Jumat, 29 April 2011

THE STRADS (EPISODE TERAKHIR)

KETINGGIAN 25 RIBU KAKI

KAWASAN UDARA HAZRABIAH

HAZRABIAH

Lima menit lagi, pesawat Airbus A400 yang mengangkut Kolonel Pierez dan dua ratus prajuritnya akan terus melakukan manuver sekrup—menuruni ketinggian terbang cepat dengan gaya berputar ke bawah layaknya sekrup—untuk menghindari tembakan artileri pertahanan udara Laskar Sultan yang pro terhadap sultan terdahulu.

Kolonel Pierez memandangi seorang prajurit Fallschirmjaeger yang sedang sibuk mengotak-atik senapan serbu HK416-nya dengan wajah gelisah.

“Membenarkan posisi, kopral?” tanya Kolonel Pierez.

Si kopral itu mengangguk malu-malu, “Siap, Kolonel!” jawabnya, “Hanya agar memastikan kalau senapan saya tidak akan mengenai dagu ketika mendarat nanti.”

Kolonel Pierez teringat salahsatu anakbuahnya—seorang berpangkat sersan, karena lalai membenarkan posisi senapannya, ketika ia mendarat dengan keras, popor senapan HK 416 menghajar dagunya hingga nyaris belah.

“Perilaku yang bagus, kopral—pertahankan!” puji Kolonel Pierez.

Lampu merah menyala—tandanya mereka sudah harus berdiri dan bersiap untuk terjun, lima orang loadmaster—empat orang loadmaster dan dipimpin oleh satu orang loadmaster kepala—langsung bergegas menuju posisi masing-masing—di pintu kabin belakang kiri dan kanan.

“Pasang pengait masing-masing ke atas palang!” komando seorang loadmaster kepala dengan isyarat tangan mengait.

Semua prajurit Fallschirmjaeger langsung memasang pengait parasut statis—yang akan terbuka otomatis ketika kait terasa berat—di palang yang berada persis di atas kepala mereka masing-masing.

“Periksa kembali perlengkapan!” komando sang loadmaster kepala.

Kolonel Pierez bisa melihat kelap-kelip lampu navigasi empat pesawat A400 yang mengangkut anakbuah lainnya di luar sana dengan manuver yang sama, ketika ia mengalihkan pandangannya ke bawah, ia juga bisa melihat kelap-kelip lampu kompleks kilang penyulingan minyak Bani Jabir—kilang yang ditugaskan kepada Fallschirmjaeger untuk segera diduduki.

Lampu hijau menyala!

“Siap, Kolonel?!” tanya seorang loadmaster kepada Kolonel Pierez yang bersedia menjadi orang pertama yang akan terjun.

“Fallschirmjaeger selalu siap!!” jawab Kolonel Pierez lantang sembari berjalan cepat dan meloncat dari bibir pintu kabin kanan.

Sejenak ia tersentak, hanya butuh dua detik, ia merasakan daya tarik ke belakang seiring dengan parasutnya yang mulai mengembang sempurna, ia bisa melihat rangkaian cahaya hijau berintensitas rendah menghiasi langit gelap—itu adalah para prajurit Fallschirmjaeger yang sedang mengambang di udara.

Beberapa lama kemudian, terlihat kilatan-kilatan kecil dari kilang disertai dengan suara letusan dan rentetan senapan—kelihatannya para Laskar Sultan yang pro-sultan terdahulu baru menyadari kalau mereka sedang kedatangan tamu bersenjata lengkap dalam jumlah banyak.

Makin lama tembakan dari Laskar Sultan makin banyak dan makin gencar, mencoba untuk bisa menghabisi para prajurit para yang terombang-ambing tak berdaya di udara sebelum berhasil menjejakkan kaki mereka di darat.

Kolonel Pierez mencoba menggerakkan parasutnya ke samping kanan, berusaha menghindari tembakan musuh yang mengarahnya, di tengah-tengah riuhnya suara baku tembak, ia bisa mendengar suara jeritan prajuritnya yang akan jatuh menghujam bumi karena parasutnya koyak terkena tembakan musuh.

Ayo! Cepat sampai!—desaknya dalam hati.

=== THE STRADS : EPISODE TERAKHIR, DIMULAI ===

Akhirnya kedua kakinya berhasil menginjak bumi, ia langsung bergegas melepas parasutnya dan meraih senapan HK 416 yang membentang di dadanya, sembari tetap merendahkan posisi badannya ia menembaki enam Laskar Sultan yang sedang mencegat beberapa Fallschirmjaeger.

