Senin, 10 Januari 2011

THE STRADS (EPISODE SATU)

PUKUL 0100
KETINGGIAN 35 RIBU KAKI
PERBATASAN UDARA REPUBLIK RUNE-MIDGARD—REPUBLIK ESTHAR
SAMUDRA ESTHAR

Pesawat angkut militer C-17 menjelajah langit sembari sekali-kali meliuk-liuk di udara dengan anggunnya, pesawat tambun bewarna hitam keabu-abuan itu seperti seekor angsa—angsa hitam tepatnya—hewan yang terkenal terbang dengan penuh keanggunan.

Beberapa puluh mil lagi pesawat ini akan sampai di perbatasan udara antara Republik Rune-Midgard dengan Republik Esthar—salahsatu dari negara besar di Benua Estharian yang diduduki oleh Kekaisaran Galbadia lima tahun yang lalu.

Sang pilot dan co-pilotnya terlihat sangat sibuk memantau radar dan peralatan navigasinya dengan harap-harap cemas, takut keberadaan pesawat tambun—yang akan menyusup ke dalam wilayah udara Esthar tanpa pengawalan—terendus radar milik Kekaisaran Galbadia yang memasuki mereka tanpa ijin.

Gawat akibatnya kalau pesawat rahasia itu ketahuan menyelinap ke pekarangan mereka, pesawat ini akan langsung dicegat dan dipaksa mendarat oleh pesawat-pesawat tempur pangkalan udara terdekat, tapi tidak ada pilihan seperti itu untuk misi rahasia ini, hanya ada perintah melawan dan berusaha lari.

Berusaha lari? Bagaimana bisa pesawat selamban ini bisa lari dari kejaran pesawat tempur? Seratus persen mereka akan pulang tinggal nama apabila mencoba lari—dan pihak militer Rune-Midgard pun akan mengumumkan kematian mereka sebagai “meninggal karena kecelakaan udara”.

Yang penting adalah, yang memerintah dan diperintah dalam misi rahasia ini sama-sama orang tidak waras, karena yang memerintahkan memberikan pilihan absolut yang kejam, sedangkan yang diperintah mau saja mau dan melaksanakan misi gila ini.

=== THE STRADS : EPISODE SATU, DIMULAI ===

Strad bisa melihat jam tangan digitalnya, jam tangannya tak cuma menunjukkan pukul 0105 pagi saja, tapi juga ketinggian 35 ribu kaki, dan suhu kabin yang berkisar 25 derajat celsius, untuk orang-orang seperti dia, ia membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekedar menunjukkan waktu secara akurat dan kemampuan tahan tekanan air laut yang besar.

Empat jam lagi, waktu penerjunan masih lama, ia pun mulai gelisah, tetapi ia tetap berusaha menenangkan dirinya sendiri yang sudah dipenuhi dengan perlengkapan terjun HALO—memakai helm terjun ala pilot pesawat tempur, dimana selang napasnya disambungkan ke tangki oksigen dan pemberat limapuluh kilogram yang menggantung di dadanya.

Dan sebuah ransel MOLLE yang berisi seluruh perlengkapannya bertugas nanti ditambah tas kecil parasut cadangan terikat di antara perut dan kedua kakinya ia pangku selama ia duduk, hanya ini lah satu-satunya cara untuk membawa perlengkapan tempurnya, karena punggungnya sudah dijejali dengan tas berisi parasut utama.

“—Gelisah, heh?—“ tanya komandan yang mengirimnya.

”Ya. Karena ini adalah saat pembuktian.” jawab Strad datar.

“—Pembuktian setelah selama ini berlatih dengan keras, ada hasilnya, eh?—“

“Ya.”

“Gelisah pada saat tugas pertama itu wajar, kok..” ujar Komandan Nicholas Piccard—pria berambut pirang klimis dengan kumis tipisnya yang juga pirang, begitulah sosok sang komandan—dalam misi ini, ia memiliki nama sandi Komando. ”Tapi jangan sampai kegelisahanmu dibawa selama misi berlangsung!” tambah Komandan Piccard mengingatkan.

Hanya bermodal radar, sang komandan bisa memantau keberadaan Mother Goose dan orang kirimannya itu dari dalam ruangan sebesar 50x50 meter yang dipenuhi oleh peralatan navigasi dan komunikasi teknologi terkini—tempat ini dikenal dengan nama Ruang Komando.

”—Baik.—“ jawabnya singkat dengan deru suara napasnya yang ditutupi oleh masker oksigen.

Saatnya masa pembuktian atas gemblengan-gemblengan yang kau ikuti selama ini—mulai bergaung di benaknya, misi pertama memang adalah masa pembuktian kalau latihan keras yang ia lakukan selama ini tidak sia-sia.

Strad memandangi lampu terjun yang berada di bibir pintu kargo belum menyala, pintu kargo di sampingnya pun masih tertutup, dan ruang kargo yang bisa menampung pasukan setengah kompi dan dua jip Humvee itu terlihat sangat gelap dan mencekam.

“—Oh ya, Strad! Ada yang ingin aku kenalkan kepadamu!—“ ujar Komandan Piccard.

Komandan Piccard memperkenalkan seorang prajurit wanita yang dipercaya mendampingi nya sebagai operator radar Komandan Piccard, entah dari mana Komandan Piccard—dan juga bagaimana caranya ia merekrut—seorang wanita manis berambut hitam legam lurus dan berkacamata minus yang membuatnya semakin manis dan menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada, menjadi bagian dari satuan tugas yang dipimpinnya.

*****

“Hi, Strad! Senang bertemu denganmu lewat komunikasi radio!” sapa Anne.

“—Siapa dia?—“

“Perkenalkan, kau bisa memanggilku Ann! Aku bertugas sebagai operator radar dan komunikasi dalam misi ini, juga merangkap sebagai pendamping Komandan Piccard, kau bisa menghubungiku apabila Komandan Piccard tiba-tiba sedang berhalangan dalam misi.” Jawab Ann.

“Dia adalah salahsatu anggota terbaik Korps Komunikasi dan Radar yang dipercaya untuk terlibat dalam tugas ini. Kau bisa meminta petunjuk atau informasi tambahan yang menurutmu dibutuhkan dalam rangka melancarkan misi yang diemban.” Tambah Komandan Piccard.

“—Roger, Komando.—“

*****

Dengan tenang Anne memperhatikan Mother Goose yang beberapa jengkal—jarak monitor radarnya—lagi akan sampai di garis putih putus-putus yang menunjukkan garis perbatasan antara Rune-Midgard dengan wilayah pendudukan Kekaisaran Galbadia, dengan begitu tenangnya, tak banyak—bahkan sedikit sekali—wanita yang begitu khusyuk melakukan pekerjaan semembosankan yang dikerjakan Anne sekarang.

“Strad, Mother Goose sudah mulai memasuki wilayah Esthar! Sebaiknya kau bersiap-siap untuk mematikan segala peralatan komunikasi hingga kau sampai di titik pendaratan!” ujar Ann.

Dari layar komputer terlihat jelas radar udara menunjukkan pesawat C-17 dengan sandi Mother Goose beberapa mil lagi akan memasuki garis kedaulatan udara Republik Esthar yang dikuasai oleh ratusan kapal perang Kerajaan Fasis Galbadia dan patroli Angkatan Udara yang menjaga wilayah negara pendudukan itu.

Sistem navigasi C-17 pun senada dengan radar Komando, alaram tanda peringatan memasuki wilayah berbahaya pun mulai menyala-nyala untuk memberi peringatan kepada sang pilot dan co-pilotnya—segera kembali atau tetap nekat memasuki mulut singa.

“—Disini Mother Goose, beberapa menit lagi kami akan memasuki wilayah musuh. Bersiap untuk mematikan komunikasi—“ lapor pilot C-17 kepada Komandan Piccard.

Komandan Piccard mengangguk mengerti, ”Baik, laporan diterima, Mother Goose. Bersiap untuk mematikan komunikasi sampai waktu yang ditentukan. Hati-hati di jalan, dan semoga Tuhan bersama kalian..” jawab Komandan Piccard, “Kau dengar itu, Nak?” Tanya Komandan Piccard kepada Strad.

*****

Strad mengangguk paham walaupun sang komandan tak melihatnya mengangguk.”Roger, Komando.” jawabnya mantap.

”—Bagus. Mematikan komunikasi radio dilaksanakan! Semoga beruntung.—”

Mother Goose dan markas komando pun bersama-sama mematikan komunikasi navigasi dan radio mereka masing-masing ketika beberapa detik lagi akan memasuki wilayah musuh.

Dengan sigap sang co-pilot mematikan alaram itu, termasuk segala sistem navigasi dan komunikasi otomatis yang membutuhkan hubungan timbal-balik dengan peralatan komunikasi semuanya diputus sementara.

Kini yang ada di dalam kokpit mereka yang penuh dengan instrumen pesawat yang canggih dan rumit itu hanya instrumen elektronik penanda performa pesawat dan penunjung mata angin digital.

Sang pilot pun meraih peta navigasi, penggaris, dan pensil yang disimpan di dalam dashboard samping kokpitnya—saatnya mereka mengulang kembali pelajaran navigasi manual seperti waktu di Akademi Angkatan Udara dulu.

*****

Radar Komando pun kehilangan posisi Mother Goose, titik-titik pesawat C-17 yang terlihat di monitor Komandan Piccard pun menghilang dengan sekejap mata.

“Kita sudah kehilangan posisi Mother Goose!” lapor Anne.

Selama empat jam mereka akan kehilangan posisi pasti Mother Goose di wilayah Negara Pendudukan Esthar untuk menghindari deteksi radar musuh yang tertanam di penjuru wilayahnya, Komandan Piccard hanya bisa menunggu selama empat jam sesuai dengan yang direncanakan.

Komandan Piccard juga terlihat tegang, karena ia baru melaksanakan tugas pertamanya juga, tugas pertama yang nyata, setelah beberapa bulan menjalani latihan simulasi yang direkayasa seperti aslinya bersama tim yang lainnya.

”Semoga mereka sampai sesuai dengan jadwal.” gumamnya resah. Matanya tak henti-hentinya memandangi belasan layar komputer yang tak menemukan keberadaan Mother Goose.

