu tanpa ampun dengan kanon dua puluh milimeternya dengan gencar, menyalak tanpa ampun layaknya mesin jahit, menjahit semua posisi musuh yang ada.

Pasukan SS yang kalah kekuatan itu tewas bergelimpangan berkalang darah, sedangkan yang lainnya lari mencari selamat sembari melepaskan tembakan ke arah helikopter tempur Cobra.

Kilatan-kilatan mesiu yang meledak di ujung multilaras kanon Cobra yang menghujani pasukan musuh terlihat seperti kembang api di malam hari, pepohonan pun rontok tak berdaya diterjang peluru-peluru tajam yang digunakan untuk membungkan kendaraan lapis baja dan tank itu.

Sedangkan Strad meniban “misi utama”nya itu untuk melindungi pecahan-pecahan kayu yang hancur diterjang peluru Cobra yang nyasar, sedangkan Dougherty hanya bisa meringkuk mendengar suara rentetan senapan kaliber besar dan desingan peluru yang tak habis-habisnya, juga suara-suara tanah dibajak.

Dari dalam kokpit, sang co-pilot Cobra—dengan alat bantu lihat inframerah yang menempel di helm-nya—dengan santainya memainkan joystick-nya dan terus memencet tombol menembak layaknya membantai manusia di video game, ia tak akan melepas tombol menembak Cobra-nya sampai tak ada musuh yang berada di titik penjemputan.

Setelah beberapa lama menghujani para pemburu dengan kanon, Bapak Ayam kembali terbang dan memutar, lalu meluncurkan peluru-peluru roket FFAR ke arah hutan dimana pasukan SS yang tersisa berhasil lolos.

Bola-bola api membumbung tinggi di angkasa, hutan-hutan di sekitar Titik Penjemputan dilalap si jago merah yang berasal dari percikan ledakan mesiu peluru maupun roket Bapak Ayam.

Setelah keadaan mulai aman, dengan cepat Induk Ayam menukik ke darat, mengangkat kepalanya hingga ketiga ban pendaratnya mendarat dengan cepat namun selamat, deru baling-baling helikopter UH-60L Pavehawk yang merapat ke Titik Penjemputan semakin menambah keributan di malam itu.

”Jemputan kita sudah datang. Ayo!” papah Strad.

*****

Dengan kamera infra-merah, sang pilot AH-1 bisa melihat para pasukan SS—yang terlihat seperti semut dari ketinggian terbangnya—semuanya tak ada yang bergerak sedikit pun, ia pun mengawasi kelap-kelip yang sedang bergerak lamban mendekati Induk Ayam yang sudah menyentuh tanah dalam keadaan rotor tetap berputar kencang.

“Titik Penjemputan sudah bersih dari gangguan!” lapor sang co-pilot sembari mencabut kembali NVG-nya.

“Tugas yang luar biasa, letnan!” puji sang pilot berpangkat kapten itu.

”—Di sini Komando. Kami menyadap komunikasi musuh kalau kalian berdua terdeteksi radar mereka, kalian Cuma punya waktu sepuluh menit untuk pergi dari Titik Penjemputan!—“ lapor Komandan Piccard.

“Di sini Bapak Ayam. Roger, Komando.” Jawab sang pilot.

*****

“Selamat datang kembali, Kawan!” sambut awak helikopter sembari membantu menaikkan Dougherty yang buta itu.

Awak helikopter itu kebingungan ketika tak ada siapa pun yang menyusul masuk ke dalam kabin helikopter, ia pun mencoba menanyakannya kepada Strad yang sedang menyandarkan punggungnya di kabin helikopter.

”Hey, dimana yang lainnya?” tanya awak itu heran.

”Kami cuma berdua.” jawab Strad.

Ia tak banyak tanya lagi, awak helikopter langsung memberikan isyarat kepada sang pilot yang dibalas tanda jempol dari sang pilot, helikopter pavehawk dengan sandi Induk Ayam langsung memaksimalkan tenaganya untuk bergegas terbang meninggalkan kawasan Turkjiyan secepatnya.