Satu magasen sudah cukup membuat satu orang Laskar Sultan tewas dan sisanya lari kocar-kacir ke dalam kompleks kilang sembari melepaskan tembakan buta.

Para Laskar Sultan yang menjaga posisi di luar kompleks kilang berangsur-angsur mulai mundur dan berkumpul di dalam kilang, seiring dengan pasukan Fallschirmjaeger yang mendarat makin banyak.

Beberapa prajurit Fallschirmjaeger langsung berkumpul di dekat Kolonel Pierez yang sedang mengisi kembali amunisi senapannya.

“Senang bisa bertemu dengan anda kembali, Kolonel!” sapa seorang Fallschirmjaeger berpangkat letnan.

“Aku juga, letnan!” balas Kolonel Pierez, “Di sini Pierez! Seluruh komandan kompi yang sudah berada di Titik Pendaratan masing-masing, harap segera melapor!”

“—Di sini komandan Kompi A, sebagian besar sudah berkumpul!—“ balas komandan Kompi A.

“—Di sini Sersan Gieren, komandan Kompi B gugur, tapi sebagian besar sudah berkumpul!—“ lapor seorang sersan dari Kompi B bernama Sersan Gieren.

“Semoga ia dan yang lainnya diterima di sisi-Nya! Sersan Gieren, sekarang kau adalah komandan Kompi B untuk sementara ini!” tunjuk Kolonel Pierez, “Kompi C dan Kompi D, kalian belum melapor!”

“—Di sini Kompi C! Maaf, Pak! Kami semua barusan sedang sibuk mengurusi perlawanan musuh yang lumayan sengit!—“ jawab komandan Kompi C.

“—Di sini Kompi D! Semua anggota sudah berkumpul!—“

“Bagus! Kalau begitu, kita mulai rencana kedua—membersihkan dan menguasai seluruh kilang ini secepatnya! Aku peringatkan—berhati-hatilah dalam menembak! Karena tempat ini banyak sekali pipa-pipa bahan bakar yang mudah meledak! Baiklah. Rencana kedua—Dimulai!”

*****

Akhirnya, setelah hampir empat jam baku-tembak dengan Laskar Kesultanan pro-sultan terdahulu, akhirnya Kilang Minyak Bani Jabir berhasil dikuasai sepenuhnya oleh militer Galbadia.

Komandan Kompi C pun melaporkan situasi terkini kepada Kolonel Pierez yang sedang asyik memandangi ufuk timur yang mulai menyala—sebagai tandanya hari yang baru telah datang.

“Kolonel, semua kompleks Kilang Minyak Bani Jabir telah berhasil kita kuasai.” Lapor Komandan Kompi C.

“Lalu bagaimana dengan kondisi prajurit kita, Kapten?” tanya Kolonel Pierez.

“Lima puluh prajurit luka-luka, unit-unit medis sedang mengusahakan pertolongan pertama sebelum dijemput untuk mendapatkan perawatan medis yang lebih baik lagi, sedangkan sepuluh prajurit gugur, Kolonel.”

“Kumpulkan jasad-jasad mereka di tempat yang pantas.” Instruksi Kolonel Pierez, “Lalu bagaimana dengan lawan-lawan kita?”

“Kita berhasil menangkap tiga puluh orang—semuanya sudah kita lucuti.”

“Perlakukan mereka yang tertangkap, terluka, dan meninggal, seperti layaknya manusia. Jangan menirukan tingkah buruk para personel SS!” wanti-wanti Kolonel Pierez.

“Siap, Kolonel!” jawab Komandan Kompi C.

GEDUNG VALENTINE

JUNON CITY

RUNE-MIDGARD

“Tumben sekali kau memanggilku ke sini.” Ujar Komandan Piccard sembari memandangi seisi ruang kerja Direktur Domenech, pandangannya tertuju pada sebuah bingkai foto, “Ruang kerjamu kelihatannya berubah—tetapi foto ini terus ada di sini.”

Direktur Domenech yang sedang membaca berkas-berkas laporan intelijen menjawab, “Entahlah. Mungkin aku terlalu malas untuk memindahkannya.”

Bingkai dari hiasan kuningan, membungkus sebuah foto kenang-kenangan Grup 419, sama persis dengan foto kenang-kenangan Grup 419-nya Jendral Halberdier.