*****

Sedangkan tiga ratus mil dari posisi terakhir Mother Goose, Mark Dougherty—seorang pria setengah baya dengan tubuh penuh luka dan juga babak belur, duduk terikat tak berdaya di dalam jeruji besi yang dingin dan gelap.

Sudah tiga bulan penuh ia mengalami nasib setragis ini setelah ia teledor melaksanakan tugas rahasianya, yaitu memata-matai aktivitas pasukan Galbadia yang berada di Kota Primea-Mirkovii, salahsatu dari ratusan kota kecil di Turkjiyan—salahsatu dari Negara-negara kecil yang bernasib sama seperti Esthar—yang dijadikan wilayah militer Galbadia.

*****

Beberapa lama kemudian, Mark bisa mendengar suara decitan pintu jeruji baja yang mengurung dirinya terbuka, pandangannya terpaku pada dua orang prajurit SS berseragam flektarn berwajah psikopat yang membukakan pintu itu untuk komandannya, suara derap langkah sepatu larsnya terdengar jelas di telinganya, ia hanya bisa memejamkan matanya dan menghela napas panjang sejenak.

Sudah waktunya—ujarnya dalam hati, sesuai dengan jadwal, malam ini ia akan diintrogasi oleh seorang komandan pasukan elit SS lagi seperti biasa, sudah sebulan penuh ia disiksa oleh sang Sang Kapten berpangkat kapten ini untuk menguak jati diri yang sebenarnya dari Mark.

Sudah beribu kali pertanyaan yang menanyakan maksudnya berada di kota ini dijawab dengan jawaban—Mark Dougherty, saya hanya wartawan The Midgard Post yang sedang melakukan peliputan di Kota Primea-Murkovii—kota kecil yang menjadi wilayah tanggung jawabnya, bukan, kekuasaan Sang Kapten.

Pukulan dengan cambuk, balok kayu, bahkan hingga setruman bertegangan tinggi pun, sudah menjadi menu sehari-hari Mark selama tiga bulan ini, tak bisa membuka mulut Mark yang dikunci rapat-rapat.

“Selamat pagi, Tuan Dougherty. Sepertinya anda sudah tak sabar menunggu kedatangan saya.” sapa Sang Kapten.

Ia menggaruk alis kanannya yang gatal, sudah ciri khasnya sebelum melakukan introgasinya yang kejam itu, sedangkan dua pengawalnya yang menjadi langganan menyiksa Mark, berdiri di belakang sang komandan dengan sikap sempurna.

Mark bisa melihat sosok Sang Kapten dengan kedua matanya yang bengap-bengap—berseragam pakaian dinas harian hitam-hitam terbuat dari campuran katun dan sutra, lengkap dengan bordiran dan kancing bewarna perak, dengan tanda dua garis perak di kedua bahunya, lengkap dengan tanda jasa, dan yang paling ditakuti adalah lambang SS yang merupakan kepanjangan dari Super-Soldaten itu, dan lambang tengkorak di kerahnya yang sering disebut dengan totenkopf.

“Tuan Dougherty!.. Perkenankan saya untuk mengungkapkan perasaan dan pemikiran saya yang selama tiga bulan ini tidak pernah saya utarakan kepada anda.” Ujar Sang Kapten.

Ia mulai berjalan menghampiri Mark yang dalam terikat dan babak-belur karena selama tiga bulan disiksa oleh perwira kejam itu.

Mark bisa mendengar suara derap sepatu lars Sang Kapten itu, suara derap sepatunya begitu garang dan kokoh, seperti langkah kaki malaikat kematian yang mendekati para korbannya dan bisa mencabut nyawa mereka bila ia mau.

”Baru kali ini, kami mendapatkan orang sebebal anda. Padahal, sebelum-sebelumnya tak perlu sehari, ya, pengalaman ada juga yang sampai seminggu, untuk bisa bekerjasama dengan orang-orang seperti anda—dengan baik, Tuan Dougherty.”

Bau parfum mahal yang sudah ia hapal betul baunya juga merebak wangi di belakangnya, namun kematian dan kekejian yang tercium lebih pekat dari tubuh Sang Kapten mengalahkan bau parfumnya.

Tiba-tiba, lengan kanan sang komandan langsung membelit lehernya, Mark tak menyangka kalau kedua lengannya yang terbalut jas pakaian dinas harian bewarna hitam legam itu membelit lehernya dengan kencang.

Mark mengerang yang berusaha menahan sakitnya pitingan sang komandan, walau seluruh tubuhnya terikat erat oleh tali tambang, ia tetap bergerak meronta-ronta—dorongan relfeks membela diri dari tulang belakangnya masih bekerja, walau otaknya tahu, meronta-ronta tak akan bisa menyelamatkannya.

”Kami harap anda bisa mau bekerjasama dengan kami kali ini! Katakan! Siapa yang mengirim anda kesini?! Nacadian? Balamb? Komunis Trabia? Atau Midgard yang menjadikan kau sekeraskepala ini??” tanya Sang Kapten sambil terus memitingnya, semakin lama pitingannya semakin kuat, dan membuat Mark mulai susah bernapas.

Dua bawahan Sang Kapten hanya bisa berdiri di pojokan ruang tahanan Mark sembari tersenyum keji ketika melihat wajah Mark yang semakin memerah dan mengeluarkan keringat yang mengucur deras, beberapa detik kemudian, tubuh Mark makin meronta-ronta keras seiring dengan napasnya yang makin tersengal-sengal.

“Su—Sudah kubilang!.. Aku hanya seorang wartawan The Mid—Midgard Post!..” jawab Mark yang susah bicara karena oksigen yang mulai habis karena pitingan Sang Kapten itu.

”Kurang ajar!! Masih beraninya kau!!”

Ia melepas pitingannya dan menghempaskan Mark yang terikat di kursi dengan keras, suara benturan kepala dengan lantai ruang tahanan Mark yang berlumut dan jorok terdengar lumayan keras.

Mark terbatuk-batuk dan berusaha mencari oksigen ke dalam mulutnya yang bengkak dan memar sebanyak-banyaknya—siapa tahu pitingan selanjutnya ia tidak akan bisa bernapas seperti ini lagi.

Matanya yang bengkak itu memandangi Sang Kapten yang mondar-mandir gelisah karena kehilangan akal untuk membuka mulutnya, ia benar-benar kalap seperti singa yang pusing dan bingung karena sudah seminggu tak dapat mangsa, ia memandangi dua anakbuahnya yang datang bersamanya itu. ”Kalian! Hajar dia!” suruh sang komandan.

Itu yang kami tunggu darimu, komandan—mungkin itu jawaban dari tatapan kedua prajurit SS yang begitu tanggap atas perintah sang komandan yang kehabisan akal itu.

Tanpa ampun dua prajurit SS itu langsung menghampiri dan menghajar Mark yang tubuhnya hancur lebur itu tanpa ampun dan tanpa jeda, Sang Kapten itu merapihkan lengan kanan seragamnya, lalu ia berkacak pinggang, memandangi kesal Mark yang sedang mengaduh-aduh dihajar habis-habisan oleh dua prajurit SS itu.

Terdengar suara tersedak bercampur darah segar yang keluar dari tenggorokan Mark, entah berapa liter darah segar yang kembali menetes di lantai penjara yang memerah karena cipratan dan tetesan darah Mark.

Mark bisa mendengar suara sengalan dua prajurit SS itu, kelihatannya mereka sedang mengambil napas karena lelah menyiksanya, ternyata menyiksa Mark yang tetap bebal itu benar-benar merepotkan, baru pertama kali mereka mendapatkan mainan sekeraskepala dia.

Salahsatu dari prajurit SS itu langsung kembali menarik kerah bajunya yang sudah compang-camping itu dan lanjut bersiap melayangkan bogem mentahnya lagi dengan seluruh kekuatan yang ada.

“Kau!” panggil sang komandan kepada seorang anakbuahnya.

Pukulan mautnya yang akan dilayangkan itu seketika terhenti ketika pemimpinnya memanggil, mereka berdua pun langsung menghampiri sang komandan.

”Siap!” jawabnya sembari mencampakkan Mark di lantai.

Sang Kapten itu mengatakan sesuatu yang tak bisa Mark dengar, yang ia dengar hanyalah suara sepatu lars tentara SS yang menghantam perutnya dengan sangat keras.

Ia cuma bisa melihat Sang Kapten sepertinya sedang mengatur siasat dengan dua cecunguknya, dua prajurit SS itu mengangguk mengerti dan bergegas pergi meninggalkan ruang penjara setelah mendengarkan apa yang dibicarakan sang komandan.

Mark melihat Sang Kapten memandanginya sembari tersenyum puas sambil mengusap-usap dagunya yang belah itu, senyuman itu—sangat sangat penuh arti, sepertinya ia sedang menyusun sesuatu untuk Mark.

Mark pun menyesali dirinya sendiri, menyesali dan mempertanyakan kenapa harus kedua gendang telinganya yang mereka rusak, sehingga ia tidak bisa terlalu jelas mendengar apa yang sedang disiasati oleh para penyiksanya itu.

Beberapa lama kemudian, terdengar suara tepuk tangan yang memecah keheningan penjara Mark.

”Luar biasa, Tuan Dougherty, luar biasa..” puji Sang Kapten sembari terus menepuk kedua tangannya dan mengangguk kagum, ”Mereka memang benar-benar pintar menciptakan mata-mata tangguh yang akan menutup mulutnya sampai mati.” gumam Sang Kapten yang tak bisa membohongi dirinya yang kagum akan Mark.

“Aku akui, kau memang seorang yang kuat. Dengan berbagai siksaan demi siksaan, kau bisa melewatinya. Tak pernah ada yang tahan dengan siksaan ala prajurit SS! Namun kau ternyata berbeda dari mereka. Kau lebih kuat—dan juga lebih keras kepala!!” pujinya dengan suara lantang.

Suara lantang itu—Mark bisa mengendus keputusasaan Sang Kapten itu, tiga bulan mencoba mengintrogasi dengan berbagai cara—dari cara lembut, sampai cara kejam nir-perikemanusiaan—tapi tak memperoleh apa yang ingin ia dapatkan—benar-benar membuatnya hampir gila!