*****

”—Disini Induk Ayam. Paket berharga sudah berada di pelukan kami. Kami ulangi, Paket berharga sudah berada di pelukan kami.—“

Induk Ayam terbang lebih dahulu meninggalkan Titik Penjemputan, sedangkan Bapak Ayam menyusul di belakang setelah satu kali memutari Titik Penjemputan.

Anne tersenyum lega ketika melihat Komandan Piccard terlihat lega dan plong ketika mendengar misi perdananya akhirnya sukses walau ada sedikit masalah terjadi.

Komandan Piccard teringat sesuatu tentang Anne, ”Oh ya, Anne!”

“Ya, Pak?” jawab Anne.

Komandan Piccard berbicara malu-malu, ”Maaf kalau tadi aku membentakmu. Itu cuma karena rasa panikku saja—Ngomong-ngomong, kerja yang bagus, Sersan!” ujar Komandan Piccard.

Anne tersenyum ramah kepada sang komandan, ”Sama-sama, Pak.” jawab Anne.

“Pantau terus perkembangan musuh, Sersan!” komando Komandan Piccard mantap.

*****

Strad menyelonjorkan kakinya yang terluka, menyandarkan kepalanya ke dinding kabin helikopter menikmati sejuknya angin pagi di wilayah musuh, ia pun memandangi Dougherty yang sedang diganti perbannya oleh awak helikopter yang merangkap jadi unit menis.

“Entah apa yang harus aku katakan kepada anak-istriku kelak ketika melihat keadaanku seperti ini.” gumam Dougherty.

Strad tak menjawabnya, ia hanya memandangi tubuh Dougherty yang sedang dibersihkan luka dan kotoran yang melekat di sekujur tubuhnya, dengan balutan perban yang banyak, ia lebih cocok menjadi seorang mumi ketimbang seorang agen Junon.

”Kau terluka, kawan.” ujar seorang awak sembari memandangi paha dan lengan kaos hitamnya yang terluka itu.

Strad memandangi lengan beserta celana multicam-nya yang robek, ”Hanya luka biasa.” jawab Strad singkat.

“Ngomong-ngomong, bagaimana kabarnya para pemberontak yang membantu kita, ya?” tanya Dougherty.

”Entahlah.” jawab Strad singkat.

Dougherty menghela napas panjang,

”Semoga mereka semua selamat.” seloroh Dougherty.

Strad terus memandangi dataran yang ada di bawahnya. Mulai menunjukkan warna yang sebenarnya ketika matahari di ufuk timur mulai keluar dari cakrawala, “Semoga.” Jawabnya.

Terlalu indah untuk dilewatkan dalam perjalanan dengan ketinggian 1500 kaki, pemandangan yang selama tiga tahun ini tidak pernah Strad lihat.

*****

Nikolai terkesiap ketika mendengar dua helikopter terbang tepat di atas kepalanya, ia memberanikan diri keluar dari dalam gelapnya hutan untuk mengenali siapa pemilik dua helikopter itu.

Helikopter Cobra dan Pavehawk—kedua helikopter yang mulai lenyap di cakrawala pagi itu membuatnya tersenyum lega. Kedua pengikut setia pun ikut memberanikan diri keluar dari persembunyian mereka.

“Musuh?” tanya Visier resah.

Nikolai menggelengkan kepalanya dan tersenyum renyah kepada mereka, “Bukan.” Jawabnya, “Sepertinya teman sekutu kita sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik.” Lanjutnya sembari memayungi wajahnya yang kesilauan dengan tangan kirinya.

“Apakah setelah mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan, mereka akan menepati janji mereka?” tanya Johan polos.

Nikolai terkejut akan pertanyaan Johan yang sangat mengena, ia tahu kalau dalam politik, tak ada kesepakatan sejati, namun Nikolai mencoba menyembunyikan kebenaran yang kejam itu dari Johan dan Visier.

“Tentu! Pasti!” jawab Nikolai mantap, “—Pasti.” lanjutnya tenang, dirinya tetap berharap mereka memang benar-benar seorang kawan.

Matahari di Turkjiyan serasa lebih menyilaukan dari sebelumnya.

=== THE STRADS EPISODE DUA, SELESAI ===

Tidak ada komentar:

Posting Komentar