“Ngomong-ngomong. Ada apa sampai aku dipanggil ke sini?” tanya Komandan Piccard.

“Sekali-kali kami tidak menyampaikannya lewat amplop coklat tak mengapa, kan?” jawab Direktur Domenech.

“Aku tak menyangka kantor sebesar ini bisa-bisanya kehabisan kertas.”

Dirketur Domenech mulai serius, sepasang matanya yang sayu itu mulai dipicingkan, persis orang yang ingin memanah, “Kita baru saja mendapatkan informasi dari salahsatu sumber di Hazrabiah—Ia mendapatkan informasi kalau Imam Wahid masih selamat.”

Komandan Piccard terdiam beberapa saat, “Berita bagus—lalu bagaimana isi informasinya?”

“Sayangnya informasi tersebut tidak bisa disebut bagus. Masih dibilang kategori B2, masih sekedar rumor yang santer terdengar—ada kemungkinan rumor ini benar adanya, tapi keberadaan pastinya kita masih belum bisa menemukannya.”

“Ngomong-ngomong. Informasi B2 apa yang dimaksud?”

“Ia adalah kunci utama di mana keberadaan Putra mahkota.”

“Putra mahkota masih selamat?!”

“Bisa jadi inilah alasan kenapa Imam Wahid—yang bisa kita katakan adalah, maha patih Kesultanan Hazrabiah—masih dibiarkan hidup, dan ada informasi kalau ada konflik yang coba disembunyikan antara Kesultanan Hazrabiah yang sekarang dengan Kekaisaran Galbadia.”

“Alan menginginkan upaya pencarian rahasia terhadap keberadaan putra mahkota. Kita mencoba membuat pemerintah Rune-Midgard tidak tahu menahu tentang rumor Imam Wahid masih hidup—apalagi tentang kunci keberadaan putra mahkota sultan terhadulu yang masih selamat.” Tambah Direktur Domenech.

“Kalian memintaku untuk mengerahkan keempat anak-anak itu untuk melaksanakan tugas ini.”

Direktur Domenech tersenyum singkat sekali, “Persis!”

“Kapan?” tanya Komandan Piccard.

“Setelah membaca laporan perkembangan latihan dasar beregu—dan sekarang masuk latihan pra-tugas satuan tugasmu, aku memutuskan untuk segera mengirimkan mereka ke sana.” Jawab Direktur Domenech.

“Dari dulu aku sudah yakin. Mereka akan cepat menyelesaikan porsi latihan si Nelson—mereka bukan taruna, dari kecil mereka sudah makan asam-garam pertempuran.” Seloroh Komandan Piccard.

“Tolong. Segera persiapkan keempat anak-anak itu sesegera mungkin!” mohon Direktur Domenech dengan nada suara yang menekan.

KETINGGIAN SERIBU KAKI, LIMA KILOMETER DARI DESA JAL-MUK-ALM

KAWASAN PEGUNUNGAN HAZRABIAH BARAT DAYA

KESULTANAN HAZRABIAH

“Sepuluh menit lagi!” umum si loadmaster kepada Regu Satu Kompi A Soldier.

Walau sudah hampir enam bulan berada di Hazrabiah, ini adalah kali pertamanya ia dan prajurit Soldier lainnya ditugaskan pada wilayah Hazrabiah yang masih dikuasai oleh Laskar Kesultanan dan Angkatan Bersenjata Kekaisaran Galbadia, yang artinya—wilayah peperangan tingkat resiko tinggi.

Ia bisa melihat para anakbuahnya bermimik muka tegang juga, sudah bisa ditebak, apa yang ada di benak Kapten McKnight—sama seperti apa yang ada di benak para prajurit Kompi A yang sedang duduk dengan tertib di bangku helikopter hibrid V-22 Osprey.

Dari dalam kabin, Kapten McKnight bisa melihat helikopter osprey kedua, di mana Regu Dua Kompi B terbang besanding bersama helikopter pengantarnya, sekilas ia pun bisa melihat dua buah pesawat A-10 Warthog terbang melintasi iring-iringan penyelamat sandera.

Waktu berjalan terasa lamban, membuatnya mulai hanyut dalam lamunannya.

PANGKALAN FORT-1045

KAWASAN HAZRABIAH BARAT DAYA

KESULTANAN HAZRABIAH

“Selamat sore, Soldier!” sapa Jendral Julius Havik—jendral bintang satu yang merupakan Komandan Soldier pertama.