Beberapa lama kemudian, anakbuahnya membawa sebilah besi panas, dengan tatapan buram, Mark bisa melihat tangan kanan prajurit SS yang berbalutkan sarung tangan, memegang sebatang besi sepanjang lengan manusia dewasa dimana ujungnya bersinar merah terang.

Dengan hati-hati ia menyerahkannya kepada sang komandan, ia memandangi ujung besi yang membara itu dengan penuh kekaguman, begitu juga dengan sang komandan, tidak, tatapannya lebih dari sekedar kekaguman—ia memang sudah mengharapkannya begitu lama.

Sang Kapten itu berjalan menghampiri Mark yang masih tersungkur di atas lantai penjara, dua anakbuahnya itu langsung mengembalikan posisi dirinya yang terikat dengan kursi, seperti semula.

Rubah menatap ngeri besi panas itu, ia bisa melihat asap putih yang memuai dari ujungnya yang merah membara itu, tak disangka, desisan panas besi itu terdengar begitu jelas di telinganya yang nyaris tuli itu.

“Mungkin anda berpikir kalau besi panas membara ini akan ditempelkan kepada tubuh anda ketika anda kembali menyangkalnya.” gumamnya.

Lalu ia menodongkan besi panas membara itu ke mata kanan Mark, ia bisa merasakan betapa panasnya hawa ujung besi itu, entah berapa ratus derajat Celsius yang ada pada ujung besi panas yang dipanasi dengan api las itu.

”Katakanlah, sebelum besi ini akan melelehkan kedua mata anda itu dari tempatnya.”goda Sang Kapten.

Rubah bisa mencium bau besi terbakar itu dan mendengar desisan besi panas yang merah membara itu.

Jantungnya berdegub sangat kencang, keringat dingin berucucuran, rasa takut akan kehilangan keduamatanya mulai menyeruak, sang Kapten tersenyum puas ketika melihat korbannya mulai ketakutan ketika mendengar ancamannya itu.

Ternyata ahli introgasi SS benar, orang lebih takut kehilangan bagian tubuhnya yang penting ketimbang sekujur tubuhnya disiksa dengan berbagai cara dan berbagai arah, sebenarnya ia ingin melakukan itu semua, tapi ia mencoba untuk bermain-main dengan mangsanya, dan ternyata mangsanya benar-benar membuatnya kesal, sehingga ia memutuskan untuk memberikan teknik pamungkasnya.

”Ini pasti tidak pernah diajarkan oleh para instrukturmu.” gumam Sang Kapten sembari memandangi ujung besi panas itu dengan tatapan culasnya.

Ia kembali mendekatkan ujung besi membara itu di dekat mata pria setengah baya babak-belur itu yang sedang berusaha menutup-nutupi rasa takutnya itu.

”Menjadi buta adalah siksaan yang paling menyakitkan daripada siksaan lainnya. Jadi aku mohon janganlah kau berbuat tolol kali ini.” mohon Sang Kapten itu.

Pria itu mencoba menahan rasa takutnya, ia berusaha untuk menahan napasnya dalam-dalam, Sang Kapten hanya bisa menghela napas panjang ketika tahu kalau lawan bicaranya masih senang menutup mulutnya—walau kali ini ia terlihat ragu.

Sang Kapten itu memberikan kesempatan terakhir untuk Mark, ”Ini kesempatan terakhirmu. Untuk siapa anda bekerja untuk memata-matai pangkalan kami di Primea-Murkovii?” Tanya Sang Kapten.

Sang Kapten itu mendekatkan telinga kirinya ke mulut Mark yang bengkak dan memar, gigi-gigi di dalamnya pun banyak yang rontok, gusi-gusinya pun penuh luka karena terus dipukuli si Sang Kapten dan kedua anakbuahnya itu.

Terdengar desisan suara yang keluar dari mulut Mark—Rubah mulai bicara, Sang Kapten itu menajamkan pendengarannya dengan harap-harap cemas, berharap kalau intimidasi terakhirnya berhasil membuka mulut Mark.

Ternyata harapannya hancur total, kekecewaan yang sudah berada di ubun-ubun kepalanya mulai meletus ketika pria itu menjawab,

”Sudah kukatakan sebelumnya… Mark Dougherty, wartawan The Midgard Post, aku ditugaskan untuk meliput di Primea-Murkovii—Dasar goblok!” jawab pria itu.

Tanpa banyak tanya lagi, ia langsung menempelkan ujung besi panas itu ke mata pria itu.

”AAAAAAAAAAAHHHH!!!”

Erangan menyayat hati itu menggema di seluruh penjara.

*****

Langkah mantap Komandan Piccard memecah kesunyian sebuah asrama tentara, dengan mantel kulitnya yang hangat dan nyaman itu, ia menyembunyikan sebuah berkas besar untuk diserahkan kepada seseorang yang tinggal di asrama tentara itu, ia terlihat tegang, namun juga terlihat lega dan bersemangat, tegang karena hari yang ditentukan sudah datang, lega dan bersemangat karena hal yang ia tunggu-tunggu selama ini akhirnya datang juga.

Dua orang polisi militer dengan wajah sedingin es bersikap istirahat di tempat, di depan sebuah pintu bernomorkan 3506 berdiri kokoh bak karang menyambut Komandan Piccard—disanalah orang yang ingin ia temui itu berada.

Salahsatu dari mereka menghampiri Komandan Piccard, dan Komandan Piccard langsung menyingkapkan bagian kanan jaket kulitnya untuk menunjukkan kartu akses yang menggantung di dada kanannya.

Dua orang polisi militer itu langsung memberikan sikap sempurna di depan Komandan Piccard. Komandan Piccard mengangguk mengerti, dan salahsatu dari mereka membukakan pintu kamar itu.

”Terima kasih..” ujar Komandan Piccard.

Ia masuk ke dalam kamar 3506, terlihat dua buah ranjang bertingkat dua, lengkap dengan bantal-guling, juga selimut, dan juga meja belajar beserta sebuah kursi kecil untuk duduk, satu hal yang unik dari kamar 3506—semua serba putih—lengkap dengan langit-langit, lantai, pintu, dan tembok kamar.

“Hebat juga kau bisa tinggal di tempat seperti ini.” gumam Komandan Piccard kepada sosok pria berumuran 21 tahun, terlihat sedang tiduran di ranjang sebelah kirinya.

Mata birunya yang indah terlihat terpaku memandangi langit-langit ranjang atas yang juga bewarna putih, sudah hampir tiga tahun Strad betah di kamar 3506 selama ia menjalani latihan militer khusus di sana tanpa mengeluh akan kebosanan hidupnya disini.

Komandan Piccard merogoh jaket kulit kesayangannya itu, lalu ia menunjukkan sebuah amplop coklat dengan cap lambang negara—delapan mata angin—dan tulisan capital—RAHASIA NEGARA—dalam warna merah.

”Selamat, bersiaplah untuk tugas pertamamu.” ujar Komandan Piccard sembari menyunggingkan senyumannya yang tersembunyi di kumis tipis pirang menggemaskan.

Strad mengalihkan hiburan sehari-harinya itu—memandangi langit-langit ranjang atasnya—memandangi amplop coklat itu.

Ia terlihat sangat tertarik, walau wajahnya masih sedingin es dan sekaku robot itu, ia beranjak dari tempat tidurnya dan duduk membungkuk diatas tempat tidurnya yang sederhana, Komandan Piccard menyodorkan amplop coklat itu ke Strad, dan Strad meraih amplop coklat itu.

“Bukalah.” Ujar Komandan Piccard.

Dengan cepat namun hati-hati, Strad membuka map dokumen rahasia yang dilem dengan kuat dengan cara merobek sisi atasnya.

Komandan Strad terus memperhatikan tingkah laku Strad—Dia ini sebenarnya manusia atau robot?—tanya Komandan Piccard dalam hati.

Strad melihat berkas-berkas taklimat tugas pertamanya yang berhalaman-halaman itu, didampingi oleh foto intai dan foto seseorang.

“Tugas pertamamu adalah menyelamatkan salahsatu dari agen MCA—Midgard Central Agency, badan intelijen milik pemerintah Republik Rune-Midgard—yang memiliki nama sandi—Mark Dougherty.”

Strad memandangi foto-foto orang berumur setengah baya dengan berbagai macam sudut pengambilan gambar, lengkap dengan fotokopi tanda pengenalnya—Edward Kristenson—nama asli Mark yang tercantum pada fotokopi tanda pengenal MCA-nya.

Strad juga memperhatikan fotokopi tanda pengenal samarannya. Sebuah passport dengan nama Mark Dougherty dan badge pers dengan atasnama The Midgard Post, salahsatu dari media cetak yang ada di Rune-Midgard yang dijadikan kedok operasi rahasia yang dilakukan Mark.

“Junon—istilah bagi MCA—menugaskan Mark ke Turkjiyan selama setahun untuk memata-matai aktivitas militer pasukan pendudukan Kekaisaran Galbadia disana dengan menyamar sebagai wartawan, namun sialnya, ia dipergoki oleh elemen patroli dari Divisi Infantri ke-201 ketika melakukan tugas intelijennya di Kota Primea-Murkovii.

Sayang sekali. Padahal setelah tugas di Kota Primea-Murkovii selesai, ia akan kembali ke tanah air untuk melepas rindu dengan istri dan putri semata wayangnya..” ujar Komandan Piccard lirih.

Namun Strad terlihat tak perduli, ia lebih memperhatikan berkas-berkas taklimat dan foto-foto yang ada.

“Pada pukul 0000, kau akan berangkat dengan menggunakan pesawat angkut C-17 menuju titik penerjunan pada pukul 0530, kau akan terjun dengan HALO.” ujar Komandan Piccard sembari menunjuk sebuah foto rute penerbangan rahasianya.

Rute penerbangan rahasianya adalah ia akan berangkat dari Iskandarjamillah—pangkalan militer terdepan milik Rune-Midgard, lalu melintasi wilayah selatan perairan Esthar, lalu ke titik penerjunan di wilayah Republik Turkjiyan yang kini diduduki oleh pasukan Kekaisaran Galbadia.