Jendral Julius Havik pada misi sore ini akan menyampaikan taklimat terakhir kepada dua regu pilihannya yang akan terlibat dalam operasi pembebasan sandera nanti ketika matahari terbenam.

“HOO-AH!!” jawab pasukan gabungan dari Regu Satu Kompi A dan Regu Dua Kompi B.

Jendral Havik mengangguk mantap ketika mendengar jawaban dari keduapuluhdua anakbuahnya itu, “Bagus! Itu yang ingin aku dengar saat ini juga.” Pujinya.

Jendral Havik pun memulai taklimatnya dengan bantuan sebuah papan tulis yang sudah ditempeli foto-foto satelit, foto-foto geografis setempat yang penuh dengan pemukiman penduduk dan berbukit-bukit terjal, dan yang paling penting—foto orang yang harus mereka selamatkan.

“Tugas kalian kali ini adalah—menyelamatkan pengampu agung kesultanan terdahulu, yaitu Imam Wahid!” sembari mengarahkan tongkat komandonya ke sebuah foto seorang pria berumur enampuluh tahunan bersorban putih, kumis dan jenggotnya juga sama putihnya—lengkap dengan berbagai sudut pengambilan gambar.

“Kita baru saja mendapatkan informasi intelijen kalau Imam Wahid disekap di sebuah griya tawang milik salahsatu kerabat sultan yang sekarang dengan penjagaan ketat—kira-kira dua kompi dengan persenjataan cukup lengkap. Posisinya berada di Desa Jal-Muk-Alm.”

“Kalian akan diantar dengan menggunakan dua helikopter osprey menuju lokasi persis Imam Wahid berada, pada pendaratan pertama kalian akan dikawal oleh dua buah warthog untuk membuka jalan untuk kalian.”

“Dalam misi ini ada dua tugas. Regu Satu Kompi A akan bertugas membuat garis pertahanan di sekitar griya tawang tersebut. Pertahankan terus nanti! Jangan sampai ada satu orang prajurit musuh pun yang berhasil menembus garis pertahanan kalian!”

“Untuk Regu Dua Kompi B, kalian akan mencari dan menyelamatkan Imam Wahid yang berdasarkan informasi intelijen kita, ia disekap di sebuah penjara bawah tanah, setelah kalian berhasil menemukan sasaran, segera bawa ke dalam helikopter—lindungi dia bahkan dengan taruhan nyawa kalian!”

“Dan ketika sandera berhasil dievakuasi, dua buah warthog akan kembali mengawal kalian sampai pulang. Kalian hanya punya waktu kira-kira dua puluh menit untuk bisa mengevakuasi sandera sebelum gelombang pasukan gabungan Laskar dan Kekaisaran Galbadia akan datang. Ada pertanyaan?”

Kapten McKnight mengacungkan tangannya.

“Silahkan, Kapten!”

“Pak, kenapa kami tidak diberi bantuan tembakan yang lebih besar lagi, padahal wilayah tersebut dekat dengan kawasan yang dikuasai oleh tentara kita?” tanya Kapten McKnight.

“Pertanyaan bagus, Kapten!” puji Jendral Havik, “Masalahnya adalah, pemerintah kita menekankan untuk membuat kita seolah-olah tidak mengetahui keberadaan Imam Wahid, maka dari itu sejak operasi pencarian—hingga penyelamatannya nanti, harus diminimalisir konsentrasi jumlah pasukan yang terlibat. Kerahasiaan adalah kunci utama, mengerti, Kapten?”

“Hoo-ah! Jendral!” jawab Kapten McKnight.

“Imam Wahid adalah kunci kemenangan dalam pertempuran kita di Hazrabiah, dan karena itu, kalian yang ditunjuk oleh ibu pertiwi untuk mengemban tugas luar biasa ini—karena kalian memang prajurit-prajurit yang terlatih! Mengerti?!”

“HOO-AH!” jawab para prajurit Soldier.

“Bagus! Kalau begitu bersiap-siaplah, kalian hanya punya waktu setengah jam sebelum berangkat!” umum Jendral Havik

*****

“Lima menit lagi!” pengumuman si loadmaster menyadarkan dirinya kembali setelah melamun sejenak.

Suara dentuman bom dan letusan artileri anti-pesawat mulai terdengar sayup-sayup.

“Itulah lagu sambutan untuk kita!!” pekik seorang sersan.

“Hoo-ah!!” jawab rekan-rekannya yang mulai terpacu adrenalinnya.

“Soldier! Bersiap untuk beraksi!” umum Kapten McKnight sembari berpegangan pada palang di samping kanannya.

Semua anggotanya langsung serentak berdiri, dan berpegangan erat pada palang baja yang membentang di sepanjang kabin helikopter hibrid itu, beberapa saat kemudian mereka bisa merasakan kalau kendaraan yang mengantar mereka berbelok tajam ke kanan sembari menukik.

Kapten McKnight bisa melihat kepulan asap hitam disertai dengan kobaran api raksasa yang menjilat-jilat ke langit yang mulai semakin gelap, kilatan cahaya peluru penjejak beserta dengan suara dentangan peluru yang menembaki badan helikopter makin terlihat dan terdengar begitu jelas.

*****

“—Osprey-2 berhasil mendarat, kini menurunkan penumpang!—“ lapor pilot Osprey-2, helikopter yang membawa Regu Dua Kompi B.

Pilot Warpig-1—nama sandi untuk pesawat warthog yang terlibat dalam operasi penyelamatan tersebut—bisa melihat belasan orang bersenjata lengkap keluar dari pintu kargo belakang Osprey-2 yang terus memutarkan baling-baling raksasanya tersebut.

“—Warpigs. Di sini Sky Eye-4. Ada dua buah kendaraan lapis baja sedang bergerak menuju lokasi kejadian, lokasi sepuluh kilometer dari arah jam dua belas kalian!—“

“—Di sini Warpig-2. Pak! Ijinkan kami untuk membabat dua kendaraan lapis baja sialan itu!—“ pinta Warpig-2.

“Di sini Warpig-1. Kau bebas menembak!” jawab pilot Warpig-1.

Warpig-2 yang terbang beriringan di sampingnya langsung banting arah dan langsung menyambut iring-iringan kendaraan lapis baja, untuk sekelas infantri, dua kendaraan lapis baja itu benar-benar mimpi buruk, tapi untuk sebuah warthog, dua kendaraan lapis baja itu hanyalah sekedar kudapan malam kanon gatling GAU-8-nya.

“—Osprey-1 berhasil mendarat dengan selamat. Sekarang kami sedang menurunkan rombongan!—“ lapor pilot Osprey-1—nama sandi helikopter yang mengantar Regu Satu Kompi A-nya Kapten McKnight.

*****

“Ayo maju terus!” desak Kapten McKnight kepada anggotanya yang kelihatan agak gentar untuk keluar dari dalam helikopter.

Regu Satu Kompi A mendapatkan tugas untuk membuat garis pertahanan di sekitar lokasi disekapnya Imam Wahid, sedangkan Regu Dua Kompi B bertugas mencari dan mengevakuasi Imam Wahid hingga ke dalam helikopter lagi.

“Di sini Masterchief-1, Regu Dua sudah masuk ke dalam griya tawang. Pertahankan posisi kalian, jangan sampai ada barang seekor pun musuh yang berhasil menembus pertahanan kalian!” umum Kapten McKnight.

Baku tembak antara Grup Satu dengan Laskar Kesultanan mulai terjadi dan semakin terasa gencar dan memanas, pembuktian siapa yang kuat—yang bertahan atau yang menyerang—dibuktikan dengan penuh dengan darah dan nyawa malam ini.

Terdengar bunyi dentuman keras, sebuah pojokan lantai dua mengeluarkan asap bercampur debu, “—Kripp dan Rodd kena!—“ itu yang terdengar dari radio milik Kapten McKnight.

“—Kita kedatangan tamu, satu tank Leopard II, si anak haram ini harus segera dilumpuhkan!—“ lapor seorang anggota Regu Satu.

“Yang berada di dekat posisi mereka berdua, segera evakuasi mereka, apa pun kondisinya! Aku akan menghubungi bantuan udara!” jawab Kapten McKnight sembari mengganti saluran radionya, “Warpigs, di sini Masterchief-1, ada satu buah tank berat mengancam pertahanan kami, butuh bantuan udara segera, ganti!”

“—Di sini Warpig-1, roger, kami akan segera membungkam si sialan itu.—“

Beberapa saat kemudian, terlihat kilatan yang berasal dari semburan jet rudal maverick melesat menuju kubah tembak tank Leopard II milik Laskar Kesultanan, sepermilidetik kemudian, terdengar ledakan keras dari arah tank kelas berat itu.