Setelah mendarat di titik pendaratan bergeraklah ke titik pertemuan, lokasinya lima kilometer dari titik pendaratan, sekutu kita dari kelompok pemberontak setempat akan menjemputmu, merekalah yang tahu kondisi Mark paling lengkap, kelompok pemberontak lokal ini dipimpin oleh seorang mantan prajurit elit militer Turkjiyan bernama Nikolai.” ujar Komandan Piccard.

Komandan Piccard menunjukkan foto-foto Nikolai dari berbagai sudut, plus dengan foto close up-nya, biodata lengkap nama, tempat tanggal lahir, dan rekam jejak kemiliterannya juga ikut disajikan dengan lengkap, sosok pria campuran kaukasoid dan mongoloid dengan tatapan yang ramah di dalam frame close-up, itu yang Strad lihat dari foto yang ditunjukkan oleh Komandan Piccard.

”Bagaimana caranya aku bisa tahu kalau itu para pemberontak yang kau katakan?” Tanya Strad.

“Kalau kau melayangkan kata sandi BEBAS, maka mereka akan menjawabnya dengan kata MERDEKA—begitu juga sebaliknya.” jawab Komandan Piccard singkat.

“Junon tidak punya informasi detil lagi mengenai keberadaan yang pasti di mana Mark berada, lokasi dan kondisi teraktual Mark akan diberikan oleh para pemberontak yang sudah memantau kondisi Mark selama ini. Maka dari itu, tugasmu nanti adalah mencari informasi tentang Mark secara lengkap, berkoordinasi dengan mereka, dan melaporkannya kepada kami.”

“Oh ya, peta topografis lengkap dengan rute-rute yang harus kau lewati akan diunggah ke GPS portabelmu secara langsung dan mutakhir untuk membantumu nanti. Ada pertanyaan?” tanya Komandan Piccard.

Tak ada jawaban, Strad hanya terdiam, Komandan Piccard pun menghela napas panjang, berharap kalau sikap diamnya bukanlah sikap tidak memperhatikan segala taklimatnya.

Komandan Piccard melihat jam tangannya, ”Taklimat selesai, sisanya aku serahkan kepadamu. Kau punya waktu dua jam untuk bersiap-siap.” ujar Komandan Piccard sembari membalikkan badannya dan meninggalkan kamarnya.

*****

Di gudang logistik, Strad dengan gesit mempersiapkan perlengkapan yang akan ia bawa pada misi penyelamatannya, ia membongkar seisi loker yang ada di gudang,ia mencabut sepucuk senapan serbu M4RIS dan pistol M1911A3 sebagai pegangan utama dan senjata cadangan lengkap.

Tak lupa juga memborong delapan magazen cadangan kaliber 5,56 milimeter untuk M4RIS-nya dan empat magazen cadangan kaliber 45 ACP untuk pistol M1911A3-nya, tak lupa perangkat tambahan untuk senjata ia angkut juga yang dirasa penting untuk dibawa.

Alat bantu bidik ia mendaulat EOTech Holosight tipe 553 dengan bertenaga tritium yang mampu menyala hingga seratus tahun itu berfungsi sebagai pengganti pisir penjera standar yang tak mampu dibidik pada kondisi malam hari.

Baut-baut pelontar granat M203 tipe langsung pasang tak lupa ia kencangkan di bawah rel bawah RIS senapan andalannya itu, tak lupa ia membuka selongsong pelontarnya, untuk memastikan kalau mekanisme pelontar granatnya tidak mengalami masalah. Setelah merasa yakin mekanismenya baik, ia memasukkan sebutir peluru granat kaliber 40 milimeter ke dalam selongsongnya.

Dan yang terakhir, memasang peredam suara tepat di ujung laras depan M4RIS-nya, misi ini juga membutuhkan kesenyapan dalam bertindak, mengubah suara letusan senapan serbu yang seperti letusan karbit itu bisa berubah menjadi suara bantal dihantam oleh bat softball.

Tak Cuma M4RIS-nya saja, pistol M1911A3 yang merupakan hasil upgrade dari pistol legendaris M1911 itu tak lupa dipasangi asesoris layaknya M4RIS—walau lebih sederhana ketimbang senapan serbunya itu.

Ia memasang peredam pistol dan perangkat LAM, perangkat alat bidik laser, pada ujung laras pistol dan rel dibawah laras depan pistol M1911A3-nya itu. Ia mencoba membidikkan pistolnya lewat ghost-ring. Ruang logistik cukup gelap untuk membuat lingkaran penjera pistol bawaannya yang dilapisi radium menyala mengikuti intensitas cahaya di lingkungan sekitarnya.

Ia pun memasang rompi anti peluru tipe IBA—lengkap dengan empat kantong magazen tipe 5,56 milimeter, dua kantong magazen tipe pistol, empat kantong kecil untuk granat fragmentasi dan empat kantong kecil untuk amunisi peluru granat M203-nya, plus perangkat komunikasi radio yang menggantung di bagian punggung.

Strad sibuk menjejali isi ransel MOLLE-nya dengan camelbak isi tiga liter air mineral dan satu buah kantin untuk minuman cadangan, ransum MRE, peralatan P3K, dan beberapa kantong berisi bahan peledak tipe C4 yang akan berguna dalam tugasnya nanti.

Strad pun asyik mempermak wajahnya yang sedingin es itu dengan warna hijau, lengkap dengan garis-garis tipis warnah abu-bau tua. Rambut panjang selehernya yang bergelombang bak tsunami coklat itu ia gulung dan ditutup dengan bandana bewarna hijau zaitun.

Dengan wajahnya yang sudah diwarnai hijau keabu-abuan itu, ia membidikkan senapannya lewat Holosight 553. Ia bisa melihat crosshair laser holografis dengan titik di tengahnya bewarna merah dari dalam kaca setebal lima sentimeter itu.

CEKREK!

Strad mengokang M4RIS-nya—semuanya sudah siap!

*****

“Kita sudah sampai di Titik Penerjunan!” ujar sang co-pilot.

“Kau yakin?” tanya sang pilot C-17 yang kurang yakin dengan hasil kalkulasi navigasi manual partner kerjanya itu.

Rekannya menghela napas sesaat, ia sedikit kecewa dengan respons rekan kerjanya yang sudah ia anggap belahan jiwanya itu. “Aku mendapatkan nilai A plus dalam pelajaran navigasi dasar, kawan!” jawab sang co-pilot dengan nada menekan.

“Oke!” rekannya akhirnya setuju, “Nyalakan kembali sistem navigasi dan komunikasi!” ujar sang pilot sembari memandangi tombol lampu kargo yang tak jauh dari instrumen autopilot pesawat tambun kesayangannya itu, ia sudah gemas ingin memencet tombol itu—tapi belum ada ijin dari Komando untuk memencetnya.

*****

Anne yang terlihat bosan dan lelah menanti Mother Goose yang tidak memperlihatkan wujudnya selama empat jam di meja kerjanya, akhirnya terkesiap ketika melihat titik hijau menyala di wilayah Turkjiyan—Mother Goose akhirnya sampai juga di tempatnya!

“Pak, kita mendapatkan kembali sinyal Mother Goose, tepat di koordinat yang ditentukan!” lapor Anne kepada Komandan Piccard yang terus mematung memandangi layar monitor.

Komandan Piccard langsung terloncat dari diamnya—akhirnya!

“Bagaimana dengan reaksi musuh?” tanya Komandan Piccard menggebu-gebu.

Anne memperhatikan sadapan komunikasi pertahanan Galbadia, seperti yang diduga, mereka juga mendeteksi keberadaan Mother Goose yang tiba-tiba muncul di layar radar mereka dengan jelas, beberapa saat lagi mereka akan mengkontak patroli udara terdekat untuk mencegat pesawat gigantis itu.

“Radar mereka mendeteksi Mother Goose, Pak!”

“Seperti yang kita perkirakan, Sersan!” jawab Komandan Piccard.

Komandan Piccard hanya bisa berharap kalau Mother Goose melaksanakan tugasnya sesuai dengan rencana yang sudah disusun—setelah menyalakan sistem navigasi, mereka langsung bergegas menerjunkan Strad dan langsung terbang ke rute aman untuk pulang.

*****

“Komando, di sini Mother Goose, kami sudah sampai di posisi, bersiap untuk mengirimkan paket!” lapor pilot Mother Goose.

“—Di sini Komando, roger, Mother Goose, segera kirim!—“ jawab Komandan Piccard penuh semangat.

Dan dengan semangat juga, sang pilot Mother Goose langsung memencet tombol lampu kargo tanpa ragu.

*****

TING!

Lampu bewarna merah pun menyala terang di kabin belakang pesawat, melihat isyarat itu, Strad langsung memasang masker oksigennya.

”Bersiaplah, sobat!.. Kita sebentar lagi sampai di titik penerjunan!” ujar sang loadmaster bergegas menuju ujung pintu kargo sembari memasang masker oksigen yang menggantung di helmnya untuk memencet tombol pintu kargo.

Suara dengungan mesin terdengar memecahkan keheningan kabin pesawat seiring dengan pintu kargo yang bisa menelan sebuah tank M1A1 Abrams itu mulai membuka mulutnya.

Strad memandangi jam tangan digitalnya, angka digital yang ada di jam tangan canggihnya itu menunjukkan angka 0525—tepat waktu—lima menit lagi ia akan melakukan terjun HALO.

Dengan perlahan namun pasti, pintu kabin terbuka, cahaya cakrawala mulai merangsek masuk ke dalam kabin pesawat yang gelap dan dingin itu, hembusan angin juga tanpa ampun masuk ke dalam kabin lewat sela-sela pintu kargo yang terbuka teratur.

Samudra awan dan gemuruh angin dingin ketinggian 35 ribu kaki menyambut kedatangannya, walau tak bisa ia rasakan—karena terhalang helm terjunnya—ia bisa merasakan kuatnya daya tolak angin di ketinggian seperti itu.

Sang paket berusaha berdiri dari duduknya, ia sedikit sulit untuk berdiri karena beban perlengkapan terjunnya yang hampir mencapai seratus kilogram itu.