“Telak sekali, Warpig! Kami berhutang pada kalian!” puji Kapten McKnight.

“—Di sini Warpig, kami sudah kehabisan amunisi, kami harus segera kembali ke pangkalan kami, kalian sendirian di bawah sana—bertahanlah!—“ jawab Warpig-1.

“—Di sini Masterchief-2! Kami berhasil menemukan paket, sekali lagi, kami berhasil menemukan paket!—“ lapor Komandan Kompi B Soldier.

“—Di sini Sky Eye-4, roger, Masterchief-2, segera kembali ke Titik Penjemputan. Osprey-2, bersiap untuk mendarat dan mengangkut paket!—“

“Kalian dengar itu, anak-anak? Bertahanlah, kita akan segera pulang!” ujar Kapten McKnight senang.

*****

Hanya dalam waktu tiga puluh menit, tim penyelamatan Imam Wahid sudah berhasil membawa sang imam, tinggal bergegas pergi meninggalkan desa setempat sebelum bantuan pasukan musuh dalam jumlah yang lebih besar sampai.

Tapi mereka tidak sadar, kalau Pangeran Jahn Kohler—dengan robot tempur rahasianya, Tarantula—sudah mengawasi operasi penyelamatan sandera tersebut tanpa harus khawatir ia diketahui keberadaannya oleh radar lawan.

“Bersenang-senanglah kalian, sebelum giliran bersenang-senangku datang!” desis Pangeran Jahn Kohler dari dalam kokpitnya.

*****

“Mari!” ujar Kapten McKnight kepada seorang anggotanya yang merupakan anggota terakhir yang belum masuk ke dalam helikopter, sembari mengulurkan tangan kanannya.

Anggotanya yang berpangkat prajurit itu langsung menyambut uluran tangan komandan kompinya itu dengan penuh semangat, walau harus berjalan terpincang-pincang karena serpihan granat bersarang di paha kanannya.

Setelah semua Regu Satu berhasil masuk ke dalam helikopter, Osprey-1 langsung memacu kecepatan mesinnya untuk bergegas meninggalkan lokasi kejadian.

“Pak.” Panggil seorang sersan, ia mengulurkan dua buah kalung identitas yang ditutupi darah kering, “Kondisi mereka berdua mengenaskan. Hanya ini yang bisa kami evakuasi dari mereka.” Tambahnya.

Kapten McKnight mengambil kedua kalung identitas itu, ia memejamkan matanya sejenak, “Semoga mereka berdua mendapatkan tempat yang layak di sana.” Gumamnya.

Tiba-tiba terlihat kilatan cahaya lengkap dengan dentuman keras, energi ledakan itu sampai menggoyang Osprey-1.

“Apa yang terjadi?!” tanya seorang prajurit Regu Satu.

“Warpig-3 ditembak jatuh oleh rudal!” jawab si loadmaster Osprey-1.

Kapten McKnight mengganti saluran radionya, ia bisa mendengar kepanikan yang ada di saluran tersebut, mereka mempertanyakan dari mana asal rudal tersebut dengan nada panik.

“—Rudal musuh datang! Mencoba untuk mengelak!—“ teriak Warpig-4 sembari berbelok tajam dan menembakkan chaff bertubi-tubi.

Namun, rudal anti-pesawat itu mengenai sayap kirinya yang langsung koyak terkena ledakan rudal prematur tersebut, Warpig-4 pun berputar-putar tak terkendali, lalu menghujam bumi tanpa ampun.

Beberapa saat kemudian terdengar suara-suara peluru yang menembus badan pesawat, beberapa prajurit Regu Satu menjerit kesakitan—dan ada yang lalu tewas seketika—ketika ratusan peluru tajam menembus tubuh mereka.

Kapten McKnight mengerang kesakitan ketika bahu kanannya terserempet peluru, ia bisa melihat helikopter yang membawanya itu berputar-putar tak terkendali dan akan menabrak sebuah bukit yang berada di bawahnya.

“Y—Yang masih selamat! Berpegangan yang erat!” pekik Kapten McKnight sembari menahan rasa sakitnya.

Ketika mendengar suara tabrakan yang begitu keras, Kapten McKnight kehilangan kesadarannya.