Hembusan kencang angin langit Turkjiyan menghajar tubuhnya, ia nyaris terjatuh dari berdirinya karena kencangnya kecepatan angin yang menyerbu ruang kabin belakang.

Selangkah demi selangkah, setahap demi setahap, ia akhirnya berhasil meraih bibir pintu kargo dan bisa melihat lautan awan tak berujung, dan permukaan bumi—yang terlihat dari celah-celah lautan awan—pun terlihat tak jelas.

”Kau beruntung, cuacanya sedang bagus!.. Ini bakalan jadi penerjunan yang menyenangkan, sobat!” ujar sang loadmaster yang ikut berpegangan di bibir pintu.

Menurut sistem GPS pesawat, dua setengah menit lagi mereka akan sampai di titik penerjunan yang berbukit landai dan penuh dengan hutan pinus yang sangat lebat—walau apa yang dilihat oleh dua orang di belakang tidak seperti yang ditunjukkan oleh GPS—tertutup oleh samudera awan cirus.

Dengan perlahan-lahan ia melangkah menuju ujung bibir kabin, hembusan angin semakin kencang, namun tak bisa menggoyahkannya karena kokohnya kuda-kuda sang paket yang dijejali oleh berbagai macam peralatan superberat.

Ia pun melebarkan kedua tangannya, menarik napas dalam-dalam untuk menenangakan dirinya.

Matahari pagi mulai menyilaukan kacamata terjunnya, seperti tak sabar untuk menjadi saksi bisu sebuah operasi militer rahasia pertama yang dilakukan oleh gugus tugas rahasia yang sudah dipersiapkan pemerintah Rune-Midgard bertahun-tahun lamanya.

*****

TING!

Lampu hijau pun menyala, sang loadmaster mengacungkan jempolnya sebagai tanda untuk mempersilahkannya untuk terjun, Strad mengangguk mantap, dan tanpa ragu lagi ia menerjunkan dirinya ke gugusan langit luas.

“Paket sudah diterjunkan, diulangi, Paket sudah diterjunkan!” lapor sang loadmaster sembari melihat sang paket menukik cepat menuju gugusan awan putih nan dingin itu.

Hanya dalam hitungan beberapa detik saja, ia sudah tak terlihat dari pandangan sang loadmaster, Mother Goose langsung membalikkan haluannya, terbang kembali menuju rute aman yang akan mereka terbangi.

“—Komando, disini Mother Goose. Paket sudah diterjunkan, kembali ke pangkalan.—“ lapor pilot C-17 yang mengantar Strad ke titik penerjunan.

”Disini Komando. Roger, Mother Goose, segera kembali ke pangkalan.” jawab Komandan Piccard.

”—Disini Mother Goose, roger, kembali ke pangkalan.—“ jawab sang pilot yang langsung memacu keempat mesin jet pesawatnya itu.

*****

Gemuruh suara angin terdengar jelas di kedua telinganya. Sedangkan Stardivarius hanya bisa memperhatikan peralatan altimeter portable-nya yang terpasang di lengan kirinya, altimeter digital terus menghitung mundur ketinggiannya—30 ribu kaki dan terus menghitung mundur dengan cepatnya.

Ia harus ingat kalau pada ketinggian 1500 kaki, ia harus sudah melepaskan parasutnya, sesuai dengan apa yang dilatih selama ini, lewat dari itu, bisa sangat fatal akibatnya!

*****

Sedangkan di ruang komando, Komandan Piccard terus memandangi layar LCD yang sedang menunjukkan posisi Mother Goose meninggalkan Titik Penjemputan menuju wilayah Kerajaan Balamb Raya dengan tenaga penuh.

*****

Permukaan bumi yang terlihat hanya terlihat sayup-sayup makin lama semakin jelas bentuknya ketika Strad terus menuruni ketinggian.

Strad terus berusaha mengendalikan posisi terjunnya yang diganggu oleh kecepatan terjunnya yang semakin tak terkendali dan juga tiupan angin sangat kencang yang berasal dari arah kanannya.

*****

“Bagaimana dengan aktivitas musuh?” Tanya Komandan Piccard resah.

Apa yang Anne lihat cukup membuatnya sedikit bernapas lega, ”Satu skadron pesawat Mirage baru saja lepas landas di pangkalan udara terdekat.” jawab Anne.

Komandan Piccard hanya bisa mencoba mengatur napasnya yang kian menderu seperti Strad yang berusaha bernapas dalam keadaan dadanya yang tertekan, dan terus menunggu kabar Strad yang sedang menukik tajam di udara.

Altimeter menunjukkan 6500 kaki, dan terus menghitung mundur dengan sangat cepat, kumpulan awan cumulus sudah mulai menyibakkan pemandangan indah kawasan berbukit-bukit Mirkovii dari langit, hutan belantara yang terpaparkan dari ujung ke ujung mata memandang, bagaikan sebuah permadani hijau raksasa ciptaan alam yang tak akan ada tandingannya.

Strad terus menahan dadanya yang semakin sesak oleh tekanan angin dingin menusuk tulang rusuknya, seperti ada orang yang sangat kuat mencoba menekan dadanya, kedua tangannya pun bergetar karena berusaha menahan kencangnya tekanan.

Matanya semakin jelas kalau ia sedang jatuh dalam kecepatan sangat tinggi, terlihat awan-awan putih dengan cepat ia terobos dalam hitungan detik, tubuhnya sudah seperti sebutir peluru yang ditembakkan dari laras senapan.

Altimeter menunjukkan ketinggian 3000 kaki dan terus menghitung mundur lebih cepat dari ketinggian sebelumnya, ia tetap berusaha berkonsentrasi mengendalikan penerjunannya walau dadanya semakin sesak karena tekanan udara.

1500 kaki!

Ia langsung menarik tuas tas parasutnya dengan cepat.

Parasut bewarna abu-abu itu mengembang dengan sekejap mata, lengkap dengan hentakan cepat dari daya tolak kain parasut yang mengembang, tak ada waktu untuk menikmati pemandangan Turkjiyan, ia harus segera meraih kedua tuas pengendali parasut kalau tak mau mendarat jauh dari lokasi penerjunan.

Kedua tangannya berhasil meraih kedua tuas pengendali parasut itu, dengan hati-hati ia mengendalikan parasutnya sesuai dengan apa yang ia dapatkan dari taklimat malam sebelumnya, ia membawa parasutnya ke sebuah hamparan rerumputan luas yang dikelilingi oleh gugusan hutan pinus yang lebat—seperti foto yang ia lihat dalam taklimat—.

Kini Strad mulai bisa mengendalikan napasnya, dadanya terasa lebih ringan ketikan tubuhnya melayang bersama parasut.

Dengan perlahan-lahan parasutnya mendekati rerumputan luas yang merupakan tempat di mana ia harus mendarat.

Sedangkan tak jauh dari titik penerjunan, limapuluh orang bersenjata yang sudah menunggu lama kedatangan Strad mulai gembira, ketika sang komandan melihat sebuah parasut sedang melayang di udara.

”Mereka datang! Ayo kita jemput mereka!” perintah sang komandan dari keempatpuluh sembilan orang bersenjatakan senjata rampasan perang itu.

Mereka pun langsung berjalan cepat menuju titik pertemuan, tempat dimana sesuai dengan yang dijanjikan.

*****

BRUK!

Kedua kakinya yang dijejali oleh pemberat dan ransel MOLLE-nya akhirnya menyentuh bumi dengan agak keras, ia langsung membuka sabuk tas parasutnya dengan cepat, lalu disusul dengan membuka pemberat-pemberat yang mengikat kedua kakinya.

Tak ada kamus untuk bersantai ketika sudah sampai di bumi lagi, ia langsung melipat parasut abu-abunya, dan lalu mengumpulkan semua peralatan terjun payungnya yang sudah tidak berguna lagi.

Ia memanggul ranselnya, dan serta mengalungkan tali senapan serbu M4RIS-nya, bergegas meninggalkan tempatnya ia terjun menuju kegelapan hutan pinus yang tak jauh dari titik penerjunan, bergegas untuk bersembunyi.

”Strad, disini Komando. Kau dengar kami?” panggil Komandan Piccard.

Setelah menemukan cekungan yang cukup tersembunyi di antara akar pepohonan ia bergegas membuka helm terjunnya dan menguburkan peralatan terjun lainnya dengan tanah dan dedaunan mati hingga dipastikan tidak terlihat sedikit pun perlengkapan terjunnya yang sudah tak berguna itu.

“—Strad, disini Komando. Kau dengar kami?—“ panggilan Komandan Piccard mulai mengganggu, padahal ia sedang sibuk membuka masker gasnya yang terlalu kencang mengikat lehernya.

Strad mulai membongkar dan memasang perlengkapan yang ada di isi ransel MOLLE-nya, memakai rompi IBA yang sudah ditempeli berbagai kantong tambahan, kantong air camelback, dan memasang kembali berbagai peralatan tambahan ke rompinya.

Ia pun merapikan peralatan troath-mic-nya, ia memencet tombol PTT yang berada di lehernya. ”Disini Strad, sangat jelas, Komando.” jawab Strad sembari menyalakan GPS portabel sebesar lengan yang ia ikat di lengan kirinya—posisinya persis dua puluh meter dari titik pendaratan.

Komandan Piccard sangat lega ketika Strad menjawab panggilannya. ”—Kenapa kau menjawabnya dengan begitu lama, prajurit?!—“ Tanya Komandan Piccard dengan nada kesal.

”Aku sedang membereskan peralatan terjunku, Komando.” jawab Strad datar, mata birunya terus menyisiri sekitarnya dengan waspada, sedangkan di markas, radar inframerah menunjukkan ada pergerakan manusia yang sedang menuju titik penerjunan.

*****

”Pak, ada orang yang bergerak menuju titik penerjunan!” lapor Anne.

“Berapa banyak?”

“50 orang, dan kelihatannya bersenjata lengkap.”

Radar inframerah itu menunjukkan ada limapuluh orang bersenjata sedang bergerak menuju titik pendaratan, Komandan Piccard mengangguk paham, ia pun melaporkannya kepada Strad.