*****

“—Bagaimana dengan Wahid?—“

Kapten McKnight bisa mendengar seseorang berbincang-bincang di tengah kegelapan total.

“—Dia mati.. Cih! Kalau begitu, kita kehilangan kesempatan untuk menemukan putra mahkota!—“

Putra mahkota? Tanya Kapten McKnight dalam kegelapan, ia mencoba membuka kedua matanya, dan hasilnya—kegelapan total itu berangsur-angsur mulai menghilang, diganti dengan penglihatannya yang masih buram, ia bisa melihat beberapa orang berdiri tak jauh darinya.

Ia mencoba menggerakkan tubuhnya sedikit, dan tiba-tiba ia merasakan rasa sakit di bahu kanannya, ia teringat kalau luka itu berasal dari peluru-peluru yang berhasil menembak jatuh helikopter osprey yang membawa dirinya dan Regu Satu.

Ia pun sedikit memalingkan pandangannya, ia bisa melihat para prajuritnya tergeletak tak bernyawa, reruntuhan helikopter osprey terlihat masih terbakar hebat karena bahanbakar yang tersisa terpancing percikan ledakan.

“Setidaknya pihak sekutu gagal memperoleh informasi mengenai keberadaan putra mahkota.” Ujar Pangeran Jahn Kohler.

“Betul juga, kalau begitu kita berada di posisi impas, sama-sama sulit mencari keberadaan putra mahkota.” Ujar Ali—pemimpin Klan Bani Harbi, salahsatu suku dominan yang menjadi pendukung Sultan Salim—Sultan Hazrabiah yang sekarang.

Kapten McKnight bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka perbincangkan, mereka sedang membicarakan tentang putra mahkota, sepertinya yang mereka maksud adalah putra mahkota sultan terdahulu yang digulingkan oleh Sultan Salim.

Sialnya, ia dipergoki oleh seorang laskar, “Dia masih hidup!” lapornya.

Kapten McKnight mencoba menggerakkan tangan kanannya untuk meraih pistol M9F di paha kanannya, namun Pangeran Jahn Kohler bereaksi lebih cepat daripadanya, ia melayangkan bogem mentah hingga Komandan Kompi A tersebut kembali tak sadarkan diri.

*****

Kapten McKnight terjaga dari pingsannya, tapi terjaganya dengan cara yang kasar—ia dibangunkan dengan hentakan keras yang menghantam kepalanya, hasilnya, ia terjaga dengan rasa sakit.

Tapi ketika ia membuka matanya, yang ia lihat hanyalan pandangan bewarna kecoklatan dan bau gandum masih tercium pekat—kelihatannya wajahnya ditutupi dengan karung goni yang dipakai untuk membungkus gandum yang masih segar, tak hanya itu, ia bisa merasakan goncangan keras dan deru suara mesin kendaraan—kedengarannya ia sedang dibawa ke suatu tempat.

Ia mendengar seseorang berbicara dengan Bahasa Hazrabiah, entah apa yang mereka bicarakan, karena kosakata yang mereka gunakan belum pernah ia dengar sebelumnya semenjak latihan bahasa dan budaya di pelatihan pra-tugasnya.

Tapi ada sepatah-dua patah kata yang masih ia mengerti, salahsatu kosa kata yang mereka lontarkan adalah—Kamp Kerja Paksa, ia teringat tentang isu Kamp Kerja Paksa, menurut informasi, para prajurit sekutu yang berhasil ditangkap, akan dikirim ke Kamp-Kamp Kerja Paksa terdekat untuk dijadikan buruh kerja paksa untuk membangun infrastruktur militer Kekaisaran Galbadia beserta sekutunya.

“Kelihatannya tamu agung kita sudah bangun ternyata!” ujar suara dengan dialek Hazrabiah lengkap dengan tendangan keras tepat ke pipi kiri McKnight.

“Kebetulan kami sedang membutuhkan tukang cuci kakus di bunker kami!” ujar suara lainnya yang disambut dengan tawa.

Kapten McKnight menggerakkan tubuhnya, yang ada hanya rasa sakit di bahu kanannya dan kedua lengan serta kakinya diikat oleh sesuatu, tapi dari teksturnya, kelihatannya ia sedang diikat dengan menggunakan tali tambang.

Mereka pun melanjutkan obrolan mereka dengan bahasa Hazrabiah, karena mereka merasa kalau Kapten McKnight tidak tahu bahasa yang mereka pakai, Kapten McKnight hanya bisa terdiam tak berdaya, menyimak apa yang diperbincangkan oleh mereka.

Dengar-dengar, Ali dan bangsawan dari Galbadia ribut mengenai orang Rune-Midgard ini?

Ya, bangsawan Galbadia ini menginginkan dia ditembak mati untuk menghilangkan jejak, tapi Ali menginginkan dia menjadi salah satu tawanan perang yang dijadikan pekerja paksa nantinya.

Lalu?

Si bangsawan sinting itu sempat kesal dan tidak segan-segan ingin menembak kepala Ali, tapi Ali meyakinkan si bangsawan itu kalau orang ini akan di kirim di Kamp Kerja Paksa yang tidak akan diketahui keberadaannya.

Dan hasilnya?

Seperti yang kita duga—bangsawan Galbadia yang katanya kerabat dekat Kaisar Galbadia, akhirnya menuruti keinginan Ali, dan mengancam akan memotong leher Ali ketika orang ini lolos.

Ngomong-ngomong soal si bangsawan itu, apa benar ia melakukan penyisiran pemberontak dengan membantai dan membakar seluruh isi desa yang ia sisiri dengan mesin aneh itu?

Ini jadi rahasia umum, bangsawan Galbadia itu mengendarai kendaraan tempur berbentuk seperti laba-laba, aku dengar dari tentara SS-nya, kalau benda yang mereka sebut dengan nama robot itu adalah prototipe mesin tempur Galbadia menjadi pemimpin dunia.

Heh, orang-orang SS itu lebih layak jadi juru kampanye ketimbang tentara!

Tak kusangka, kendaraan perang bernama robot itu berhasil membabat habis seluruh rombongan pasukan sekutu yang mencoba mengambil Imam Wahid tanpa diketahui oleh radar sekutu.

Aku harap Sultan Hamid tahu dengan siapa ia berhadapan.

Robot—itu yang membuat Kapten McKnight memicingkan matanya, nama asing yang katanya yang menjadi biang kerok seluruh prajuritnya dibabat habis oleh mesin perang milik Galbadia yang belum pernah ia dengar sebelumnya—Ini informasi kategori A1!

Tiba-tiba, ia merasakan kalau kendaraan yang membawanya itu mengerem mendadak, ia bisa mendengar dan merasakan kebingungan para penyekapnya itu, ia bisa mendengar kalau si supir menghentikan perjalanannya ketika ada longsoran batu menghalangi jalan.

Beberapa saat kemudian terdengar suara rentetan senjata yang begitu gencar, para penyekapnya itu terlihat panik sembari melepaskan tembakan juga, dari suara tembakan, Kapten McKnight bisa mendengar ada kombinasi suara peluru kaliber 5,56 milimeter dengan kaliber 7,62 milimeter.

Sesaat kemudian baku-tembak sengit itu mulai kembali tenang, ia bisa mendengar suara seseorang naik ke atas bak kendaraan.

“Billy! Billy!”

Kapten McKnight tersentak ketika orang yang naik dan mendekatinya itu memanggil-manggil nama panggilannya, ia pun bisa merasakan kedua tangan si empunya suara tersebut sedang berusaha membuka karung goni yang menutup wajahnya.

“Ya, itu namaku! Lepaskan aku!” mohonnya dengan penuh semangat.

Kapten McKnight terdiam ketika melihat sosok yang menyelamatkan dirinya ketika karung goni yang menutup wajahnya berhasil disingkapkan, seseorang berbrewok hitam lebat dengan kifayeh yang menutupi kepalanya.

Tapi ada yang membuatnya yakin kalau itu adalah prajurit Rune-Midgard, biar persenjataan yang ia pakai adalah FNC—senapan serbu standar Laskar Kesultanan, rompi anti-peluru yang dipakai oleh si penyelamat itu adalah CIRAS—rompi anti-peluru yang menjadi standar militer Rune-Midgard.

Tapi, tapi lagi, ada yang membuatnya ingat pada seseorang ketika ia memperhatikan betul-betul wajah pria brewokan itu, “Ames?” tanya Kapten McKnight ragu.

Pria berbrewok hitam lebat itu menghela napasnya sejenak, “Percuma aku memelihara jenggot ini selama hampir enam bulan.” Selorohnya sambil mengulurkan tangan kanannya.

=== THE STRADS : EPISODE TERAKHIR, SELESAI ===

Tidak ada komentar:

Posting Komentar