”Strad, ada kelompok orang bersenjata sedang bergerak menujumu, posisi di arah jam 10-mu. Mungkin itu adalah anggota pemberontak yang akan menjemputmu, namun kau harus tetap waspada!” lapor Komandan Piccard.

*****

“Roger, Komando.” jawab Strad sembari mengawasi arah jam 10-nya dengan mengarahkan senapan serbu khususnya, ia terus menunggu sembari bersembunyi dibalik gelapnya rerimbunan hutan pinus yang melindunginya dari penglihatan orang yang tidak diinginkan.

“Dimana orang itu, Kapten?” Tanya salahsatu anakbuahnya yang terlihat sangat kesal.

Sang komandan hanya terus mengawasi sekitarnya dengan teropongnya, namun penglihatan teropongnya tidak memberikan jawaban yang memuaskan. ”Seharusnya ia sudah mendarat disini..” gumam sang komandan dari gerakan pemberontak itu yakin.

”Lalu apa yang harus kita lakukan, Kapten?” tanya anakbuahnya yang bertubuh jangkung.

”Aku yakin dia sudah ada disini, dan aku merasa kalau dia sedang mengawasi kita di suatu tempat!..” jawabnya.

Mendengar jawaban dari sang komandan, mereka langsung mengawasi sekitarnya dengan membidikkan senapan G3 rampasan.

”Dimana, Kapten? Dimana?” Tanya seorang anakbuahnya panik, sang komandan memberikan isyarat kepada para anakbuahnya untuk tetap tenang.

”Tenang, mereka adalah teman-teman kita. Johan! Nyalakan isyarat morse!” perintah sang komandan kepada anakbuahnya yang bernama Johan.

Johan mengangguk paham, ia langsung meraih sebuah kaca kecil yang ia simpan di kantong celananya, dan mengarahkan kaca itu ke matahari, ia mengarahkan-memalingkan kacanya untuk membuat kode morse.

Dibalik kegelapan hutan, Strad memperhatikan kode morse itu.

B-E-B-A-S.
B-E-B-A-S.

Itu isi kode morse yang terus dikirim oleh Johan secara terus-menerus, ia tak akan berhenti mengirimkan kode morse itu sampai ada balasan dari Strad.

*****

“Pak, kerumunan orang bersenjata itu mengirimkan kode morse!” lapor Anne yang bisa melihat pantulan cahaya yang bersinar dengan ritme tertentu dan teratur dari atas langit.

Komandan Piccard memperhatikan kode morse yang dikirim oleh salahsatu orang-orang bersenjata itu, “Itu BEBAS, mereka adalah para pemberontak setempat yang akan menjemput Strad.” Jawab Komandan Piccard.

“—Komando, sepertinya mereka adalah penjemputku.—” lapor Strad dengan nada berbisik.

”Positif, Strad! Itu memang mereka! Kirimkan sandi balasannya!” jawab Komandan Piccard mantap.

*****

Strad menyalakan senter yang disangkutkan pada rompi IBA-nya, tepat ke arah para pemberi sandi morse BEBAS itu sambil memperhatikan respons ketiga orang bersenjata itu.

Mereka terlihat terkejut ketika melihat cahaya senter Strad muncul dari gelapnya hutan, salahsatu dari mereka menunjuk asal cahaya tersebut dengan wajah sumringah.

M-E-R-D-E-K-A.
M-E-R-D-E-K-A.

“Itu mereka, Komandan!” ujar Johan dengan suara tegas.

Sang komandan mengangguk paham, hanya mereka dan sekutunya yang tahu kode morse itu. ”Johan, Visier kalian ikut aku untuk menemuinya, Lonant, buat perimeter disini dan tunggu sampai kami kembali.” perintah sang komandan.

”Siap!” jawab Lonant, ia langsung memerintahkan yang lainnya untuk membuat perimeter.

Sedangkan dua anakbuahnya—Johan dan Visier—ikut sang komandan untuk menemui bala bantuannya.

Dengan hati-hati mereka bertiga menghampiri sumber cahaya itu, dimana Strad menunggunya.

Pemimpin para pemberontak itu tersenyum ramah kepada Strad yang tak pernah tersenyum itu, ”Selamat datang di Murkovii, Tuan-tuan!” sambut sang pemimpin pemberontak itu.

Namun ia dan dua anakbuahnya terheran-heran ketika hanya melihat hanya satu orang utusan sekutu—dengan wajah robotnya yang dicat hijau keabu-abuan—di dalam hutan.

”Dimana yang lainnya?” Tanya Johan bingung.

”Cuma aku saja yang ada disini.” jawab Strad dingin.

Tiga pemberontak itu tertawa terkekeh-kekeh ketika mendengar guyonan si robot ini.

”Aku tidak bercanda.” jawab Strad dingin.

Suasana berubah dingin, ketika sambutan hangat mereka sebagai sekutu Strad, malah dibalas dengan jawaban yang dingin.

”Baiklah…” gumam sang komandan yang mencoba kembali mencairkan suasana.

Sang komandan mengulurkan tangannya, ”Perkenalkan, Nikolai Tupolevski! Aku adalah pemimpin gerakan pemberontakan di Murkovii—yang berhubungan dengan orang-orang kiriman pemerintahmu.” ujar sang komandan.

“Yang ini adalah Johan—biar dia tergolong masih bocah, Johan adalah prajurit yang bisa diandalkan.” tunjuk Nikolai yang dibalas anggukan kepala kepada Strad sebagai sapaan perkenalan.

“Yang ini adalah Lonant—salahsatu komandan regu kelompok kami, ia siap membantumu nanti.” Tunjuk Nikolai kepada Lonant yang memberi wajah tidak simpatik kepada Strad.

Namun keramahannya dibalas dengan dingin dan arogannya Strad, Strad hanya menjawab sapaan Nikolai dengan, “Bagaimana kondisi terbaru Mark?” sembari beranjak dari tempat persembunyiannya.

“Hmm, kelihatannya mereka mengirimkan salahsatu anggotanya yang terlalu bersemangat pada misinya.” Seloroh Nikolai.

”Komandan, bolehkah aku memberi dia pelajaran?!” gerutu Visier geram.

Namun Nikolai mengisyaratkan untuk tak membuat keributan dengan Strad, “Kita akan berjalan menuju desa kami terlebih dahulu untuk konsolidasi dengan para pemberontak lainnya untuk mempesiapkan penyelamatan rekanmu—Mari!” jawab dan ajak Nikolai.

******

Sedangkan di Ruang Komando, Komandan Piccard hanya bisa memantau posisi Strad dan para pemberontak dari layar monitor yang terhubung ke kamera satelit rahasia milik militer Rune-Midgard.

“Errr—Apa yang kita lakukan selanjutnya, pak?” tanya Anne.

“Memantau Strad dari layar ini sampai ia menghubungi kita lagi.” Jawab Komandan Piccard sembari meninggalkan Ruang Komando sejenak untuk mencari segelas moccachino.

*****

Dalam perjalanan ke desa, Johan terus memperhatikan Strad yang terlihat tak peduli dengan orang-orang di sekitarnya, ia hanya memperhatikan sekelilingnya dengan penuh waspada—ia seperti tidak percaya akan keberadaan para pemberontak, yang notabene-nya adalah kawannya sendiri, di tengah-tengahnya.

Ia mempehatikan seluruh peralatan yang menempel di tubuh Strad, bandana hitam yang menutup rambut coklat ikalnya, rompi IBA hijau tua dengan banyak kantong—dengan warna yang sama, speed-holster dimana pistol M1911A3 terpasang di rel holster, dan senapan M4A1 yang ia tenteng selama perjalanan—semua peralatan tempur Strad begitu persis dengan peralatan tempur para prajurit-prajurit film-film aksi yang pernah ia tonton, tak ada yang spesial dari sosok seorang Strad.

Muncul keragu-raguan dari diri Johan, ia pun menghampiri Nikolai, sang pemimpin, ”Komandan, apa iya cuma satu orang saja?” Tanya Johan tak percaya.

Nikolai cuma menjawab dengan senyuman ramah kepada juniornya itu, ”Sekutu selalu punya kejutan yang tak pernah kita ketahui, Johan.” jawabnya mantap.

Mereka pun berjalan selama lima jam penuh tanpa henti hingga sampai ke Desa Mirkovii, Nikolai melihat arloji rampasan dari seorang komandan yang ia habisi dalam penyerbuan beberapa hari yang lalu, waktu menunjukkan pukul 1130 siang, matahari pun sudah mulai beranjak naik ke ubun-ubun mereka.

”Setengah jam lagi dan setelah melintasi bukit tinggi itu, kita akan sampai di Desa Mirkovii! Desa Mirkovii adalah desa dimana perjuangan mengusir para penjajah Galbadia berada.” ujar Nikolai kepada Strad.

Johan terus memperhatikan Strad, sosok yang jauh lebih misterius daripada sosok-sosok prajurit yang ada di film-film aksi layar lebar mengenai watak seorang prajurit Rune-Midgard—sosok slebor, ngoboi, namun mampu melaksanakan tugasnya dengan baik dengan Strad yang pendiam, cenderung curigaan, dan kurang simpatik terhadap orang lain.

”Maaf!” panggil Johan, Strad pun menoleh ke arah Johan yang memiliki pertanyaan untuknya, “Bolehkah aku bertanya?” pinta Johan.

Strad tidak menjawabnya, ia hanya diam, namun Johan memberanikan diri untuk bertanya, ”Kenapa sekutu hanya mengirimmu sendirian saja?” tanya Johan.

Strad langsung menjawab pertanyaan Johan, ”Pertanyaan itu tak bisa aku jawab.” jawab Strad singkat.

”Oh..” Johan—yang berusia belia itu—hanya bisa menelan rasa kecewanya saja.

Sedangkan para pemberontak yang lain hanya bisa memandangi Strad dengan pandangan tak simpatik, mereka baru melihat begitu arogannya pasukan khusus sekutu.

”Ayo kita kembali berjalan!..” komando Nikolai, ketegangan pun berhasil diredam dan perjalanan panjang pun kembali dilanjutkan.

Para pasukan patroli dan tamunya, Strad, berjalan menyusuri jalan setapak yang berada di tengah-tengah ladang gandum yang siap dipanen.

”Tak kami sangka, kalau mereka cuma mengirimu, tuan—” Nikolai lupa menanyakan namanya di hutan.

”Panggil saja Strad.” jawab Strad singkat.

”Kau yang ditugaskan untuk menyelamatkan orangmu di kota?” tanya Nikolai lagi.

“Ya.” jawab Strad datar.

Lonant pun memotong pembicaraan mereka dan berseloroh, ”Apa iya orang ini bisa?” ejek Lonant.

Namun orang yang ia sindir ternyata tak bergeming.

”Cih!” umpatnya kesal karena ejekannya tak mempan.

“Lalu, bagaimana dengan bantuan yang dijanjikan oleh para atasanmu yang kami minta?” tanya Nikolai penasaran.

Strad hanya menjawab, ”Aku tidak tahu,dan itu bukan wewenangku untuk tahu.” jawabnya dingin.

Nikolai terdiam, ”Ooh.. Maafkan saya kalau begitu.” ujarnya.

*****

Mereka akhirnya masuk ke wilayah Desa Murkovii, dimana dijaga oleh sebuah pos jaga, pos jaga yang terbuat dari pohon sekitar yang ditebang dan dibuat seperti pos, seadanya, tapi tumpukan-tumpukan kayu gelondongan cukup untuk bisa menahan desingan peluru kaliber sembilan milimeter sampai 7, 62 milimeter.

Ada empat orang pemberontak yang mendapat tugas juga di pos itu, gaya khas pemberontak kelas kacangan—berjaga-jaga di pos jaga sembari bersantai-santai, bahkan lebih banyak bersantai-santainya ketimbang memantau posisi, Strad bisa melihat senapan G3 rampasan yang menggantung di punggung-punggung mereka.

Salahsatu dari petugas jaga itu berteriak, ”Hey, kau kembali, Niko!” sambutnya hangat.

Nikolai tersenyum ramah dan membalas sapaan pemberontak itu, beberapa anggota patroli berhenti sejenak untuk meminta rokok dari rekan-rekannya itu, sekali-kali mereka menanyakan satu sama lain tentang tugas mereka masing-masing.

”Oh ya, dimana bantuan sekutu itu?” tanya seorang penjaga pos penasaran.

Nikolai tidak menjawabnya, cuma pergi melintasi pos jaga bersama pengikut-pengikutnya.

Mereka memandangi Strad yang memiliki dandanan berbeda dengan para pasukan patroli yang melintas, ”Dia?” tanya rekannya bingung, sembari menunjuk Strad yang mulai jauh meninggalkan pos jaga.

*****

Sudah beberapa lama berjalan, Nikolai menghentikan langkahnya dan menghela napas lega. ”Selamat datang di Desa Murkovii.” ujar Nikolai kepada Strad.

Desa kecil yang hanya dihuni oleh limapuluh kepala keluarga, mereka terdiri dari penduduk asli Desa Murkovii, maupun dari desa lainnya yang mengungsi karena desa-desa mereka dihancurkan oleh tentara Galbadia, pekerjaan mereka adalah petani gandum dan peternak sapi perah.

Namun kehidupan penuh kedamaian ini mulai berubah 180 dejarat ketika Kekaisaran Galbadia menjajah Turkjiyan dan menanamkan pemerintahan pendudukan yang bertangan besi kepada seluruh jajahannya, Mirkovii menjadi salahsatu dari pos-pos pertahanan pasukan pemberontakan Turkjiyan.

Para anak-anak penduduk desa bersorak-sorak menyambut para pemberontak yang baru saja pulang patroli, beberapa dari mereka memberikan sekerat roti gandum untuk para pemberontak, dan mereka pun menerimanya dengan sukacita.

Seorang wanita keluar dari dalam rumahnya yang sederhana untuk menyambut suaminya yang bergabung dalam pemberontakan sambil menggendong putra mereka yang masih berumur satu tahun.

Beberapa anak kecil berusia sekolah juga menyambut kakak-kakak mereka yang meninggalkan kewajibannya—sekolah dan belajar—memilih untuk merebut kembali kemerdekaan negaranya.

Para orangtua juga menyambut anak-anaknya, juga ada seorang wanita muda yang menyambut suaminya dimana mereka baru saja melangsungkan pernikahannya, mereka berdua pasti bersyukur, hingga saat ini mereka masih bisa bertemu satu sama lain.

Nikolai tersenyum senang ketika melihat para pemberontak bisa kembali ke rumah mereka masing-masing, ”Senangnya bisa pulang ke rumah!.. Dan bisa bertemu dengan orang-orang yang kita sayangi!..” gumam Nikolai senang.

Namun ia berubah sedih ketika melihat seorang anak kecil dengan wajah tertegun menunggu di depan pintu rumahnya sembari memeluk boneka beruang pemberian ayahnya, sudah hampir tiga bulan bocah ini terus menanti ayahnya yang tak kunjung pulang, sang ibu mencoba menghibur anak semata wayangnya itu.

Nikolai bisa melihat Strad sedang memperhatikan anak kecil itu, walau dingin, ia bisa melihat ekspresi wajah Strad yang berubah, Nikolai tahu, Strad tidak benar-benar sekokoh gunung es.

“Beberapa hari yang lalu, kami disergap oleh pasukan musuh disuatu tempat ketika kami berpatroli. Nyawa kami semua benar-benar di ujung tanduk, namun kami berhasil selamat berkat pengorbanan yang dilakukan oleh rekan-rekan seperjuangan kami. Salahsatunya adalah ayah dari anak itu.” gumam Nikolai lirih. “Setiap kami pulang patroli atau bertugas, anak itu selalu keluar dari rumah, mencari-cari dan memanggil-manggil ayahnya. Kami cuma bisa berharap kalau anak itu bisa tegar menerima kepergian ayahnya.” tambahnya.

Strad memandangi para pemberontak yang memandangi miris anak kecil yang terus melawan ibunya yang mengatakan kalau ayahnya tak bakal pulang menyambut dirinya dan ibunya, namun bocah itu berteriak dengan mengatakan ayahnya dari kemarin belum pulang-pulang.

Namun Strad tidak terlihat memberikan respon sedikit pun dengan kisah drama yang diceritakan oleh Nikolai, Nikolai pun sedikit kecewa, ceritanya kurang menyentuh hati tamu dari barat itu, namun ia membalasnya dengan senyuman renyahnya, ”Andai peperangan ini tak terjadi, hal seperti ini tak akan terjadi...” ujar Nikolai.

Beberapa saat kemudian, Visier, salahsatu dari pengikutnya menyambut kedatangan Nikolai. ”Kau kembali, Komandan!” sambutnya penuh semangat.

Mereka berpelukan erat, seperti dua orang kakak dan adik, tawa pun pecah dari kedua mulut mereka, Visier dan Nikolai saling menepuk-nepuk punggung masing-masing, Visier adalah salahsatu dari tiga orang kepercayaan Nikolai, ia selalu bersama-sama Nikolai dalam bertugas, namun kali ini ia ditugaskan untuk mejaga desa.

”Pasti aku kembali!” jawab Nikolai sembari mencengkram erat bahu kiri pria berumur tiga puluhan itu.

Visier pun terdiam dan memandangi Strad dengan tatapan tajam, ”Siapa dia?” tanya Visier curiga.

Nikolai menoleh ke arah Strad yang terus memperhatikan seisi desa yang tenang dan sejuk itu. ”Dia adalah orang yang dikirim sekutu.” jawab Nikolai.

Visier mempehatikan sekeliling Strad, ”Lalu—yang lainnya?” tanya Visier kebingungan.

“Hanya dia.” Jawab Nikolai.

“Hanya dia?!” Visier terbelalak tak percaya.

Lonant pun datang dan menghampiri sang komandan. ”Komandan, kamarnya sudah disediakan.” ujar Lonant, Lonant dan Strad berpandangan mata sejenak, Lonant masih memandang Strad dengan tidak simpatik, namun bagi Strad, hanya sekedar pandangan mata.

”Terima kasih, Lonant. Mari, Tuan Strad!” ajak Nikolai.

Lonant terus mengawasi sekitar desa dari balik tirai kamar yang disediakan untuk Strad oleh Nikolai, semuanya aman, hanya kehidupan pedesaan yang aman dan damai, sepertinya musuh tak mengetahui pendaratan Strad, ia pun kembali menutup tirai jendela kamar dan mengawasi gerak-gerik Strad yang sedang menaruh ransel MOLLE dan senapan M4RIS-nya.

”Tidak terlalu luas—tapi cukup nyaman untuk beristirahat sejenak.” gumam Nikolai sembari memandangi seisi kamar yang akan dipinjamkan untuk tamu dari jauhnya beristirahat.

Nikolai melihat ekspresi Strad yang tertegun ketika melihat kamar yang dipinjamkannya—Baru pertama kali Strad melihat kamar dengan berbagai macam warna di dalamnya, tidak seperti kamar 3506—Walau wajahnya terlihat datar, Nikolai bisa melihat kekaguman yang terlihat sekilas dari wajah Strad.

Nikolai menuangkan segelas air putih dari teko tembikar yang sudah disiapkan untuk tamunya itu, “Minum?” tawar Nikolai.

Strad tak menyambut tawarannya.

Nikolai hanya tersenyum lebar, ”Tenang saja, kami tidak akan mencelakai kau, kok!” seloroh Nikolai, Nikolai menghela napas, ”Baiklah... Kalau kau ingin minum, tinggal ambil saja.” ujar Nikolai sembari menaruh segelas air putih untuk Strad itu dan membiarkannya berada di atas meja kecil yang ada di samping ranjang.

“Bagaimana dengan kondisi orang kami yang ditawan di Primea-Murkovii?” tanya Strad to the point.

“Semenjak tertangkap tiga bulan yang lalu, bisa dikatakan kondisinya—mati tak mau, hidup, pun segan.” Jawab Nikolai, “Selama ini ia ditahan dan disiksa oleh seorang perwira pasukan elit SS yang bertugas di Primea-Murkovii. Aku akui nasib orang kalian benar-benar lumayan baik—tiga bulan bisa bertahan hidup.” Tambah Nikolai.

“Kondisi terkini?”

“Ia masih hidup sampai saat ini—itu adalah kabar terbaru yang barusan aku dapatkan—dan aku mendapatkan informasi kalau perwira yang menginterogasinya sudah mulai putus asa karena tidak mendapatkan informasi apa pun darinya.”

“Putus asa. Kemungkinan besar ia akan dieksekusi secepatnya.”

“Betul sekali, Tuan Strad!”

“Kenapa kita tidak segera bergerak menyelamatkannya?”

“Hari masih terang—terlalu banyak pasukan musuh di sana, kita akan menyelamatkannya nanti malam, kami juga mendapatkan informasi kalau sore, sebagian pasukan garnisun musuh akan dikerahkan ke kota lain nanti sore, dan kelompok-kelompok pemberontak dari desa lain yang akan membantu dalam upaya penyelamatan ini baru bisa berkumpul nanti sore.”

“Berapa banyak?”

“Pasukan musuh atau para pejuang yang akan membantumu?”

“Dua-duanya.”

“Untuk musuh satu battalion infantri didukung oleh dua kompi infantri mekanis ringan dan berat, tapi nanti malam, Primea-Murkovii hanya dijaga oleh dua kompi infantri dan satu kompi infantri mekanis ringan saja. Sedangkan untuk pemberontak yang akan ikut, kurang-lebih lima kompi dengan rata-rata bersenjata ringan dan sedang—modal rampasan.”

“Kapan kita akan menyelamatkannya?”

“Kira-kira nanti jam dua pagi.”

Lonant yang sedang asyik memperhatikan obrolan antara Nikolai dan Strad, tersentak ketika ia melihat jam tangannya, ”Komandan, sudah waktunya untuk pergi.” lapor Lonant.

Nikolai mengangguk mengerti, “Kelihatannya rekan-rekan kita yang akan membantuku mengalihkan perhatian musuh sudah berkumpul. Istirahatlah, nanti malam kita ada taklimat akhir.” Ujar Nikolai. “Semoga nyenyak!” tambahnya sembari meninggalkan Strad.

Lonant menyusul di belakang Nikolai dan menutupkan pintu kamar Strad, matanya terus terpaku tajam kepada Strad.

*****

Strad memencet tombol PTT yang menempel di pundak kanannya untuk menghubungi Komandan Piccard. “Komando, di sini Strad.”

“—Di sini Komando, masuk, Strad! Kelihatannya kalian begitu akrab sehingga membuat kami menanti lama akan laporan terbarumu.—“ jawab Komandan Piccard dengan nada menyindir.

“Aku sudah bertemu dengan Nikolai sang pemimpin pemberontak. Jam dua pagi kami akan bergerak. Untuk sementara ini, aku harus beristirahat sejenak hingga malam untuk mendapatkan informasi terbaru tentang Mark Dougherty dan taklimat akhir.”


“—Roger. Oh ya! Bagaimana dengan kondisi terbaru Mark?—“ ujar Komandan Piccard.

”Selamat. Tapi menurut informasi dari Nikolai. Mark dalam keadaan mengenaskan.”

“—Resiko seorang anggota intelijen—“ komentar Komandan Piccard, “—Beristirahatlah, nak! Kami di sini ikut memantau pergerakan pasukan musuh di Primea-Murkovii, kami akan segera menginformasikan kalau ada suatu hal yang mengkhawatirkan!—“

“Roger. Strad keluar.”

Sebelum ia mulai beristirahat, ia menyisiri kamarnya dengan hati-hati, setelah merasa tidak ada yang mencurigakan, ia mengintip keluar jendela untuk melihat situasi—ia hanya melihat sekumpulan anak-anak yang riang bermain bola, walau dua orang pemberontak berjaga-jaga di sekitar rumah dimana Strad berada.

*****

DI SUATU TEMPAT, DI MANA PARA PEMBERONTAK BERKUMPUL.

“Kawan-kawanku sekalian! Selamat datang!” sambut Nikolai kepada keempat pemimpin pemberontak dari desa sebelah.

Mereka berlima adalah sama-sama mantan anggota pasukan elit tentara Turkjiyan, bahkan dari kesatuan yang sama, maka dari itu nasib mereka juga sama—memimpin para pemuda-pemuda kampung halaman mereka memimpin pergerakan melawan pasukan Galbadia.

Maka karena memiliki latar belakang nasib yang sama, antara satu sama lain tidak ragu untuk saling membantu satu sama lain apabila dimina bantuannya dalam segala hal—apalagi kalau sedang berhadapan dengan pasukan Galbadia dalam jumlah besar.

“Bagaimana dengan orang-orang kiriman Sekutu yang akan kita bantu?” tanya komandan pemberontak Desa Utara.

“Sudah datang, kira-kira dua jam yang lalu.” Jawab Nikolai.

“Berapa personel? Satu regu? Satu tim?” tanya komandan pemberontak Desa Barat.

“Satu orang!”

Keempat komandan pemberontak desa sebelah terhenyak ketika mendengar jawaban—satu orang—dari mulut Nikolai, sangking tak percayanya, mereka saling berpandangan satu sama lain.

“Jangan bercanda denganku, Nikolai!” ujar komandan pemberontak Desa Timur yang terkenal tidak memiliki selera humor.

“Aku tak pernah bermain-main denganmu, kan?” balas Nikolai.

Nikolai tak pernah berkata dusta, tapi kedatangan Strad membuat mereka jadi tak percaya dengan ucapan Nikolai.

“Ada satu lagi berita buruk—Baru saja aku mendapatkan informasi dari penghubung pihak Sekutu. Mereka akan mengirimkan bantuan persenjataan dan pelatihan anggota kita setelah kita berhasil mengawal orang ini menyelamatkan orang mereka yang ditahan di kota.”

“Mudah sekali mereka merubah perjanjian!” ujar komandan pemberontak Desa Timur geram.

“Kenapa harus marah? Bukankah selama kita menjadi seorang prajurit, kita selalu diperlakukan seperti itu?” ujar komandan pemberontak Desa Selatan enteng.

“Tapi apakah janji orang-orang Sekutu bisa dipegang? Sudah banyak kawan-kawan seperjuangan kita melayang nyawanya karena orang-orang seperti mereka dengan mudahnya meninggalkan kita dalam keadaan di ujung tanduk!” seloroh komandan pemberontak Desa Utara.

“Itu memang resikonya! Tapi sekedar mengingatkan, hanya itulah satu-satunya kesempatan kita untuk tetap bisa terus berjuang mengusir pasukan Galbadia dari tanah air kita, yang harus kita lawan jadi semakin banyak dan semakin tangguh!” ujar Nikolai mengingatkan.

“Betul sekali. Semakin lama persenjataan mereka semakin canggih, kita tidak bisa hanya mengandalkan senjata rampasan, tongkat tidak bisa melawan besi—harus sepantaran, dan pihak Sekutu menawarkan besi itu.” Ujar komandan pemberontak Desa Barat mengingatkan.

Nikolai dan keempat komandan pemberontak ini berkompromi dengan pihak Sekutu yang mengiming-imingi bantuan logistik senjata termutakhir untuk melawan pasukan Galbadia dengan syarat mau membantu operasi penyelamatkan anggota intelijennya yang berada di Primea-Murkovii.

Para pemberontak tidak bisa menolak kenyataan. Musuh mereka semakin hari semakin canggih persenjataannya, senjata-senjata rampasan mereka yang tergolong kuno harus berhadapan dengan senjata-senjata yang lebih canggih, sedangkan semangat melawan penjajah masih terus membara—mereka tak mau padam hanya karena kalah teknologi, maka Nikolai dan kawan-kawannya bersikap oportunis kali ini.

“Baiklah—berapa anggota yang kalian bawa?” tanya Nikolai.

“Satu kompi. Berbekal senapan G3 dan senapan mesin MG43.” Jawab komandan Desa Utara.

“Hanya lima belas orang. Tapi mudah-mudahan dengan adanya unit mortir bisa membantu nanti malam.” Jawab komandan Desa Barat.

“Satu setengah kompi. Senapan G3 dan peluncur roket Panzerfaust untuk berhadapan dengan infantri mekanis musuh nanti.” Jawab komandan Desa Timur.

“Satu kompi. Hanya bermodal senapan G3.” Jawab komandan Desa Selatan.

Nikolai mengangguk mantap, “Bagus! Kelihatannya sudah cukup! Aku akan mengerahkan dua kompi nanti malam. Nanti malam kira-kira jam sepuluh, kita akan berkumpul di lokasi rahasia, anggota-anggotaku akan mengantar kalian dan anggota ke tempatnya—kita akan melakukan taklimat akhir bersama tamu Sekutu kita. Setuju!”

“Huraa!” jawab keempat rekan Nikolai dengan yel-yel khas satuan elit mereka dulu.

*****

Wajahnya yang masih menggunakan kamuflase itu memandangi langit-langit kamarnya yang bergambarkan ribuan bunga mawar, sangat indah, seperti melihat istana bunga yang tergantung di langit-langit kamarnya.

Tak ada warna putih, semuanya penuh dengan warna dan bentuk, matanya yang dingin pun tak bisa menolak indahnya langit-langit kamar pinjamannya untuk istirahat sejenak itu.

Ranjangnya pun jauh lebih empuk daripada ranjang kamar 3506 yang hanya bermodalkan kasur dan seprai putih yang tipis alakadarnya, lebih tebal dan lebih memanjakan punggungnya yang sudah terbiasa tidur di atas kerasnya lantai dan bumi.

Kamar pinjaman itu pun tak sesunyi kamar 3506 yang menemani hampir separuh hidupnya itu, dari kejauhan sana, telinganya bisa mendengar suara tawa riang anak-anak desa yang sedang asyik bermain.

Ia mencabut pistol M1911A3-nya dari speed holster-nya, ia membuka pengaman pistolnya, menarik pelatuknya sehingga dalam keadaan siap untuk langsung menembak, lalu ia menaruhnya tepat di atas dadanya.

Setelah itu, ia pun memejamkan matanya—membiarkan dirinya terlelap dalam tidur.

=== THE STRADS : EPISODE SATU, SELESAI ===

Tidak ada komentar:

Posting Komentar